Selasa, 10 Juli 2012

AIK 3 PERTEMUAN 6


SHALAT JUM’AT DAN JAMA’AH
            Salah satu rangkaian shalat khususnya shalat jum’at ialah adzan ketika masuk waktu dan qamat ketika shalat jum’at akan didirikan atau dimulai. Adzan dan qamat terutama adzan tidak semata sebagai tanda masuknya waktu shalat, akan teptai juga untuk memanggil shalat (jama’ah).
            Berdasakan pertimbangan demikian itu, maka bahasan mengenai aszan ini diletakkan sebelum bahasan  mengenai shalat jama’ah da jum’at.
  1. Adzan dan Qamat
Shalat jama’ah dalam prakteknya dihubungkan dengan pelaksanaan adzan dan qamat. Dalam beberapa hal terdapat beberapa perbedaan pelaksanaan keduanya dalam praktek keagamaan masyarakat. kita ikuti bagaimana penjelasan Tarjih mengenai masalah adzan dan qamat tersebut sebagaimana dalam HPT.
    1. Waktu Adzan
Mengenai kapan mengerjakan adzan, Tarjih menyatakan bahwa: “ Bila waktu shalat fardhu telah tiba, hn\endaklah orang yang terbaik suaranya diantara kamu, menyerukan adzan”. Rumusan demikian didasarkan pada alasan yang difahami dari hadits Malik bin Khuwairitz dan hadits Darimi dan Abu Syaikh.
Hadits Malik bin Khuwairits.
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ أَنَّ الْحُوَيْرِثِ بْنِ مَالِكِ عَنْ وَمُسْلِمٍ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
إِذَاحَضَرَتِ :قَالَ أَكْبَرُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ لَكُمْ فَلْيُؤَذِّنْ الصَّلاَةُ إِذَاحَضَرَتِ :قَالَ
أَكْبَرُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَحَدُكُمْ لَكُمْ فَلْيُؤَذِّنْ الصَّلاَةُ
Artinya: “Karena hadits Bukhari dan Muslimdari Malik bin Khuwairits bahwa Nabi saw. bersabda: “Apabila tiba waktu shalat, hendaknya beradzan salah seorang diantara kamu dan hendaklah orang yang teruta diantaramu menjadi imam””.
            Hadits Darimi dari Abu Syaikh;
أَيضًاابْنُ وَأَخْرَجَهُ بِأَبِىمَحْذُوْرَةَ بِاِسْنَادٍمُتَّصِلٍ وَأَبِىالشَّيْْحِ الدَّارِمِّى وَلِحَدِيْثِ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ أَنَّ : فِىصَحِيْحِهِ خُزَيْمَةَ ابْنُ وَرَوَاهُ حِبَّانَ
الاَذَانَ فَعَلَّمَهُ أَبِىمَحذُوْرَةَ صَوْتُ فَاَذَّنُوْافَاَعْجَبَهُ رَجُوْلاً بِعَشْرِيْنَ أَمَرَ
Artinya: “Dan karena hadits Darimi dari Abu Syaikh dengan sanad yang bersambung sampai kepada Abu Makhdzurah: diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban dan diriwayatkan pula oleh Ibnu Khuzaimah dalam kitab  shahihnya bahwa Rasulullah saw. memangggil dua puluh orang laki-laki, kemudian merekapun beradzan, maka suara Abu Mahdzurah sangat menakjubkan beliau lalu beliau mengajar adzan kepadanya (Abu Mahdzurah)”.
    1. Adzan dan Qamat dalam Jama’ah
Secara khusus, perintah adzan dan Qamat yang dilakukan sebagai rangkaian shalat jama’ah, Tarjih memberikan tuntunan sebagaiman kutipan ini: “Apabila kamu menjama’ dua shalat berjama’ah, maka hendaklah adzan dari kamu satu kali dan berqamat dua kali. Demikian juga halnya kamu kerjakan dalam shalat-shalat faitah (Qadla)”.
Alasan dari tuntunan tersebut adalah hadits Jabir dan hadits Ubadah Ibnu Abdullah bin Mas’ud.
Hadits Jabir ra;
صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ اَنَّ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ مُحْتَصَرًاعَنْ وَالنَّسَائِىِّ وَمُسْلِمٍ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
فَصَلَّىبِهَا وَاَتَىالْمُزْدَلِفَةَ ، وَإِقَامَتَيْنِ وَاحَدٍ بِأَذَانٍ بِعَرَفَةَ صَلَّىصَلاَتَيْنِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
الْفَجْرُ حَتَّىطَلَعَ اضْطَجَعَ بَيْنَهُمَاثُمَّ يُسَبِّحْ وَلَمْ وَإِقَامَتَيْنِ وَاحَدٍ بِأَذَانٍ وَالْعِشَاءَ الْمَغْرِبَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Nasai denga singkat dari Jabir ra. bahwa Nabi saw. menjama’ kedua shalat di arafah dengan satu kali adzan dan dua kali qamat. Dan setelah tiba di Mudzdalifah, beliau shalat Maghrib dan Isya’ dengan satu kali adzan dan dua kali qamat, dan tidak mengerjakan shalat sunnat diantara keduanya, kemudian beliau tidur miring hingga terbit fajar”.
            Hadits Ubaidah Ibnu Abdillah bin Mas’ud;
مَسْعُوْدٍ ابْنِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ عُبَيْدَةَ أَبِى عَنْ وَالتِّرْمِذِىُّ وَالنَّسَائِىُّ أَحْمَدُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
أَرْبَعٍ عَنْ الْخَنْدَقِ يَوْمَ  عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ شَغَلُوالنَّبِىَّ الْمُشْرِكِيْنَ أَنَّ أَبِيْهِ عَنْ
أَقَامَ ثُمَّ الظُّهَْرَ فَصَلَّى  أَقَامَ ثُمَّ بِلاَلاًفَأَذَّنَ فَأَمَرَ مَاشَاءَاللَّهُ اللَّيْلِِ مِنَ حَتَّىذَهَبَ صَلَوَاةٍ
فَصَلَّىالْعِشَاءَ أَقَامَ ثُمَّ فَصَلَّىالْمَغْرِبَ أَقَامَ ثُمَّ فَصَلَّىالْعَصْرَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Nasai, dan Tirmidzi dari Ubaidah Ibnu Abdilah bin Mas’ud dari ayahnya, bahwa orang-orang musyrik pada hari perang Khandak mensibukkan Nabi Muhammad saw. hinga tidak sempat mengerjakan empat kali shalat hingga jauh malam. Maka beliau lalu memerintahkan Bilal untuk beradzan, kemudian qamat lalu beliau shalat Dzuhur, lalu Bilal Qamat maka beliau shalat Ashar, lalu Bilal berqamat, amka beliau shalat Maghrib, lalu Bilal berqamat lagi maka beliau shalat Isya”.
    1. Adzan sendiri
Jika seseorang dalam keadaan sendiri, Tarjih emeberi tuntunan untuk tetap membaca adzan walaupun tidak banyak yang mempraktekkan tuntunan ini. Mengenai hal ini dalam HPT Tarjih menyatakan: “Bilamana kamu sendirian hendaklah kamu adzan dan qamat dengan lirih-lirh tidak nyaring. Dan nyaringkanlah suaramu dengan seruan adzan dan qamat itu jika kamu sedang menggembala kambing atau diluar perkampunganmu”.
Dasar dari tuntunan itu ialah Abu Dawud dan Nasai berikut;
:قَالَ عَامِرٍ بْنِ عُقْبَةَ عَنْ ثِقَاةٌ إِسْنَادِهِ وَالنَّسَائِىِّوَرِجَالٌ أَحْمَدَوَاَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ
مِنْ عَزَّوَجَلَّ رَبُّكَ يَعْجَبُ :يَقُوْلُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ سَمِعْتُ
اُنْظُرُ :عَزَّوَجَلَّ اللَّهُ فَيَقُوْلُ . وَيُصَلِّى لِلصَّلاَةِ يُؤَذِّنُ بِجَبَلٍ فِىشَظِيَّةٍ رَاعِىغَنَمٍ
. الْجَنَّةَ وَاَدْخَلْتُهُ لِعَبْدِى فَقَدْغَفَرْتُ مِنِّى يَخَافُ الصَّلاَةَ وَيُقِيْمُ هَذَايُؤَذِّنُ إِلَىعَبْدِى
بِاالصَّلاةِ  فَأَذَّنْتَ أَبَادِيَاتِكَ فِىغَنَمِكَ إِذَاكُنْتَ :بِلَفْظِ وَالنَّسَائِىِّ الْمُوَطَّاءِ وَفِىالْبُخَارِىِّ
وَلاَشَيْءٌ وَلاَإِنْسٌ جِنٌّ الْمُؤَذِّنِ مَدَىصَوْتِ لاَيَسْمَعُ فَإِنَّهُ بِالنِّدَآءِ صَوْتَكَ فَارْفَعْ
الْقِيَامَةِ يَوْمَ اِلاَّشَهِدَلَهُ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasai  yang sanadnya Tsiqah (dapat dipercaya) dari ‘Uqbah bin Amir, berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tuhanmu sangat memuji seorang penggembala kambing dalam sebuah gundukan gunung, dia beradzan untuk shalat, lalu shalat. Allah berfirman: “Lihatlah olehmu akan hamba-Ku ini, dia beradzan dan mendirikan shalat Karena takut kepada-Ku, sungguh aku telah mengampuni hamba-Ku itu dan Aku masukkan dia ke surga”. Dalam hadits riwayat Bukhari, Muwaththa’dan Nasai dengan perkataan: “Apabila kamu berada di tempat penggembalaan akambingmu atau berada diluar perkampunganmu, lalu kamu menyerukan adzan, maka nyaringkanlah suaramu dengan adzan itu, karena Jin, manusia yang mendengar sejauh suara muadzin itu kelak akan menjadi saksi pada hari Kiamat””.
    1. Bacaan Adzan dan Qamat
Dalam tuntunan Tarjih sebagaiman dimuat HPT, Bacaan adzan itu adlaah sebagaiman berikut;
“Allāhu akbar Allāhu Akbar, Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu Alla ilāha illallāh. Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh Hayya alal falāh Allāhu akbar Allāhu akbar. Lā ilāha illa lāh”.
Khusus mengenai peintah qamat, Tarjih menyatakan; apabila shalat hendak dimulai, maka muadzin supaya menyerukan:
Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh. Qad qā matiş şolat Qad qā matiş şolat. Allāhu akbar Allāhu Akbar. Lā ilāha illa lāh.
Dasar mengenai pengambilan ketetapan mengenai bacaan adzan tersebut ialah hadits Abu Dawud di bawah ini.
لَمَّاأَمَرَ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ زَيْدٍ بْنِ عَبْدِاللَّهِ عَنْ وَالتِّرْمِذِىِّ أَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ 
الصَّلاَةِ لِجَمْعِ لِلنَّاسِ بِهِ لِيُضْرَبَ بِالنَّاقُوْسِ  عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ
قَالَ ؟ النَّاقُوْسَ أَتَبِيْعُ ، يَاعَبْدَاللَّهِ :فَقُلْتُ نَاقُوْسًافِىيَدِهِ يَحْمِلُ رَجُلٌ وَاَنَانَائِمٌ بِى طَافَ
؟ ذَلِكَ مَاهُوَخَيْرٌمِنْ عَلَى أفَلاَاَدُلُّكَ :قَالَ .اِلاَالصَّلاَةِ نَدْعُوْبِهِ :فَقُلْتُ ؟ بِهِ مَاتَصْنَعُ :
لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ :تَقُوْلُ :قَالَ .بَلَى :لَهُ فَقُلْتُ
مُحَمَّدًا  أَشْهَدُأَنَّ ، اللَّهِ رَسُوْلُ   مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ  لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . اِلاَّاللَّهُ
حَىَّعَلَىالفَلاَحِ ، حَىَّعَلَىالفَلاَحِ . حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ ، حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ .اللَّهِ رَسُوْلَ
تَقُوْلُ ثُمَّ :قَالَ ثُمَّ غَيْرَبَعِيْدٍ خَرَعَنِّى اسْتَأْ ثُمَّ :قَالَ . إِلاَّاللَّهِ لاَاِلَهَ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ .
رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ: صَلاَةَ إِذَاقُمْتَ
اَللَّهُ . الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ ، الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ . حَىَّعَلَىالفَلاَحِ ،  حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ. اللَّهِ
وَالسَلَّمَ  صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ أَتَيْتُ فَلَمَّاأَصْبَحْتُ  . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ
فَأَلْقِ بِلاَلٍ مَعَ فَقُمْ اللَّهُ شَاءَ  إِنْ اِنَّهَالَرُؤْيَ احَقٍّ : فَقَالَ . بِمَارَاَيْتُ فَأَخْبَرْتُهُ عَلَيْهِ
عَلَيْهِ أُلْقِيْهِ فَجَعَلْتُ بِلاَلٍ مَعَ فَقُمْتُ أَنْدَىصَوْتًامنْكَ فَإِنَّهُ بِهِ فَلْيُؤَذِّنْ مَارَاَيْتَ عَلَيْهِ
اَلْحَدِيْثَ . بِهِ وَيُؤَذِّنُ
Artinya: “Karena hadits Abu Dawud dari Tirmidzi dari Abdullah bin Zaid ra. berkata ketika Rasulullah saw. memerintahkan memukul lonceng untuk mengumpulkan orang-orang untuk shalat berjama’ah; maka sewaktu aku tidur (dalam mimpi) melihat seorang laki-laki membawa lonceng di tangannya mengelilingi aku, maka aku bertanya kepadanya: “Wahai hamba Allah, adakah engkau akan menjual lonceng itu?”. Maka orang laki-laki itu menanyakan: “Akan kau pergunakan untuk apakah lonceng itu?”.
Aku menjawab: “Untuk memanggil kepada shalat”. Maka dia berkata: “Bagaimana kalau aku tunjukkan kepadamu sesuatu yang lebih baik dari itu?”. Aku menjawab: “Baiklah!”. Dia berkata: “Kau serukan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar, Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu Alla ilāha illallāh. Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh Hayya alal falāh Allāhu akbar Allāhu akbar. Lā ilāha illa lāh”.
Kemudian orang itu mundur tidak jauh daripadaku, lalu berkata: “Kemudian kalau kamu hendak memulai shalat, engkau serukan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh. Qad qā matiş şolat Qad qā matiş şolat. Allāhu akbar Allāhu Akbar. Lā ilāha illa lāh.”
Pada pagi harinya aku datang kepada Rasulullah saw. lalu kau beritakan apa yang aku lihat semalam; maka Rasulullah bersabda: “Sungguh itu adalah impian yang benar, insya Allah. Pergilah bersama Bilal dan ajarkanlah kepadanya apa yang engkau lihat. Hendaklah engkau menyerukan adzan dengan itu, sebab Bilal lebih nyaring suaranya daripadamu”. Kemudian aku mengajarkannya lalu ia menyerukakn adzan dengan itu” . . . seterusnya hadits.”
    1. Adzan Subuh
Tarjih sebagaimana dalam HPT selanjutnya  menuntunkan khusus untuk adzan waktu subuh sebagaimana kutipan ini: “Di dalam adzan waktu shalat subuh, hendaklah sesudah menyerukan: Hayya ‘alal falāh, mengucapkan Aşşalātu khairūm minan naūm, Allāhu akbar Allāhu akbar, Lā ilāha illa lāh”.
Dasarnya ialah hadits Abu Mahdzurah ra.:
يَارَسُوْلَ قُلْتُ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىمَحْذُوْرَةَ عَنْ الْخَمْسَةُ أَخْرَجَهُ لِحَدِيْثٍ
الصَّلاَةُ :قُلْتَ الصُّبْحِ صَلاَةَ كاَنَ فَإِنْ :وَقَالَ فَعَلَّمَهُ . الاَذَانِ عَلِّمْنِىسُنَّةَ ، اللَّهِ
اِلاَّاللَّهُ  لاَاِلَهَ ،  أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ ، النَْوْمِ  خَيْرٌمِنَ اَلصَّلاَةُ ، النَّوْمِ خَيْرٌمِنَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Lima Imam (Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad) dari Abu Mahdzurah berkata: Aku berkata: “Hai Rasulullah saw., ajarilah aku bagaimana cara adzan!”. Maka Rasulullah saw. mengajarkannya dan lalu bersabda: “Sedang untuk shalat Subuh kamu ucapkan: “Aşşalātu khairūm minan naūm, Allāhu akbar Allāhu akbar, Lā ilāha illa lāh””.
    1. Bacaan Adzan Waktu Hujan
Khusus jika hari dalam keadaan hujan atau sangat dingin sehingga dapat mempersulit orang untuk pergi berjama’ah ke Mesjid atau tempat-tempat jama’ah, terdapat baacan khusus sebagaimana dituntunkan oleh Tarjih. Tuntunan seperti demikian tidak banyak kita temukan dalam praktek.
Teks asli tuntunan Tarjih sebagaimana dalam HPT itu ialah: “Dan apabila hari hujan atau malam sangat dingin, sebagai pengganti daripadanya ucapan: Hayya alaş şolāh hendaklah diucapkan: şallū fī rihā likum” atau “şallū fī buyū tikum”.
Landasan penetapan tuntunan tersebut ialah dua buah hadits Abdullah bin Kharits dan hadits Nafi’.
Hadits Abdullah bin Kharits (1);
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abdullah bin Harits berkata: “Pasa suatu hari licin (karena hujan), Ibnu Abbas berkhutbah di tengah-tengah kita. ketika muadzin akan menyerukan: “Hayya alaş şolāh” maka Ibnu Abbas menyuruh dia supaya menyerukan: Aşalātu firrihāl”. Hadirin sama berpandang-pandangan, maka Ibnu Abbas lalu berkata: “Hal begini ini telah dilakukan oleh orang yang lebih utama dari Muadzin dan sungguh itu adalah suatu kepastian”.
            Hadits Abdullah bin Harits (2);
فِىيَوْمٍ لِمُؤَذِّنِهِ قَالَ أَنَّهُ عَبَّاسٍ بْنِ عَبْدِاللَّهِ عَنْ الْحَارِثِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ عَنْ مُسْلِمٌ وَرَوَى
حَىَّعَلَىِ : فَلاَتَقُلْ اَللَّهِ، رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ : مَطِيْرٍإِذَاقُلْتَ
أَتَعْجَبُوْنَ :فَقَالَ . اسْتَنْكَرُوْذَاكَ النَّاسَ فَكَاَنَّ :قَالَ  صَلُّوْفِىبُيُوْتِكُمْ :قُلْ ، الصَّلاَةِ
اُخْرِجَكُمْ أَنْ وَإِنِّىكرِهْتُ عَزْمَةٌ الْجُمُعَةَ مِنِّىاِنَّ  هُوَخَيْرٌ ذَامَنْ قَدْفَعَلَ ؟ ذَا مِنْ
فِىالدَّحْضِ  تَمْشُوْا اَنْ وَكَرِهْتُ :وَقَالَ :وَفِىرِوَايَةٍ وَالدَّحضِ  فِىالطِّيْنِ فَتَمْشُوْ
وَالزَّلَلِ
Artinya: “Dan Muslim meriwayatkan hadits ‘Abdullah bin Harits dari Abdullah bin Abbas’ bahwa ia berkata kepada Muadzinnya di hari hujan: “Apabila kamu telah mengucapkan: Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh, janganlah mengucapkan: Hayya alaş şolāh akan tetapi ucapkanlah: şallū fī buyū tikum””.
            Berkata Abdullah bin Harits: “Orang-orang seakan menyangkal hal itu,” maka Ibnu Abbas berkata: “Apakah kamu heran aka hal itu? Sungguh telha melakukan ini orang yang lebih utama daripadaku. Sesungguhnya shalat jum’at itu wajib; sedang aku enggan menyuruh keluar kepadamu, untuk berjalan di lumpur dan di tempat yang licin”. Dan dalam riwayat lain Ibnu Abbas berkata: “Aku enggan menyuruh kamu  berjalan di tempat yang becek dan licin”.
            Hadits Nafi’;
:فَقَالَ بَرْدٍوَرِيْحٍ ذَاتِ فِىلَيْلَةٍ بِالصَّلاَةِ أَذَّنَ عُمَرَ ابْنَ أَنَّ نَافِعٍ أَيْضًاعَنْ وَرَوَىمُسْلِمٌ
يَأْمُرُالْمُؤَذِّنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ  رَسُوْلُ كاَنَ :قَالَ  ثُمَّ ، أَلاَصَلُّوْافِىالرِّحَالِ
فِىلَيْلَةٍ  : وَفِىرِوَايَةٍ - الرِّحَالِ اَلاَصَلُّوْافِى : يَقُوْلُ مَطَرٍ ذَاتُ بَارِدَةٌ لَيَلَةٌ اِذَاكاَنَتْ
الرِّحَالِ اَلاَصَلُّوْافِى ، الرِّحَالِكُمْ اَلاَصَلُّوْافِى :فِىأَخِرِنِذَائِهِ فَقَالَ وَمَطَرٍ وَرِيْحٍ بَارِدَةٍ
بَارِدَةٌ لَيْلَةٌ كاَنَتْ إِذَا يَأْمُرُالْمُؤَذِّنَ كاَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ إِنَّ :قَالَ ثُمَّ
الرِّحَالِكُمْ اَلاَصَلُّوْافِى :يَقُوْلَ أَنْ مَطَرٍفِىسَّفَرِ أَوْذَاتُ
Artinya: “Hadits Muslim meriwayatkan juga dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar menyerukan adzan untuk shalat pada suatu malam yang dingin dan berangin. Maka dia menyerukan: “Alā shallū firrihā’l”. Kemudian berkata: “Bilamana malam dingin atau hujan, Rasulullah saw. memerintahkan kepada muadzinnya supaya menyerukan: “Alā shallū firrihā’l”. Dalam suatu riwayat hadits, pada suatu malam yang dingin, berangin dan hujan, maka dia dalam akhir seruan adzannya mengatakan: “Alā shallū firrihā’likum. Alā shallū firrihā’l”. Kemudian berkata: “bilamana malam dingin atau hujan dalam berpergian, Rasulullah saw. memerintahkan kepada muadzinnya supaya mengucapkan: “Alā shallū firrihā’likum”.
    1. Jawaban Adzan
Bagi orang yang mendengar adzan, menurut Tarjih, “hendaklah membaca sebagaimana yang dibaca oleh muadzin, kecuali pada ucapan “Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh”, hendaklah membaca “Lā haula wala quwwata illā billāh”. Dasarnya ialah hadits Abu Said , Umar bin Khattab ra.”.
Hadits Abu Said;
إِذَاسَمِعْتُمُ :قَالَ  عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ  صَلَّىاللَّهُ  النَّبِىَّ اَنَّ أَبِىسَعِيْدٍ عَنْ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
المُؤَذِّنُ مَايَقُوْلُ فَقُوْلُوْامِثْلَ النِّدَاءَ
Artinya: “Karena hads yang diriwayatkan oleh jama’ah dari Abu Sa’id, bahwa nabi saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar  seruan adzan, maka ucapkanlah sebagaimana yang diserukan oleh Muadzin”.
            Hadits Umar bin Khattab ra.
اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ الْخَطَّابِ عُمَرَبْنِ اَبِىدَاوُدَعَنْ وَ مُسْلِمِ وَلِحَدِيْثِ
أَكْبَرُ  اَللَّهُ :أَحَدُكُمْ فَقَالَ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ :الْمُؤَذِّنُ إِذَاقَالَ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ  صَلَّىاللَّهُ
أَشْهَدُأَنَّ : قَالَ ثُمُّ. اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ : قَالَ ، اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ: قَالَ ثُمَّ أَكْبَرُ اَللَّهُ
حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ : قَالَ ثُمَّ . اللَّهِ  رَسُوْلُ  مُحَمَّدًا   أَشْهَدُأَنَّ: قَالَ ، اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدًا
. إِلاَّبِاللَّهِ وَلاَقُوَّةَ  لاَحَوْل َ :قَالَ ، حَىَّعَلَىالفَلاَحِ : قَالَ ثُمَّ. إِلاَّبِاللَّهِ وَلاَقُوَّةَ لاَحَوْلَ :قَالَ
اِلاَّاللَّهُ   لاَاِلَهَ : قَالَ  ثُمَّ . أَكْبَرُ  اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ : قَالَ ، أَكْبَرُ   اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ : قَالَ ثُمَّ
 الْجَنَّةَ دَخَلَ قَلْبِهِ مِنْ اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ : قَالَ
Artinya: “Dan karena hadits Muslim dan Abu Dawud dan Umar bin Khattab ra. berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila muadzin mengucapkan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar” lalu salah seorang dari kamu mengucapkan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar”, kemudian muadzin mengucapkan “Aşhadu Alla ilāha illallāh”, ia mengucapkan: “Aşhadu Alla ilāha illallāh”, muadzin mengucapkan: “Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh”, ia mengucapkan: “Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh”. muadzin mengucapkan: “Hayya alaş şolāh” ia mengucapkan: “Lā haula wala quwwata illā billāh”. Muadzin mengucapkan “Allāhu akbar Allāhu Akbar”. Ia mengucapkan: “Allāhu akbar Allāhu Akbar”. Muadzin mengucapkan “Lā ilāha illa lāh”, ia mengucapkan “Lā ilāha illa lāh” yang kesemuanya itu timbul karena keikhlasan hatinya, maka ia akan masuk surga”.
    1. Do’a sesudah Adzan
Setelah selesai adzan, Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan: “Masing-masing dari muadzin dan pendengar hendaklah bershalawat kepada Nabi saw. seraya doa’anya: “Allāhumma rabbahā dzihid da’watit tāmmati wash shalātil qāimah. Āti Muhammadanil washī lata wal fadhīlata wab atshu maqāmammahmū danil ladzī wa adtah””. Dasarnya ialah hadits dari Abdullah Ibnu Umar dan Jabir.
Hadits Abdullah bin Umar;
سَمِعَ أَنَّهُ الْعَاصِ عَمْرِىبْنِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ عَنْ مَاجَهْ وَابْنُ الْبُخَارِىَّ إِلاَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
عَلَىَّفَإِنَّهُ صَلُّو ثُمَّ مَايَقُوْلُ فَقُوْلُوْامِثْلَ الْمُؤَذِّنَ سَمِعْتُمُ إِذَا :يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ
فَاِنَّهَامَنْزِلَةٌ الْوَسِيْلَةَ لِىَ سَلُوْاللَّهَ ثُمَّ ، بِهَاعَشْرًا عَلَيْهِ صَلَّىاللَّهُ عَلَىَّصَلاَةً صَلَّى مَنْ
الْوَسِيْلَةَ لِىَ اللَّهَ سَأَلَ فَمَنْ أَنَاهُوَ أَكُوْنَ وَاَرْجُوْأَنْ عِبَادِاللَّهِ مِنْ إِلاَّلِعَبْدٍ لاَتَنْبَغِى فِىالْجَنَّةِ
الشَّفَاعَةُ لَهُ حَلَّتْ
Artinya: “Karena hadits riwayat Jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majjah dari Abdullah bin Anar Ibnul Ash, bahawa ia mendengar Nabi saw. bersabda: “Apabila kamu mendengar seruan muadzin, maka katakanlah sebagaimana yang ia ucapkan lalu bacalah shalawat untukku. Karena barangsiapa membaca shalawat untukku satu kali, maka Allah akan memberikan rahmat sepuluh kali lipat. Kemudian mintalah wasilah untukku kepada Allah, karena wasilah itu suatu kedudukan di surga yang hanya diberikan kepada seorang hamba Allah dan aku mengharapkan akulah hamba itu. Maka barangsiapa memintakan wasilah untukku niscaya ia akan beroleh syafaat””.
            Hadits Jabir;
:قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ  رَسُوْلُ  أَنَّ جَابِرٍ اِلاَّمُسْلِمًاعَنْ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
                 مُحَمَّدًا اَتِ ، الْقَآئِمَةِ وَالصَّلاَةِ التَّامَّةِ الدَّعْوَةِ هَدِهِ رَبَّ اَللَّهُمَّ : النِّدَاءِ حِيْنَ قَالَ مَنْ
الْقِيَامَةِ شَفَاعَتِىِيَوْمَ لَهُ حَلَّتْ ، وَعَدْتَهُ مَقَامًامَحْمُوْدًاالَّذِى وَابْعَثْهُ ، وَالْفَضِيْلَةَ الْوَصِيْلَةَ
(لِلْبُخَارِىِّ وَاللَّفْظُ)
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Muslim dan Jabir, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa sehabis adzan berdo’a: “Allāhumma rabbahā dzihid da’watit tāmmati wash shalātil qāimah. Āti Muhammadanil washī lata wal fadhīlata wab atshu maqāmammahmū danil ladzī wa adtah”. Niscaya ia akan memperoleh syafaatku pada hari kiamat”. (Lafalnya ini dari Bukhari).
    1. Do’a diantara adzan dan Iqamat
Tarjih menyatakan; “dan hendaklah berdo’a diantara adzan dan qamat itu dengan do’a-do’a yang dianggap penting”. mengenai do’a apa yang penting tidak dijelaskan lebih lanjut dalam HPT.
Adapun dasarnya ialah hadits Anas bin Malik berikut;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ  رَسُوْلُ  قَالَ :قَالَ مَالِكٍ بْنِ أَنَسِ وَالتِّرْمِذِىِّعَنْ اَحْمَدَوَأَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ
وَالاِقَامَةِ الاَذَانِ لاَيُرَدُّبَيْنَ الدُّعَاءُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi dari Anas bin Malik ra. berkata: “Rasulullah saw. bersabda “Do’a tidak akan ditolak diantara adzan dan Iqamat””.
    1. Bacaan Adzan, Qamat dan Do’a Adzan
a.       Bacaan Adzan
أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ
. اِلاَّاللَّهُ  لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ
.اللَّهِ رَسُوْلَ مُحَمَّدًا  أَشْهَدُأَنَّ ، اللَّهِ رَسُوْلُ   مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ
. حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ ، حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ
حَىَّعَلَىالفَلاَحِ ، حَىَّعَلَىالفَلاَحِ
. أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ
إِلاَّاللَّهِ لاَاِلَهَ
“Allāhu akbar Allāhu Akbar, Allāhu akbar Allāhu Akbar. Aşhadu Alla ilāha illallāh Aşhadu Alla ilāha illallāh. Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh Aşhadu anna muhammadar rasūlullāh. Hayya alaş şolāh Hayya alaş şolāh. Hayya alal falāh Hayya alal falāh Allāhu akbar Allāhu akbar. Lā ilāha illa lāh”.
Artinya: “Allah Maha Agung, Allah Maha Agung. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, Aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah. Marilah melakukan shalat. Marilah menuju kejayaan. Maha Agung. Tiada Tuhan melainkan Allah”.
b. Adzan Subuh
            Sebagaimana tersebut diatas, kecuali sesudah: Hayya alaş şolāh ditambah dengan bacaan;
النَّوْمِ مِنَ خَيْرٌ اَلصَّلاَةُ
Artinya: “Shalat itu lebih baik daripada tidur”.
c. Adzan di hari tertentu (hujan)
            Pada waktu hujan atau pada malam hari yang sangat dingin, maka Hayya alaş şolāh diganti dengan bacaan;
اَلاَصَلُّوْفِىرِحَلِكُمْ
اَوْ
اَلاَصَلُّوْفِىْبُيُوْتِكُمْ
Artinya: “Ingat, shalatlah kamu di tempat berhentimu atau shalatlah kamu di rumah-rumahmu”
d. Bacaan Menyambut Adzan
            Sebagaimana yang diucapkan muadzdzin, kecuali “Hayya alaş şolāh” yang disambut dengan bacaan;
إِلاَّبِاللَّهِ وَلاَقُوَّةَ لاَحَوْلَ
Artinya: “Tiada ada gerak dan kekuatan kecuali dengan izin-Nya”
e. Do’a Sesudah Adzan
، الْقَآئِمَةِ وَالصَّلاَةِ التَّامَّةِ الدَّعْوَةِ هَدِهِ رَبَّ اَللَّهُمَّ . مُحَمَّدٍ وَعَلَىآَلِ عَلَىمُحَمَّدٍ صَلِّى اَللَّهُمَّ
، وَعَدْتَهُ مَقَامًامَحْمُوْدًاالَّذِى وَابْعَثْهُ ، وَالْفَضِيْلَةَ الْوَصِيْلَةَ مُحَمَّدًا اَتِ
Artinya: “Ya Allah berilah kehormatan dan kebahagiaan kepada Muhammaddan kepada keluarganya. Ya Allah, Tuhannya seruan yang sempurna dan shalat yang akan tegak ini, berilah wasilah dan kelebihan kepada Muhammad, dan sampaikanlah kepadanya kedudukan yang terpuji yang telah engkau janjikan”.
f. Bacaan Qamat
،  حَىَّعَلَىالصَّلاَةِ. اللَّهِ رَسُوْلُ مُحَمَّدًا أَشْهَدُأَنَّ . اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ أَشْهَدُأَنْ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ
اِلاَّاللَّهُ لاَاِلَهَ . أَكْبَرُ اَللَّهُ أَكْبَرُ اَللَّهُ . الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ ، الصَّلاَةِ قَدْقَامَتِ . حَىَّعَلَىالفَلاَحِ
Artinya: “Allah maha agung, Allah maha agung, Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Aku bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah. Marilah bershalat. Marilah menuju kejayaan. Sudah akan dimulai shalat, Allah maha agung, Allah maha Agung. Tidak ada tuhan melainkan Allah”
  1. Shalat Jum’at
Shalat jum’at ialah shalat yang dikerjakan secara berjama’ah, tempatnya di Mesjid atau yang difungsikan  sebagai mesjid, dimana salah seorang bertindak sebagai makmum dan yang lainnya sebagai imam. Shalat jum’at didahului oleh khutbah jum’at dan merupakan pengganti dari shalat Dzuhur.
Dalam buku HPT, Tarjih tidak menjelaskan lebih lanjtu mengenai tata cara penyelenggaraan shalat jum’at. demikian pula mengenai perbedaan pendapat di sekitar shalat jum’at, seperti mengenai kewajiban wanita, berapa kali adzan, bagaimana jika seseorang berpergian, bagaimana orang karena sesuatu hal berhalangan mengerjakan shalat jum’at di mesjid, apakah yang harus dilakukan shalat dzuhur atau shalat jum’at (dua raka’at) tanpa khutbah dan jama’ah.
Sementara itu mengenai shalat jama’ah, perbedaan banyak terjadi dalam hal kewajiban makmum membaca fatihah dalam shalat jahar dan kewajiban imam membaca basmalah dengan jahar.
Bagimana tuntunan Tarjih selanjutnya mengenai hal diatas sebagai hasil penyelidikan, akan kita lihat dalam bahasan berikut;
  1. Perintah shalat Jum’at
Menurut Tarjih, perintah pelaksanaan shalat jum’at dapat diliaht dari sumbernya, yaitu al-Qur’an surat Jumu’ah ayat 9 dan hadits Ibnu Mas’ud sebagaimana dikutip dalam HPT.
Surat Jum’ah ayat 9;
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Jumu’ah: 9)
            Hadits Ibnu Mas’ud;
عَلَيْهِ   صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ  رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ َمَْسعُوْدٍ  ابْنِ عَنِ اَحْمَدُوَمُسْلِمٌ رَوَى
الْجُمُعَةِ عَنِ يَتَخَلَّفُوْنَ عَلَىرِجَالٍ أَحْرِقَ ثُمَّ آَمُرَرَجُلاًيُصَلِّىبِالنَّاسِ أَنْ لَقَدْهَمَّتْ : وَالسَلَّمَ
بُيُوْتَهُمْ
Artinya: “Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Ibnu Mas’ud ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Mau aku rasanya memerintahkan orang menjadi imam bersama-sama dengan orang banyak: kemudian membakar rumah rumah mereka yang tidak mendatangi shalat jum’at””.
  1. Raka’at jum’at
Dalam hal beberapa orang yang berhalangan mengerjakan jama’ah jum’at orang berbeda pendapat. Tarjih dalam HPT sendiri belum membahas masalah tersebut.
Tidak demikian halnya dengan bilangan raka’at jum’at, Tarjih juga sebagaiman pendapat umum menyatakan mengenai bilangan raka’at jum’at, “Apabila tiba hari jum’at, dirikanlah shalat jum’at dua raka’at dengan berjama’ah”. Dasarnya ialah hadits Tariq bin Syihab dan hadits Umar berikut;
:قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ عَنِ شِهَابٍ بْنِ طَارِقِ دَاوُدَعَنْ أَبِى لِحَدِيْث (۳۰)
اَوْصَبِىٌّ ، اَوِامْرَأَةٌ ، مَمْلُوْكٌ عَبْدٌ :إِلاَّأرْبَعَةً فِىجَمَاعَةٍ مُسْلِمٍ عَلَىكُلِّى وَاجِبٌ حَقٌّ الْجُمُعَةُ
اَوْمَرِيْضٌ ،
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud dari Tariq bin Syihab dari Nabi saw. bersabda: “Shalat Jum’at itu adalah suatu hak yang wajib ditunaikan setiap orang Islam dengan berjama’ah. Kecuali empat gologan orang yakni: hamba sahaya, orang perempuan, anak kecil dan orang sakit””.
            Hadits Umar;
السَّفَرِرَكْعَتَانِ صَلاَةُ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ مَاجَهْ وَابْنِ وَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَ ولِحَدِيْثِ
غَيْر مِنْ تَمَامٌ رَكْعَتَانِ الْجُمُعَةِ وَصَلاَةُ الْفِطْرِرَكْعَتَانِ وَصَلاَةُ رَكْعَتَانِ الضُّحَى وَصَلاَةُ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ مُحَمَّدٍ عَلَىلِسَانٍ قَصْرٍ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar ra. berkata: “Shalat safar itu dua raka’at, shalat hari raya Adha dua raka’at, shlaat hari raya fitri dua raka’at , shalat jum’at pun dua raka’at demikian itu shalat yang sempurna, bukan karena qashar menurut ajaran Nabi Muhammad saw.””.
  1. Cara Khutbah
Tarjih dalam HPT menyatakan: “Sebelum shalat hendaklah Imam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan duduk diantara kedua khutbah itu. Di dalam khutbah Imam supaya membaca ayat Qur’an dan memberikan peringatan-peringatan kepada oran banyak”. Tuntunan demikian didasarkan pada hadits Sumarah ra., Ibnu Umar dan hadits Abu Hurairah.
Hadits Sumarah ra.
كاَنَ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ سَمُرَةَ بْنِ جَابِرِ وَالتِّرْمِذِىًّعَنْ إِلاَالْبُخَارِىَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
آَيَاتٍ وَيَقْرَأُ الْخُطْبَتَيْنِ بَيْنَ قَائِمًاوَيَجْلِسُ يَخْطُبُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ
وَيُذَكِّرُالنَّاسُ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan Tirmidzi dari Jabi bin Samurah ra. yang berkata: “Adalah Rasulullah saw. berkhutbah sambil berdiri dan duduk diantara dua khutbah, dan membaca beberapa ayat Qur’an dan memberi peringatan kepada orang banyak””.
            Hadits Ibnu Umar ra.;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىُّ كاَنَ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
الْيَوْمَ يَفْعَلُوْنَ كَمَا يَقُوْمُ ثُمَّ يَجْلِسُ قَائِمً الْجُمُعَةِ يَوْمَ يَخْطُبُ 
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Jama’ah dari Ibnu Umar ra. yang berkata: “Adalah Nabi saw. berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri kemudian beliau duduk dan lalu berdiri lagi sebagaimana dijalankan oleh oragn-orang sekarang””.
            Hadits dari Abu Hurairah;
مَنِ :قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىِّ عَنِ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ مُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
خُطْبَطِهِ مِنْ الاِمَامُ حَتَّىيَفْرُغَ أَنْصَتَ ثُمَّ قُدِّرَلَهُ فَصَلَّىمَا أتَىالْجُمَعَةَ ثُمَّ الْجُمُعَةِ يَوْمَ اغْتَسَلَ
أَيَّامٍ ثَلاَثَةِ وَفَضْلُ الاُخْرَى الْجُمُعَةِ وَبَيْنَ مَابَيْنَهُ غُفِرَلَهُ يُصَلِّىمَعَهُ ثُمَّ

Artinya: “Dan karena hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, kemudian pergi untuk mendatangi shalat jum’at, lalu shalat sunnah sekadar kemampuannya, kemudian tenang mendengarkan khutbah, sehingga imam selesai dari khutbahnya, lalu shalat (sunnah) sekedar kemampuannya, kemudian tenang mendengarkan khutbah, sehingga Imam selesai dari khutbahnya, lalu shalat jum’at bersama-sama dengan imam, niscaya diampunilah dosa-dosanya diantara hari itu sampai hari jum’at berikutnya ditambah tiga hari””.
  1. Bersegera ke Mesjid
Tarjih dalam HPT menyatakan: “Dan berangkatlah ke masjid pagi-pagi”. Tuntunan demikian didasarkan pada alasan yang bersumber dari Abu Hurairah berikut;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ أَنَّ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ مَاجَهْ اِلاَّابْنَ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
رَاحَ وَمَنْ بَدَنَةً قَرَّبَ فَكَأَنَّ رَاحَ ثُمَّ الْجَنَبَةِ غُسْلَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ اغْتَسَلَ مَنِ:قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
، كَبْسًاأَقْرَانَ قَرَّبَ فَكَأَنَّ الثَّلِثَةِ فِىالسَّعَةِ رَاحَ وَمَنْ ، بَقَرَةً قَرَّبَ فَكَاَنَّ الثَّانِيَةِ فِىالسَّاعَةِ
فِىالسَّاعَةِ رَاحَ ، دَجَاجَةٍ قَرَّبَ فَكَاَنَّ الرَّابِعَةِ فِىالسَّاعَةِ رَاحَ وَمَنْ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Ibnu Majjah dari Abu hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari jum’at seperti mandi janabat, kemudian berangkat ke tempat shalat jum’at, mendapat pahala seolah-olah dia itu berqurban dengan seekor unta; dan barangsiapa berangkat pada waktu yang kedau seakan-akan dia berqurban seekor lembu; dan barangsiapa berangkat dalam waktu yang ketiga, seakan-akan dia berqurban seekor domba yang bertanduk; dan barangsiapa yang berangkat pada waktu yang keempat, seolah-olah dia berqurban seekor ayam betina; sedang bila ia datang pada waktu yang kelima, seakan-akan berqurban dengan telor. Dan jika Imam telah berangkat dan hadir, maka para Malaikat hadir pula untuk mendengarkan khutbahnya””.
  1. Persiapan Jum’at, Shalat Sunnat dan Mendengarkan Khutbah
Mengenai perintah mandi sebelum pergi ke mesjid untuk shalat jum’at dan shalat sunnah sebelum shalat jum’at dilaksanakan, serta keharusan mendengarkan khutbah, Tarjih dalam HPT menyatakan; “Dan sebelum berangkat, mandilah lebih dulu mengenakan pakaianmu yang terbaik dan kenakanlah (usaplah) wangi-wangian apabila ada padamu, kemudian berangkatlah ke mesjid dengan tenang. Setelah tiba di masjid shalatlah sekuatmu dan jangan mengganggu seseorang; kemudian apabila imam berkhutbah dengarkanlah dengan penuh perhatian”.
Dasar dari tuntunan diatas ialah hadits Abu Ayyub ra. berikut;
:يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىَّ سَمِعْتُ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ آَبِىاَيُّوْبَ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
خَرَجَ ثُمَّ ثِيَابِهِ أَحْسَنِ مِنْ وَلَبِسَ عِنْدَهُ كاَنَ اِنْ طَيْبٍ مِنْ وَمَسَّ الْجُمُعَةِ يَوْمَ اغْتَسَلَ مَنِ
إِمَامُهُ إِذَاخَرَجَ أَنْصَتَ يُؤْذِأَحَدًاثُمَّ وَلَمْ بَدَالَهُ إِنْ فَيَرْكَعَ يَأْتِىَالْمَسْجِدَ حَتَّى السَّكِيْنَةُ وَعَلَيْهِ
الاُخْرَى الْجُمُعَةِ لِمَابَيْنَهَاوَبَيْنَ كَفَّارَةً حَتَّىيُصَلِّىكاَنَتْ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Ayyub ra.yang berkata bahwa aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa mandi pada hari jum’at dan mengenakan wangi-wangian bila ada, dan memakai pakaian yang terbaik, kemudian keluar dengan tenang sehingga sampai ke masjid, lalu shalat seberapa menurut kehendaknya dan tidak mengganggu seseorang, kemudian berdiam diri sambil memperhatikan kepada khutbah Imam sejak ia datang hingga berdiri shalat maka adalah perbuatannya yang sedemikian itu menjadi pembebas dosanya selama antara jum’at hari itu dengan hari jum’at berikutnya””.
  1. Datang Ketika Khutbah
Apa tindakan pertama yang harus dilakukan ketika seseorang datang ke mesjid untuk shalat jum’at pada saat Khatib  sedang menyampaikan khutbah , Tarjih dalam HPT menyatakan; “Apabila kamu masuk mesjid pada waktu Imam sedang berkhutbah, maka kerjakanlah shalat dua raka’at yang ringan (cepat)”.
Landasan dalil yang dipergunakan untuk menetapkan tuntunan diatas adalah hadits dari Jabir, hadits riwayat Muslim-Ahmad-Abu Dawud, dan hadits riwayat Bukhari dan Muslim.
Hadits dari Jabir ra.;
رَسُّوْلُ وَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ رَجُلٌ دَخَلَ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ عَنْ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
رَكْعَتَيْنِ فَصَلِّى قُمْ :قَالَ . لاَ :قَالَ ؟ أَصَلَيْتَ : فَقَالَ يَحْطُبُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Jama’ah dari Jabi ra. yang beekata pada suatu hari Jum’ah ada seorang masuk masjid waktu Rasulullah saw. sedang berkhutbah, lalu Rasulullah saw. bertanya: “Sudahkah kamu shalat?” orang itu menjawab: “Belum!” kemudian Rasulullah saw. menyuruh: “Shalatlah dua raka’at!””.
            Hadits riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Daeud;
فِيْهِمَا وَلْيَتَجَوَّزْ رَكْعَتَيْنِ فَلْيَرْكَعْ يَخْطُبُ وَالاِمَامُ الْجُمُعَةِ يَوْمَ أَحَدُكُمْ إِذَاجَاءَ :وَفِىرِوَايَةٍ
(وَأَحْمَدُ وَاَبُوْ وَاَحْمَدُ مُسْلِمٌ رَوَاهُ).
Artinya: “Dalam riwayat lain, sabda Nabi saw.: “Apabila pada hari jum’at, salah seorang dari kamu datang pada waktu imam sedang berkhutbah, hendaklah ia shalat dua raka’at dengan agak dipercepat””. (Diriwayatkan oleh  Muslim, Ahmad  dan Abu Dawud).
            Hadits riwayat Bukhari dan Muslim;
(عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ) رَكْعَتَيْنِ فَلْيُصَلِّى الاِمَامُ وَقَدْجَرَجَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ أَحَدُكُمْ إِذَاجَاءَ : وَفِىرِوَايَةٍ
Artinya: Dan ada riwayat lagim bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila pada hari Jum’ah salah seorang daripada kamu datang, sedang Imam telah hadir, hendaklah shalat dua raka’at”. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
  1. Adzan Jum’at
Kapan adzan jum’at dimulai, biasanya berbeda denga adzan dzuhur yang segera dimulai ketika waktu dzuhur telah masuk. Demikian pula halnya tuntunan Tarjih yang menyatakan; “Apabila Imam telah duduk diatas mimbar, maka adzanlah salah seorang dari kamu dan apabila imam telah turun dari mimbar, maka berqamatlah!”
Dasar tuntunan diatas ialah hadits dari Syaib bin Yazid berikut ini;
النِّدَاءُ كاَنَ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ يَزِيْدَ بْنِ السَّائِبِ عَنْ وَأَبِىدَاوُدَ وَالنَّسَائِيِّ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيِْ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلِ عَلَىالْمِنْبَرِعَلَىعَهْدِ الاِمَامُ إِذَجَلَسَ اَوَّلُهُ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
لِلنَّبِيِّ يَكُنْ وَلَمْ عَلَىالزَّوْرَاءِ زَادَالنِّدَاءَالثَّالِثَ وَكَثُرَالنَّاسُ عُثْمَانَ فَلَمَّاكاَنَ وَأَبِىبَكْرٍوَعُمَرَ
وَاحِدٍ مُؤَذِّنٍ غَيْرُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
Artinya: “Karena hadits riwayat Bukhari, Nasai dan Abu Dawud dari Said bin Yazid ra. yang berkata: “Adapun seruan pada hari jum’at itu pertama (adzan) tatkala imam duduk diatas mimbar, hal sedemikian itu berlaku pada masa Rasulullah saw. pada masa Khalifah Abu Bakar ra.pada masa khalifah Umar ra. setelah tiba masa Khalifah Utsman ra. dan orang semakin banyak. Maka beliau menambah adzan ketiga diatas Zaura (nama tempat di pasar); yang mana pada masa Nabi saw. hanya ada seorang muadzdzin””.
Mengenai bilangan adzan diatas, selanjutnya Tarjih sebagaimana catatan penjelasan dalam HPT menyatakan; “Dikatakan seruan ketiga, karena adzan dan iqamat diistilahkan dua seruan (adzan) ketiga ini dilakukan sebelum Imam naik mimbar. Kita dari Muhammadiyah mengikuti apa yang telah berlaku pada masa Rasulullah saw.”
  1. Urutan Khutbah
Penyelenggaraan khutbah menurut Tarjih dalam HPT selalu dikaitkan dengan imam, sementara dalam praktek di masyarakat seringkali khatib belum tentu bertindak sebagai imam. Adapun apa yang dibaca dalam khutbah ialah; tahmid, tasyahud dan shalat kepada Nabi Muhammad saw. serta wasiyat taqwa. Setelah itu kemudian diakhiri dengan membaca do’a.
Mengenai masalah tata urutan khutbah demikian pula sebagaimana dapat diliaht dari penjelasan Tarjih yang menyatakan: “Imam hendaklah memulai khutbahnya dengan ucapan: tahmid, tasyahud dan shalawat kepada Nabi saw., lalu berwasiyat dengan taqwa dan berdo’a”.
Tuntunan diatas didasarkan pada Tarjih atas dua buah hadits Abu Hurairah, hadits Jabir, dan hadits Hushain bin Abdurrahman berikut;
Hadits Abu Hurairah (1);
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىِّ عَنِ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَأَحْمَدَ أَبِىدَاوُدَ وِلِحَدِيْثِ
أَجْذَمُ فَهُوَ بِالْحَمْدُلِلَّهِ لاَيُبْْدَاُفِيْهِ كَلاَمٍ كُلُّ : قَالَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىِّ خُطْبَةُ كاَنَتْ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ عَنْ مُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
الْحَدِيْثَ . عَلَيْهِ وَيُثَنِّى يَحْمَدُاللَّهَ الْجُمُعَةِ يَوْمَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud dan Ahmad dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad saw. beliau bersabda: “semua pembicaraan yang tidak dimulai dengan  bacaan Alhamdulillah itu terpotong”. Juga karena hadits riwayat Muslim dari Jabir ra. yang berkata: “Adalah Khutbah Nabi saw. pada hari jum’ah, beliau mulai dengan alhamdulillah dan memuji kepada Allah . . .”seterusnya hadits”.
            Hadits Abu Hurairah (2);
الَّتِىلَيْسَ الْخُطْبَةِ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَأَبِىدَاوُدَوَالتِّرْمِذِىِّ أَحْمَدَ وَلِحَدِيْثِ
تَشَهُّدٌ :وَفِىرِوَايَةٍ .كاَلْيَدِالْجَذْمَءِ فِيْهَاشَهَادَةٌ

Artinya: “Juga karena hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud dan Tirmudzi dari Abu Hurairah ra. berkata: “Khutbah yang tidak disertai dengan syahadah itu seperti terpotong”. Dalam riwayat lain disebut: “Diserta persyahadatan””.
            Khusus mengenai ketentuan membaca shalawat Nabi, Tarjih mendasarkan apda kesepakakatan ulama. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Tarjih dalam HPT; “Dan sudah menjadi kesepakatan ulama Salaf dan Khalaf bahwa dalam khutbah-khutbah meereka selalu disertai shalawat kepada Nabi saw.”
            Hadits Jabir;
يُوَاظِبُ كانَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ أَنَّهُ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ جَابِرٍ عَنْ مُسْلِمٍ لِحَدِيْث
فِىخُطْبَتِهِ بِالتَّقْوَى عَلَىالْوَصِيَّةِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Muslim dari Jabir ra. bahwa Rasulullah saw. selalu mewasiyatkan taqwa kepada Allah dalam khutbahnya”.
            Hadits Hishain bin Abdurahman;
إِلَى كُنْتُ:قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عَبْدِالرَّحْمَانِ بْنِ حُصَيْنِ عَنْ أَحْمَدُوَاتِّرْمِذِىِّ وَلِحَدِيْثِ
اللَّهُ يَعْنِىقَبَّحَ عِمَارَةُ فَقَالَ .يَدَيْهِ يَخْطُبُنَافَلَمَّادَعَارَفَعَ مَرْوَانَ وَبِشْرِبْنِ رُئَيْبَةَ عِمَارَةَابْن
، هَكَذَا إِذَادَعَايَقُوْلُ وَهُوَعَلَىالْمِنْبَارِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ رَأَيْتُ الْيَدَيْنِ هَاتَيْنِ
وَحْدَهَا السَّبَابَةَ فَرَفَعَ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Hushain bin Abdurahman ra.: “Adalah aku di samping Imarah bin Ruaiban dan pada waktu itu Basyir bin Marwan berkhutbah kepada kita. ketika ia mendo’a mengangkat kedua belah tangannya. Maka Imarah berkata yakni: “Semoga Allah mencatat kedua belah tagnan itu, Aku melihat Rasulullah saw. ketika beliau berkhutbah di atas mimbar, ketika beliau berdo’a berbuat begini, lalu Imarah mengangkat telinjuknya saja””.
  1. Lama Khutbah dan Shalat
Dalam prakteknya, lama khutbah seringkali lebih panjang daripada lama shalat. Mengenai masalah ini Tarjih menyatakan: “Dan singkatkanlah khutbah serta agak panjangkanlah shalat”. Dasarnya ialah hadits Ammar bin Yasir dan hadits riwayat Jama’ah sebagaimana kutipan di bawah ini.
Hadits Ammar bin Yasir;
اللَّهِ رَسُّوْلَ سَمِعْتُ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ يَاسِرٍ عَمَّارِبْنِ عَنْ أَحْمَدُوَمُسْلِمٌ روَاهَ وَلِحَدِيثِ
فِقْهِهِ مِنْ مَئِنَّةٌ وَقِصَرَخُطْبَتِهِ الرَّجُلِ صَلاَةِ طُوْلَ إِنَّ :يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
وَاقْسُرُوْاللخُطْبَةَ فَاَطِيْلُوْاالصَّلاَةَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Muslim dari Ammar bin Yasir ra. yang berkata: “Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Bahwa lamanya shalat seseorang dan pendek khutbahnya itu ciri kebijaksanaannya. Oleh karenanya lamakanlah shalat dan pendekanlah khutbah””.
            Hadits riwayat Jama’ah kecuali Bukhari;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلِ صَلاَةُ كاَنَتْ :قَالَ إِلاَّالْبُخَارِىُّوَأَبَادَاوُدَ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
قَصْدً وَخُطْبَتُهُ قَصْدًا عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan Abu Dawud yang berkata: “Adalah Shalat Rasulullah saw. itu sedang panjangnya dan dan khutbahnya pun sedang pula””.
  1. Bacaan Shalat Jum’at
Tarjih dalam HPT menyatakan: “Dalam shalat jama’ah hendaknya Imam membaca surat “Sabbihis mā rabbikal a’lā”, sesudah Fatihah pada raka’at pertama dan pada raka’at kedua hendaklah membaca “Hal atāka haditsul ghāsiyyah””.
Dasarnya ialah hadits dari Nu’man bin Basyir berikut;
: قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ بَشِيْرٍ بْنِ النُّعْمَانِ عَنِ مَاجَهْ وَابْنَ إِلاَّالْبُخَارِيَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثٍ
الأَعْلَىوَهَلْ رَبِّكَ اسْمَ سَبِّحِ وَفِىالْجُمُعَةِ العِيْدَيْنِ يَقْرَأُفِى عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىُّ كاَنَ
فِىالصَّلاَتَيْنِ وَاحِدٍيَقْرَأُبِهِمَا فِىيَوْمٍ الْعِيْدُوَالْجُمُعَةُ وَإِذَاجْتَمَعَ :قَالَ . الْغَاشِيَةِ حَدِيْثٌ أَتَكَ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari Nu’man bin Basyir ra. berkata: “Adalah Nabi saw. di dalam shalat dua Id dan Jum’ah membaca surat “Sabbihis mā rabbikal a’lā” dan surat “Hal atāka haditsul ghāsiyyah” . dan kalau bertepatan shalat Id dan Jum’at pada suatu hari, maka Rasul pun membaca surat tersebut dalam kedua macam shalat tersebut”.
  1. Shalat Jum’at sesudah Jum’at
Dalam buku HPT dapat dilihat tuntunan mengerjakan shalat sunnat sesudah jum’at. Tarjih meisalnya menyatakan: “Dan kerjakanlah empat atau dua raka’at sesudahnya”.
Tuntunan mengenai shalat sunnat sesudah jum’at tersebut ialah hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar.
Hadits Abu Hurairah;
صَلَّىاللَّهُ النَبِىَّ أَنَّ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ اِلاَّالْبُخَارِىَّ الْجَمَعَةُ رَوَاهُ لِحَدِيْثَ
رَكَعَاتٍ اَرْبَعَ بَعْدَهَا فَلْيُصَلِّ الْجُمُعَةَ إِذَاصَلَّىاَحَدُكُمُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Karena hadits riwayat jama’ah kecuali Bukhari, dari Abu hurairah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu telah selesai mengerjakan shalat jum’at maka hendaklah shalat (sunnat) empat raka’at sesudahnya””.
            Hadits Ibnu Umar;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَبِىَّ عَنْهُمَاعَنَّ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ 
فِىبَيْتِهِ رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّىبَعْدَالْجُمْعَةِ كاَنَ
Artinya: “Juga karena hadits riwayat jama’ah dari Umar ra. bahwa Nabi saw. sehabis Jum’at lalu shalat (sunnat) dua raka’at di rumahnya”.
  1. Wanita Shalat Jum’at
Mengenai wanita melakukan shalat Jum’at diperselisihkan ulama, ada yang mewajibkan bagi wanita untuk melakukan shalat jum’at itu, berdasarkan keumuman perintah Allah dalam shalat jum’at untuk kaum mukminin pria dan wanita. Sedangkan hadits-hadits riwayat yang mengecualikan tidak wajib bagi wanita, hamba, anak kecil dan orang yang sakit diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Thariq bin Syihab dianggap dlaif.
Qarar Muktamar Tarjih menerima Hadits tersebut sebagai dasar istidlal sehingga di kalangan Muhammadiyah, wanita tidak wajib melakukan shalat Jum’at.
Adapun jawaban Tim SM no. 13 tahun 1987 membolehkan wanita melakukan shalat Jum’at kalau tidak membawa dampak negatif, bahkan membawa dampak positif. jawaban iut mendapat tanggapan. Selain masalah itu baik diangkat dalam Muktamar nanti, kami berikan juga alasan kami membolehkan dengan alasan yang telah kami kemukakan, yakni dengan mengemukakan penapat jumhur.
Barangkali dapat juga ditambahkan di sini riwayat hadits mauquf sebagai qarinah, (sekali lagi qarinah bukan dalil) bahwa pada masa sahabat rupanya wanita diperkenankan melakukan shalat Jum’at dan bagi yang tidak melakukan shalat jum’at melakukan shalat Duhur, seperti yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Ma’dan dari neneknya, ia mengatakan bahwa Ibnu Mas’ud pernah bertanya kepadanya (nenek Ibn Mas’ud), yang artinya: Apabila engkau mau melakukan shalat jum’at bersama Imam, maka lakukanlah bersamanya, dan kalau engkau mau shalat di rumah, maka shalatlah empat raka’at.
Riwayat ini ditakhrijkan oleh Ibnu Syaibah dengan isnad yang shahih. Hadits mauquf ini dapat ditopang dengan riwayat al-Hasan yang dapat dihukumkan marfu’, yang artinya (salah satu riwayat dari al-Hasan) ia berkata: “Dahulu para wanita bershalat Jum’at bersama Nabi dan dikatakan oleh Nabi bahwa janganlah pergi ke Masjid kecuali wanita-wanita yang tidak membawa bau yang wangi. Sanad riwayat ini sahih dan dalam satu riwayat yang lain dari jalan Asy’ats dari al-Hasan, ia berkata: ‘Dahulu wanita Muhajirin, melakukan shalat Jum’at bersama Nabi, kemudian mereka mencukupkan dengan shalat Dzuhur. Demikian hasil penelitian al-Albaniy dalam risalahnya al-Ajwibah an-Mafi’ah halaman 40-41.’”
Mengenai hadits yang mengecualikan 4 orang yang tidak wajib shalat Jum’at yakni riwayat Abu Dawud dari Thariq bin Ziyad yang oleh Muktamar Tarjih diterima sebagai hujjah padahal ada yang menganggap dhaif, dapat disampaikan bahwa menurut an-Nawawy, hadits tersebut sanadnya shahih berdasar syarah Bukhari dan Muslim.
Sekali lagi masih adanya perbedaan pendapat ini, tidak menutup untuk ditinjau dalam Muktamar, tetapi keputusan Muktamar yang telah ada tetap berlaku kalau tidak ada perubahan untuk itu (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 62-63).
  1. Shalat Jum’at dengan Anak-anak
Dalam hadits disebutkan bahwa anak-anak dibebaskan dari melakukan kewajiban syar’I (termasuk shalat), sebagaimana diriwayatkan oleh Ahmad.
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّىيَعْقِلَ (رواه أحمد عن عائشة)
Artinya: “Diangkat kalam (tidak dicatat perbuatan seseorang untuk dinilai) dari tiag golongan, yaitu dari seseorang yang sedang tidur, dari anak-anak sampai ia dewasa dan dari orang gila sampai ia sembuh.” (HR.Ahmad dari Aisyah)
            Dalam hadits itu disebutkan bahwa anak-anak tidak terkena kewajiban melakukan sesuatu ibadah. Tetapi berdasarkan riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Umar bin Syu’aib anak yang telah mumayyiz agar didorong untuk melakukan shalat.
مُرُوْاصِبْيَانَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعِ سِنِيْنَ وَاضْرِبُوْا عَلَيْهَا لِعَشْرِ سِنِيْنَ وَفَرِّقُوْ ا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ(رواه أحمد وأبوداود عن عمر بن شعيب عن أبيه عن جدّه)
Artinya: “Suruhlah anakmu mengerjakan shalat apabila telah berumur tujuh tahun, dan pukullah mereka (apabila meninggalkan) jika telah berumur 10 tahundan pisah-pisahkanlah di antara mereka tempat tidur mereka.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud dari Umar bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya).
            Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud dari Umar bin Syu’aib menunjukkan adanya perintah untuk menyuruh anak-anak melakukan shalat. Hal demikian bukan berarti menunjukkan, bahwa melakukan shalat bagi anak itu wajib, tetapi menunjukkan bahwa anak-anak yang melakukan shalat itu sekalipun pada hadits pertama tidak termasuk yang diwajibkan, tetapi termasuk perbuatan yang dapat atau boleh dilakukan dan dinilai sebagai perbuatan yang baik yang dapat diamalkan. Dalam pengertianahli ushul fiqh termasuk kualifikasi perbuatan yang dilakukan oleh anak mumayyiz yang telah mempunyai ahliyyatul adā naqishah, yang perbuatan baiknya dapat dinilai sebagai amal perbuatan yang dapat diterima, sedang kalau tidak melakukan tidak dicatat sebagai perbuatan yang buruk.
            Karenanya dalam pendidikan, bukan saja dibolehkan bahkan dianjurkan agar anak-anak yang telah mumayyiz dibiasakan melakukan perbuatan yang baik, karena perbuatan yang baik itu akan diterima pula sebagai amal perbuatannya.
            Mengenai shalat orang-orang yang bersamanya, baik ibadah jum’at maupun shalat jama’ahnya apakah dapat dipandang sah karena dilakukan bersama-sama dengan anak-anak yang belum dewasa yang belum mendapat taklif sendiri, jawabnya adalah “sah” juga. Kedudukan anak-anak mumayyiz tadi dianggap juga sebagi anak dewaasa dari satu segi, disebut mempunyai ahliyyatul adā naqishah, yang artinya telah mempunyai kemampuan untuk melakukan kewajiban dan diterima. Hanya saja belum kamilah atau sempurna, yang istilahnya naqishah atau dapat kita sebut dengan min atau minus (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 63-64).
  1. Shalat Dzuhur Gantinya Shalat Jum’at
Dalam permasalahan ini, kalau ada orang yang berhalangan melakukan shalat jum’at dikembalikan hukum asal, karena sebelum diwajibkan shalat jum’at, shalat Dzuhurlah yang diwajibkan.
Berdasarkan ayat 78 surat al-Isra setiap tergelincir matahari kita diwajibkan untuk melakukan shalat:
Artinya: “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).”
            Perincian waktu tentang shalat ini ditentukan antara lain dalam hadits riwayat Ahmad, an-Nasaiy dan at-Tirmidzi dari Jabir.
عَنْ جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَهُ جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلاَمُ فَقَالَ لَهُ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الْعَصْرَ حِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْئٍ مِثْلَهُ ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّىالْمَغْرِبَ حِيْنَ وَجَبَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءُ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الْعِشَاءُ حِيْنَ غَابَ الشَّفَقُ ثُمَّ جَاءَهُ الْفَجْرُ فَقَالَ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الْفَجْرَ حِيْنَ بَرَقَ الْفَجْرُ اَوْقَالَ سَطَعَ الْفَجْرُ ثُمَّ جَاءَهُ مِنَ الْغَدِ لِلظُّهْرِ فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّى الظُّهْرَحِيْنَ صَارَ ظِلُّ كُلِّ شَيْئٍ مِثْلَيْهِ ، ثُمَّ جَاءَهُ الْمَغْرِبُ وَقْتًا وَاحِدًالَمْ يَزَلْ عَنْهُ ثُمَّ جَاءَهُ الْعِشَاءُ حِيْنَ ذَهَبَ نِصْفُ اللَّيْلِ اَوْقَالَ ثُلُثُ اللَّيْلِ فَصَلَّى الْعِشَاءَ ثُمَّ جَاءَ حِيْنَ أَسْفَرَ جِدًّا فَقَالَ : قُمْ فَصَلِّهِ ، فَصَلَّىالْفَجْرَ ثُمَّ قَالَ : مَابَيْنَ هَدَيْنِ الْوَقْتَيْنِ وَقْتٌ . (رواه احمد والنسائىّ والتّرمذىّ )  
Artinya: “Jabir Ibn Abdullah ra. menerangkan: ‘Bahwasanya Nabi saw. didatangi Jibril di waktu Dzuhur, lalu berkata kepada Nabi: ‘Wahai Muhammad’ bangunlah bersembahyang. Maka Nabi pun mengerjakan shalat Dzuhurdi ketika telah tergelincir matahari. Kemudian Jibril datang pula kepada Nabi di kala Ashar, lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad bangunlah bersembahyang” Maka Nabi pun shalat Ashar di ketika telah menjadi bayangan sesuatu sama panjang dengannya. Sesudah itu Jibril datang lagi di waktu Maghrib lalu berkata kepada Nabi: Wahai Muhammad bangunlah bersembahyang” Maka Nabi pun mengerjakan shalat Maghrib, di ketika telah terbenam matahari. Kemudian datang lagi Jibril di ketika Isya, lalu berkata “”Wahai Muhammad, bangunlah bersembahyang” maka Nabi pun shalat di ketika telah hilang syafak yang merah. Kemudian Jibril datangdi waktu subuh lalu berkata kepada Nabi: “Wahai Muhammad, bangunlah bersembahyang”. Maka Nabi pun mengerjakan shalat Subuh di kala telah bersinar fajar. Pada hari keesokannya datang lagi Jibril pada waktu Dzuhur lalu berkata kepada Muhammad: “Bangun bersembahyanglah, wahai Muhammad”. Maka Nabi pun bangun shalat Dzuhur di ketika telah jadi bayangan suatu sepertinya. Di waktu Ashar Jibril datang pula pada waktu itu lalu berkata: “Ya Muhammad, bangunlah bersembahyang . maka Nabipun shalat Ashardi ketika bayangan sesuatu telah dua kali sepanjangnya. Di waktu Maghrib datang juga Jibril lalu menyuruh Nabi bersembahyang. Maka Nabi pun shalat di waktu matahari telahterbenam. Kemudian datang lagi Jibril untuk Isya lalu menyuruh Nabi bersembahyang. Maka Nabpi pun shalat di ketika telah lewat sedikit separo malam (di ketika telah lewat sepertiga malam).
Kemudian datang lagi . . .”

  1. Khutbah seimbang dengan Shalat Jum’at
  1. Shalat Jama’ah
Shalat jama’ah adalah shalat yang dikerjakan secara bersama-sama denga aturan tertentu dimana satu orang bertindak sebagai imam dan lainnya ma’mum.
1.      Perintah Jama’ah
Sumber dalil yang dijadikan landasan Tarjih akan adanya perintah mengerjakan shalat secara berjama’ah adalah surat al-Baqarah ayat 43, surat an-Nisa 102, hadits-hadits; Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Hadits Abu Darda sebagaimana dikutip dalam HPT.
Surat al-Baqarah ayat 43;
Artinya: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku.” (QS. Al-Baqarah: 43)
            Surat An-Nisa: 102;
Artinya: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu dengan sekaligus. Dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau karena kamu memang sakit; dan siap-siagalah kamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.” (QS. An-Nisa: 102)
            Hadits Ibnu Umar;
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ عَنْهُمَاأَنََّ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْبُخَارِىُّ رَوَى
دَرَجَةً وَعِشْرِيْنَ الْفَذِّبِسَبْعٍ صَلاَةَ تَفْضُلُ الْجَمَاعَةَ صَلاَةُ
Artinya: “Hadits diriwayatkan oleh Bukhari dan Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalat jama’ah itu melebihi keutamaan shalat sendirian, denga dua puluh derajat””.
            Hadits Abu Hurairah;

إِنَّ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ السِّتَّةُ أَخْرَجَ
مَافِيْهِمَالَأَتَوْهُمَاوَلَوْحَبْوًا وَلَوْيَعْلَمُوْنَ الْفَجْرِ الْعِشَاءِوَصَلاَةُ صَلاَةُ عَلَىالْمُنَافِقِيْنَ صَلاَةٍ أَثْقَلَ
ممَعَهُمْ مَعِىبِرِجَالٍ أَنْطَلِقَ ثُمَّ فَيُصَلِّىَبِالنَّاسِ أُمَرَرَجُلاً ثُمَّ فَتُقَامَ آَمُرَبِالصَّلاَةِ وَلَقَدْهَمَمْتُ ،
بُيُوْتَهُمْ عَلَيْهِمْ فَأُحَرِّقَ الصَّلاَةَ لاَيَشْهَدُوْنَ إِلَىقَوْمٍ خَطَبٍ مِنْ خُزَمٌ
Artinya: “Enam ahli hadits (Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah) meriwayatknan dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Shalat yang terberat bagi orang-orang munafiq ialah shalat Isya dan shalat fajar, padahal apabila mereka mengerti akan keutamaan kedua shalat tersebut, niscaya mereka akan mendatanginya meskipun dengan merangkak. Mau aku rasanya menyuruh qamatuntuk shalat lalu aku menyuruh seorang menjadi imam bersama-sama shalat dengan orang banyak. Kemudian aku pergi bersama-sama dengan beberapa orang yang membawa beberapa ikat kayu bakar untuk mendatangi mereka yang tidak mau turun shalat, untuk membakar rumah-rumah mereka””.
            Hadits Abu Darda;
: قَالَ  عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ أَنَّ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىالدَّرْدَاءِ أَحْمَدُعَنْ رَوَى
الشَّيْطَانُ عَلَيْهِمُ إِلاَّاسْتَحْوَذَ الصَّلاةُ فِيْهِمُ ولاَتُقَامُ لاَيُعَذِّنُوْنَ ثَلاَثَةٍ مَامِنْ
Artinya: “Hadits diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Darda bagwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiap ada orang yang tidak mau adzan dan tidak mau mengadakan shalat (jama’ah) tentulah ketiganya dikuasai syeitan””.
Selanjutnya Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan; “Berusahalah kamu mengerjakan shalat-shalat fardhu berjama’ah di masjid, di mushala atau lainnya. Dan jangan tergesa-gesa mendatangi shalat jamaah hingga selesai keperluanmu. Dan apabila shalat telah diqamatkan, maka pergilah mendatangi dengan tenang”.
Landasan dalilnya ialah dua buah hadits dari Abu Hurairah dan hadits-hadits; Ummu Salamah, Abu Darda, Ibnu umar dan hadits dari Aisyah.
Hadits dari Abu Hurairah (1);
اللَّهِ رَسُّوْلَ أَتَى :قَالَ أَنَّهُ  عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَالنَّسَائِىُّ مُسْلِمٌ أَخْرَجَهُ وَلِحَدِيْثٍ
اِلَى لِىقَائِدٌيَقُوْدُنِى لَيْسَ إِنَّهُ ، اللَّهِ رَسُّوْلَ يَا : أَعْمَافَقَالَ رَجُلٌ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
فَلَمَّاوَلَّىدَعَاهُ .لَهُ فَرَخَّصَ ، لَهُ يُرَخِّصَ أَنْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ وَسَأَلَ الْمَسْجِد
فَاَجِبْ :قَالَ .نَعَمْ :قَالَ ؟ النِّدَاءَ تَسْمَعُ هَلْ :لَهُ فَقَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwaytkan oleh Muslimdan Nasai dari Abu Hurairah ra. dia berkata: “Seorang laki-laki buta datang kepada Nabi saw. dengan berkata: “Hai Rasulullah saw., bahwa tidak ada kepadaku seorang yang akan menuntun aku pergi ke Mesjid. Dia meminta kepada Rasulullah saw. supaya diberi keringanan kepadanya, maka Rasulullah saw. memberi keringanan kepadanya. Akan tetapi setelah orang tersebut pergi tiba-tiba Rasulullah saw. memanggilnya seraya bertanya: Adakah kamu mendengar panggilan (adzan)? Oramg itu menjawab: Ya! Lalu Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah panggilan itu!””.
            Hadits Ummu Salamah;
كاَنَ :عَنْهَاقَالَتْ رَضِىَاللَّهُ سَلَمَةَ أُمِّ وَالنَّسَائِىُّعَنْ الْبُخَارِىُّوَاَبُوْدَاوُدَ أَخْرَجَهُ وَلِحَدِيْثٍ
مَكْثَهُ أَنَّأَعْلَمْ وَللَّهُ- يَسِيْرًافَنَرَى فِىمَكاَنِهِ يَمْكُثُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ
الرِّجَالُ يُدْرِكَهُنَّ أَنْ النِّسَاءُقَبْلَ لِكَىيَنْصَرِفَ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari Abu Dawud dan Nasai dari Ummu Salamah berkata: “Adalah Rasulullah saw. apabila telah salam, tdetap di tempatnya sebentar. Kami berpendapat hanya Allah yang mengetahui bahwa Rasulullah saw. tetap di tempatnya itu agar para wanita pulang terlebih dahulu, jangan sampai tersusul oleh orang lelaki”.
            Dalam ketengan lain mengenai hadits ini, Tarjih menjelaskan mengenai perlunya tempat khusus bagi jama’ah wanita. Tarjih menyatakan “beberapa masalah” tentang shanya wakaf masjid yang khusus bagi orang-orang perempuan , dan bahwa wakaf ini tidak dinamakan masjid tetapi dinamakan mushala”.
            Hadits Abu Darda;
:يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ سَمِعْتُ : قَالَ أَبِىالدَّرْدَاءِ أَبِىدَاوُدَعَنْ وَلِحَدِيْثِ
فَعَلَيْكَ الشَّيْطَانُ عَلَيهِمُ إِلاَّقَدِاسْتَحْوَذَا الصَّلاَةُ فِيْهِمُ وَلاَبَدْوٍلاَتُقَامُ فِىقَرْيَةٍ ثَلاَثَةٍ مَامِنْ
الْقَاصِيَةَ الدِّئْبُ فَاِنَّمَايَأْكُلُ بِالْجَمَاعَةِ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud daru Darda berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Tiga orang yang berdiam di suatu desa atau hutan, yang tidak mendirikan shalat jama’ah bersama-sama, maka niscayalah mereka telah dikuasai oleh syethan. Oleh karenanya hendaklah kamu selalu berjama’ah sebab serigala hanya memakan kambing yang terpencil (sendirian)””.
            Hadits Ibnu Umar;
أَحَدُكُمْ إِذَاكاَنَ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىُّ قَالَ : قَالَ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
الصَّلاَةُ أُقِيْمَةِ وَإِنْ مِنْهُ حَتَّىيَقْضِىَحَاجَتَهُ فَلاَيَجْعَلْ عَلَىالطَّعَامِ
Artinya: “Dan  karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Ibnu Umar berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Apabila salah seorang dari kamu tengah makan, maka janganlah tergesa-gesa hingga selesai makan meskipun shalat telah diqamatkan””.
            Hadits Aisyah;
بِحَضْرَةِ لاَصَلاَةَ : يَقُوْلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ قَالَ عُمَرَ ابْنِ عَنِ الْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
الأَخْبَثَانِ وَلاَهُوَيُدَافِعُهُ طَعَامٍ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan Abu Dawud dari Aisyah ra. yang berkata: “Aku mendengar Nabi saw. bersabda: “Jangan shalat ketika dihidangkan makanan dan jangan shalat dengan menahan hasrat berhadats””.
            Hadits Abu Hurairah (2);
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ عَنِ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثِ
فَمَاأَدْرَكْتُمْ وَلاَتُسْرِعُوْا وَالْوَقَارُ السَّكِيْنَةُ وَعَلَيْكُمُ فَامْشُوْاإِلَىالصَّلاَةِ الاِقَامَةَ إِذَاسَمِعْتُمْ : قَالَ
فَأَتِمُّوْا فَاَتَكُمْ فَصَلُّوْاوَمَا
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Jama’ah (Bukhari, Muslim, Ahmad, Dawud, Nasai, Tirmidzi dan Ibnu Majah) dari Abu hurairah ra. dari Nabi saw. bersabda: “Apabila kamu telah mendengar qamat, maka berjalanlah mendatangi shalat. Jama’ah and hendaknya berjalan dengan tenang dan tenteram, dan janganlah terburu-buru. Amka apabila kamu dapat menyusul, shalatlah mengikuti Imam,sedang yang sudah tertinggal maka sempurnakanlah.””
2.      Imam Shalat Jama’ah
Mengenai Imam dalam shalat jama’ah, Tarjih menyatakan; “Dan hendaklah salah seorang dari kamu menjadi Imam”. Hal ini didasarkan hadits Abu Sa’id, Abu Mas’ud, dan hadits Amr bin Maslamah.
Hadits Abu Sa’id;
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ أَبِىسَعِيْدٍ عَنْ وَالنَّسَائِىِّ أَحْمَدَوَمُسْلِمٌ لِحَدِيْثِ
أَقْرَؤُهُمْ بِالاِمَامَةِ وَأَحَقُّهُمْ أَحَدُهُمْ فَلْيَؤُمَّهُمْ اِذَاكاَنُوْثَلاَثَةً
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad, Muslim dan Nasa’I dari Abu Sa’is yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabla genap tiga orang hendaklah salah seorang diantara mereka menjadi Imam. Dan yang lebih berhak menjadi Imam adalah yang lebih ahli dalam membaca al-Qur’an””.
            Hadits Abu Mas’ud;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ عَمْرٍىو بْنِ أَبِىمَسْعُوْدٍعُقْبَةَ عَنْ اَحْمَدَوَمُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
بِالسُّنَّةِ فَأَعْلَمُهُمْ سَوَاءً كاَنُوْافِىالْقِرَءَةِ فَاِنْ اللَّهِ لِكِتَبِ أَقْرَؤُهُمْ الْقَوْمَ يَؤُمُّ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
سِلْمًا سَوَاءًفَاَقْدَامُهُمْ كاَنُوْافِىالْهِجْرَةِ فَاِنْ ، هِجْرَةً سَوَاءًفَاَقْدَامُهُمْ فِىالسُّنَّةِ كاَنُوْا فَاِنْ
اَلْحَدِيْثَ . . . (سِنَّا)
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Mas’ud Uqbah bin Amar yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Hendaklah menjadi Imam pada suatu kaum, orang yang lebih ahli dalam membaca al-Qur’an; jika dalam hal ini mereka bersamaan, maka yang lebih mahir dalam hal sunnah (hadits); apabila dalam hal ini merekapun bersamaan juga, maka yang lebioh dahulu mengikuti hijrah, kalau dalam hal itu mereka bersamaan juga, maka yang lebih dahulu Islamnya (atau yang lebih tua umurnya) . . . seterusnya hadits”.
Hadits Ibnu Umar;
: وَفِيْهِ طَوِيْلٍ فِىحَدِيْثٍ مَسْلَمَةَ عَمْرِوْبْنِ عَنْ وَأَبِىدَاوُدَوَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَوَالْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
قُرْاَنًا آَكْثَرُكُمْ وَالْيَعُمَّكُمْ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Abu Dawud dan Nasai dari Amr bin Maslamah dalam hadits yang panjang dan di dalamnya terkandung sabda Nabi saw.: “Dan hendaklah menjadi Imam kepadamu yang lebih banyak pengertiannya tentang al-Qur’an””.
            Imam buta, Boleh tidaknya orang yang buta menjadi Imam, Tarjih menyatakan; “Dan boleh juga kamu mengangkat Imam seorang buta atau hamba sahaya”. Dasarnya ialah Anas, dan hadits Ibnu Umar.
            Hadits Anas;
مَكْتُوْمٍ أُمِّ ابْنَ اسْتَخْلَفَ  عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيَّ أَنَّ أَنَسٍ دَاوُدَ أَبِى اَحْمَدَوَ لِحَدِيْثِ
وَهُوَاَعْمَى يُصَلِّىبِهِمْ مَرَّتَيْنِ عَلَىالْمَدِيْنَةِ
Artinya: “Karena hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud dari Anas, bahwa Nabi saw. menguasakan kepada Ibnu Ummi Makmum atas Madinah dua kal, mengimami mereka (penduduk Madinah) padahal beliau buta”.
            Hadits Ibnu Umar;
نَزَلُواالعُصْبَةَ الاَوَّلُوْنَ الْمُهاَجِرُوْنَ لَمَّاقَدِمَ عُمَرَ ابْنِ وَاَبِىدَاوُدَعَنِ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
أَبِىحُذَيْفَةَ مَوْلَى سَالِمٌ يَئُمُّهُمْ كاَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ مَقْدَمِ قَبْلَ مَوْضِعًابِقُبَاءَ
عَبْدِالْأَسَدِ بْنُ وَأَبُوْسَلَمَةَ الْخَطَّابِ عَمَرُبْنُ فِيْهِمْ وَكاَنَ قُرْأَنًا أَكْثَرَهُمْ وَكاَنَ
Artinya: “Dan karena hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Abu Dawud daei Ibnu Umar, ketika orang-orang Muhajirin yang pertama-tama sampai di Ushbah yaitu suatu tempat di Quba sebelum kedatangan Nabi saw. yang mengimami mereka adalah Salim hamba sahaya Abu Hudzaifah, karena dialah yang lebih banyak pengertiannya tentang al-Qur’an, padahal di tengah-tengah nereka terdapat juga Umar bin Khattab dan Abu Salamah bin Abdul Asad”.
3.      Cara Berdiri Ma’mum
Bagaimana posisi makmum terhadap Imam dalam shalat jama’ah, Tuntunan Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan; “makmum yang hanya seorang saja supaya berdiri di sebelah kanan imamnya sedang apabila dua orang atau lebih supaya di belakang imam”.
Landasan yang dijadikan alasan bagi Tarjih adalah hadits Jabir Ibnu Abdullah berikut;
يُصَلِّىالْمَغْرِبَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىُّ قَامَ :قَالَ عَبْدِاللَّهِ جَابِرِبْنِ أَبِىدَاوُدَعَنْ لِحَدِيْثِ
لِىفَصَفَفْنَاخَلْفَهُ جَاءَصَاحِبٌ ثُمَّ يَمِيْنِهِ فَجَعَلَنِىعَنْ فَنَهَانِى يَسَارِهِ عَنْ فَقُمْتُ فَجِئْتُ
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah yang berkata bahawa pada suatu ketika Nabi saw. shalat maghrib, maka saya datang lalu berdiridi sebelah kirinya, maka beliau mencegah aku dan menjadikan aku di sebelah kanannya: kemudian datang temanku, maka kami berbaris di belakangnya”.
4.      Mengatur Shaf
Pengaturan shaf dilakukan dengan cara meluruskan dan merapatkan setiap shaf atau barisan dimulai dari shaf terdepan, sehingga tidak terdapat ruang kosong antara seorang makmum dengan makmum yang lain di sampingnya dalam stu shaf. Dasarnya ialah tiga buah hadits dari Anas, dan hadits Abu Umamah.
Hadits dari Anas (1);
فَاِنَّ سَوُّوْاصُفُوْفَكُمْ : قَالَ  عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ أَنَّ أَنَسٍ عَنْ الصَّحِحَيْنِ لِحَدِيْثِ
الصَّلاَةِ تَمَامِ مِنْ الصُّفُوْفِ تَسْوِيَةَ
Artinya: “Karena hadits dari Bukhari dan Muslim dari Anas bahwa Nabi saw. bersabda: “Rapatkanlah shafmu karena meratakan shaf termasuk sebagian dari kesempurnaan shalat””.
            Hadits dari Anas (2);
يُقْبِلُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ أَيْضًاكاَنَ أَنَسِ عَنْ الصَّحِحَيْنِ وَحَدِيْثِ
تَرَاصُّوْاوَاعْتَدِلُوْا :يُكَبِّرَفَيَقُوْلُ أَنْ قَبْلَ عَلَيْنَابِوَجْهِهِ
Artinya: “Dan hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas juga. Adalah Rasulullah saw. menghadapkan mukanya kepada kita sebelum bertakbir seraya bersabda: “Rapatkan dan luruskan shafmu”. Dan penuhilah shaf yang pertama lebih dahulu, kemudian shaf berikutnya”.
Hadits dari Anas (3); 
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ أَنَّ : أَنَسٍ عَنْ مَاجَهْ وَابْنِ أَحْمَدَوَاَبِىدَاوُدَوَالنَّسَائِيِّ لِحَدِيْثِ
الْمُؤَخَّرَ فِىالصَّفِّ فَلْيَكُنْ نَقْصُ كاَنَ فَاِنْ ، الَّذِىيَلَيْهِ ثُمَّ الاَوَّلَ أَتِمُّواالصَّفَّ :قَالَ  عَلَيْهِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasai dan Ibnu Majah dari Anas bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Penuhilah terlebih dahulu shaf yang pertama, kemudian shaf yang berikutnya. Hendaklah shaf yang tidak penuh itu berada di belakang””.
            Hadits dari Abu Umamah;
سَوُّوْاصُفُوْفَكُمْ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ أَبِىأُمَامَةَ أَحْمَدَعَنْ وَلِحَدِيْثِ
فِيْمَابَيْنَكُمْ يَدْخُلُ الشَّيْطَانَ فَاِنَّ وَسَدُّواالْخَلَلَ وَلَيِّنُوافِىأَيْدِىإِخْوَانِكُمْ مَنَاكِبِكُمْ وَحَاذُوْبَيْنَ
الصِّغَارَ أَولاَدَالضَّأْنِ يَعْنِى . الْحَذْفِ بِمَنْزِلَةِ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dari Abu Umamah yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Ratakanlah shafmu, luruskanlah shafmu, luruskanlah diantara bahumu dan berlunak-lunaklah disamping saudaramu. Dan penuhilah etmpat yang terluang. Sebab syaithan itu masuk diantaramu sebagaimana anak kambing yang masih kecil””.
a.       Posisi Shaf Wanita. Shaf wanita diatur berada di belakang shaf pria. Tuntunan Tarjih demikian itu didasarkan hadits Ibnu Abbas dan Anas di bawah ini.
Hadits Ibnu Abbas;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ اِلَىجَنْبِ صَلَّيْتُ : قَالَ عَبَّاسٍ ابْنِ عَنِ وَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
أُصَلِّىمَعَهُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ مَعَنَاتُصَلِّىخَلْفَنَاوَاَنَاإِلَىجَنْبِ وَعَائِشَةُ
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Nasai dari Ibnu Abbas ra. Yang berkata: “Saya shalat di samping Nabi saw. sedang Aisyah bersama kami, dia shalat di belakang kami dan aku di sisi Nabi saw.””
            Hadits Anas;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ خَلْفَ أَنَاوَالْيَتِيْمُ مَلَّيْتُ :قَالَ أَنَسٍ عَنْ الْبُخَارِىِّ وَلِحَدِيْثِ
خَلْفَنَا سُلَيْمٍ وَأُمِّىاُمُّ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Bukhari dari Anas berkata: “Saya shalat bersama anak-anak yatim di belakang Nabi saw. sedang ibuku Ummu Sulaim di belakang kami””.
b.      Batas Shaf. Mengenai batas Tarjih menyatakan; “Dan hendaklah orang yang shalat membuat batas di depannya, dan jangan sekali-kali salah seorang dari kamu lewat di depan orang yang sedang mengerjakan shalat”.
Dasarnya ialah hadits Ibnu Umar dan Abu Juhaim berikut ini.
Hadits Ibnu Umar;
يَوْمَ إِذَاخَرَجَ كاَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ أَنَّ عُمَرَ ابْنِ عَنِ مُسْلِمٌ لِمَارَوَاهُ
، فِىالسَّفَرِ ذَلِكَ يَفْعَلُ وَكاَنَ وَرَاءَهُ وَالنَّاسُ فَيُصَلِّىاِلَيْهَا يَدَيْهِ بَيْنَ فَتُوْضَعُ الْعِيْدِبِالْحَرْبَةِ
اتَّخَذَهَاالاُمَرَاءُ ثَمَّ وَمِنْ
Artinya: “Karena hadits riwayat Muslim dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah sae. Apabila keluar pada hari raya beliau meminta lembing kemudian dipancangkan di depannya dan lalu shalat menghadap ke arahnya sedang orang banyak shalat di belakangnya. Beliau kerjakan yang sedemikian  itu juga pada waktu berpergian. Berdasarkan pada pekerjaan Nabi yang tersebut, maka Kepala-Kepala Negara (Raja atau Amir) pun menjalankan yang sedemikian itu”.
            Hadits Abu Juhaim;
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ : قَالَ اَبِىجُهَيْمٍ عَنْ الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ وَلِحَدِيْثٍ
يَدَيْهِ بَيْنَ يَمُرَّ أَنْ مِنْ خَيْرًالَهُ أَرْبَعِيْنَ يَقِفَ أَنْ لَكاَنَ يَدَىِالْمُصَلِّىمَاذَاعَلَيْهِ الْمَارُّبَيْنَ لَوْيَعْلَمُ
اَوْسَنَةً يَوْمًاأَوْشَهْرًا أَرْبَعِيْنَ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Jama’ah dari Abu Juhaim yang berkata bahwa Rasulullah saw.: “Andaikata orang yang lewat di depan orang shalat itu mengerti dosa yang dipikulkan kepadanya, niscaya akan lebih baik dia  mematikan selama empat puluh daripada melalui di depannya, yaitu 40 hari atau 40 bulan atau 40 tahun””.
5.      Gerakan Ma’mum dan Imam
Tarjih sebagaimana dalam HPT menyatakan: “Kemudian apabila Imam telah bertakbir, maka bertakbirlah kamu, dan jangan bertakbir hingga Imam selesai dari takbirnya. Begitu juga dalam segala pekerjaan shalat dan jangan sekali-kali mendahului Imam”.
Dasarnya ialah Abu Hurairah dan Anas sebagaimana dikutip dalam HPT.
Hadits Abu Hurairah;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ إِنَّ :قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ أَبِىهُرَيْرَةَ وَأَبِىدَاوُدَعَنْ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
وَإِذَارَكَعَ ، وَلاَتُكَبِّرُوْاحَتَّىيُكَبِّرَ فَاِذَاكَبَّرَفَكَبِّرُوْ بِهِ لِيُؤْتَمَّ الاِمَامُ اِنَّمَاجُعِلَ : قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
حَتَّىيَسْجُدَ وَإِذَاسَجَدَفَاسْجُدُوْاوَلاَتَسْجُدُوْا ، حَتَّىيَرْكَعَ فَارْكَعُوْوَلاَتَرْكَعُوْا
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawuddari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sungguh apabila imam itu diangkat untuk diikuti. Oleh karenanya apabila ia bertakbir, maka takbirlah kamu dan janganlah kamu bertakbir hingga ia bertakbir. Dan apabila ia telah ruku’, maka ruku’lah kamu, dna jangan kamu ruku’ hingga ia ruku’. Dan apabila ia telah bersujud maka bersujudlah kamu, dan janganlah kamu bersujdu sehingga ia bersujud””.
            Hadits Anas;
، أَيُّهَالنَّاسُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَنَسٍ عَنْ اَحْمَدَوَمُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
وَلاَبِالاِنْصِرَافِ وَلاَبِالاُقُوْدِ وَلاَبِلْقِيَامِ وَلاَبِالسُّجُوْدِ بِالرُّكُوْعِ فَلاَتَسْبِقُوْنِ إِنِّىاِمَامُكُمْ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Ahmad dan Muslim dari Anas yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Wahai saudara-saudara, Aku ini adalah Imam kamu sekalian, oleh karena itu janganlah kamu mendahului akan aku dalam ruku’, sujud, berdiri dan dalam mengakhiri shalat””.
6.      Panjang-Pendek Bacaan imam
Tarjih menyatakan: “Dan Imam jangan panjang-panjang bacaannya”. Tuntunan ini berdasarkan hadits Anas berikut;
فَدَخَلَ قَوْمَهُ يَؤُمُّ جَبَلٍ ابْنُ مُعَاذُ كاَنَ :قَالَ مَالِكٍ بْنِ أَنَسِ عَنْ أَحْمَدَبِإِسْنَادٍصَحِيْحٍ لِحَدِيْثِ
تَجَوَّزَ ، فَلَمَّارَأَىمُعَاذًاطَوَّلَ الْقَوْمِ مَعَ الْمَسْجِدَ فدَخَلَ نَخْلَهُ يَسْقِىَ أَنْ وَهُوَيُرِيْدُ حَرَامٌ
اَيَعْجَلُ لَمُنَافِقٌ إِنَّهُ : قَالَ . ذَلِكَ لَهُ قِيْلَ فَلَمَّاقَضَىمُعَاذٌصَلاَةَ . يَسْقِيْهِ نَخْلَهُ وَلَحِقَ فِىصَلاَتِهِ
وَمُعَاذٌ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اِلَىالنَّبِيِّ فَجَاءَحَرَامٌ : قَالَ .سَقْىِنَخْلِهِ أَجْلِ مِنْ الصَّلاَةِ عَنِ
. الْقَوْمِ مَعَ الْمَسْجِدَلِاُصَلِّى فدَخَلْتُ نَخْلاًلِى اَسْقِىَ أَنْ اِنِّىاَرَدْتُ ، يَانَبِىَّاللَّهُ : فَقَالَ عِنْدَهُ
صَلَّىاللَّهُ النَّبِيُّ فَاَقْبَلَ . أَنِّىمُنَافِقٌ فَزَعَمَ بِنَخْلَتِىاَسْقِيْهِ فِىصَلاَتِىوَلَحِقْتُ تَجَوَّزْتُ فَلَمَّاطَوَّلَ    
وَالشَّمْسِ الأَعْلَى رَبِّكَ اسْمَ اِقْرَأبِسَبِّحِ بِهِمْ لاَتُطَوِّلْ أَنْتَ أَفَتَّانٌ :فَقَالَ عَلَىمُعَاذٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
وَنَخْوِهِمَا وَضُحَاهَا                                                             
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dengan sanad yang dishahihkan dari Anas bin Malik yang berkata:  Adalah Muadz bin Jalal mengimami kaumnya, dimana si haram yang bermaksud hendak menyiram pohon kurmanya, lebih dahulu masuk masjid bersama-sama kaumnya itu. Setelah ia melihat Muadz memanjangkan bacaannya, maka iapun mempercepat shalatnya dan mendatangi pohon kurmanya untuk menyiramnya. Setelah Muadz selesai mengerjakan shalat, halnya si haram itu disampaikan kepadanya. Maka Muadzpun berkata bahwa ia seorang munafiq seraya marahnya: “Adakah ia mempercepat shalat hanya untuk menyiram pohon kurmanya?””.
            Anas melanjutkan katanya: “Maka si harampun menghadap Nabi saw. dan ketika itu Mu’adzpun berada di dekat Nabi saw. maka Haram berkata: “Wahai Nabi Allah, Aku hendak bermaksud menyiram pohon kurmaku: Maka aku masuk masjid untuk shalat berjama’ah. Setelah kujumpai Muadz yang menjadi Imam memanjangkan bacaan Qur’annya, aku lalu mempercepat shalatku dan setelah selesai aku menengok pohon kurmaku untuk menyiramnya. Tiba-tiba Muadz itu menuduh aku seorang munafiq”. Maka lalu Nabi memandang kepada Muadz seraya sabdanya: “Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Adakah engkau menjadi tukang fitnah? Janganlah kamu perpanjang membaca surat Qur’an diwaktu menjadi Imam orang banyak, bacalah surat  “Sabbihisma Rabbikal a’la dan Wasysyamsi wadluhaha atau surat yang sesamanya”””.
7.      Bacaan Fatihah Bagi Ma’mum
Apakah ma’mum wajib membaca seluruh bacaan shalat termasuk Fatihah dan surat al-Qur’an lainnya? Masyarakat berbeda pendapat mengenai kewajiban Ma’mum tersebut. Sementara itu Tarjih menyatakan: “Hendaklah kamu memperhatikan dengan tenang bacaan Imam apabila keras bacaannya, mamka janganlah kamu membaca sesuatu selain surat Fatihah”.
Dasarnya ialah dua buah hadits dari Ubadah bin Shamit, dan hadits Anas.
Hadits Ubadah bin Shamit (1);
لاَصَلاَةَ :قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ اَنَّ ض ر الصَّامِتِ بْنِ عُبَادَتَ لِحَدِيْثِ
(عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ) الْكِتَابِ بِفَاتِحَةِ لاَيَقْرَأُ لِمَنْ
Artinya: “Mengingat hadits Ubadah Bin Shamit, bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Tiada sah shalat orang yang tidak membaca permulaan kitab (Fatihah)””. (Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).
            Hadits Ubadah bin Shamit (2);
عَلَيْهِ فَثَقُلَتْ الصُّبْحَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ صَلَّى :قَالَ عَبَادَةَ وَلِحَدِيْثِ
اللَّهِ يَارَسُوْلَ :قُلْنَا :قَالَ إِمَامِكُمْ وَرَاءَ تَقْرَءُوْنَ إِنِّىأَرَاكُمْ :قَالَ فَلَمَّاانْصَرَفَ ، الْقِرَاءَةُ
(وَالدَّارَقُطْنِىُوَالْبَيهَقِىُّ أَحْمَدُ رَوَاهُ) الْقُرْاَنِ بِاُمِّ لاَتَفْعَلُوْااِلاَّ :قَالَ . إِىوَاللَّهِ
Artinya: “Dan ada lagi hadits Ubadah dari riwayat Ahmad, Daraquthni dan Baihaqi, katanya: “Rasulullah saw. shalat subuh, maka beliau mendengar orang-orang yang ma’mum nyaring bacaannya. Setelah selesai beliau menegor: “Aku kira kamu sama membaca di belakang Imammu?” kata Ubadah: kita sama menjawab: “Ya Rasulullah saw., demi Allah benar!” Maka sabda Rasulullah saw.: “Janganlah kamu mengerjakan demikian, kecuali dengan bacaan Fatihah””.
            Hadits Anas dari Ibnu Hibban;
اَتَقْرَءُوْنَ :عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَنَسٍ حَدِيْثِ مِنْ حِبَّانَ ابْنُ وَلِمَارَوَاهُ
فِىنَفْسِهِ الْكِتَابِ بِفَاتِحَةِ أَحَدُكُمْ وَلْيَقْرَأْ فَلاَتَفْعَلُوْا ، يَقْرَأُ وَالاِمَامُ الاِمَامِ خَلْفَ فِىصَلاَتِكُمْ
Artinya: “Dan mengingat pula hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban kepada Anas, yang berkata bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apakah kamu membaca dalam shalatmu di belakang Imammu, padahal imam itu membaca Fatihah pada dirinya (dengan suara rendah yang hampa di dengar sendiri)””.
8.      Bacaan Ta’min bagi Ma’mum
Ta’min adalah mengucapkan kata “Amin”. Dalam hal ini terjadi dalam HPT menuntunkan bahwa: “Apabila Imam telah membaca “Waladldlalin” maka bacalah “amin” dengan nyaring”. Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah, Ibnu Zubair dan Ibnu Hibban dari Atha’.
Hadits Abu Hurairah;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ اَنَّ عَنْهُ رَضِىَ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ وَالنَّسَائِيِّ أَحْمَدَ لِحَدِيْثِ
تَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةَ فَاِنَّ . أَمِيْنَ :فَقُوْلُوْاوَلاَالضَّالِّيْنَ عَلَيْهِمْ غَيْرِالْمَغْضُوْبِ”: إِذَاقَالَالاِمَامُ :
ذَنْبِهِ مِنْ مَاتَقَدَّمَ غُفِرَلَهُ الْمَلاَئِكَةِ تَأْمِيْنَ تَأْمِيْنُهُ وَافَقَ فَمَنْ . أَمِيْنَ :يَقُوْلُ الاِمَامَ وَاِنَّ ، أَمِيْنَ :
Artinya: “Karena hadits riwayat Ahmad dan Nasai dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila imam telah membaca “ghairil maghdu bi alaihim waladl dlalin” maka bacalah “amin” sesungguhnya malaikat membaca “amin” bersama-sama dengan imam membaca “amin”. Barangsiapa membaca “amin” bersamaan dengan abcaan para malaikat, niscaya diampuni dosa-dosanya  yang telah lalu”.
            Hadits Ibnu Zubair;
وَرَاءَهُ هُوَوَمَنْ يُؤَمِّنُ عَنْهُمَاكاَنَ رَضِىَاللَّهُ الزُّبَيْرِ ابْنَ عَطَاءٍإِنَّ عَنْ الْبُخَارِىِّ وَلَمَارَوَاهُ
لِلْمَسْجِدِلَلَجَّةَ حَتَّىاِنَّ بِالْمَسْجِدِالْحَرَامِ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Bukhari dan Atha’ bahwa Ibnu Zubair membaca “amin” bersama-sama orang yang shalat di belakangnya (di Masjidil Haram) sehingga masjid itu bergemuruh suaranya”.
            Hadits Ibnu Hibban;
الصَّحَابَةِ مِنَ مِائِتَيْنِ أَدْرَكْتُ : عَطَاءٍأَيْضًاقَالَ عَنْ بِسَنَدٍصَحِيْحٍ حِبَّانَ ابْنُ وَلِمَارَوَاهُ
بِاَمِيْنَ رَفَعُوْاأَصْوَاتَهُمْ ، وَلاَالضَّالِّيْنَ: الاِمَامُ إِذَاقَالَ عَنْهُمْ رَضِىَاللَّهُ
Artinya: “Dan karena hadits Ibnu Hibban dengan sanad yang shahih, dari Atha’ juga berkata: “Aku telah menjumpai dua ratus sahabat ra. Apabila Imam membaca “Waladldlalin”, merekapun mengeraskan suaranya dengan bacaan “amin””.
9.      Takbir Imam
Selanjutnya Tarjih menuntunkan sebagaimana dalam HPT dan menyatakan “Dan hendaklah Imam mengeraskan takbir intiqal (berpindah dari satu ruku’ ke ruku’ yang lain), agar orang yang shalt di belakangnya mendengar: dan apabila dipandang perlu, orang lain dapat menjadi muballigh (penyambung Imam agar sampai kepada ma’mum). Dasarnya ialah hadits Sa’ad bin Kharits, Jabir dan hadits riwayat Muslim dan Nasai”.
Hadits Sa’id bin Harits;
أَبُوْسَعِيدٍفَجَهَّرَبِالتَّكْبِيْرِ حِيْنَ صَلَّىلَنَا :قَالَ الْحَارِثِ سَعِيْدِبْنِ وَأَحْمَدَعَنْ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
هَكَذَارَأيْتُ :وَقَالَ الرَّكْعَتَيْنِ مِنَ قَامَ وَحِيْنَ رَفَعَ وَحِيْنَ سَجَدَ وَحِيْنَ السُّجُوْدِ مِنَ رَأْسَهُ رَفَعَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلَ
Artinya: “Karena hadits Bukhari dan Ahmad dari Sa’id Ibnu Harits berkata: “Abu Sa’id bershalat menjadi Imam kita, maka membaca takbir degan nyaring ketika mengangkat kepalanya, bangun dari sujud, ketika akan sujud, ketika bangun dan ketika berdiri daru dua raka’at. selanjutnya dikatakan: “Demikian aku melihat Rasulullah saw.””.
            Hadits Jabir;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ اِشْتَكَى :جَابِرٍقَالَ عَنْ مَاجَهْ وَالنَّسَئِىُّوَابْنُ أَحْمَدُوَمُسْلِمٌ وَلِمَارَوَاهُ
تَكْبِيْرَهُ النَّاسَ يُسْمِعُ وَاَبُوْبَكْرٍ وَهُوَقَاعِدٌ فَصَلَّيْنَاوَرَاءَهُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Ketika hadits riwayat Ahmad, Muslim, Nasai, dan Ibnu Majah dari Jabir berkata: “Rasulullah saw. pada suatu ketika menderita sakit, kemudian kami shalat di belakangnya, dan  beliau shalat dengan duduk, serta Abu Bakar memperdengarkan takbir beliau kepada orang banyak””.
            Hadits riwayat Muslim dan Nasai;
، وَاَبُوْبَكْرٍخَلْفَهُ الظُّهْرَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ صَلَّى :قَالَ وَالنَّسَائِيِّ وَلِمُسْلِمٍ
يُسْمِعُنَا كَبَّرَكَبَّرَأَبُوْبَكْرٍ فَاِذَا
Artinya: “Dan hadits Muslim dan Nasai berkata: “Rasulullah saw. shalat Dzuhur sedang Abu Bakar di belakangnya. Maka apabila beliau bertakbir, maka Abu Bakar bertakbir agar kita mendengarnya””.
10.  Hitungan Raka’at Ma’mum Masbuq
Dalam ilmu Fiqh dikenal ma’mum yang disebut masbuq atau ma’mum yang tidak bersamaan waktunya dalam memulai mengerjakan shalat bersama Imam. Mengenai masalah ini Tarjih menyatakan: “Apabila kamu mendatangi shalat jama’ah dan mendatangi Imam sudah mulai melakukan shalat, maka betakbirlah kamu dan kerjakanlah sebagaimana yang dikerjakan Imam. Dan jangan kamu hitung raka’at kecuali kamu sempat melakukan ruku’ bersama-sama dengan Imam”.
Dasarnya ialah dua buah hadits dari Abu Hurairah, hadits riwayat Daruquthni dan hadits Ali ra.
Hadits Abu Hurairah (1);
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ خُزَيْمَةَ وَابْنِ وَالْحَاكِمِ أَبِىدَاوُدَ لِحَدِيْثِ
الرَّكْعَةَ اَدْرَكَ وَمَنْ فَاسْجُدُواْوَلاَتَعُدُّوْهَا سُجُوْدٌ وَنَحْنُ اِلاَالصَّلاَةِ إِذَاجِعْتُمْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
الصَّلاَةَ فَقَدْاَدْرَكَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Abu Dawud, Hakim dan Ibnu Khuzaimah dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Apabila kamu datang untuk shalat (berjama’ah) padahal kita sedang sujud, maka sujdulah kamu dan kamu jangan menghitung seraka’at, dan barangsiapa telah  menjumpai ruku’nya imam, berarti dia menjumpai shalat (raka’at sempurna)”.
            Hadits Abu Hurairah (2);
مِنَ رَكْعَةً اَدْرَكَ مَنْ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيَّ اَنَّ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ الشَّيْخَيْنِ وَلِحَدِيْثِ
الصَّلاَةَ فَقَدْاَدْرَكَ الاِمَامِ مَعَ الصَّلاَةِ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa mendapat ruku’ daripada shalat berarti dia telah mendapati shalat (raka’at sempurna)””.
            Hadits riwayat Daruquthni;
 يُقِيْمَ أَنْ قَبْلَ الصَّلاَةِ مِنَ رَكْعَةً أَدْرَكَ مَنْ :حِبَّانَ ابْنُ صَحَّحَهُ الدَّرَقُطْنِىِّالَّذِى وَفِىرِوَايَةِ
أَدْرَكَهَا فَقَدْ صُلْبَهُ الاِمَامُ
Artinya: “Dan dalam riwayat Daraquthni yang dipandang shahih dari Ibnu Hibban, bahwa Rasulullah saw. bersabda: barangsiapa menjumpai ruku’ dari shalat sebelum Imam berdiri tegak dari ruku’nya, maka berarti dia telah mendapati raka’at sempurna”.
            Hadits dari Ali ra.;
 صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ جَبَالٍ وَمُعَاذِبْنِ أَبِىطَالِبٍ عَلِىِبْنِ عَنْ التِّرْمِذِىُّ وَلِمَارَوَاهُ
الاِمَامُ كَمَايَصْنَعُ فَلْيَصْنَعْ عَلَىحَالٍ وَالاِمَامُ الصَّلاَةَ اَحَدُكُمُ إِذَاأَتَى : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Tirmidzi dari Ali Bin Abi Thalib dan Muadz bin Jalal, keduanya berkata: “Apabila salah seorang diantaramu mendatangi shalat (jama’ah), pada waktu Imam sedang berada dalam suatu keadaan, amka hendaklah ia kerjakan sebagaimana apa yang dikerjakan oleh Imam””.
11.  Raka’at Ma’mum Masbuq
Bagi ma’mum yang tertinggal raka’at oleh Imam, Tarjih menyatakan bahwa; “Sempurnakanlah shalatmu sesudah Imam bersalam”. Dasarnya ialah hadits dari Mughirah Ibnu Syu’aib berikut;
قَدَّ أَنَّهُمْ تَبُوْكٍ فِىغَزْوَةِ الطَّوِيْلِ حَدِيْثِهِ مِنْ شُعْبَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنِ مُسْلِمٌ لِمَارَوَاهُ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ فَأَدْرَكَ لَهُمْ فَصَلَّى عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عَوْفٍ بْنِ مُوْاعَبْدَالرَّحْمَنِ
بْنُ عَبْدُالرَّحْمَانِ فَلَمَّاسَلاَّمَ الاَخِرَةَ الرَّكْعَةَ النَّاسِ مَعَ فَصَلَّى إِحْدَىالرَّكْعَتَيْنِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ فَلَمَّاقَضَىالنَّبِىُّ  . . .صَلاَتَهُ يُتِمُّ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَامَ عَوْفٍ
صَلُّوالصَّلاَةَ اَنْ يَعِظُهُمْ ، قَدْاَصَبْتُمْ :اَوْقَالَ اَحْسَنْتُمْ :قَالَ ثُمَّ عَلَيْهِمْ اَقْبَلَ صَلاَتَهُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
لِوَقْتِهَا
Artinya: “Karena hadits riwayat Muslim dari Mughirah bin Syu’bah bin Syu’bah daripada haditsnya yang panjang mengenai perang Tabuk, bahwa mereka para sahabat mengajukan Abdurrahman bin Auf ra. kemudian iapun mengimami shalat mereka, maka Rasulullah saw. berdiri menyempurnakan shalatnya. Dan setelah Nabi saw. menyelesaikan shalatnya, kemudian beliau menghadap ke arah para sahabat seraya sabdanya: “Kamu sekalian mengerjakan shalat dengan baik”, atau dengan perkataan lain: “Kamu sekalian benar. Menganjurkan mereka agar shalat pada waktunya””.
12.  Amal Selesai Shalat Jama’ah
Sesudah mengerjakan shalat secara bersama atau jama’ah, ada beberapa amalan yang disunnahkan. Amalan-amalan tersebut ialah sebagaimana hasil penelitian Tarjih sebagaimana termuat dalam HPT.
Penjelasan mengenai tuntunan itu ialah sebagaimana uraian di bawah ini.
  1. Imam menghadap ke arah ma’mum sisi kana.setelah melakukan shalat berjama’ah, Imam kemudian menghadap ke arah ma’mum atau ke samping kanan. Tarjih menyatakan; “Sesudah selesai shalat, Imam supaya menghadap ke arah ma’mum atau menghadap ke arah orang yang ada di sebelah kanannya”.
Hadits dari Sumarah;
إِذَاصَلَّىصَلاَةً عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيُّ كاَنَ :قَالَ سَمُرَةَ عَنْ الْبُخَارِىُّ لِمَارَوَاهُ
عَلَيْنَابِوَجْهِهِ أَقْبَلَ
Artinya: “Karena hadits riwayat Bukhari dari Sumarah, berkata: “Adalah Nabi saw. apabila telah selesai mengerjakan shalat beliau menghadap mukanya kepada kita””.
            Hadits dari Bara’ bin Azib;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلِ خَلْفَ كُنَّاإِذَاصَلَّيْنَا :قَالَ عَازِبٍ الْبَرَاءِبْنِ وَاَبِىدَاوُدَعَنِ مُسْلِمٍ وَلِحَدِيْثِ
عَلَيْنَابِوَجْهِهِ فَيُقْبِلُ يَمِيْنِهِ عَنْ نَكُوْنَ اَنْ اَحْبَبْنَا عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
Artinya: “Dan karena hadits riwayat Muslim dan Abu Dawud dari Bara bin Azib yang berkata: “Apabila kita shalat di belakang Rasulullah saw. kita senang berada di kana beliau, supaya setelah selesai beliau menghadapkan mukanya kepada kita””.
  1. Duduk sebentar selesai shalat berjama’ah. Setelah selesai shalat jama’ah disunnahkan untuk duduk sebentar. Mengenai hal ini Tarjih menyatakan; “duduklah setelah selesai shalat”.
Dasarnya ialah hadits Abu Hurairah berikut;
الْمَلاَئِكَةَ إِنَّ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُّوْلُ قَالَ :قَالَ أَبِىهُرَيْرَةَ عَنْ الْبُخَارِىِّ لِحَدِيْثِ
وَارْحَمْهُ اغْفِرْلَهُ اَللَّهُمَّ :تَقُوْلُ يُحْدِثْ مَالَمْ الَّذِىصَلَّىفِيْهِ فِىمُصَلاَّهُ تُصَلِّىعَلَىأَحَدِكُمْ
Artinya: “Karena hadits riwayat Bukhari dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya para malaikat memintakan rahmat untuk salah seorang dari kamu selama masih duduk di tempat shalatnya dan sebelum berhadats, para malaikat mendo’akan: Ya Allah, Ampunilah dosanya dan Kasihanilah Ia””.
 MASALAH SHALAT QADHA, JAMA’ DAN QASHAR
  1. Mengqadha Shalat
Ada dua pernyataan: “Mengqadha puasa itu boleh, sedang mengqadha shalat itu tidak boleh” dan “mengqadha shalat itu boleh, dengan alasan banyak kesibukan”. Dari kedua pernaytaan di atas. Pernyataan yang benar adalah Mengqadha puasa itu ada dasarnya, sedang mengqadha shalat fardhu karena kesibukan  itu tidak ada dasarnya yang kuat. Kalau orang tidak dapat melakukan shalat pada waktunya karena halangan syar’iy, tertidur atau lupa, maka tuntunannya ialah mengerjakan shalat itu pada waktu ia telah bangun tidur atau yang seperti dinyatakan oleh hadits riwayat Abu Qatadah.
ذَكَرُوْالِلنَّبِيِّ صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَكُمْ عَنِ الصَّلاَةِ فَقَالَ : إِنَّهُ لَيْسَ فِى النَّوْمِ تَفْرِيْطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيْطُ فِىالْيَقْظَةِ فَاِدَانَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلاَةً أَوْنَمَا عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَاإِذَا ذَكَرَهَا (رواه النسائيّ والتّرمذيّ وصحّحح)
Artinya: “(Para sahabat) memberitahukan kepada Nabi tentang tidur mereka melalaikan dari  melakukan shalat (pada waktunya) maka Nabi saw. bersabda: ‘Sesungguhnya tidak ada masalah lalai kalau sedang tidur, sesungguhnya lalai itu dalam keadaan jaga, maka apabila lupa salah satu di antaramu atau sedang tidur (sehingga tidak mengerjakan shalat) kerjakan shalat apabila telah ingat’” (HR. An-Nasaiy dan at-Tirmidzi dan menilainya hadits itu Shahih).
  وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّىاللَّهُ وَسَلَّمَ : مَنْ نَسِيَ صَلاَةً فَلْيُصَلِّهَا إِذَاذَكَرَهَا لاَكَفَّرَةَ لَهَا اِلاَّ ذَلِكَ وَتَلَى قَوْلَهُ تَعَالَى: "آَقِمِ الصَّلَوةَ لِذِكْرِى"  
Artinya: “Dari Anas bin Malik ra., ia berkata, bersabda Rasulullah saw. barangsiapa lupa mengerjakan shalat maka kerjakanlah di kala mengingatnya, tidak ada ganti kecuali itu”. Dan beliau membaca ayat: “A qimishshalaata lizikriy” (yang artinya: kerjakanlah shalat untuk mengingat Aku).
            Ayat ini disepakati keshahihannya oleh Bukhari dan Muslim. Lafadz ini menurut lafadz Bukhari.
Sedangkan lafadz dari Muslim berbunyi:
وَمُسْلِمٍ : مَنْ نَسِيَ صَلاَةً أَوْنَامَ عَنْهَا فَكَفَّرَتُهَا أَنْ يُصَلِّيَهَا إِِذَاذَكَرَهَا
Artinya: “Menurut lafadz Muslim berbunyi: ‘Barangsiapa yang lupa mengerjakan shalat  atau tertidur mengerjakan shalat, maka gantinya ialah mengerjakan shalat seketika mengingatnya’”.
            Hadits-hadits di atas menunjukkan cara melakukan shalat apabila tidak mengerjakan shalat wajib karena tertidur atau jika pada suatu shalat wajib bukan karena lalai.
            Adapun dalam shalat sunnah Nabi telah melakukan qadha akan sunat fajar, sunat sebelum shalat Dzuhur dan sesudahnya serta sunat witir. Sejauh pemantauan yang dilakukan oleh kita tidak didapati dasar melakukan qadha dalam shalat wajib karena kesibukan, misalnya karena pak Tani karena sibuk di sawah, pedagang kareka sibuk di pasar, atau seorang olahragawan, bahkan pada masa seperti halnya pada kampanye, karena asyik kampanye mereka meninggalkan shalat Ashar, sama halnya dengan pemuda yang gemar nonton film di gedung bioskop yang waktu pemutarannya pada waktu shalat, sehingga shalatnya yang tertinggal itu di qadha setelah melaksanakan shalat wajib berikutnya.
            Kalau kita teliti, yang ada dasarnya ialah melakukan jama’ shalat fardhu di kala ada keperluan yang penting, berdasarkan apa yang pernah dilakukan Nabi, seperti yang diriwayatkan Muslim  dari Ibnu Abbas:
بِالْمَدِيْنَةِ وَالْعِشَاءِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعَصْرِ الظُّهْرِ بَيْنَ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى جَمَعَ
(مسلم رواه) وَلاَمَطَرٍ خَوْفٍ  فِىغَيْرِ
Artinya: “Rasulullah saw. melakukan shalat jama’ antara shalat Dzuhur dan shalat Ashar atau shalat Maghrib dan Shalat Isya di Madinah (dalam kota) tidak dalam keadaan khauf (ketakutan) dan tidak dalam keadaan hujan.”
            Komentar Ibnu Abbas ketika ditanya apa yang dimaksud dengan melakukan seperti itu, ia menjawab untuk tidak menyempitkan  ummatnya. Tentu saja hal itu karena Nabi menghadapi hal yang penting dan tidak menjadi kebiasaan.
            Menurut riwayat Bukhari dan juga Muslim dari Ibnu Abbas pula:
وَالْمَغْرِبَ وَالْعَصْرَ الظُّهْرَ . وَثَمَانِيًا سَبْعًا بِالْمَدِيْنَةِ صَلَّى وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ اِنَّ
(ومسلم البخاريّ رواه) وَالْعِشَاءَ
Artinya: “Bahwa Nabi saw., shalat di halaman kota Madinah tujuh rakaat (menurut riwayat Bukhari ada kata jam’an yang artinya dalam keadaan jama’). Dzuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya’”. (Tim Majelis Tarjin dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 57-59)
  1. Cara Shalat Jama’ dan Qashar
Cara melakukan shalat jama’ yang dilaksanakan pada akhir waktu (jama’ takhir) secara tegas tidak ditentukan, apakah Dzuhur dulu baru Ashar atau sebaliknya. Demikian pula dengan shalat malam apakah Isya dulu baru kemudian maghrib atau maghrib dulu kemudian Isya.
Untuk jelasnya dapat diketahui dari hadits-hadits sebagai berikut: dari Anas bin Malik dia berkata:
كاَنَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَاارْتَحَلَ قَبْلَ اَنْ تَزِيْغَ الشَّمْسُ أَخَّرَالظُّهْرَاِلَى وَقْتِ الْعَْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا فَإِنْ زَاغَتْ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ (رواه البخاريّ ومسلم)
Artinya: “Rasulullah saw. apabila berangkat sebelum tergelincir matahari, beliau mengakhirkan Dzuhur sampai waktu Ashar, kemudian beliau berhenti lalu melakukan jama’ dan apabila berangkat sesudah tergelincir matahari beliau mengerjakan shalat Dzuhur dahulu, barulah berangkat” (HR. Bukhari dan Muslim).
            Dari Muadz bin Jabal ia berkata:
الظُّهْرَ اَخَّرَ الشَّمْسُ تَزِيْغَ أَنْ قَبْلَ إِذَاارْتَحَلَ تَبُوْكٍ غَزْوَةِفِى وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى النَّبِيَّ اِنَّ
الظُّهْرَ صَلَّى الشَّمْسِ زَيْغِ بَعْدَ وَاِذَاارْتَحَلَ جَمِيْعًا يُصَلِّيْهِمَا الْعَصْرِ إِلَى يَجْمَعَهَا حَتَّى
الْمَغْرِبِ  هَامَعَ فَصَلاَّ العِشَاءَ عَجَّلَ الْمَغْرِبِ قَبْلَ إِذَاارْتَحَلَ وَكاَنَ سَارَ ثُمَّ جَمِيْعًا وَالْعَصْرَ
( رواه احمد وابو داود والتّرمذيّ )                                                                            
Artinya: “(Bahwasanya Nabi saw. di dalam peperangan Tabuk apabila berangkat dari tempat persinggahan) sebelum tergelincir matahari, beliau akhirkan Dzuhur sampai waktu Ashar, menjama’nya dengan shalat Ashar keduanya. Dan apabila beliau berangkat sesudah tergelincir matahari, Shalat Dzuhur dan Ashar  dijama’kan keduanya, kemudian beliau berangkat. Da apabila beliau berangkat sebelum waktu Maghrib, beliau mengakhirkan shalat Maghrib dan beliau kerjakan beserta Isya  dan apabila berangkat sesudah Maghrib segerakan Isya itu dan mengerjakannya beserta shalat  Maghrib” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
            Dari kedua hadits tersebut, tidak kita dapati pengertian bagaimana cara mengerjakan shalat jama’ takhir dari segi mana yang harus didahulukan. Bahkan dari riwayat yang lainpun  kita tidak mendapatkan cara yang dimaksudkan.
            Dengan demikian jama’ takhir itu dapat dilakukan Dzuhur dulu baru Asar atau sebaliknya bila melakukan jama’ takhir antara Dzuhur dan Ashar, dan dapat pula Maghrib dulu baru Isya atau sebaliknya jika mengerjakan jama’ takhir Maghrib dan Isya’ (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 59-60).
  1. Menjama’ karena Hujan
Melakukan shalat jama’ karena hujan, buknalah karena sebab adanya hujanturun kita dapat melakukan shalat jama’, tetapi merupakan hukum rukhshah artinya kemurahan bagi orang yang bisa melakukan shalat berjama’ah di masjid. Karena hujan turun akan menyulitkan orang tersebut kalau sekiranya setelah melaukan shalat Dzuhur atau Maghrib harus kembali lagi pada waktu Asar atau Isya. Jadi tidak untuk orang yang di rumah, karena hujan turun lalu melakukan jama’ dalam shalatnya di rumah.
Adapun dalil yang membolehkan melakukan jama’ karena ada hujan ialah hadits Nabi saw. riwayat Bukhari:
Artinya: “Bahwa Nabi saw. menjama’antara shalat Maghrib dan Shalat Isya pada suatu malam turun hujan lebat.” (HR. Bukhari) (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 60).
  1. Shalat Azimah dalam berpergian
Melakukan shalat jama’ atau qashar itu merupakan rukhshah (kemurahan), sedang kalau melakukan shalat tidak dijama’ disebut melaksanakan azimah. Dalam masalah menjama’ dan mengqashar ini tergantung pelaksanaannya. Kalau dilakukan qashar itu baik, karena waktu memang menghendaki demikian, karena dalam berpergian banya \k kesulitan. Mengerjakan qashar dan jama’ lebih baik, karena hati orang tersebut menjadi tenang dan lapang.tetapi kalau memang waktu mengizinkan orang dapat melaksanakan shalat azimah dengan baik, hati tentram dan tenang, tentu melakukan shalat dengan azimah juga baik dalam hal ini dapat diberikan beberapa hadits Nabi.
Hadits riwayat Jama’ah, bahwa ketika Umar bertanya tentang kebolehan mengqashar shalat, padahal sudah dalam keadaan amak, maka Rasul menjawab:
(البخارىّ إلاّ الجمعة رواه) صَدَقَتَهُ فَاقْبَلُوْا عَلَيْكُمْ بِهَا اللَّهُ تَصَدَّقَ صَدَقَةٌ
Artinya: “Itu suatu pemberian dari Allah yang diberikan padamu, maka terimalah sedekah-Nya itu” (HR. Jama’ah kecuali Bukhari dari Ya’la bin Umayyah)
يُحِبُّ اللَّهَ اِنَّ : وَسَلَّمَ عَلَيْهِ اللَّهُ صَلَّى اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ : قَالَ عَنْهُ اللَّهُ رَضِيَ عُمَرَ ابْنِ عَنْ
(أحمد رواه) أَوَامِرُهُ تُؤْتَى أَنْ يُحِبُّ كَمَا رُخَصُهُ تُؤْتَى أَنْ

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. ia berkata: ‘Bersabda Rasulullah saw., ‘Sesungguhnya Allah menyukai kita mengerjakan segala kelapangan-Nya (rukhshahnya), sebagaimana Allah suka apabila kita mengerjakan azimah-azimahnya’” (HR. Bukhari dan Muslim (Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, 2003a: 60-61).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar