SHALAT JUM’AT DAN JAMA’AH
Salah satu
rangkaian shalat khususnya shalat jum’at ialah adzan ketika masuk waktu dan
qamat ketika shalat jum’at akan didirikan atau dimulai. Adzan dan qamat
terutama adzan tidak semata sebagai tanda masuknya waktu shalat, akan teptai
juga untuk memanggil shalat (jama’ah).
Berdasakan
pertimbangan demikian itu, maka bahasan mengenai aszan ini diletakkan sebelum
bahasan mengenai shalat jama’ah da
jum’at.
- Adzan dan Qamat
Shalat jama’ah dalam prakteknya dihubungkan dengan
pelaksanaan adzan dan qamat. Dalam beberapa hal terdapat beberapa perbedaan
pelaksanaan keduanya dalam praktek keagamaan masyarakat. kita ikuti bagaimana
penjelasan Tarjih mengenai masalah adzan dan qamat tersebut sebagaimana dalam
HPT.
- Waktu Adzan
Mengenai kapan mengerjakan adzan, Tarjih menyatakan bahwa: “ Bila
waktu shalat fardhu telah tiba, hn\endaklah orang yang terbaik suaranya
diantara kamu, menyerukan adzan”. Rumusan demikian didasarkan pada alasan yang
difahami dari hadits Malik bin Khuwairitz dan hadits Darimi dan Abu Syaikh.
Hadits Malik bin Khuwairits.
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ أَنَّ الْحُوَيْرِثِ بْنِ
مَالِكِ عَنْ وَمُسْلِمٍ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
إِذَاحَضَرَتِ :قَالَ أَكْبَرُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ لَكُمْ فَلْيُؤَذِّنْ الصَّلاَةُ إِذَاحَضَرَتِ :قَالَ
أَكْبَرُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ لَكُمْ
فَلْيُؤَذِّنْ الصَّلاَةُ
Artinya: “Karena hadits Bukhari dan Muslimdari Malik bin Khuwairits
bahwa Nabi saw. bersabda: “Apabila tiba waktu shalat, hendaknya beradzan salah
seorang diantara kamu dan hendaklah orang yang teruta diantaramu menjadi
imam””.
Hadits Darimi dari
Abu Syaikh;
أَيضًاابْنُ وَأَخْرَجَهُ بِأَبِىمَحْذُوْرَةَ بِاِسْنَادٍمُتَّصِلٍ وَأَبِىالشَّيْْحِ الدَّارِمِّى وَلِحَدِيْثِ
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ أَنَّ : فِىصَحِيْحِهِ خُزَيْمَةَ ابْنُ
وَرَوَاهُ حِبَّانَ
الاَذَانَ فَعَلَّمَهُ أَبِىمَحذُوْرَةَ صَوْتُ فَاَذَّنُوْافَاَعْجَبَهُ رَجُوْلاً بِعَشْرِيْنَ أَمَرَ
Artinya: “Dan karena hadits Darimi dari Abu Syaikh dengan sanad yang
bersambung sampai kepada Abu Makhdzurah: diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dan
diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab shahihnya bahwa Rasulullah saw. memangggil
dua puluh orang laki-laki, kemudian merekapun beradzan, maka suara Abu Mahdzurah
sangat menakjubkan beliau lalu beliau mengajar adzan kepadanya (Abu
Mahdzurah)”.
- Adzan dan Qamat dalam Jama’ah
Secara khusus, perintah adzan dan Qamat yang dilakukan sebagai
rangkaian shalat jama’ah, Tarjih memberikan tuntunan sebagaiman kutipan ini:
“Apabila kamu menjama’ dua shalat berjama’ah, maka hendaklah adzan dari kamu
satu kali dan berqamat dua kali. Demikian juga halnya kamu kerjakan dalam
shalat-shalat faitah (Qadla)”.
Alasan dari tuntunan tersebut adalah hadits Jabir dan hadits Ubadah
Ibnu Abdullah bin Mas’ud.
Hadits Jabir ra;
صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ اَنَّ
عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ مُحْتَصَرًاعَنْ وَالنَّسَائِىِّ وَمُسْلِمٍ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
فَصَلَّىبِهَا وَاَتَىالْمُزْدَلِفَةَ ، وَإِقَامَتَيْنِ وَاحَدٍ بِأَذَانٍ بِعَرَفَةَ صَلَّىصَلاَتَيْنِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
الْفَجْرُ حَتَّىطَلَعَ اضْطَجَعَ بَيْنَهُمَاثُمَّ يُسَبِّحْ وَلَمْ
وَإِقَامَتَيْنِ وَاحَدٍ بِأَذَانٍ وَالْعِشَاءَ الْمَغْرِبَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan
Nasai denga singkat dari Jabir ra. bahwa Nabi saw. menjama’ kedua shalat di
arafah dengan satu kali adzan dan dua kali qamat. Dan setelah tiba di
Mudzdalifah, beliau shalat Maghrib dan Isya’ dengan satu kali adzan dan dua
kali qamat, dan tidak mengerjakan shalat sunnat diantara keduanya, kemudian
beliau tidur miring hingga terbit fajar”.
Hadits Ubaidah Ibnu
Abdillah bin Mas’ud;
مَسْعُوْدٍ ابْنِ
عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ أَبِى عَنْ
وَالتِّرْمِذِىُّ
وَالنَّسَائِىُّ أَحْمَدُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
أَرْبَعٍ عَنْ
الْخَنْدَقِ يَوْمَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ شَغَلُوالنَّبِىَّ الْمُشْرِكِيْنَ أَنَّ
أَبِيْهِ عَنْ
أَقَامَ ثُمَّ
الظُّهَْرَ فَصَلَّى أَقَامَ ثُمَّ بِلاَلاًفَأَذَّنَ فَأَمَرَ مَاشَاءَاللَّهُ اللَّيْلِِ مِنَ حَتَّىذَهَبَ صَلَوَاةٍ
فَصَلَّىالْعِشَاءَ أَقَامَ
ثُمَّ فَصَلَّىالْمَغْرِبَ أَقَامَ ثُمَّ فَصَلَّىالْعَصْرَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, dan
Tirmidzi dari Ubaidah Ibnu Abdilah bin Mas’ud dari ayahnya, bahwa orang-orang
musyrik pada hari perang Khandak mensibukkan Nabi Muhammad saw. hinga tidak
sempat mengerjakan empat kali shalat hingga jauh malam. Maka beliau lalu
memerintahkan Bilal untuk beradzan, kemudian qamat lalu beliau shalat Dzuhur,
lalu Bilal Qamat maka beliau shalat Ashar, lalu Bilal berqamat, amka beliau
shalat Maghrib, lalu Bilal berqamat lagi maka beliau shalat Isya”.
- Adzan sendiri
Jika seseorang dalam keadaan sendiri, Tarjih emeberi tuntunan untuk
tetap membaca adzan walaupun tidak banyak yang mempraktekkan tuntunan ini.
Mengenai hal ini dalam HPT Tarjih menyatakan: “Bilamana kamu sendirian
hendaklah kamu adzan dan qamat dengan lirih-lirh tidak nyaring. Dan nyaringkanlah
suaramu dengan seruan adzan dan qamat itu jika kamu sedang menggembala kambing
atau diluar perkampunganmu”.
Dasar dari tuntunan itu ialah Abu Dawud dan Nasai berikut;
:قَالَ عَامِرٍ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ ثِقَاةٌ
إِسْنَادِهِ وَالنَّسَائِىِّوَرِجَالٌ
أَحْمَدَوَاَبِىدَاوُدَ
لِحَدِيْثِ
مِنْ عَزَّوَجَلَّ رَبُّكَ
يَعْجَبُ :يَقُوْلُ : عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ سَمِعْتُ
اُنْظُرُ :عَزَّوَجَلَّ اللَّهُ فَيَقُوْلُ . وَيُصَلِّى لِلصَّلاَةِ يُؤَذِّنُ بِجَبَلٍ فِىشَظِيَّةٍ رَاعِىغَنَمٍ
. الْجَنَّةَ وَاَدْخَلْتُهُ لِعَبْدِى فَقَدْغَفَرْتُ مِنِّى يَخَافُ الصَّلاَةَ وَيُقِيْمُ هَذَايُؤَذِّنُ
إِلَىعَبْدِى
بِاالصَّلاةِ فَأَذَّنْتَ أَبَادِيَاتِكَ فِىغَنَمِكَ إِذَاكُنْتَ :بِلَفْظِ وَالنَّسَائِىِّ الْمُوَطَّاءِ وَفِىالْبُخَارِىِّ
وَلاَشَيْءٌ وَلاَإِنْسٌ جِنٌّ
الْمُؤَذِّنِ مَدَىصَوْتِ لاَيَسْمَعُ فَإِنَّهُ بِالنِّدَآءِ صَوْتَكَ فَارْفَعْ
الْقِيَامَةِ يَوْمَ
اِلاَّشَهِدَلَهُ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan
Nasai yang sanadnya Tsiqah (dapat
dipercaya) dari ‘Uqbah bin Amir, berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw.
bersabda: “Tuhanmu sangat memuji seorang penggembala kambing dalam sebuah
gundukan gunung, dia beradzan untuk shalat, lalu shalat. Allah berfirman:
“Lihatlah olehmu akan hamba-Ku ini, dia beradzan dan mendirikan shalat Karena
takut kepada-Ku, sungguh aku telah mengampuni hamba-Ku itu dan Aku masukkan dia
ke surga”. Dalam hadits riwayat Bukhari, Muwaththa’dan Nasai dengan perkataan:
“Apabila kamu berada di tempat penggembalaan akambingmu atau berada diluar
perkampunganmu, lalu kamu menyerukan adzan, maka nyaringkanlah suaramu dengan
adzan itu, karena Jin, manusia yang mendengar sejauh suara muadzin itu kelak
akan menjadi saksi pada hari Kiamat””.
- Bacaan Adzan dan Qamat
Dalam tuntunan Tarjih sebagaiman dimuat HPT, Bacaan adzan itu adlaah
sebagaiman berikut;
“Allāhu akbar Allāhu Akbar, Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla
ilāha illallāh Aşhadu Alla ilāha illallāh. Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh
Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh. Hayya
alal falāh Hayya alal falāh Allāhu akbar Allāhu akbar. Lā ilāha illa lāh”.
Khusus mengenai peintah qamat, Tarjih menyatakan; apabila shalat
hendak dimulai, maka muadzin supaya menyerukan:
Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu anna
muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh. Qad qā matiş şolat
Qad qā matiş şolat. Allāhu akbar Allāhu Akbar. Lā ilāha illa lāh.
Dasar mengenai pengambilan ketetapan mengenai bacaan adzan tersebut
ialah hadits Abu Dawud di bawah ini.
لَمَّاأَمَرَ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ زَيْدٍ بْنِ
عَبْدِاللَّهِ عَنْ وَالتِّرْمِذِىِّ أَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ
الصَّلاَةِ لِجَمْعِ لِلنَّاسِ بِهِ
لِيُضْرَبَ بِالنَّاقُوْسِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ
قَالَ ؟ النَّاقُوْسَ أَتَبِيْعُ ، يَاعَبْدَاللَّهِ :فَقُلْتُ نَاقُوْسًافِىيَدِهِ يَحْمِلُ رَجُلٌ
وَاَنَانَائِمٌ بِى طَافَ
؟ ذَلِكَ مَاهُوَخَيْرٌمِنْ عَلَى أفَلاَاَدُلُّكَ :قَالَ .اِلاَالصَّلاَةِ نَدْعُوْبِهِ :فَقُلْتُ ؟
بِهِ مَاتَصْنَعُ :
لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ :تَقُوْلُ :قَالَ .بَلَى :لَهُ فَقُلْتُ
مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ ، اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . اِلاَّاللَّهُ
حَىَّعَلَىالفَلاَحِ ، حَىَّعَلَىالفَلاَحِ . حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ ، حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ .اللَّهِ رَسُوْلَ
تَقُوْلُ ثُمَّ :قَالَ ثُمَّ
غَيْرَبَعِيْدٍ خَرَعَنِّى اسْتَأْ ثُمَّ :قَالَ . إِلاَّاللَّهِ لاَاِلَهَ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ .
رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ: صَلاَةَ إِذَاقُمْتَ
اَللَّهُ . الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ ، الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ . حَىَّعَلَىالفَلاَحِ ، حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ. اللَّهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلَ أَتَيْتُ فَلَمَّاأَصْبَحْتُ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ
فَأَلْقِ بِلاَلٍ مَعَ فَقُمْ اللَّهُ شَاءَ إِنْ اِنَّهَالَرُؤْيَ احَقٍّ : فَقَالَ . بِمَارَاَيْتُ فَأَخْبَرْتُهُ عَلَيْهِ
عَلَيْهِ أُلْقِيْهِ فَجَعَلْتُ بِلاَلٍ
مَعَ فَقُمْتُ أَنْدَىصَوْتًامنْكَ فَإِنَّهُ بِهِ فَلْيُؤَذِّنْ مَارَاَيْتَ عَلَيْهِ
اَلْحَدِيْثَ . بِهِ وَيُؤَذِّنُ
Artinya: “Karena hadits Abu Dawud dari Tirmidzi dari Abdullah bin
Zaid ra. berkata ketika Rasulullah saw. memerintahkan memukul lonceng untuk
mengumpulkan orang-orang untuk shalat berjama’ah; maka sewaktu aku tidur (dalam
mimpi) melihat seorang laki-laki membawa lonceng di tangannya mengelilingi aku,
maka aku bertanya kepadanya: “Wahai hamba Allah, adakah engkau akan menjual
lonceng itu?”. Maka orang laki-laki itu menanyakan: “Akan kau pergunakan untuk
apakah lonceng itu?”.
Aku menjawab: “Untuk memanggil kepada shalat”. Maka dia berkata:
“Bagaimana kalau aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari itu?”. Aku
menjawab: “Baiklah!”. Dia berkata: “Kau serukan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar,
Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu Alla ilāha
illallāh. Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh.
Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh Hayya alal falāh Allāhu
akbar Allāhu akbar. Lā ilāha illa lāh”.
Kemudian orang itu mundur tidak jauh daripadaku, lalu berkata:
“Kemudian kalau kamu hendak memulai shalat, engkau serukan: “Allāhu akbar
Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh.
Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh. Qad qā matiş şolat Qad qā matiş şolat.
Allāhu akbar Allāhu Akbar. Lā ilāha illa lāh.”
Pada pagi harinya aku datang kepada Rasulullah saw. lalu kau beritakan
apa yang aku lihat semalam; maka Rasulullah bersabda: “Sungguh itu adalah
impian yang benar, insya Allah. Pergilah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya
apa yang engkau lihat. Hendaklah engkau menyerukan adzan dengan itu, sebab
Bilal lebih nyaring suaranya daripadamu”. Kemudian aku mengajarkannya lalu ia
menyerukakn adzan dengan itu” . . . seterusnya hadits.”
- Adzan Subuh
Tarjih sebagaimana dalam HPT selanjutnya menuntunkan khusus untuk adzan waktu subuh
sebagaimana kutipan ini: “Di dalam adzan waktu shalat subuh, hendaklah sesudah
menyerukan: Hayya ‘alal falāh, mengucapkan Aşşalātu khairūm minan naūm, Allāhu
akbar Allāhu akbar, Lā ilāha illa lāh”.
Dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah ra.:
يَارَسُوْلَ قُلْتُ :قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ أَبِىمَحْذُوْرَةَ عَنْ الْخَمْسَةُ أَخْرَجَهُ لِحَدِيْثٍ
الصَّلاَةُ :قُلْتَ الصُّبْحِ صَلاَةَ كاَنَ
فَإِنْ :وَقَالَ فَعَلَّمَهُ . الاَذَانِ عَلِّمْنِىسُنَّةَ ، اللَّهِ
اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ ، أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ ، النَْوْمِ خَيْرٌمِنَ اَلصَّلاَةُ ، النَّوْمِ خَيْرٌمِنَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Lima Imam (Abu Dawud,
Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad) dari Abu Mahdzurah berkata: Aku berkata:
“Hai Rasulullah saw., ajarilah aku bagaimana cara adzan!”. Maka Rasulullah saw.
mengajarkannya dan lalu bersabda: “Sedang untuk shalat Subuh kamu ucapkan:
“Aşşalātu khairūm minan naūm, Allāhu akbar Allāhu akbar, Lā ilāha illa lāh””.
- Bacaan Adzan Waktu Hujan
Khusus jika hari dalam keadaan hujan atau sangat dingin sehingga
dapat mempersulit orang untuk pergi berjama’ah ke Mesjid atau tempat-tempat
jama’ah, terdapat baacan khusus sebagaimana dituntunkan oleh Tarjih. Tuntunan
seperti demikian tidak banyak kita temukan dalam praktek.
Teks asli tuntunan Tarjih sebagaimana dalam HPT itu ialah: “Dan apabila
hari hujan atau malam sangat dingin, sebagai pengganti daripadanya ucapan: Hayya
alaş şolāh hendaklah diucapkan: şallū fī rihā likum” atau “şallū fī buyū
tikum”.
Landasan penetapan tuntunan tersebut ialah dua buah hadits Abdullah
bin Kharits dan hadits Nafi’.
Hadits Abdullah bin Kharits (1);
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah
bin Harits berkata: “Pasa suatu hari licin (karena hujan), Ibnu Abbas
berkhutbah di tengah-tengah kita. ketika muadzin akan menyerukan: “Hayya alaş
şolāh” maka Ibnu Abbas menyuruh dia supaya menyerukan: Aşalātu firrihāl”. Hadirin
sama berpandang-pandangan, maka Ibnu Abbas lalu berkata: “Hal begini ini telah
dilakukan oleh orang yang lebih utama dari Muadzin dan sungguh itu adalah suatu
kepastian”.
Hadits Abdullah bin
Harits (2);
فِىيَوْمٍ لِمُؤَذِّنِهِ قَالَ
أَنَّهُ عَبَّاسٍ بْنِ عَبْدِاللَّهِ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ
عَبْدِاللَّهِ عَنْ مُسْلِمٌ وَرَوَى
حَىَّعَلَىِ : فَلاَتَقُلْ اَللَّهِ، رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ : مَطِيْرٍإِذَاقُلْتَ
أَتَعْجَبُوْنَ :فَقَالَ . اسْتَنْكَرُوْذَاكَ النَّاسَ فَكَاَنَّ :قَالَ صَلُّوْفِىبُيُوْتِكُمْ :قُلْ ،
الصَّلاَةِ
اُخْرِجَكُمْ أَنْ
وَإِنِّىكرِهْتُ عَزْمَةٌ الْجُمُعَةَ مِنِّىاِنَّ هُوَخَيْرٌ ذَامَنْ قَدْفَعَلَ ؟ ذَا مِنْ
فِىالدَّحْضِ تَمْشُوْا اَنْ
وَكَرِهْتُ :وَقَالَ :وَفِىرِوَايَةٍ وَالدَّحضِ فِىالطِّيْنِ فَتَمْشُوْ
وَالزَّلَلِ
Artinya: “Dan Muslim meriwayatkan hadits ‘Abdullah bin Harits dari
Abdullah bin Abbas’ bahwa ia berkata kepada Muadzinnya di hari hujan: “Apabila
kamu telah mengucapkan: Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh, janganlah mengucapkan:
Hayya alaş şolāh akan tetapi ucapkanlah: şallū fī buyū tikum””.
Berkata Abdullah
bin Harits: “Orang-orang seakan menyangkal hal itu,” maka Ibnu Abbas berkata:
“Apakah kamu heran aka hal itu? Sungguh telha melakukan ini orang yang lebih
utama daripadaku. Sesungguhnya shalat jum’at itu wajib; sedang aku enggan
menyuruh keluar kepadamu, untuk berjalan di lumpur dan di tempat yang licin”.
Dan dalam riwayat lain Ibnu Abbas berkata: “Aku enggan menyuruh kamu berjalan di tempat yang becek dan licin”.
Hadits Nafi’;
:فَقَالَ بَرْدٍوَرِيْحٍ ذَاتِ فِىلَيْلَةٍ بِالصَّلاَةِ أَذَّنَ عُمَرَ
ابْنَ أَنَّ نَافِعٍ أَيْضًاعَنْ وَرَوَىمُسْلِمٌ
يَأْمُرُالْمُؤَذِّنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ :قَالَ ثُمَّ ، أَلاَصَلُّوْافِىالرِّحَالِ
فِىلَيْلَةٍ : وَفِىرِوَايَةٍ - الرِّحَالِ اَلاَصَلُّوْافِى : يَقُوْلُ مَطَرٍ
ذَاتُ بَارِدَةٌ لَيَلَةٌ اِذَاكاَنَتْ
الرِّحَالِ اَلاَصَلُّوْافِى ، الرِّحَالِكُمْ اَلاَصَلُّوْافِى :فِىأَخِرِنِذَائِهِ فَقَالَ
وَمَطَرٍ وَرِيْحٍ بَارِدَةٍ
بَارِدَةٌ لَيْلَةٌ كاَنَتْ إِذَا
يَأْمُرُالْمُؤَذِّنَ
كاَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ إِنَّ :قَالَ ثُمَّ
الرِّحَالِكُمْ اَلاَصَلُّوْافِى :يَقُوْلَ أَنْ مَطَرٍفِىسَّفَرِ أَوْذَاتُ
Artinya: “Hadits Muslim meriwayatkan juga dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar
menyerukan adzan untuk shalat pada suatu malam yang dingin dan berangin. Maka
dia menyerukan: “Alā shallū firrihā’l”. Kemudian berkata: “Bilamana malam
dingin atau hujan, Rasulullah saw. memerintahkan kepada muadzinnya supaya
menyerukan: “Alā shallū firrihā’l”. Dalam suatu riwayat hadits, pada suatu
malam yang dingin, berangin dan hujan, maka dia dalam akhir seruan adzannya
mengatakan: “Alā shallū firrihā’likum. Alā shallū firrihā’l”. Kemudian berkata:
“bilamana malam dingin atau hujan dalam berpergian, Rasulullah saw. memerintahkan
kepada muadzinnya supaya mengucapkan: “Alā shallū firrihā’likum”.
- Jawaban Adzan
Bagi orang yang mendengar adzan, menurut Tarjih, “hendaklah membaca
sebagaimana yang dibaca oleh muadzin, kecuali pada ucapan “Hayya alaş şolāh
Hayya alaş şolāh”, hendaklah membaca “Lā haula wala quwwata illā billāh”.
Dasarnya ialah hadits Abu Said , Umar bin Khattab ra.”.
Hadits Abu Said;
إِذَاسَمِعْتُمُ :قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ اَنَّ
أَبِىسَعِيْدٍ عَنْ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
المُؤَذِّنُ مَايَقُوْلُ فَقُوْلُوْامِثْلَ النِّدَاءَ
Artinya: “Karena hads yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Abu Sa’id,
bahwa nabi saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar seruan adzan, maka ucapkanlah sebagaimana
yang diserukan oleh Muadzin”.
Hadits Umar bin Khattab
ra.
اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ الْخَطَّابِ عُمَرَبْنِ اَبِىدَاوُدَعَنْ وَ مُسْلِمِ وَلِحَدِيْثِ
أَكْبَرُ اَللَّهُ :أَحَدُكُمْ فَقَالَ
أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ :الْمُؤَذِّنُ إِذَاقَالَ : عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
أَشْهَدُأَنَّ : قَالَ ثُمُّ. اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ : قَالَ ،
اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ: قَالَ ثُمَّ
أَكْبَرُ اَللَّهُ
حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ : قَالَ ثُمَّ . اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ: قَالَ ، اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدًا
. إِلاَّبِاللَّهِ وَلاَقُوَّةَ لاَحَوْل َ :قَالَ ، حَىَّعَلَىالفَلاَحِ : قَالَ ثُمَّ. إِلاَّبِاللَّهِ وَلاَقُوَّةَ لاَحَوْلَ :قَالَ
اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ : قَالَ ثُمَّ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ : قَالَ ، أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ : قَالَ ثُمَّ
الْجَنَّةَ دَخَلَ قَلْبِهِ مِنْ اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ : قَالَ
Artinya: “Dan karena hadits Muslim dan Abu Dawud dan Umar bin
Khattab ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila muadzin
mengucapkan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar” lalu salah seorang dari kamu
mengucapkan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar”, kemudian muadzin mengucapkan “Aşhadu
Alla ilāha illallāh”, ia mengucapkan: “Aşhadu Alla ilāha illallāh”, muadzin
mengucapkan: “Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh”, ia mengucapkan: “Aşhadu anna
muhammadar rasūlullāh”. muadzin mengucapkan: “Hayya alaş şolāh” ia mengucapkan:
“Lā haula wala quwwata illā billāh”. Muadzin mengucapkan “Allāhu akbar Allāhu
Akbar”. Ia mengucapkan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar”. Muadzin mengucapkan “Lā
ilāha illa lāh”, ia mengucapkan “Lā ilāha illa lāh” yang kesemuanya itu timbul
karena keikhlasan hatinya, maka ia akan masuk surga”.
- Do’a sesudah Adzan
Setelah selesai adzan, Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan:
“Masing-masing dari muadzin dan pendengar hendaklah bershalawat kepada Nabi
saw. seraya doa’anya: “Allāhumma rabbahā dzihid da’watit tāmmati wash shalātil
qāimah. Āti Muhammadanil washī lata wal fadhīlata wab atshu maqāmammahmū danil
ladzī wa adtah””. Dasarnya ialah hadits dari Abdullah Ibnu Umar dan Jabir.
Hadits Abdullah bin Umar;
سَمِعَ أَنَّهُ
الْعَاصِ عَمْرِىبْنِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ عَنْ مَاجَهْ
وَابْنُ الْبُخَارِىَّ إِلاَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
عَلَىَّفَإِنَّهُ صَلُّو
ثُمَّ مَايَقُوْلُ فَقُوْلُوْامِثْلَ الْمُؤَذِّنَ سَمِعْتُمُ إِذَا :يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ
فَاِنَّهَامَنْزِلَةٌ الْوَسِيْلَةَ لِىَ
سَلُوْاللَّهَ ثُمَّ ،
بِهَاعَشْرًا عَلَيْهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَىَّصَلاَةً صَلَّى مَنْ
الْوَسِيْلَةَ لِىَ
اللَّهَ سَأَلَ فَمَنْ أَنَاهُوَ أَكُوْنَ وَاَرْجُوْأَنْ عِبَادِاللَّهِ مِنْ إِلاَّلِعَبْدٍ لاَتَنْبَغِى فِىالْجَنَّةِ
الشَّفَاعَةُ لَهُ
حَلَّتْ
Artinya: “Karena hadits riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu
Majjah dari Abdullah bin Anar Ibnul Ash, bahawa ia mendengar Nabi saw.
bersabda: “Apabila kamu mendengar seruan muadzin, maka katakanlah sebagaimana
yang ia ucapkan lalu bacalah shalawat untukku. Karena barangsiapa membaca
shalawat untukku satu kali, maka Allah akan memberikan rahmat sepuluh kali
lipat. Kemudian mintalah wasilah untukku kepada Allah, karena wasilah itu suatu
kedudukan di surga yang hanya diberikan kepada seorang hamba Allah dan aku
mengharapkan akulah hamba itu. Maka barangsiapa memintakan wasilah untukku
niscaya ia akan beroleh syafaat””.
Hadits Jabir;
:قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ أَنَّ جَابِرٍ اِلاَّمُسْلِمًاعَنْ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
مُحَمَّدًا اَتِ ،
الْقَآئِمَةِ وَالصَّلاَةِ التَّامَّةِ الدَّعْوَةِ هَدِهِ رَبَّ اَللَّهُمَّ : النِّدَاءِ حِيْنَ قَالَ مَنْ
الْقِيَامَةِ شَفَاعَتِىِيَوْمَ لَهُ
حَلَّتْ ، وَعَدْتَهُ مَقَامًامَحْمُوْدًاالَّذِى وَابْعَثْهُ ، وَالْفَضِيْلَةَ الْوَصِيْلَةَ
(لِلْبُخَارِىِّ وَاللَّفْظُ)
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali
Muslim dan Jabir, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa sehabis adzan
berdo’a: “Allāhumma rabbahā dzihid da’watit tāmmati wash shalātil qāimah. Āti
Muhammadanil washī lata wal fadhīlata wab atshu maqāmammahmū danil ladzī wa
adtah”. Niscaya ia akan memperoleh syafaatku pada hari kiamat”. (Lafalnya ini
dari Bukhari).
- Do’a diantara adzan dan Iqamat
Tarjih menyatakan; “dan hendaklah berdo’a diantara adzan dan qamat
itu dengan do’a-do’a yang dianggap penting”. mengenai do’a apa yang penting
tidak dijelaskan lebih lanjut dalam HPT.
Adapun dasarnya ialah hadits Anas bin Malik berikut;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ مَالِكٍ
بْنِ أَنَسِ وَالتِّرْمِذِىِّعَنْ اَحْمَدَوَأَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ
وَالاِقَامَةِ الاَذَانِ لاَيُرَدُّبَيْنَ الدُّعَاءُ : عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan
Tirmidzi dari Anas bin Malik ra. berkata: “Rasulullah saw. bersabda “Do’a tidak
akan ditolak diantara adzan dan Iqamat””.
- Bacaan Adzan, Qamat dan Do’a Adzan
a.
Bacaan
Adzan
أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ
. اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ
.اللَّهِ رَسُوْلَ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ ، اللَّهِ
رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ
. حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ ، حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ
حَىَّعَلَىالفَلاَحِ ، حَىَّعَلَىالفَلاَحِ
.
أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ
إِلاَّاللَّهِ لاَاِلَهَ
“Allāhu akbar Allāhu Akbar, Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla
ilāha illallāh Aşhadu Alla ilāha illallāh. Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh
Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh. Hayya
alal falāh Hayya alal falāh Allāhu akbar Allāhu akbar. Lā ilāha illa lāh”.
Artinya: “Allah Maha Agung, Allah Maha Agung. Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah. Marilah
melakukan shalat. Marilah menuju kejayaan. Maha Agung. Tiada Tuhan melainkan
Allah”.
b. Adzan Subuh
Sebagaimana
tersebut diatas, kecuali sesudah: Hayya alaş şolāh ditambah dengan bacaan;
النَّوْمِ مِنَ
خَيْرٌ اَلصَّلاَةُ
Artinya: “Shalat itu lebih baik daripada tidur”.
c. Adzan di hari tertentu (hujan)
Pada waktu hujan
atau pada malam hari yang sangat dingin, maka Hayya alaş şolāh diganti dengan
bacaan;
اَلاَصَلُّوْفِىرِحَلِكُمْ
اَوْ
اَلاَصَلُّوْفِىْبُيُوْتِكُمْ
Artinya: “Ingat, shalatlah kamu di tempat berhentimu atau shalatlah
kamu di rumah-rumahmu”
d. Bacaan Menyambut Adzan
Sebagaimana yang
diucapkan muadzdzin, kecuali “Hayya alaş şolāh” yang disambut dengan bacaan;
إِلاَّبِاللَّهِ وَلاَقُوَّةَ لاَحَوْلَ
Artinya: “Tiada ada gerak dan kekuatan kecuali dengan izin-Nya”
e. Do’a Sesudah Adzan
، الْقَآئِمَةِ وَالصَّلاَةِ التَّامَّةِ الدَّعْوَةِ هَدِهِ
رَبَّ اَللَّهُمَّ . مُحَمَّدٍ وَعَلَىآَلِ عَلَىمُحَمَّدٍ صَلِّى
اَللَّهُمَّ
، وَعَدْتَهُ مَقَامًامَحْمُوْدًاالَّذِى وَابْعَثْهُ ، وَالْفَضِيْلَةَ الْوَصِيْلَةَ مُحَمَّدًا اَتِ
Artinya: “Ya Allah berilah kehormatan dan kebahagiaan kepada
Muhammaddan kepada keluarganya. Ya Allah, Tuhannya seruan yang sempurna dan
shalat yang akan tegak ini, berilah wasilah dan kelebihan kepada Muhammad, dan
sampaikanlah kepadanya kedudukan yang terpuji yang telah engkau janjikan”.
f. Bacaan Qamat
، حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ. اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ
اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ . الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ ، الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ . حَىَّعَلَىالفَلاَحِ
Artinya: “Allah maha agung, Allah maha agung, Aku bersaksi bahwa
tiada Tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah.
Marilah bershalat. Marilah menuju kejayaan. Sudah akan dimulai shalat, Allah
maha agung, Allah maha Agung. Tidak ada tuhan melainkan Allah”
- Shalat Jum’at
Shalat jum’at ialah shalat yang dikerjakan secara
berjama’ah, tempatnya di Mesjid atau yang difungsikan sebagai mesjid, dimana salah seorang
bertindak sebagai makmum dan yang lainnya sebagai imam. Shalat jum’at didahului
oleh khutbah jum’at dan merupakan pengganti dari shalat Dzuhur.
Dalam buku HPT, Tarjih tidak menjelaskan lebih lanjtu
mengenai tata cara penyelenggaraan shalat jum’at. demikian pula mengenai
perbedaan pendapat di sekitar shalat jum’at, seperti mengenai kewajiban wanita,
berapa kali adzan, bagaimana jika seseorang berpergian, bagaimana orang karena
sesuatu hal berhalangan mengerjakan shalat jum’at di mesjid, apakah yang harus
dilakukan shalat dzuhur atau shalat jum’at (dua raka’at) tanpa khutbah dan
jama’ah.
Sementara itu mengenai shalat jama’ah, perbedaan banyak
terjadi dalam hal kewajiban makmum membaca fatihah dalam shalat jahar dan
kewajiban imam membaca basmalah dengan jahar.
Bagimana tuntunan Tarjih selanjutnya mengenai hal diatas
sebagai hasil penyelidikan, akan kita lihat dalam bahasan berikut;
- Perintah shalat Jum’at
Menurut Tarjih, perintah pelaksanaan shalat jum’at dapat
diliaht dari sumbernya, yaitu al-Qur’an surat Jumu’ah ayat 9 dan hadits Ibnu
Mas’ud sebagaimana dikutip dalam HPT.
Surat Jum’ah ayat 9;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk
menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat
Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika
kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
Hadits Ibnu Mas’ud;
عَلَيْهِ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ َمَْسعُوْدٍ ابْنِ عَنِ اَحْمَدُوَمُسْلِمٌ رَوَى
الْجُمُعَةِ عَنِ
يَتَخَلَّفُوْنَ عَلَىرِجَالٍ أَحْرِقَ ثُمَّ آَمُرَرَجُلاًيُصَلِّىبِالنَّاسِ أَنْ لَقَدْهَمَّتْ : وَالسَلَّمَ
بُيُوْتَهُمْ
Artinya: “Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Ibnu Mas’ud
ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Mau aku rasanya memerintahkan orang
menjadi imam bersama-sama dengan orang banyak: kemudian membakar rumah rumah
mereka yang tidak mendatangi shalat jum’at””.
- Raka’at jum’at
Dalam hal beberapa orang yang berhalangan mengerjakan
jama’ah jum’at orang berbeda pendapat. Tarjih dalam HPT sendiri belum membahas
masalah tersebut.
Tidak demikian halnya dengan bilangan raka’at jum’at,
Tarjih juga sebagaiman pendapat umum menyatakan mengenai bilangan raka’at
jum’at, “Apabila tiba hari jum’at, dirikanlah shalat jum’at dua raka’at dengan
berjama’ah”. Dasarnya ialah hadits Tariq bin Syihab dan hadits Umar berikut;
:قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ عَنِ شِهَابٍ بْنِ طَارِقِ
دَاوُدَعَنْ أَبِى لِحَدِيْث (۳۰)
اَوْصَبِىٌّ ، اَوِامْرَأَةٌ ، مَمْلُوْكٌ عَبْدٌ :إِلاَّأرْبَعَةً فِىجَمَاعَةٍ مُسْلِمٍ عَلَىكُلِّى وَاجِبٌ
حَقٌّ الْجُمُعَةُ
اَوْمَرِيْضٌ ،
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud dari Tariq bin Syihab dari
Nabi saw. bersabda: “Shalat Jum’at itu adalah suatu hak yang wajib ditunaikan
setiap orang Islam dengan berjama’ah. Kecuali empat gologan orang yakni: hamba
sahaya, orang perempuan, anak kecil dan orang sakit””.
Hadits Umar;
السَّفَرِرَكْعَتَانِ صَلاَةُ :قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ مَاجَهْ وَابْنِ وَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَ ولِحَدِيْثِ
غَيْر مِنْ
تَمَامٌ رَكْعَتَانِ الْجُمُعَةِ وَصَلاَةُ الْفِطْرِرَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ رَكْعَتَانِ الضُّحَى وَصَلاَةُ
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ مُحَمَّدٍ عَلَىلِسَانٍ قَصْرٍ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah dari
Ibnu Umar ra. berkata: “Shalat safar itu dua raka’at, shalat hari raya Adha dua
raka’at, shlaat hari raya fitri dua raka’at , shalat jum’at pun dua raka’at
demikian itu shalat yang sempurna, bukan karena qashar menurut ajaran Nabi
Muhammad saw.””.
- Cara Khutbah
Tarjih dalam HPT menyatakan: “Sebelum shalat hendaklah
Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan duduk diantara kedua khutbah itu.
Di dalam khutbah Imam supaya membaca ayat Qur’an dan memberikan
peringatan-peringatan kepada oran banyak”. Tuntunan demikian didasarkan pada
hadits Sumarah ra., Ibnu Umar dan hadits Abu Hurairah.
Hadits Sumarah ra.
كاَنَ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ سَمُرَةَ بْنِ جَابِرِ
وَالتِّرْمِذِىًّعَنْ
إِلاَالْبُخَارِىَّ
الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
آَيَاتٍ وَيَقْرَأُ الْخُطْبَتَيْنِ بَيْنَ
قَائِمًاوَيَجْلِسُ
يَخْطُبُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ
وَيُذَكِّرُالنَّاسُ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi
dari Jabi bin Samurah ra. yang berkata: “Adalah Rasulullah saw. berkhutbah
sambil berdiri dan duduk diantara dua khutbah, dan membaca beberapa ayat Qur’an
dan memberi peringatan kepada orang banyak””.
Hadits Ibnu Umar
ra.;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىُّ كاَنَ :قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ
وَلِحَدِيْثٍ
الْيَوْمَ يَفْعَلُوْنَ كَمَا
يَقُوْمُ ثُمَّ يَجْلِسُ قَائِمً الْجُمُعَةِ يَوْمَ
يَخْطُبُ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Jama’ah dari Ibnu Umar ra. yang
berkata: “Adalah Nabi saw. berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri kemudian
beliau duduk dan lalu berdiri lagi sebagaimana dijalankan oleh oragn-orang
sekarang””.
Hadits dari Abu
Hurairah;
مَنِ :قَالَ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىِّ عَنِ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ مُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
خُطْبَطِهِ مِنْ
الاِمَامُ حَتَّىيَفْرُغَ أَنْصَتَ ثُمَّ قُدِّرَلَهُ فَصَلَّىمَا أتَىالْجُمَعَةَ ثُمَّ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
اغْتَسَلَ
أَيَّامٍ ثَلاَثَةِ وَفَضْلُ الاُخْرَى الْجُمُعَةِ وَبَيْنَ مَابَيْنَهُ غُفِرَلَهُ يُصَلِّىمَعَهُ ثُمَّ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra.
dari Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, kemudian pergi
untuk mendatangi shalat jum’at, lalu shalat sunnah sekadar kemampuannya,
kemudian tenang mendengarkan khutbah, sehingga imam selesai dari khutbahnya,
lalu shalat (sunnah) sekedar kemampuannya, kemudian tenang mendengarkan
khutbah, sehingga Imam selesai dari khutbahnya, lalu shalat jum’at bersama-sama
dengan imam, niscaya diampunilah dosa-dosanya diantara hari itu sampai hari
jum’at berikutnya ditambah tiga hari””.
- Bersegera ke Mesjid
Tarjih dalam HPT menyatakan: “Dan berangkatlah ke masjid
pagi-pagi”. Tuntunan demikian didasarkan pada alasan yang bersumber dari Abu
Hurairah berikut;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلَ أَنَّ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ مَاجَهْ
اِلاَّابْنَ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
رَاحَ وَمَنْ
بَدَنَةً قَرَّبَ فَكَأَنَّ رَاحَ ثُمَّ
الْجَنَبَةِ غُسْلَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ اغْتَسَلَ مَنِ:قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
، كَبْسًاأَقْرَانَ قَرَّبَ فَكَأَنَّ الثَّلِثَةِ فِىالسَّعَةِ رَاحَ
وَمَنْ ، بَقَرَةً قَرَّبَ
فَكَاَنَّ الثَّانِيَةِ فِىالسَّاعَةِ
فِىالسَّاعَةِ رَاحَ
، دَجَاجَةٍ قَرَّبَ
فَكَاَنَّ الرَّابِعَةِ فِىالسَّاعَةِ رَاحَ وَمَنْ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Ibnu Majjah dari Abu
hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari
jum’at seperti mandi janabat, kemudian berangkat ke tempat shalat jum’at,
mendapat pahala seolah-olah dia itu berqurban dengan seekor unta; dan
barangsiapa berangkat pada waktu yang kedau seakan-akan dia berqurban seekor
lembu; dan barangsiapa berangkat dalam waktu yang ketiga, seakan-akan dia
berqurban seekor domba yang bertanduk; dan barangsiapa yang berangkat pada
waktu yang keempat, seolah-olah dia berqurban seekor ayam betina; sedang bila
ia datang pada waktu yang kelima, seakan-akan berqurban dengan telor. Dan jika
Imam telah berangkat dan hadir, maka para Malaikat hadir pula untuk
mendengarkan khutbahnya””.
- Persiapan Jum’at, Shalat Sunnat dan Mendengarkan Khutbah
Mengenai perintah mandi sebelum pergi ke mesjid untuk
shalat jum’at dan shalat sunnah sebelum shalat jum’at dilaksanakan, serta
keharusan mendengarkan khutbah, Tarjih dalam HPT menyatakan; “Dan sebelum
berangkat, mandilah lebih dulu mengenakan pakaianmu yang terbaik dan kenakanlah
(usaplah) wangi-wangian apabila ada padamu, kemudian berangkatlah ke mesjid
dengan tenang. Setelah tiba di masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu
seseorang; kemudian apabila imam berkhutbah dengarkanlah dengan penuh
perhatian”.
Dasar dari tuntunan diatas ialah hadits Abu Ayyub ra.
berikut;
:يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىَّ سَمِعْتُ : قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ آَبِىاَيُّوْبَ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
خَرَجَ ثُمَّ
ثِيَابِهِ أَحْسَنِ مِنْ وَلَبِسَ عِنْدَهُ كاَنَ اِنْ
طَيْبٍ مِنْ وَمَسَّ الْجُمُعَةِ يَوْمَ اغْتَسَلَ مَنِ
إِمَامُهُ إِذَاخَرَجَ أَنْصَتَ يُؤْذِأَحَدًاثُمَّ وَلَمْ
بَدَالَهُ إِنْ فَيَرْكَعَ يَأْتِىَالْمَسْجِدَ حَتَّى السَّكِيْنَةُ وَعَلَيْهِ
الاُخْرَى الْجُمُعَةِ لِمَابَيْنَهَاوَبَيْنَ كَفَّارَةً حَتَّىيُصَلِّىكاَنَتْ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Ayyub
ra.yang berkata bahwa aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mandi pada
hari jum’at dan mengenakan wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaian yang
terbaik, kemudian keluar dengan tenang sehingga sampai ke masjid, lalu shalat
seberapa menurut kehendaknya dan tidak mengganggu seseorang, kemudian berdiam
diri sambil memperhatikan kepada khutbah Imam sejak ia datang hingga berdiri
shalat maka adalah perbuatannya yang sedemikian itu menjadi pembebas dosanya
selama antara jum’at hari itu dengan hari jum’at berikutnya””.
- Datang Ketika Khutbah
Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika
seseorang datang ke mesjid untuk shalat jum’at pada saat Khatib sedang menyampaikan khutbah , Tarjih dalam
HPT menyatakan; “Apabila kamu masuk mesjid pada waktu Imam sedang berkhutbah,
maka kerjakanlah shalat dua raka’at yang ringan (cepat)”.
Landasan dalil yang dipergunakan untuk menetapkan
tuntunan diatas adalah hadits dari Jabir, hadits riwayat Muslim-Ahmad-Abu
Dawud, dan hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Hadits dari Jabir ra.;
رَسُّوْلُ وَ
الْجُمُعَةِ يَوْمَ رَجُلٌ دَخَلَ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ عَنْ
الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
رَكْعَتَيْنِ فَصَلِّى قُمْ :قَالَ . لاَ :قَالَ ؟ أَصَلَيْتَ : فَقَالَ يَحْطُبُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Jama’ah dari Jabi ra. yang beekata
pada suatu hari Jum’ah ada seorang masuk masjid waktu Rasulullah saw. sedang
berkhutbah, lalu Rasulullah saw. bertanya: “Sudahkah kamu shalat?” orang itu
menjawab: “Belum!” kemudian Rasulullah saw. menyuruh: “Shalatlah dua
raka’at!””.
Hadits riwayat
Muslim, Ahmad dan Abu Daeud;
فِيْهِمَا وَلْيَتَجَوَّزْ رَكْعَتَيْنِ فَلْيَرْكَعْ يَخْطُبُ وَالاِمَامُ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
أَحَدُكُمْ إِذَاجَاءَ :وَفِىرِوَايَةٍ
(وَأَحْمَدُ وَاَبُوْ وَاَحْمَدُ مُسْلِمٌ رَوَاهُ).
Artinya: “Dalam riwayat lain, sabda Nabi saw.: “Apabila pada hari
jum’at, salah seorang dari kamu datang pada waktu imam sedang berkhutbah,
hendaklah ia shalat dua raka’at dengan agak dipercepat””. (Diriwayatkan
oleh Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).
Hadits riwayat
Bukhari dan Muslim;
(عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ) رَكْعَتَيْنِ فَلْيُصَلِّى الاِمَامُ وَقَدْجَرَجَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
أَحَدُكُمْ إِذَاجَاءَ : وَفِىرِوَايَةٍ
Artinya: Dan ada riwayat lagim bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Apabila pada hari Jum’ah salah seorang daripada kamu datang, sedang Imam telah
hadir, hendaklah shalat dua raka’at”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
- Adzan Jum’at
Kapan adzan jum’at dimulai, biasanya berbeda denga adzan
dzuhur yang segera dimulai ketika waktu dzuhur telah masuk. Demikian pula
halnya tuntunan Tarjih yang menyatakan; “Apabila Imam telah duduk diatas
mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila imam telah turun dari
mimbar, maka berqamatlah!”
Dasar tuntunan diatas ialah hadits dari Syaib bin Yazid
berikut ini;
النِّدَاءُ كاَنَ : قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ يَزِيْدَ بْنِ السَّائِبِ عَنْ وَأَبِىدَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيِْ
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلِ عَلَىالْمِنْبَرِعَلَىعَهْدِ الاِمَامُ إِذَجَلَسَ اَوَّلُهُ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
لِلنَّبِيِّ يَكُنْ
وَلَمْ عَلَىالزَّوْرَاءِ زَادَالنِّدَاءَالثَّالِثَ
وَكَثُرَالنَّاسُ
عُثْمَانَ فَلَمَّاكاَنَ وَأَبِىبَكْرٍوَعُمَرَ
وَاحِدٍ مُؤَذِّنٍ غَيْرُ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ
Artinya: “Karena hadits riwayat Bukhari, Nasai dan Abu Dawud dari
Said bin Yazid ra. yang berkata: “Adapun seruan pada hari jum’at itu pertama
(adzan) tatkala imam duduk diatas mimbar, hal sedemikian itu berlaku pada masa
Rasulullah saw. pada masa Khalifah Abu Bakar ra.pada masa khalifah Umar ra.
setelah tiba masa Khalifah Utsman ra. dan orang semakin banyak. Maka beliau
menambah adzan ketiga diatas Zaura (nama tempat di pasar); yang mana pada masa
Nabi saw. hanya ada seorang muadzdzin””.
Mengenai bilangan adzan diatas, selanjutnya Tarjih sebagaimana
catatan penjelasan dalam HPT menyatakan; “Dikatakan seruan ketiga, karena adzan
dan iqamat diistilahkan dua seruan (adzan) ketiga ini dilakukan sebelum Imam
naik mimbar. Kita dari Muhammadiyah mengikuti apa yang telah berlaku pada masa
Rasulullah saw.”
- Urutan Khutbah
Penyelenggaraan khutbah menurut Tarjih dalam HPT selalu
dikaitkan dengan imam, sementara dalam praktek di masyarakat seringkali khatib
belum tentu bertindak sebagai imam. Adapun apa yang dibaca dalam khutbah ialah;
tahmid, tasyahud dan shalat kepada Nabi Muhammad saw. serta wasiyat taqwa.
Setelah itu kemudian diakhiri dengan membaca do’a.
Mengenai masalah tata urutan khutbah demikian pula
sebagaimana dapat diliaht dari penjelasan Tarjih yang menyatakan: “Imam
hendaklah memulai khutbahnya dengan ucapan: tahmid, tasyahud dan shalawat
kepada Nabi saw., lalu berwasiyat dengan taqwa dan berdo’a”.
Tuntunan diatas didasarkan pada Tarjih atas dua buah
hadits Abu Hurairah, hadits Jabir, dan hadits Hushain bin Abdurrahman berikut;
Hadits Abu Hurairah (1);
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىِّ عَنِ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَأَحْمَدَ أَبِىدَاوُدَ وِلِحَدِيْثِ
أَجْذَمُ فَهُوَ
بِالْحَمْدُلِلَّهِ
لاَيُبْْدَاُفِيْهِ
كَلاَمٍ كُلُّ : قَالَ
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىِّ خُطْبَةُ كاَنَتْ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ عَنْ
مُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
الْحَدِيْثَ . عَلَيْهِ وَيُثَنِّى يَحْمَدُاللَّهَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad dari Abu
Hurairah dari Nabi Muhammad saw. beliau bersabda: “semua pembicaraan yang tidak
dimulai dengan bacaan Alhamdulillah itu
terpotong”. Juga karena hadits riwayat Muslim dari Jabir ra. yang berkata:
“Adalah Khutbah Nabi saw. pada hari jum’ah, beliau mulai dengan alhamdulillah
dan memuji kepada Allah . . .”seterusnya hadits”.
Hadits Abu Hurairah
(2);
الَّتِىلَيْسَ الْخُطْبَةِ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَأَبِىدَاوُدَوَالتِّرْمِذِىِّ أَحْمَدَ وَلِحَدِيْثِ
تَشَهُّدٌ :وَفِىرِوَايَةٍ .كاَلْيَدِالْجَذْمَءِ فِيْهَاشَهَادَةٌ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmudzi
dari Abu Hurairah ra. berkata: “Khutbah yang tidak disertai dengan syahadah itu
seperti terpotong”. Dalam riwayat lain disebut: “Diserta persyahadatan””.
Khusus mengenai
ketentuan membaca shalawat Nabi, Tarjih mendasarkan apda kesepakakatan ulama.
Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Tarjih dalam HPT; “Dan sudah menjadi
kesepakatan ulama Salaf dan Khalaf bahwa dalam khutbah-khutbah meereka selalu
disertai shalawat kepada Nabi saw.”
Hadits Jabir;
يُوَاظِبُ كانَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ أَنَّهُ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ عَنْ
مُسْلِمٍ لِحَدِيْث
فِىخُطْبَتِهِ بِالتَّقْوَى عَلَىالْوَصِيَّةِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Muslim dari Jabir ra. bahwa
Rasulullah saw. selalu mewasiyatkan taqwa kepada Allah dalam khutbahnya”.
Hadits Hishain bin
Abdurahman;
إِلَى كُنْتُ:قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عَبْدِالرَّحْمَانِ بْنِ حُصَيْنِ عَنْ
أَحْمَدُوَاتِّرْمِذِىِّ
وَلِحَدِيْثِ
اللَّهُ يَعْنِىقَبَّحَ عِمَارَةُ فَقَالَ .يَدَيْهِ يَخْطُبُنَافَلَمَّادَعَارَفَعَ مَرْوَانَ وَبِشْرِبْنِ رُئَيْبَةَ عِمَارَةَابْن
، هَكَذَا
إِذَادَعَايَقُوْلُ
وَهُوَعَلَىالْمِنْبَارِ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ رَأَيْتُ الْيَدَيْنِ هَاتَيْنِ
وَحْدَهَا السَّبَابَةَ فَرَفَعَ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Hushain
bin Abdurahman ra.: “Adalah aku di samping Imarah bin Ruaiban dan pada waktu
itu Basyir bin Marwan berkhutbah kepada kita. ketika ia mendo’a mengangkat
kedua belah tangannya. Maka Imarah berkata yakni: “Semoga Allah mencatat kedua
belah tagnan itu, Aku melihat Rasulullah saw. ketika beliau berkhutbah di atas
mimbar, ketika beliau berdo’a berbuat begini, lalu Imarah mengangkat
telinjuknya saja””.
- Lama Khutbah dan Shalat
Dalam prakteknya, lama khutbah seringkali lebih panjang
daripada lama shalat. Mengenai masalah ini Tarjih menyatakan: “Dan
singkatkanlah khutbah serta agak panjangkanlah shalat”. Dasarnya ialah hadits
Ammar bin Yasir dan hadits riwayat Jama’ah sebagaimana kutipan di bawah ini.
Hadits Ammar bin Yasir;
اللَّهِ رَسُّوْلَ سَمِعْتُ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ يَاسِرٍ عَمَّارِبْنِ عَنْ
أَحْمَدُوَمُسْلِمٌ
روَاهَ وَلِحَدِيثِ
فِقْهِهِ مِنْ
مَئِنَّةٌ وَقِصَرَخُطْبَتِهِ الرَّجُلِ صَلاَةِ طُوْلَ إِنَّ :يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
وَاقْسُرُوْاللخُطْبَةَ فَاَطِيْلُوْاالصَّلاَةَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Muslim dari Ammar bin
Yasir ra. yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bahwa lamanya
shalat seseorang dan pendek khutbahnya itu ciri kebijaksanaannya. Oleh
karenanya lamakanlah shalat dan pendekanlah khutbah””.
Hadits riwayat
Jama’ah kecuali Bukhari;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلِ صَلاَةُ كاَنَتْ :قَالَ إِلاَّالْبُخَارِىُّوَأَبَادَاوُدَ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
قَصْدً وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan Abu
Dawud yang berkata: “Adalah Shalat Rasulullah saw. itu sedang panjangnya dan
dan khutbahnya pun sedang pula””.
- Bacaan Shalat Jum’at
Tarjih dalam HPT menyatakan: “Dalam shalat jama’ah
hendaknya Imam membaca surat “Sabbihis mā rabbikal a’lā”, sesudah Fatihah pada
raka’at pertama dan pada raka’at kedua hendaklah membaca “Hal atāka haditsul
ghāsiyyah””.
Dasarnya ialah hadits dari Nu’man bin Basyir berikut;
:
قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ بَشِيْرٍ بْنِ النُّعْمَانِ عَنِ
مَاجَهْ وَابْنَ إِلاَّالْبُخَارِيَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
الأَعْلَىوَهَلْ رَبِّكَ
اسْمَ سَبِّحِ وَفِىالْجُمُعَةِ العِيْدَيْنِ يَقْرَأُفِى عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىُّ كاَنَ
فِىالصَّلاَتَيْنِ وَاحِدٍيَقْرَأُبِهِمَا فِىيَوْمٍ الْعِيْدُوَالْجُمُعَةُ وَإِذَاجْتَمَعَ :قَالَ . الْغَاشِيَةِ حَدِيْثٌ أَتَكَ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu
Majah dari Nu’man bin Basyir ra. berkata: “Adalah Nabi saw. di dalam shalat dua
Id dan Jum’ah membaca surat “Sabbihis mā rabbikal a’lā” dan surat “Hal atāka
haditsul ghāsiyyah” . dan kalau bertepatan shalat Id dan Jum’at pada suatu
hari, maka Rasul pun membaca surat tersebut dalam kedua macam shalat tersebut”.
- Shalat Jum’at sesudah Jum’at
Dalam buku HPT dapat dilihat tuntunan mengerjakan shalat
sunnat sesudah jum’at. Tarjih meisalnya menyatakan: “Dan kerjakanlah empat atau
dua raka’at sesudahnya”.
Tuntunan mengenai shalat sunnat sesudah jum’at tersebut
ialah hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar.
Hadits Abu Hurairah;
صَلَّىاللَّهُ النَبِىَّ أَنَّ
عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ اِلاَّالْبُخَارِىَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثَ
رَكَعَاتٍ اَرْبَعَ بَعْدَهَا فَلْيُصَلِّ الْجُمُعَةَ إِذَاصَلَّىاَحَدُكُمُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari, dari Abu
hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu telah
selesai mengerjakan shalat jum’at maka hendaklah shalat (sunnat) empat raka’at
sesudahnya””.
Hadits Ibnu Umar;
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىَّ عَنْهُمَاعَنَّ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ
عَنِ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
فِىبَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّىبَعْدَالْجُمْعَةِ كاَنَ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat jama’ah dari Umar ra. bahwa
Nabi saw. sehabis Jum’at lalu shalat (sunnat) dua raka’at di rumahnya”.
- Wanita Shalat Jum’at
Mengenai wanita melakukan shalat Jum’at diperselisihkan
ulama, ada yang mewajibkan bagi wanita untuk melakukan shalat jum’at itu,
berdasarkan keumuman perintah Allah dalam shalat jum’at untuk kaum mukminin
pria dan wanita. Sedangkan hadits-hadits riwayat yang mengecualikan tidak wajib
bagi wanita, hamba, anak kecil dan orang yang sakit diriwayatkan oleh Abu Dawud
dari Thariq bin Syihab dianggap dlaif.
Qarar Muktamar Tarjih menerima Hadits tersebut sebagai
dasar istidlal sehingga di kalangan Muhammadiyah, wanita tidak wajib melakukan
shalat Jum’at.
Adapun jawaban Tim SM no. 13 tahun 1987 membolehkan
wanita melakukan shalat Jum’at kalau tidak membawa dampak negatif, bahkan
membawa dampak positif. jawaban iut mendapat tanggapan. Selain masalah itu baik
diangkat dalam Muktamar nanti, kami berikan juga alasan kami membolehkan dengan
alasan yang telah kami kemukakan, yakni dengan mengemukakan penapat jumhur.
Barangkali dapat juga ditambahkan di sini riwayat hadits
mauquf sebagai qarinah, (sekali lagi qarinah bukan dalil) bahwa pada masa
sahabat rupanya wanita diperkenankan melakukan shalat Jum’at dan bagi yang
tidak melakukan shalat jum’at melakukan shalat Duhur, seperti yang diriwayatkan
oleh Abdullah bin Ma’dan dari neneknya, ia mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah
bertanya kepadanya (nenek Ibn Mas’ud), yang artinya: Apabila engkau mau
melakukan shalat jum’at bersama Imam, maka lakukanlah bersamanya, dan kalau
engkau mau shalat di rumah, maka shalatlah empat raka’at.
Riwayat ini ditakhrijkan oleh Ibnu Syaibah dengan isnad
yang shahih. Hadits mauquf ini dapat ditopang dengan riwayat al-Hasan yang
dapat dihukumkan marfu’, yang artinya (salah satu riwayat dari al-Hasan) ia
berkata: “Dahulu para wanita bershalat Jum’at bersama Nabi dan dikatakan oleh
Nabi bahwa janganlah pergi ke Masjid kecuali wanita-wanita yang tidak membawa
bau yang wangi. Sanad riwayat ini sahih dan dalam satu riwayat yang lain dari
jalan Asy’ats dari al-Hasan, ia berkata: ‘Dahulu wanita Muhajirin, melakukan
shalat Jum’at bersama Nabi, kemudian mereka mencukupkan dengan shalat Dzuhur.
Demikian hasil penelitian al-Albaniy dalam risalahnya al-Ajwibah an-Mafi’ah
halaman 40-41.’”
Mengenai hadits yang mengecualikan 4 orang yang tidak
wajib shalat Jum’at yakni riwayat Abu Dawud dari Thariq bin Ziyad yang oleh
Muktamar Tarjih diterima sebagai hujjah padahal ada yang menganggap dhaif,
dapat disampaikan bahwa menurut an-Nawawy, hadits tersebut sanadnya shahih
berdasar syarah Bukhari dan Muslim.
Sekali lagi masih adanya perbedaan pendapat ini, tidak
menutup untuk ditinjau dalam Muktamar, tetapi keputusan Muktamar yang telah ada
tetap berlaku kalau tidak ada perubahan untuk itu (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, 2003a: 62-63).
- Shalat Jum’at dengan Anak-anak
Dalam hadits disebutkan bahwa anak-anak dibebaskan dari
melakukan kewajiban syar’I (termasuk shalat), sebagaimana diriwayatkan oleh
Ahmad.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّىيَعْقِلَ (رواه أحمد عن عائشة)
Artinya: “Diangkat kalam (tidak dicatat perbuatan seseorang untuk
dinilai) dari tiag golongan, yaitu dari seseorang yang sedang tidur, dari
anak-anak sampai ia dewasa dan dari orang gila sampai ia sembuh.” (HR.Ahmad
dari Aisyah)
Dalam hadits itu
disebutkan bahwa anak-anak tidak terkena kewajiban melakukan sesuatu ibadah.
Tetapi berdasarkan riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Umar bin Syu’aib anak yang
telah mumayyiz agar didorong untuk melakukan shalat.
مُرُوْاصِبْيَانَكُمْ
بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْ
ا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ(رواه أحمد وأبوداود
عن عمر بن شعيب عن أبيه عن جدّه)
Artinya: “Suruhlah anakmu mengerjakan shalat apabila telah berumur
tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila meninggalkan) jika telah berumur 10
tahundan pisah-pisahkanlah di antara mereka tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad
dan Abu Dawud dari Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya).
Hadits riwayat
Ahmad dan Abu Dawud dari Umar bin Syu’aib menunjukkan adanya perintah untuk
menyuruh anak-anak melakukan shalat. Hal demikian bukan berarti menunjukkan,
bahwa melakukan shalat bagi anak itu wajib, tetapi menunjukkan bahwa anak-anak
yang melakukan shalat itu sekalipun pada hadits pertama tidak termasuk yang
diwajibkan, tetapi termasuk perbuatan yang dapat atau boleh dilakukan dan
dinilai sebagai perbuatan yang baik yang dapat diamalkan. Dalam pengertianahli
ushul fiqh termasuk kualifikasi perbuatan yang dilakukan oleh anak mumayyiz
yang telah mempunyai ahliyyatul adā naqishah, yang perbuatan baiknya
dapat dinilai sebagai amal perbuatan yang dapat diterima, sedang kalau tidak
melakukan tidak dicatat sebagai perbuatan yang buruk.
Karenanya dalam
pendidikan, bukan saja dibolehkan bahkan dianjurkan agar anak-anak yang telah mumayyiz
dibiasakan melakukan perbuatan yang baik, karena perbuatan yang baik itu akan
diterima pula sebagai amal perbuatannya.
Mengenai shalat
orang-orang yang bersamanya, baik ibadah jum’at maupun shalat jama’ahnya apakah
dapat dipandang sah karena dilakukan bersama-sama dengan anak-anak yang belum
dewasa yang belum mendapat taklif sendiri, jawabnya adalah “sah” juga.
Kedudukan anak-anak mumayyiz tadi dianggap juga sebagi anak dewaasa dari satu
segi, disebut mempunyai ahliyyatul adā naqishah, yang artinya telah
mempunyai kemampuan untuk melakukan kewajiban dan diterima. Hanya saja belum
kamilah atau sempurna, yang istilahnya naqishah atau dapat kita sebut dengan
min atau minus (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 63-64).
- Shalat Dzuhur Gantinya Shalat Jum’at
Dalam permasalahan ini, kalau ada orang yang berhalangan
melakukan shalat jum’at dikembalikan hukum asal, karena sebelum diwajibkan
shalat jum’at, shalat Dzuhurlah yang diwajibkan.
Berdasarkan ayat 78 surat al-Isra setiap tergelincir
matahari kita diwajibkan untuk melakukan shalat:
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai
gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu
disaksikan (oleh malaikat).”
Perincian waktu
tentang shalat ini ditentukan antara lain dalam hadits riwayat Ahmad, an-Nasaiy
dan at-Tirmidzi dari Jabir.
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ
جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الْعَصْرَ
حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْئٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ
فَصَلِّهِ ، فَصَلَّىالْمَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءُ
فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الْعِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ جَاءَهُ
الْفَجْرُ فَقَالَ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الْفَجْرَ حِيْنَ بَرَقَ الْفَجْرُ
اَوْقَالَ سَطَعَ الْفَجْرُ ثُمَّ جَاءَهُ مِنَ الْغَدِ لِلظُّهْرِ فَقَالَ : قُمْ
فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الظُّهْرَحِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْئٍ مِثْلَيْهِ ، ثُمَّ
جَاءَهُ الْمَغْرِبُ وَقْتًا وَاحِدًالَمْ يَزَلْ عَنْهُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءُ
حِيْنَ ذَهَبَ نِصْفُ اللَّيْلِ اَوْقَالَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ
جَاءَ حِيْنَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّىالْفَجْرَ ثُمَّ
قَالَ : مَابَيْنَ هَدَيْنِ الْوَقْتَيْنِ وَقْتٌ . (رواه احمد والنسائىّ والتّرمذىّ )
Artinya: “Jabir Ibn Abdullah ra. menerangkan: ‘Bahwasanya Nabi saw.
didatangi Jibril di waktu Dzuhur, lalu berkata kepada Nabi: ‘Wahai Muhammad’
bangunlah bersembahyang. Maka Nabi pun mengerjakan shalat Dzuhurdi ketika telah
tergelincir matahari. Kemudian Jibril datang pula kepada Nabi di kala Ashar,
lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad bangunlah bersembahyang” Maka Nabi pun
shalat Ashar di ketika telah menjadi bayangan sesuatu sama panjang dengannya.
Sesudah itu Jibril datang lagi di waktu Maghrib lalu berkata kepada Nabi: Wahai
Muhammad bangunlah bersembahyang” Maka Nabi pun mengerjakan shalat Maghrib, di
ketika telah terbenam matahari. Kemudian datang lagi Jibril di ketika Isya,
lalu berkata “”Wahai Muhammad, bangunlah bersembahyang” maka Nabi pun shalat di
ketika telah hilang syafak yang merah. Kemudian Jibril datangdi waktu subuh
lalu berkata kepada Nabi: “Wahai Muhammad, bangunlah bersembahyang”. Maka Nabi
pun mengerjakan shalat Subuh di kala telah bersinar fajar. Pada hari
keesokannya datang lagi Jibril pada waktu Dzuhur lalu berkata kepada Muhammad:
“Bangun bersembahyanglah, wahai Muhammad”. Maka Nabi pun bangun shalat Dzuhur
di ketika telah jadi bayangan suatu sepertinya. Di waktu Ashar Jibril datang
pula pada waktu itu lalu berkata: “Ya Muhammad, bangunlah bersembahyang . maka
Nabipun shalat Ashardi ketika bayangan sesuatu telah dua kali sepanjangnya. Di
waktu Maghrib datang juga Jibril lalu menyuruh Nabi bersembahyang. Maka Nabi
pun shalat di waktu matahari telahterbenam. Kemudian datang lagi Jibril untuk
Isya lalu menyuruh Nabi bersembahyang. Maka Nabpi pun shalat di ketika telah
lewat sedikit separo malam (di ketika telah lewat sepertiga malam).
Kemudian datang lagi . . .”
- Khutbah seimbang dengan Shalat Jum’at
- Shalat Jama’ah
Shalat jama’ah adalah shalat yang dikerjakan secara
bersama-sama denga aturan tertentu dimana satu orang bertindak sebagai imam dan
lainnya ma’mum.
1.
Perintah
Jama’ah
Sumber dalil yang dijadikan landasan Tarjih akan adanya perintah
mengerjakan shalat secara berjama’ah adalah surat al-Baqarah ayat 43, surat
an-Nisa 102, hadits-hadits; Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Hadits Abu Darda
sebagaimana dikutip dalam HPT.
Surat al-Baqarah ayat 43;
Artinya: “Dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS.
Al-Baqarah: 43)
Surat An-Nisa: 102;
Artinya: “Dan
apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka
berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka
(yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah
mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang
golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka
denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.
Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta
bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu
meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan
atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah
menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. An-Nisa:
102)
Hadits Ibnu Umar;
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلَ عَنْهُمَاأَنََّ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْبُخَارِىُّ رَوَى
دَرَجَةً وَعِشْرِيْنَ الْفَذِّبِسَبْعٍ صَلاَةَ
تَفْضُلُ الْجَمَاعَةَ صَلاَةُ
Artinya: “Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Umar ra. bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Shalat jama’ah itu melebihi keutamaan shalat
sendirian, denga dua puluh derajat””.
Hadits Abu
Hurairah;
إِنَّ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ قَالَ : عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ السِّتَّةُ أَخْرَجَ
مَافِيْهِمَالَأَتَوْهُمَاوَلَوْحَبْوًا وَلَوْيَعْلَمُوْنَ الْفَجْرِ الْعِشَاءِوَصَلاَةُ صَلاَةُ
عَلَىالْمُنَافِقِيْنَ
صَلاَةٍ أَثْقَلَ
ممَعَهُمْ مَعِىبِرِجَالٍ أَنْطَلِقَ ثُمَّ
فَيُصَلِّىَبِالنَّاسِ
أُمَرَرَجُلاً ثُمَّ فَتُقَامَ آَمُرَبِالصَّلاَةِ وَلَقَدْهَمَمْتُ ،
بُيُوْتَهُمْ عَلَيْهِمْ فَأُحَرِّقَ الصَّلاَةَ لاَيَشْهَدُوْنَ إِلَىقَوْمٍ خَطَبٍ
مِنْ خُزَمٌ
Artinya: “Enam ahli hadits (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasai,
Tirmidzi dan Ibnu Majah) meriwayatknan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah
saw. bersabda: “Shalat yang terberat bagi orang-orang munafiq ialah shalat Isya
dan shalat fajar, padahal apabila mereka mengerti akan keutamaan kedua shalat
tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Mau aku
rasanya menyuruh qamatuntuk shalat lalu aku menyuruh seorang menjadi imam
bersama-sama shalat dengan orang banyak. Kemudian aku pergi bersama-sama dengan
beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar untuk mendatangi mereka
yang tidak mau turun shalat, untuk membakar rumah-rumah mereka””.
Hadits Abu Darda;
: قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلَ أَنَّ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىالدَّرْدَاءِ أَحْمَدُعَنْ رَوَى
الشَّيْطَانُ عَلَيْهِمُ إِلاَّاسْتَحْوَذَ الصَّلاةُ فِيْهِمُ ولاَتُقَامُ لاَيُعَذِّنُوْنَ ثَلاَثَةٍ مَامِنْ
Artinya: “Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Darda bagwa
Rasulullah saw. bersabda: “Tiap ada orang yang tidak mau adzan dan tidak mau
mengadakan shalat (jama’ah) tentulah ketiganya dikuasai syeitan””.
Selanjutnya Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan; “Berusahalah
kamu mengerjakan shalat-shalat fardhu berjama’ah di masjid, di mushala atau
lainnya. Dan jangan tergesa-gesa mendatangi shalat jamaah hingga selesai
keperluanmu. Dan apabila shalat telah diqamatkan, maka pergilah mendatangi
dengan tenang”.
Landasan dalilnya ialah dua buah hadits dari Abu Hurairah dan
hadits-hadits; Ummu Salamah, Abu Darda, Ibnu umar dan hadits dari Aisyah.
Hadits dari Abu Hurairah (1);
اللَّهِ رَسُّوْلَ أَتَى :قَالَ أَنَّهُ
عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ
وَالنَّسَائِىُّ مُسْلِمٌ أَخْرَجَهُ وَلِحَدِيْثٍ
اِلَى لِىقَائِدٌيَقُوْدُنِى لَيْسَ
إِنَّهُ ، اللَّهِ
رَسُّوْلَ يَا : أَعْمَافَقَالَ رَجُلٌ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ
فَلَمَّاوَلَّىدَعَاهُ .لَهُ فَرَخَّصَ ، لَهُ يُرَخِّصَ أَنْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلَ وَسَأَلَ الْمَسْجِد
فَاَجِبْ :قَالَ .نَعَمْ :قَالَ ؟
النِّدَاءَ تَسْمَعُ هَلْ :لَهُ فَقَالَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwaytkan oleh Muslimdan Nasai
dari Abu Hurairah ra. dia berkata: “Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi
saw. dengan berkata: “Hai Rasulullah saw., bahwa tidak ada kepadaku seorang
yang akan menuntun aku pergi ke Mesjid. Dia meminta kepada Rasulullah saw.
supaya diberi keringanan kepadanya, maka Rasulullah saw. memberi keringanan
kepadanya. Akan tetapi setelah orang tersebut pergi tiba-tiba Rasulullah saw.
memanggilnya seraya bertanya: Adakah kamu mendengar panggilan (adzan)? Oramg
itu menjawab: Ya! Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah panggilan itu!””.
Hadits Ummu
Salamah;
كاَنَ :عَنْهَاقَالَتْ رَضِىَاللَّهُ سَلَمَةَ أُمِّ وَالنَّسَائِىُّعَنْ الْبُخَارِىُّوَاَبُوْدَاوُدَ أَخْرَجَهُ وَلِحَدِيْثٍ
مَكْثَهُ أَنَّ –أَعْلَمْ وَللَّهُ- يَسِيْرًافَنَرَى فِىمَكاَنِهِ يَمْكُثُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ
الرِّجَالُ يُدْرِكَهُنَّ أَنْ
النِّسَاءُقَبْلَ
لِكَىيَنْصَرِفَ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Abu Dawud
dan Nasai dari Ummu Salamah berkata: “Adalah Rasulullah saw. apabila telah
salam, tdetap di tempatnya sebentar. Kami berpendapat hanya Allah yang
mengetahui bahwa Rasulullah saw. tetap di tempatnya itu agar para wanita pulang
terlebih dahulu, jangan sampai tersusul oleh orang lelaki”.
Dalam ketengan lain
mengenai hadits ini, Tarjih menjelaskan mengenai perlunya tempat khusus bagi jama’ah
wanita. Tarjih menyatakan “beberapa masalah” tentang shanya wakaf masjid yang
khusus bagi orang-orang perempuan , dan bahwa wakaf ini tidak dinamakan masjid
tetapi dinamakan mushala”.
Hadits Abu Darda;
:يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ سَمِعْتُ : قَالَ أَبِىالدَّرْدَاءِ أَبِىدَاوُدَعَنْ وَلِحَدِيْثِ
فَعَلَيْكَ الشَّيْطَانُ عَلَيهِمُ إِلاَّقَدِاسْتَحْوَذَا الصَّلاَةُ فِيْهِمُ وَلاَبَدْوٍلاَتُقَامُ فِىقَرْيَةٍ ثَلاَثَةٍ مَامِنْ
الْقَاصِيَةَ الدِّئْبُ فَاِنَّمَايَأْكُلُ بِالْجَمَاعَةِ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud daru
Darda berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tiga orang yang berdiam
di suatu desa atau hutan, yang tidak mendirikan shalat jama’ah bersama-sama,
maka niscayalah mereka telah dikuasai oleh syethan. Oleh karenanya hendaklah
kamu selalu berjama’ah sebab serigala hanya memakan kambing yang terpencil
(sendirian)””.
Hadits Ibnu Umar;
أَحَدُكُمْ إِذَاكاَنَ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىُّ قَالَ : قَالَ عُمَرَ
ابْنِ عَنِ الْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
الصَّلاَةُ أُقِيْمَةِ وَإِنْ
مِنْهُ حَتَّىيَقْضِىَحَاجَتَهُ
فَلاَيَجْعَلْ عَلَىالطَّعَامِ
Artinya: “Dan karena hadits
yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar berkata bahwa Nabi saw. bersabda:
“Apabila salah seorang dari kamu tengah makan, maka janganlah tergesa-gesa
hingga selesai makan meskipun shalat telah diqamatkan””.
Hadits Aisyah;
بِحَضْرَةِ لاَصَلاَةَ : يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ قَالَ
عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
الأَخْبَثَانِ وَلاَهُوَيُدَافِعُهُ طَعَامٍ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan
Abu Dawud dari Aisyah ra. yang berkata: “Aku mendengar Nabi saw. bersabda:
“Jangan shalat ketika dihidangkan makanan dan jangan shalat dengan menahan
hasrat berhadats””.
Hadits Abu Hurairah
(2);
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ عَنِ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثِ
فَمَاأَدْرَكْتُمْ وَلاَتُسْرِعُوْا وَالْوَقَارُ السَّكِيْنَةُ وَعَلَيْكُمُ فَامْشُوْاإِلَىالصَّلاَةِ الاِقَامَةَ إِذَاسَمِعْتُمْ : قَالَ
فَأَتِمُّوْا فَاَتَكُمْ فَصَلُّوْاوَمَا
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah (Bukhari,
Muslim, Ahmad, Dawud, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari Abu hurairah ra.
dari Nabi saw. bersabda: “Apabila kamu telah mendengar qamat, maka berjalanlah
mendatangi shalat. Jama’ah and hendaknya berjalan dengan tenang dan tenteram,
dan janganlah terburu-buru. Amka apabila kamu dapat menyusul, shalatlah
mengikuti Imam,sedang yang sudah tertinggal maka sempurnakanlah.””
2.
Imam
Shalat Jama’ah
Mengenai Imam dalam shalat jama’ah, Tarjih menyatakan; “Dan
hendaklah salah seorang dari kamu menjadi Imam”. Hal ini didasarkan hadits Abu
Sa’id, Abu Mas’ud, dan hadits Amr bin Maslamah.
Hadits Abu Sa’id;
:
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ أَبِىسَعِيْدٍ عَنْ
وَالنَّسَائِىِّ أَحْمَدَوَمُسْلِمٌ لِحَدِيْثِ
أَقْرَؤُهُمْ بِالاِمَامَةِ وَأَحَقُّهُمْ أَحَدُهُمْ فَلْيَؤُمَّهُمْ اِذَاكاَنُوْثَلاَثَةً
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad, Muslim dan Nasa’I dari Abu
Sa’is yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabla genap tiga orang
hendaklah salah seorang diantara mereka menjadi Imam. Dan yang lebih berhak
menjadi Imam adalah yang lebih ahli dalam membaca al-Qur’an””.
Hadits Abu Mas’ud;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ عَمْرٍىو بْنِ أَبِىمَسْعُوْدٍعُقْبَةَ عَنْ
اَحْمَدَوَمُسْلِمٍ
وَلِحَدِيْثِ
بِالسُّنَّةِ فَأَعْلَمُهُمْ سَوَاءً كاَنُوْافِىالْقِرَءَةِ فَاِنْ
اللَّهِ لِكِتَبِ أَقْرَؤُهُمْ الْقَوْمَ يَؤُمُّ : عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ
سِلْمًا سَوَاءًفَاَقْدَامُهُمْ كاَنُوْافِىالْهِجْرَةِ فَاِنْ ، هِجْرَةً سَوَاءًفَاَقْدَامُهُمْ فِىالسُّنَّةِ كاَنُوْا فَاِنْ
اَلْحَدِيْثَ . . . (سِنَّا)
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim
dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amar yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Hendaklah menjadi Imam pada suatu kaum, orang yang lebih ahli dalam membaca
al-Qur’an; jika dalam hal ini mereka bersamaan, maka yang lebih mahir dalam hal
sunnah (hadits); apabila dalam hal ini merekapun bersamaan juga, maka yang
lebioh dahulu mengikuti hijrah, kalau dalam hal itu mereka bersamaan juga, maka
yang lebih dahulu Islamnya (atau yang lebih tua umurnya) . . . seterusnya
hadits”.
Hadits Ibnu Umar;
: وَفِيْهِ طَوِيْلٍ فِىحَدِيْثٍ مَسْلَمَةَ عَمْرِوْبْنِ عَنْ وَأَبِىدَاوُدَوَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَوَالْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
قُرْاَنًا آَكْثَرُكُمْ وَالْيَعُمَّكُمْ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari,
Abu Dawud dan Nasai dari Amr bin Maslamah dalam hadits yang panjang dan di
dalamnya terkandung sabda Nabi saw.: “Dan hendaklah menjadi Imam kepadamu yang
lebih banyak pengertiannya tentang al-Qur’an””.
Imam buta,
Boleh tidaknya orang yang buta menjadi Imam, Tarjih menyatakan; “Dan boleh juga
kamu mengangkat Imam seorang buta atau hamba sahaya”. Dasarnya ialah Anas, dan
hadits Ibnu Umar.
Hadits Anas;
مَكْتُوْمٍ أُمِّ ابْنَ اسْتَخْلَفَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيَّ أَنَّ
أَنَسٍ دَاوُدَ أَبِى اَحْمَدَوَ لِحَدِيْثِ
وَهُوَاَعْمَى يُصَلِّىبِهِمْ مَرَّتَيْنِ عَلَىالْمَدِيْنَةِ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud
dari Anas, bahwa Nabi saw. menguasakan kepada Ibnu Ummi Makmum atas Madinah dua
kal, mengimami mereka (penduduk Madinah) padahal beliau buta”.
Hadits Ibnu Umar;
نَزَلُواالعُصْبَةَ الاَوَّلُوْنَ الْمُهاَجِرُوْنَ لَمَّاقَدِمَ عُمَرَ ابْنِ
وَاَبِىدَاوُدَعَنِ
الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
أَبِىحُذَيْفَةَ مَوْلَى سَالِمٌ يَئُمُّهُمْ كاَنَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ مَقْدَمِ قَبْلَ مَوْضِعًابِقُبَاءَ
عَبْدِالْأَسَدِ بْنُ وَأَبُوْسَلَمَةَ الْخَطَّابِ عَمَرُبْنُ فِيْهِمْ وَكاَنَ قُرْأَنًا أَكْثَرَهُمْ وَكاَنَ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu
Dawud daei Ibnu Umar, ketika orang-orang Muhajirin yang pertama-tama sampai di
Ushbah yaitu suatu tempat di Quba sebelum kedatangan Nabi saw. yang mengimami
mereka adalah Salim hamba sahaya Abu Hudzaifah, karena dialah yang lebih banyak
pengertiannya tentang al-Qur’an, padahal di tengah-tengah nereka terdapat juga
Umar bin Khattab dan Abu Salamah bin Abdul Asad”.
3.
Cara
Berdiri Ma’mum
Bagaimana posisi makmum terhadap Imam dalam shalat jama’ah, Tuntunan
Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan; “makmum yang hanya seorang saja supaya
berdiri di sebelah kanan imamnya sedang apabila dua orang atau lebih supaya di
belakang imam”.
Landasan yang dijadikan alasan bagi Tarjih adalah hadits Jabir Ibnu
Abdullah berikut;
يُصَلِّىالْمَغْرِبَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىُّ قَامَ :قَالَ عَبْدِاللَّهِ جَابِرِبْنِ أَبِىدَاوُدَعَنْ لِحَدِيْثِ
لِىفَصَفَفْنَاخَلْفَهُ جَاءَصَاحِبٌ ثُمَّ
يَمِيْنِهِ فَجَعَلَنِىعَنْ فَنَهَانِى يَسَارِهِ عَنْ فَقُمْتُ فَجِئْتُ
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah
yang berkata bahawa pada suatu ketika Nabi saw. shalat maghrib, maka saya
datang lalu berdiridi sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan
aku di sebelah kanannya: kemudian datang temanku, maka kami berbaris di
belakangnya”.
4.
Mengatur
Shaf
Pengaturan shaf dilakukan dengan cara meluruskan dan merapatkan
setiap shaf atau barisan dimulai dari shaf terdepan, sehingga tidak terdapat
ruang kosong antara seorang makmum dengan makmum yang lain di sampingnya dalam
stu shaf. Dasarnya ialah tiga buah hadits dari Anas, dan hadits Abu Umamah.
Hadits dari Anas (1);
فَاِنَّ سَوُّوْاصُفُوْفَكُمْ : قَالَ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ أَنَّ أَنَسٍ
عَنْ الصَّحِحَيْنِ لِحَدِيْثِ
الصَّلاَةِ تَمَامِ مِنْ الصُّفُوْفِ تَسْوِيَةَ
Artinya: “Karena hadits dari Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi
saw. bersabda: “Rapatkanlah shafmu karena meratakan shaf termasuk sebagian dari
kesempurnaan shalat””.
Hadits dari Anas
(2);
يُقْبِلُ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ أَيْضًاكاَنَ أَنَسِ
عَنْ الصَّحِحَيْنِ وَحَدِيْثِ
تَرَاصُّوْاوَاعْتَدِلُوْا :يُكَبِّرَفَيَقُوْلُ أَنْ
قَبْلَ عَلَيْنَابِوَجْهِهِ
Artinya: “Dan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas juga.
Adalah Rasulullah saw. menghadapkan mukanya kepada kita sebelum bertakbir
seraya bersabda: “Rapatkan dan luruskan shafmu”. Dan penuhilah shaf yang
pertama lebih dahulu, kemudian shaf berikutnya”.
Hadits dari Anas (3);
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلَ أَنَّ : أَنَسٍ عَنْ
مَاجَهْ وَابْنِ أَحْمَدَوَاَبِىدَاوُدَوَالنَّسَائِيِّ لِحَدِيْثِ
الْمُؤَخَّرَ فِىالصَّفِّ فَلْيَكُنْ نَقْصُ
كاَنَ فَاِنْ ،
الَّذِىيَلَيْهِ ثُمَّ الاَوَّلَ أَتِمُّواالصَّفَّ :قَالَ عَلَيْهِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasai dan Ibnu
Majah dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah terlebih dahulu shaf
yang pertama, kemudian shaf yang berikutnya. Hendaklah shaf yang tidak penuh
itu berada di belakang””.
Hadits dari Abu
Umamah;
سَوُّوْاصُفُوْفَكُمْ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ أَبِىأُمَامَةَ أَحْمَدَعَنْ وَلِحَدِيْثِ
فِيْمَابَيْنَكُمْ يَدْخُلُ الشَّيْطَانَ فَاِنَّ
وَسَدُّواالْخَلَلَ
وَلَيِّنُوافِىأَيْدِىإِخْوَانِكُمْ مَنَاكِبِكُمْ وَحَاذُوْبَيْنَ
الصِّغَارَ أَولاَدَالضَّأْنِ يَعْنِى . الْحَذْفِ بِمَنْزِلَةِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dari Abu Umamah yang berkata
bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ratakanlah shafmu, luruskanlah shafmu,
luruskanlah diantara bahumu dan berlunak-lunaklah disamping saudaramu. Dan
penuhilah etmpat yang terluang. Sebab syaithan itu masuk diantaramu sebagaimana
anak kambing yang masih kecil””.
a.
Posisi
Shaf Wanita. Shaf wanita diatur berada di belakang shaf pria. Tuntunan Tarjih
demikian itu didasarkan hadits Ibnu Abbas dan Anas di bawah ini.
Hadits Ibnu Abbas;
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ اِلَىجَنْبِ صَلَّيْتُ : قَالَ عَبَّاسٍ ابْنِ عَنِ
وَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
أُصَلِّىمَعَهُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ مَعَنَاتُصَلِّىخَلْفَنَاوَاَنَاإِلَىجَنْبِ وَعَائِشَةُ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Nasai dari Ibnu Abbas ra.
Yang berkata: “Saya shalat di samping Nabi saw. sedang Aisyah bersama kami, dia
shalat di belakang kami dan aku di sisi Nabi saw.””
Hadits Anas;
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ خَلْفَ أَنَاوَالْيَتِيْمُ مَلَّيْتُ :قَالَ أَنَسٍ
عَنْ الْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
خَلْفَنَا سُلَيْمٍ وَأُمِّىاُمُّ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Bukhari dari Anas berkata: “Saya
shalat bersama anak-anak yatim di belakang Nabi saw. sedang ibuku Ummu Sulaim
di belakang kami””.
b.
Batas
Shaf. Mengenai batas Tarjih menyatakan; “Dan hendaklah orang yang shalat
membuat batas di depannya, dan jangan sekali-kali salah seorang dari kamu lewat
di depan orang yang sedang mengerjakan shalat”.
Dasarnya ialah hadits Ibnu Umar dan Abu Juhaim berikut
ini.
Hadits Ibnu Umar;
يَوْمَ إِذَاخَرَجَ كاَنَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ أَنَّ عُمَرَ
ابْنِ عَنِ مُسْلِمٌ لِمَارَوَاهُ
، فِىالسَّفَرِ ذَلِكَ يَفْعَلُ وَكاَنَ
وَرَاءَهُ وَالنَّاسُ فَيُصَلِّىاِلَيْهَا يَدَيْهِ بَيْنَ فَتُوْضَعُ الْعِيْدِبِالْحَرْبَةِ
اتَّخَذَهَاالاُمَرَاءُ ثَمَّ
وَمِنْ
Artinya: “Karena hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, bahwa
Rasulullah sae. Apabila keluar pada hari raya beliau meminta lembing kemudian
dipancangkan di depannya dan lalu shalat menghadap ke arahnya sedang orang
banyak shalat di belakangnya. Beliau kerjakan yang sedemikian itu juga pada waktu berpergian. Berdasarkan
pada pekerjaan Nabi yang tersebut, maka Kepala-Kepala Negara (Raja atau Amir)
pun menjalankan yang sedemikian itu”.
Hadits Abu Juhaim;
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ اَبِىجُهَيْمٍ عَنْ
الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
يَدَيْهِ بَيْنَ
يَمُرَّ أَنْ مِنْ خَيْرًالَهُ أَرْبَعِيْنَ يَقِفَ أَنْ
لَكاَنَ يَدَىِالْمُصَلِّىمَاذَاعَلَيْهِ الْمَارُّبَيْنَ لَوْيَعْلَمُ
اَوْسَنَةً يَوْمًاأَوْشَهْرًا أَرْبَعِيْنَ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Jama’ah dari Abu Juhaim yang
berkata bahwa Rasulullah saw.: “Andaikata orang yang lewat di depan orang
shalat itu mengerti dosa yang dipikulkan kepadanya, niscaya akan lebih baik
dia mematikan selama empat puluh
daripada melalui di depannya, yaitu 40 hari atau 40 bulan atau 40 tahun””.
5.
Gerakan
Ma’mum dan Imam
Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan: “Kemudian apabila Imam
telah bertakbir, maka bertakbirlah kamu, dan jangan bertakbir hingga Imam
selesai dari takbirnya. Begitu juga dalam segala pekerjaan shalat dan jangan
sekali-kali mendahului Imam”.
Dasarnya ialah Abu Hurairah dan Anas sebagaimana dikutip dalam HPT.
Hadits Abu Hurairah;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ إِنَّ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ وَأَبِىدَاوُدَعَنْ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
وَإِذَارَكَعَ ،
وَلاَتُكَبِّرُوْاحَتَّىيُكَبِّرَ فَاِذَاكَبَّرَفَكَبِّرُوْ بِهِ
لِيُؤْتَمَّ الاِمَامُ اِنَّمَاجُعِلَ : قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
حَتَّىيَسْجُدَ وَإِذَاسَجَدَفَاسْجُدُوْاوَلاَتَسْجُدُوْا ، حَتَّىيَرْكَعَ فَارْكَعُوْوَلاَتَرْكَعُوْا
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawuddari Abu Hurairah
bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh apabila imam itu diangkat untuk diikuti.
Oleh karenanya apabila ia bertakbir, maka takbirlah kamu dan janganlah kamu
bertakbir hingga ia bertakbir. Dan apabila ia telah ruku’, maka ruku’lah kamu,
dna jangan kamu ruku’ hingga ia ruku’. Dan apabila ia telah bersujud maka
bersujudlah kamu, dan janganlah kamu bersujdu sehingga ia bersujud””.
Hadits Anas;
، أَيُّهَالنَّاسُ : عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَنَسٍ
عَنْ اَحْمَدَوَمُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
وَلاَبِالاِنْصِرَافِ وَلاَبِالاُقُوْدِ وَلاَبِلْقِيَامِ وَلاَبِالسُّجُوْدِ بِالرُّكُوْعِ فَلاَتَسْبِقُوْنِ إِنِّىاِمَامُكُمْ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Ahmad dan Muslim dari Anas yang
berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai saudara-saudara, Aku ini adalah
Imam kamu sekalian, oleh karena itu janganlah kamu mendahului akan aku dalam
ruku’, sujud, berdiri dan dalam mengakhiri shalat””.
6.
Panjang-Pendek
Bacaan imam
Tarjih menyatakan: “Dan Imam jangan panjang-panjang bacaannya”.
Tuntunan ini berdasarkan hadits Anas berikut;
فَدَخَلَ قَوْمَهُ يَؤُمُّ
جَبَلٍ ابْنُ مُعَاذُ كاَنَ :قَالَ مَالِكٍ بْنِ أَنَسِ
عَنْ أَحْمَدَبِإِسْنَادٍصَحِيْحٍ
لِحَدِيْثِ
تَجَوَّزَ ، فَلَمَّارَأَىمُعَاذًاطَوَّلَ الْقَوْمِ مَعَ الْمَسْجِدَ فدَخَلَ
نَخْلَهُ يَسْقِىَ أَنْ وَهُوَيُرِيْدُ حَرَامٌ
اَيَعْجَلُ لَمُنَافِقٌ إِنَّهُ : قَالَ . ذَلِكَ لَهُ
قِيْلَ فَلَمَّاقَضَىمُعَاذٌصَلاَةَ . يَسْقِيْهِ نَخْلَهُ وَلَحِقَ فِىصَلاَتِهِ
وَمُعَاذٌ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اِلَىالنَّبِيِّ فَجَاءَحَرَامٌ : قَالَ .سَقْىِنَخْلِهِ أَجْلِ
مِنْ الصَّلاَةِ عَنِ
. الْقَوْمِ مَعَ
الْمَسْجِدَلِاُصَلِّى
فدَخَلْتُ نَخْلاًلِى اَسْقِىَ أَنْ اِنِّىاَرَدْتُ ، يَانَبِىَّاللَّهُ : فَقَالَ عِنْدَهُ
صَلَّىاللَّهُ النَّبِيُّ فَاَقْبَلَ . أَنِّىمُنَافِقٌ فَزَعَمَ بِنَخْلَتِىاَسْقِيْهِ فِىصَلاَتِىوَلَحِقْتُ تَجَوَّزْتُ فَلَمَّاطَوَّلَ
وَالشَّمْسِ الأَعْلَى رَبِّكَ
اسْمَ اِقْرَأبِسَبِّحِ بِهِمْ لاَتُطَوِّلْ أَنْتَ أَفَتَّانٌ :فَقَالَ عَلَىمُعَاذٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
وَنَخْوِهِمَا وَضُحَاهَا
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang dishahihkan
dari Anas bin Malik yang berkata: Adalah
Muadz bin Jalal mengimami kaumnya, dimana si haram yang bermaksud hendak
menyiram pohon kurmanya, lebih dahulu masuk masjid bersama-sama kaumnya itu.
Setelah ia melihat Muadz memanjangkan bacaannya, maka iapun mempercepat
shalatnya dan mendatangi pohon kurmanya untuk menyiramnya. Setelah Muadz
selesai mengerjakan shalat, halnya si haram itu disampaikan kepadanya. Maka
Muadzpun berkata bahwa ia seorang munafiq seraya marahnya: “Adakah ia
mempercepat shalat hanya untuk menyiram pohon kurmanya?””.
Anas melanjutkan
katanya: “Maka si harampun menghadap Nabi saw. dan ketika itu Mu’adzpun berada
di dekat Nabi saw. maka Haram berkata: “Wahai Nabi Allah, Aku hendak bermaksud
menyiram pohon kurmaku: Maka aku masuk masjid untuk shalat berjama’ah. Setelah
kujumpai Muadz yang menjadi Imam memanjangkan bacaan Qur’annya, aku lalu
mempercepat shalatku dan setelah selesai aku menengok pohon kurmaku untuk
menyiramnya. Tiba-tiba Muadz itu menuduh aku seorang munafiq”. Maka lalu Nabi
memandang kepada Muadz seraya sabdanya: “Adakah engkau menjadi tukang fitnah?
Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Janganlah kamu perpanjang membaca surat
Qur’an diwaktu menjadi Imam orang banyak, bacalah surat “Sabbihisma Rabbikal a’la dan Wasysyamsi
wadluhaha atau surat yang sesamanya”””.
7.
Bacaan
Fatihah Bagi Ma’mum
Apakah ma’mum wajib membaca seluruh bacaan shalat termasuk Fatihah
dan surat al-Qur’an lainnya? Masyarakat berbeda pendapat mengenai kewajiban
Ma’mum tersebut. Sementara itu Tarjih menyatakan: “Hendaklah kamu memperhatikan
dengan tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, mamka janganlah kamu membaca
sesuatu selain surat Fatihah”.
Dasarnya ialah dua buah hadits dari Ubadah bin Shamit, dan hadits
Anas.
Hadits Ubadah bin Shamit (1);
لاَصَلاَةَ :قَالَ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ اَنَّ
ض ر الصَّامِتِ بْنِ عُبَادَتَ لِحَدِيْثِ
(عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ) الْكِتَابِ بِفَاتِحَةِ لاَيَقْرَأُ لِمَنْ
Artinya: “Mengingat hadits Ubadah Bin Shamit, bahwa Rasulullah saw.
bersabda: “Tiada sah shalat orang yang tidak membaca permulaan kitab
(Fatihah)””. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
Hadits Ubadah bin
Shamit (2);
عَلَيْهِ فَثَقُلَتْ الصُّبْحَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ صَلَّى :قَالَ عَبَادَةَ وَلِحَدِيْثِ
اللَّهِ يَارَسُوْلَ :قُلْنَا :قَالَ إِمَامِكُمْ وَرَاءَ تَقْرَءُوْنَ إِنِّىأَرَاكُمْ :قَالَ فَلَمَّاانْصَرَفَ ، الْقِرَاءَةُ
(وَالدَّارَقُطْنِىُوَالْبَيهَقِىُّ أَحْمَدُ رَوَاهُ) الْقُرْاَنِ بِاُمِّ
لاَتَفْعَلُوْااِلاَّ :قَالَ . إِىوَاللَّهِ
Artinya: “Dan ada lagi hadits Ubadah dari riwayat Ahmad, Daraquthni
dan Baihaqi, katanya: “Rasulullah saw. shalat subuh, maka beliau mendengar
orang-orang yang ma’mum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegor: “Aku
kira kamu sama membaca di belakang Imammu?” kata Ubadah: kita sama menjawab:
“Ya Rasulullah saw., demi Allah benar!” Maka sabda Rasulullah saw.: “Janganlah
kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan Fatihah””.
Hadits Anas dari
Ibnu Hibban;
اَتَقْرَءُوْنَ :عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَنَسٍ حَدِيْثِ مِنْ حِبَّانَ ابْنُ
وَلِمَارَوَاهُ
فِىنَفْسِهِ الْكِتَابِ بِفَاتِحَةِ أَحَدُكُمْ وَلْيَقْرَأْ فَلاَتَفْعَلُوْا ، يَقْرَأُ وَالاِمَامُ الاِمَامِ خَلْفَ فِىصَلاَتِكُمْ
Artinya: “Dan mengingat pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu
Hibban kepada Anas, yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kamu
membaca dalam shalatmu di belakang Imammu, padahal imam itu membaca Fatihah
pada dirinya (dengan suara rendah yang hampa di dengar sendiri)””.
8.
Bacaan
Ta’min bagi Ma’mum
Ta’min adalah mengucapkan kata “Amin”. Dalam hal ini terjadi dalam
HPT menuntunkan bahwa: “Apabila Imam telah membaca “Waladldlalin” maka bacalah
“amin” dengan nyaring”. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah, Ibnu Zubair dan
Ibnu Hibban dari Atha’.
Hadits Abu Hurairah;
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ اَنَّ
عَنْهُ رَضِىَ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
تَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةَ فَاِنَّ . أَمِيْنَ :فَقُوْلُوْا “وَلاَالضَّالِّيْنَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ”: إِذَاقَالَالاِمَامُ :
ذَنْبِهِ مِنْ
مَاتَقَدَّمَ غُفِرَلَهُ الْمَلاَئِكَةِ تَأْمِيْنَ تَأْمِيْنُهُ وَافَقَ فَمَنْ . أَمِيْنَ :يَقُوْلُ الاِمَامَ وَاِنَّ
، أَمِيْنَ :
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Nasai dari Abu Hurairah
ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila imam telah membaca “ghairil maghdu
bi alaihim waladl dlalin” maka bacalah “amin” sesungguhnya malaikat membaca
“amin” bersama-sama dengan imam membaca “amin”. Barangsiapa membaca “amin”
bersamaan dengan abcaan para malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu”.
Hadits Ibnu Zubair;
وَرَاءَهُ هُوَوَمَنْ يُؤَمِّنُ عَنْهُمَاكاَنَ رَضِىَاللَّهُ الزُّبَيْرِ ابْنَ
عَطَاءٍإِنَّ عَنْ الْبُخَارِىِّ وَلَمَارَوَاهُ
لِلْمَسْجِدِلَلَجَّةَ حَتَّىاِنَّ بِالْمَسْجِدِالْحَرَامِ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Bukhari dan Atha’ bahwa Ibnu
Zubair membaca “amin” bersama-sama orang yang shalat di belakangnya (di
Masjidil Haram) sehingga masjid itu bergemuruh suaranya”.
Hadits Ibnu Hibban;
الصَّحَابَةِ مِنَ مِائِتَيْنِ أَدْرَكْتُ : عَطَاءٍأَيْضًاقَالَ عَنْ بِسَنَدٍصَحِيْحٍ حِبَّانَ ابْنُ وَلِمَارَوَاهُ
بِاَمِيْنَ رَفَعُوْاأَصْوَاتَهُمْ ، وَلاَالضَّالِّيْنَ: الاِمَامُ إِذَاقَالَ عَنْهُمْ رَضِىَاللَّهُ
Artinya: “Dan karena hadits Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih,
dari Atha’ juga berkata: “Aku telah menjumpai dua ratus sahabat ra. Apabila
Imam membaca “Waladldlalin”, merekapun mengeraskan suaranya dengan bacaan
“amin””.
9.
Takbir
Imam
Selanjutnya Tarjih menuntunkan sebagaimana dalam HPT dan menyatakan
“Dan hendaklah Imam mengeraskan takbir intiqal (berpindah dari satu ruku’ ke
ruku’ yang lain), agar orang yang shalt di belakangnya mendengar: dan apabila
dipandang perlu, orang lain dapat menjadi muballigh (penyambung Imam agar
sampai kepada ma’mum). Dasarnya ialah hadits Sa’ad bin Kharits, Jabir dan
hadits riwayat Muslim dan Nasai”.
Hadits Sa’id bin Harits;
أَبُوْسَعِيدٍفَجَهَّرَبِالتَّكْبِيْرِ حِيْنَ صَلَّىلَنَا :قَالَ الْحَارِثِ سَعِيْدِبْنِ وَأَحْمَدَعَنْ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
هَكَذَارَأيْتُ :وَقَالَ الرَّكْعَتَيْنِ مِنَ
قَامَ وَحِيْنَ رَفَعَ وَحِيْنَ سَجَدَ وَحِيْنَ السُّجُوْدِ مِنَ
رَأْسَهُ رَفَعَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ
Artinya: “Karena hadits Bukhari dan Ahmad dari Sa’id Ibnu Harits
berkata: “Abu Sa’id bershalat menjadi Imam kita, maka membaca takbir degan
nyaring ketika mengangkat kepalanya, bangun dari sujud, ketika akan sujud,
ketika bangun dan ketika berdiri daru dua raka’at. selanjutnya dikatakan:
“Demikian aku melihat Rasulullah saw.””.
Hadits Jabir;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ اِشْتَكَى :جَابِرٍقَالَ عَنْ
مَاجَهْ وَالنَّسَئِىُّوَابْنُ أَحْمَدُوَمُسْلِمٌ وَلِمَارَوَاهُ
تَكْبِيْرَهُ النَّاسَ يُسْمِعُ وَاَبُوْبَكْرٍ وَهُوَقَاعِدٌ فَصَلَّيْنَاوَرَاءَهُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Ketika hadits riwayat Ahmad, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah
dari Jabir berkata: “Rasulullah saw. pada suatu ketika menderita sakit, kemudian
kami shalat di belakangnya, dan beliau
shalat dengan duduk, serta Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada orang
banyak””.
Hadits riwayat
Muslim dan Nasai;
، وَاَبُوْبَكْرٍخَلْفَهُ الظُّهْرَ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ صَلَّى :قَالَ وَالنَّسَائِيِّ وَلِمُسْلِمٍ
يُسْمِعُنَا كَبَّرَكَبَّرَأَبُوْبَكْرٍ فَاِذَا
Artinya: “Dan hadits Muslim dan Nasai berkata: “Rasulullah saw.
shalat Dzuhur sedang Abu Bakar di belakangnya. Maka apabila beliau bertakbir,
maka Abu Bakar bertakbir agar kita mendengarnya””.
10.
Hitungan
Raka’at Ma’mum Masbuq
Dalam ilmu Fiqh dikenal ma’mum yang disebut masbuq atau ma’mum yang
tidak bersamaan waktunya dalam memulai mengerjakan shalat bersama Imam.
Mengenai masalah ini Tarjih menyatakan: “Apabila kamu mendatangi shalat jama’ah
dan mendatangi Imam sudah mulai melakukan shalat, maka betakbirlah kamu dan
kerjakanlah sebagaimana yang dikerjakan Imam. Dan jangan kamu hitung raka’at
kecuali kamu sempat melakukan ruku’ bersama-sama dengan Imam”.
Dasarnya ialah dua buah hadits dari Abu Hurairah, hadits riwayat
Daruquthni dan hadits Ali ra.
Hadits Abu Hurairah (1);
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ
خُزَيْمَةَ وَابْنِ وَالْحَاكِمِ أَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ
الرَّكْعَةَ اَدْرَكَ وَمَنْ
فَاسْجُدُواْوَلاَتَعُدُّوْهَا سُجُوْدٌ وَنَحْنُ اِلاَالصَّلاَةِ إِذَاجِعْتُمْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
الصَّلاَةَ فَقَدْاَدْرَكَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud, Hakim dan Ibnu Khuzaimah
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu datang untuk
shalat (berjama’ah) padahal kita sedang sujud, maka sujdulah kamu dan kamu
jangan menghitung seraka’at, dan barangsiapa telah menjumpai ruku’nya imam, berarti dia
menjumpai shalat (raka’at sempurna)”.
Hadits Abu Hurairah
(2);
مِنَ رَكْعَةً اَدْرَكَ مَنْ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيَّ اَنَّ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ الشَّيْخَيْنِ وَلِحَدِيْثِ
الصَّلاَةَ فَقَدْاَدْرَكَ الاِمَامِ مَعَ
الصَّلاَةِ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendapat ruku’ daripada
shalat berarti dia telah mendapati shalat (raka’at sempurna)””.
Hadits riwayat
Daruquthni;
يُقِيْمَ أَنْ قَبْلَ الصَّلاَةِ مِنَ رَكْعَةً أَدْرَكَ مَنْ :حِبَّانَ ابْنُ
صَحَّحَهُ الدَّرَقُطْنِىِّالَّذِى
وَفِىرِوَايَةِ
أَدْرَكَهَا فَقَدْ
صُلْبَهُ الاِمَامُ
Artinya: “Dan dalam riwayat Daraquthni yang dipandang shahih dari
Ibnu Hibban, bahwa Rasulullah saw. bersabda: barangsiapa menjumpai ruku’ dari
shalat sebelum Imam berdiri tegak dari ruku’nya, maka berarti dia telah
mendapati raka’at sempurna”.
Hadits dari Ali
ra.;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ جَبَالٍ
وَمُعَاذِبْنِ أَبِىطَالِبٍ عَلِىِبْنِ عَنْ التِّرْمِذِىُّ وَلِمَارَوَاهُ
الاِمَامُ كَمَايَصْنَعُ فَلْيَصْنَعْ عَلَىحَالٍ وَالاِمَامُ الصَّلاَةَ اَحَدُكُمُ إِذَاأَتَى : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Tirmidzi dari Ali Bin Abi Thalib
dan Muadz bin Jalal, keduanya berkata: “Apabila salah seorang diantaramu
mendatangi shalat (jama’ah), pada waktu Imam sedang berada dalam suatu keadaan,
amka hendaklah ia kerjakan sebagaimana apa yang dikerjakan oleh Imam””.
11.
Raka’at
Ma’mum Masbuq
Bagi ma’mum yang tertinggal raka’at oleh Imam, Tarjih menyatakan
bahwa; “Sempurnakanlah shalatmu sesudah Imam bersalam”. Dasarnya ialah hadits
dari Mughirah Ibnu Syu’aib berikut;
قَدَّ أَنَّهُمْ تَبُوْكٍ فِىغَزْوَةِ الطَّوِيْلِ حَدِيْثِهِ مِنْ
شُعْبَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنِ مُسْلِمٌ لِمَارَوَاهُ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلُ فَأَدْرَكَ لَهُمْ فَصَلَّى عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عَوْفٍ
بْنِ مُوْاعَبْدَالرَّحْمَنِ
بْنُ عَبْدُالرَّحْمَانِ فَلَمَّاسَلاَّمَ الاَخِرَةَ الرَّكْعَةَ النَّاسِ مَعَ
فَصَلَّى إِحْدَىالرَّكْعَتَيْنِ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ فَلَمَّاقَضَىالنَّبِىُّ . . .صَلاَتَهُ يُتِمُّ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَامَ عَوْفٍ
صَلُّوالصَّلاَةَ اَنْ
يَعِظُهُمْ ، قَدْاَصَبْتُمْ :اَوْقَالَ اَحْسَنْتُمْ :قَالَ ثُمَّ
عَلَيْهِمْ اَقْبَلَ صَلاَتَهُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
لِوَقْتِهَا
Artinya: “Karena hadits riwayat Muslim dari Mughirah bin Syu’bah bin
Syu’bah daripada haditsnya yang panjang mengenai perang Tabuk, bahwa mereka
para sahabat mengajukan Abdurrahman bin Auf ra. kemudian iapun mengimami shalat
mereka, maka Rasulullah saw. berdiri menyempurnakan shalatnya. Dan setelah Nabi
saw. menyelesaikan shalatnya, kemudian beliau menghadap ke arah para sahabat
seraya sabdanya: “Kamu sekalian mengerjakan shalat dengan baik”, atau dengan
perkataan lain: “Kamu sekalian benar. Menganjurkan mereka agar shalat pada
waktunya””.
12.
Amal
Selesai Shalat Jama’ah
Sesudah mengerjakan shalat secara bersama atau jama’ah, ada beberapa
amalan yang disunnahkan. Amalan-amalan tersebut ialah sebagaimana hasil
penelitian Tarjih sebagaimana termuat dalam HPT.
Penjelasan mengenai tuntunan itu ialah sebagaimana uraian di bawah
ini.
- Imam menghadap ke arah ma’mum sisi kana.setelah melakukan shalat berjama’ah, Imam kemudian menghadap ke arah ma’mum atau ke samping kanan. Tarjih menyatakan; “Sesudah selesai shalat, Imam supaya menghadap ke arah ma’mum atau menghadap ke arah orang yang ada di sebelah kanannya”.
Hadits dari Sumarah;
إِذَاصَلَّىصَلاَةً عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيُّ كاَنَ :قَالَ سَمُرَةَ عَنْ
الْبُخَارِىُّ لِمَارَوَاهُ
عَلَيْنَابِوَجْهِهِ أَقْبَلَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Bukhari dari Sumarah, berkata:
“Adalah Nabi saw. apabila telah selesai mengerjakan shalat beliau menghadap
mukanya kepada kita””.
Hadits dari Bara’
bin Azib;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُّوْلِ خَلْفَ كُنَّاإِذَاصَلَّيْنَا :قَالَ عَازِبٍ الْبَرَاءِبْنِ وَاَبِىدَاوُدَعَنِ مُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
عَلَيْنَابِوَجْهِهِ فَيُقْبِلُ يَمِيْنِهِ عَنْ
نَكُوْنَ اَنْ اَحْبَبْنَا عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud dari Bara
bin Azib yang berkata: “Apabila kita shalat di belakang Rasulullah saw. kita
senang berada di kana beliau, supaya setelah selesai beliau menghadapkan
mukanya kepada kita””.
- Duduk sebentar selesai shalat berjama’ah. Setelah selesai shalat jama’ah disunnahkan untuk duduk sebentar. Mengenai hal ini Tarjih menyatakan; “duduklah setelah selesai shalat”.
Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah berikut;
الْمَلاَئِكَةَ إِنَّ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
وَارْحَمْهُ اغْفِرْلَهُ اَللَّهُمَّ :تَقُوْلُ يُحْدِثْ مَالَمْ
الَّذِىصَلَّىفِيْهِ
فِىمُصَلاَّهُ تُصَلِّىعَلَىأَحَدِكُمْ
Artinya: “Karena hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah bahwa
Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya para malaikat memintakan rahmat untuk
salah seorang dari kamu selama masih duduk di tempat shalatnya dan sebelum
berhadats, para malaikat mendo’akan: Ya Allah, Ampunilah dosanya dan
Kasihanilah Ia””.
MASALAH SHALAT QADHA, JAMA’
DAN QASHAR
- Mengqadha Shalat
Ada dua pernyataan: “Mengqadha puasa itu boleh, sedang
mengqadha shalat itu tidak boleh” dan “mengqadha shalat itu boleh, dengan
alasan banyak kesibukan”. Dari kedua pernaytaan di atas. Pernyataan yang benar
adalah Mengqadha puasa itu ada dasarnya, sedang mengqadha shalat fardhu karena
kesibukan itu tidak ada dasarnya yang
kuat. Kalau orang tidak dapat melakukan shalat pada waktunya karena halangan
syar’iy, tertidur atau lupa, maka tuntunannya ialah mengerjakan shalat itu pada
waktu ia telah bangun tidur atau yang seperti dinyatakan oleh hadits riwayat
Abu Qatadah.
ذَكَرُوْالِلنَّبِيِّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَكُمْ
عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ
فِىالْيَقْظَةِ فَاِدَانَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلاَةً أَوْنَمَا عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَاإِذَا
ذَكَرَهَا (رواه النسائيّ والتّرمذيّ وصحّحح)
Artinya: “(Para sahabat) memberitahukan kepada Nabi tentang tidur
mereka melalaikan dari melakukan shalat
(pada waktunya) maka Nabi saw. bersabda: ‘Sesungguhnya tidak ada masalah lalai
kalau sedang tidur, sesungguhnya lalai itu dalam keadaan jaga, maka apabila
lupa salah satu di antaramu atau sedang tidur (sehingga tidak mengerjakan
shalat) kerjakan shalat apabila telah ingat’” (HR. An-Nasaiy dan at-Tirmidzi
dan menilainya hadits itu Shahih).
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ وَسَلَّمَ : مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا
إِذَاذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا اِلاَّ ذَلِكَ وَتَلَى قَوْلَهُ تَعَالَى:
"آَقِمِ الصَّلَوةَ لِذِكْرِى"
Artinya: “Dari Anas bin Malik ra., ia berkata, bersabda Rasulullah
saw. barangsiapa lupa mengerjakan shalat maka kerjakanlah di kala mengingatnya,
tidak ada ganti kecuali itu”. Dan beliau membaca ayat: “A qimishshalaata
lizikriy” (yang artinya: kerjakanlah shalat untuk mengingat Aku).
Ayat ini disepakati
keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim. Lafadz ini menurut lafadz Bukhari.
Sedangkan lafadz dari Muslim berbunyi:
وَمُسْلِمٍ : مَنْ نَسِيَ
صَلاَةً أَوْنَامَ عَنْهَا فَكَفَّرَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِِذَاذَكَرَهَا
Artinya: “Menurut lafadz Muslim berbunyi: ‘Barangsiapa yang lupa
mengerjakan shalat atau tertidur
mengerjakan shalat, maka gantinya ialah mengerjakan shalat seketika
mengingatnya’”.
Hadits-hadits di
atas menunjukkan cara melakukan shalat apabila tidak mengerjakan shalat wajib
karena tertidur atau jika pada suatu shalat wajib bukan karena lalai.
Adapun dalam shalat
sunnah Nabi telah melakukan qadha akan sunat fajar, sunat sebelum shalat Dzuhur
dan sesudahnya serta sunat witir. Sejauh pemantauan yang dilakukan oleh kita
tidak didapati dasar melakukan qadha dalam shalat wajib karena kesibukan,
misalnya karena pak Tani karena sibuk di sawah, pedagang kareka sibuk di pasar,
atau seorang olahragawan, bahkan pada masa seperti halnya pada kampanye, karena
asyik kampanye mereka meninggalkan shalat Ashar, sama halnya dengan pemuda yang
gemar nonton film di gedung bioskop yang waktu pemutarannya pada waktu shalat,
sehingga shalatnya yang tertinggal itu di qadha setelah melaksanakan shalat
wajib berikutnya.
Kalau kita teliti,
yang ada dasarnya ialah melakukan jama’ shalat fardhu di kala ada keperluan
yang penting, berdasarkan apa yang pernah dilakukan Nabi, seperti yang
diriwayatkan Muslim dari Ibnu Abbas:
بِالْمَدِيْنَةِ وَالْعِشَاءِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعَصْرِ الظُّهْرِ بَيْنَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ
رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى
جَمَعَ
(مسلم رواه) وَلاَمَطَرٍ خَوْفٍ فِىغَيْرِ
Artinya: “Rasulullah saw. melakukan shalat jama’ antara shalat
Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat Maghrib dan Shalat Isya di Madinah (dalam
kota) tidak dalam keadaan khauf (ketakutan) dan tidak dalam keadaan hujan.”
Komentar Ibnu Abbas
ketika ditanya apa yang dimaksud dengan melakukan seperti itu, ia menjawab
untuk tidak menyempitkan ummatnya. Tentu
saja hal itu karena Nabi menghadapi hal yang penting dan tidak menjadi
kebiasaan.
Menurut riwayat
Bukhari dan juga Muslim dari Ibnu Abbas pula:
وَالْمَغْرِبَ وَالْعَصْرَ الظُّهْرَ . وَثَمَانِيًا سَبْعًا
بِالْمَدِيْنَةِ صَلَّى وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى
النَّبِيَّ اِنَّ
(ومسلم البخاريّ رواه) وَالْعِشَاءَ
Artinya: “Bahwa Nabi saw., shalat di halaman kota Madinah tujuh
rakaat (menurut riwayat Bukhari ada kata jam’an yang artinya dalam
keadaan jama’). Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’”. (Tim Majelis
Tarjin dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 57-59)
- Cara Shalat Jama’ dan Qashar
Cara melakukan shalat jama’ yang dilaksanakan pada akhir
waktu (jama’ takhir) secara tegas tidak ditentukan, apakah Dzuhur dulu baru
Ashar atau sebaliknya. Demikian pula dengan shalat malam apakah Isya dulu baru
kemudian maghrib atau maghrib dulu kemudian Isya.
Untuk jelasnya dapat diketahui dari hadits-hadits sebagai
berikut: dari Anas bin Malik dia berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَاارْتَحَلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ
أَخَّرَالظُّهْرَاِلَى وَقْتِ الْعَْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ
قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه البخاريّ ومسلم)
Artinya: “Rasulullah saw. apabila berangkat sebelum tergelincir
matahari, beliau mengakhirkan Dzuhur sampai waktu Ashar, kemudian beliau
berhenti lalu melakukan jama’ dan apabila berangkat sesudah tergelincir
matahari beliau mengerjakan shalat Dzuhur dahulu, barulah berangkat” (HR.
Bukhari dan Muslim).
Dari Muadz bin
Jabal ia berkata:
الظُّهْرَ اَخَّرَ
الشَّمْسُ تَزِيْغَ أَنْ قَبْلَ إِذَاارْتَحَلَ تَبُوْكٍ غَزْوَةِفِى وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى
النَّبِيَّ اِنَّ
الظُّهْرَ صَلَّى
الشَّمْسِ زَيْغِ بَعْدَ وَاِذَاارْتَحَلَ جَمِيْعًا يُصَلِّيْهِمَا الْعَصْرِ إِلَى يَجْمَعَهَا حَتَّى
الْمَغْرِبِ هَامَعَ فَصَلاَّ العِشَاءَ عَجَّلَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ إِذَاارْتَحَلَ وَكاَنَ
سَارَ ثُمَّ جَمِيْعًا وَالْعَصْرَ
( رواه احمد وابو داود
والتّرمذيّ )
Artinya: “(Bahwasanya Nabi saw. di dalam peperangan Tabuk apabila
berangkat dari tempat persinggahan) sebelum tergelincir matahari, beliau
akhirkan Dzuhur sampai waktu Ashar, menjama’nya dengan shalat Ashar keduanya.
Dan apabila beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, Shalat Dzuhur dan
Ashar dijama’kan keduanya, kemudian
beliau berangkat. Da apabila beliau berangkat sebelum waktu Maghrib, beliau
mengakhirkan shalat Maghrib dan beliau kerjakan beserta Isya dan apabila berangkat sesudah Maghrib
segerakan Isya itu dan mengerjakannya beserta shalat Maghrib” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan
Tirmidzi).
Dari kedua hadits
tersebut, tidak kita dapati pengertian bagaimana cara mengerjakan shalat jama’
takhir dari segi mana yang harus didahulukan. Bahkan dari riwayat yang
lainpun kita tidak mendapatkan cara yang
dimaksudkan.
Dengan demikian
jama’ takhir itu dapat dilakukan Dzuhur dulu baru Asar atau sebaliknya bila
melakukan jama’ takhir antara Dzuhur dan Ashar, dan dapat pula Maghrib dulu
baru Isya atau sebaliknya jika mengerjakan jama’ takhir Maghrib dan Isya’ (Tim
Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 59-60).
- Menjama’ karena Hujan
Melakukan shalat jama’ karena hujan, buknalah karena
sebab adanya hujanturun kita dapat melakukan shalat jama’, tetapi merupakan
hukum rukhshah artinya kemurahan bagi orang yang bisa melakukan shalat
berjama’ah di masjid. Karena hujan turun akan menyulitkan orang tersebut kalau
sekiranya setelah melaukan shalat Dzuhur atau Maghrib harus kembali lagi pada
waktu Asar atau Isya. Jadi tidak untuk orang yang di rumah, karena hujan turun
lalu melakukan jama’ dalam shalatnya di rumah.
Adapun dalil yang membolehkan melakukan jama’ karena ada
hujan ialah hadits Nabi saw. riwayat Bukhari:
Artinya: “Bahwa Nabi saw. menjama’antara shalat
Maghrib dan Shalat Isya pada suatu malam turun hujan lebat.” (HR. Bukhari)
(Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 60).
- Shalat Azimah dalam berpergian
Melakukan shalat jama’ atau qashar itu merupakan
rukhshah (kemurahan), sedang kalau melakukan shalat tidak dijama’ disebut
melaksanakan azimah. Dalam masalah menjama’ dan mengqashar ini tergantung
pelaksanaannya. Kalau dilakukan qashar itu baik, karena waktu memang
menghendaki demikian, karena dalam berpergian banya \k kesulitan. Mengerjakan
qashar dan jama’ lebih baik, karena hati orang tersebut menjadi tenang dan
lapang.tetapi kalau memang waktu mengizinkan orang dapat melaksanakan shalat
azimah dengan baik, hati tentram dan tenang, tentu melakukan shalat dengan
azimah juga baik dalam hal ini dapat diberikan beberapa hadits Nabi.
Hadits riwayat Jama’ah, bahwa ketika Umar bertanya
tentang kebolehan mengqashar shalat, padahal sudah dalam keadaan amak, maka
Rasul menjawab:
(البخارىّ إلاّ الجمعة
رواه) صَدَقَتَهُ فَاقْبَلُوْا عَلَيْكُمْ بِهَا اللَّهُ
تَصَدَّقَ صَدَقَةٌ
Artinya: “Itu suatu pemberian dari Allah yang diberikan padamu, maka
terimalah sedekah-Nya itu” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dari Ya’la bin Umayyah)
يُحِبُّ اللَّهَ
اِنَّ : وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ
صَلَّى اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ : قَالَ عَنْهُ اللَّهُ رَضِيَ
عُمَرَ ابْنِ عَنْ
(أحمد رواه) أَوَامِرُهُ تُؤْتَى أَنْ يُحِبُّ كَمَا
رُخَصُهُ تُؤْتَى أَنْ
Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: ‘Bersabda Rasulullah saw.,
‘Sesungguhnya Allah menyukai kita mengerjakan segala kelapangan-Nya
(rukhshahnya), sebagaimana Allah suka apabila kita mengerjakan
azimah-azimahnya’” (HR. Bukhari dan Muslim (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, 2003a: 60-61).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar