Selasa, 10 Juli 2012

AIK 3 PERTEMUAN 5


SHALAT LAIL DAN HARI RAYA
Shalat lail atau shalat malam juga disebut sebagai shalat tarawih. Di samping itu juga sering disebut shalat witir. Dalam pemikiran fiqhiyah, shalat ini tidak termasuk yang difardhukan atau yang hukum mengerjakannya wajib, akan tetapi shalat yang termasuk hukumnya sunat. Tarjih tampaknya lebih suka mempergunakan istilah Tathawwu untuk ragam shalat demikian.
Berdasarkan pertimbangan kekhususan shalat lail, disamping bahasannya cukup panjang serta dalam bulan Ramadhan yang mengerjakan hampir seluruh lapisan umat, maka bahasan mengenai shalat lail ini ditempatkan dalam sub bahasan tersendiri dalam sub bab C.
Shalat lail atau shalat malam yang juga sering disebut dengan  shalat witir atau qiyamul lail atau qiyamu ramadhan, raka’atnya menurut Tarjih sebanyak sebelas. Dalam praktek di masyarakat terdapat banyak ragam dan perbedaan antara satu dengan yang lain mengenai jumlah raka’at shalat ini.
Jumlah raka’at yang dituntunkan Tarjih sebanyak sebelas (11) raka’at, dikerjakan dengan cara dua-dua raka’at dan tiga, atau empat-empat raka’at dan tiga, setiap bagian masing-masing diakhiri salam. Megenai kapan dilaksanakan shalat lail tidak banyak perbedaan pendapat yaitu diantara waktu sesudah shalat Isya hingga terbit fajar. Baik dalam bulan Ramadhan atau diluar bulan itu.Sumber dalil yang dijadikan landasan adanya perintah shalat lail didasarkan pada sunnah rasul yang biasa mengerjakannya dan menganjurkan untuk membiasakan mengerjakan shalat lail. Keterangan ini yang ditarjihkan adalah hadits Abdullah bin Amr bin Ash berikut:
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ الْعَاصِ عَمِرِوبْنِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ لِحَدِيْثِ
(عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ) اللَّيْلِ قِيَامَ فَتَرَكَ اللَّيْلِ مِنَ يَقُوْمُ كاَنَ فَلاَنٍ مِثْلَ لاَتَكُنْ ، يَاعَبْدَاللَّهِ
Artinya: “Beralasan hadits Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan: pernah Rasulullah saw. berkata: “Hai Abdullah, janganlah engkau jadi seperti Fulan. Ia pernah sering shalat malam tetapi lalu tidak melakukannya lagi””. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
1.      Waktu Shalat Lail
Selanjutnya penetapan waktu sesudah shalat Isya hingga menjelang terbit fajar dan jumlah raka’atnya sebanyak sebelas berdasarkan hadits Aisyah dan hadits Kharijah  bin Hudsafah.
Hadits Aisyah;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ زَوْجِ عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
الْعَتَمَةَ وَهِىَالَّتِىيَدْعُوْالنَّاسُ الْعِشَاءِ صَلاَةِ مِنْ يَفْرُغَ أَنْ بَيْنَ فِيْمَا عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
(الشَّيْخَانِ رَوَاهُ) اَلْحَدِيْثَ رَكْعَةً إِحدَىعَشْرَةَ إِلَىالْفَجْرِ
Artinya: “Beralasan hadits Aisyah istri Nabi saw. yang menceritakan: Rasulullah saw. mengerjakan shalat pada waktu antara selesai shalat Isya yaitu yang disebut ‘Atamah: sampai fajar sebelas raka’at”. (Riwayat bukharia dan Muslim)
            Hadits Kharijah bin Khudzafah;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ عَلَيْنَا خَرَجَ :قَالَ حُذَافَةَ بْنِ خَارِجَةَ وَحَدِيْثِ
:قُلْنَا  .النَّعَامِ حُمُرِ  مِنْ  هِىَخَيْرٌ  بِصَلاَةِ  اللَّهُ  لَقَدْأَمَدَّكُمُ :فَقَالَ   غَدَاتٍ  ذَاتَ
أَحْمَدُوَاَبُوْ) الْفَجْرِ إِلَىطُلُوْعِ الْعِشَاءِ صَلاَةِ بَيْنَ اَلْوِتْرُ :قَالَ ؟ اللَّهِ يَارَسُوْلَ وَمَاهِيَ
(وَكَذَاالذَّارَقُطْنِىُّ مَاجَهْ وَابْنُ دَاوُدَوَالتِّرْمِذِىُّ
Artinya: “Beralasan pula hadits Kharijah bin Khudzafah mengatakan: pernah pula suatu pagi Rasulullah saw. datang kepada kami dan mengatakan: “Benar-benar Allah telah menganugerahi kami semacam shalat yang lebih menyenangkan daripada unta pilihan”. Kami bertanya: “Apakah itu Rasulullah saw.?”. Ia menjawab: “Shalat witir antara shalat Isya hingga fajar menyingsing”. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, begitu pula Daraquthni).
            Mengenai shalat lail baik dalam Ramadhan maupun diluarnya serta pembagian empat-empat-tiga, didasarkan hadits Aisyah di bawah ini;
فِىرَمَضَانَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةِ عَنْ سُئِلَتْ حِيْنَ عَائِشَةَ لِحَدِيْثّ
عَلَى وَلاَفِىغَيْرِهِ فِىرَمَضَانَ يَزِيْدُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ مَاكاَنَ :قَلَتْ ،
يُصَلِّىأَرْبَعًا ثُمَّ ، وَطُوْلِهِنَّ حُسْنِهِنَّ عَنْ فَلاَتَسْأَلْ يُصَلِّىأَرْبَعًا رَكْعَةً عَشْرَةَ إِحْدَى
(وَمُسْلِمٌ الْبُخَارِىُّ رَوَاهُ) يُصَلِّىثَلاَثًا ثُمَّ ، وَطُوْلِهِنَّ حُسْنِهِنَّ عَنْ فَلاَتَسْأَلْ
Artinya: “Beralasan hadits Aisyah yang menerangkan bahwa ketika ia ditanya tentang shalat Rasulullah saw. dalam bulan Ramadhan; maka ia menjawab: “Pada bulan ramadhan maupun di bulan lainnya tak pernah Rasulullah saw. mengerjakan lebih dari sebelas rakaat; ia kerjakan empat raka’at. jangan engkau tanyakan eloknya dan lamanya. Lalu ia kerjakan tiga raa’at””. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
            Di samping keterangan diatas, Tarjih dalam penjelasannya sebagaimana HPT menyatakan bahwa waktu shalat lail itu ialaha pada bagian pertama awaktu malam, atau pada tengah malam, atau pada bagian akhir. Sementaera mengerjakan shalat lail pada bagian akhir dinyatakan sebagai lebih utama.
            Penjelasan demikian didasarkan pada sumber dalil sebagaimana diketemukan di dalam hadits Aisyah dan hadits Jabir di bawah ini.
            Hadits Aisyah;
مِنْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَدْأَوْتَرَ اللَّيْلِ كُلِّ مِنْ :قَالَتْ عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
(وَمُسْلِمٌ الْبُخَارِىُّ رَوَاهُ) إِلَىالسَّحَرِ وِتْرُهُ فَانْتهَى وَاَخِرِهِ وَأوْسَطِهِ اللَّيْلِ أَوَّلِ
Artinya: “Beralasan hadits Aisyah mengatakan: “Pada sepanjang malam Rasulullah saw. saw. pernah kerjakan shalat witir permulaan malam dan tengahnya serta akhirnya dan selesai witirnya pada waktu menjelang  Subuh””. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
            Hadits Jabir;
آَخِرِ مِنْ لاَيَقُوْمَ أَنْ خَافَ أَيُّكُمْ :قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ عَنِ جَابِرٍ لِحَدِيْثِ
أَخِرِ قِرَاءَةَ فَاِنَّ ، آَخِرِهِ مِنْ فَلْيُتِرْ الَّيْلِ آَخِرِ مِنْ بِقِيَامِ وَثِقَ وَمَنْ ، لْيَرْقُدْ ثُمَّ فَلْيُتِرْ الَّيْلِ
(مَاجَهْ وَابْنُ مُذِيُّ وَالتُّرْ وَمُسْلِمٌ اَحْمَدُ رَوَاهُ) أَفْضَلُ وَذَلِكَ مَحْضُوْرَةٌ اللَّيْلِ
Artinya: “Beralasan hadits Jabir dari Nabi saw. yang mengatakan: “Siapa diantaramu khawatir tidak akan dapat bangun pada akhir malam, maka hendaklah ia shalat witir lalu tidur, dan barangsiapa percaya akan dapat bangun pada kahir malam, hendaklah ia shalat witir pada akhir malam itu, sebab akhir malam itu disaksikan malaikat dan itu lebih utama””.  (Riwayat Ahmad, Muslim, Tirmidzidan Ibnu Majah)
2.      Jumlah Raka’at Shalat Lail
Cara mengerjakan sebelas raka’at denga membagi dua raka’at sebanyak empat kali, kecuali tiga raka’at witir, didasarkan hadits Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan Zaid bin Khalid sebagaiman nukilan HPT di bawah ini.
Hadits Ibnu Umar
فَقَالَ ؟ اللَّيْلَ صَلاَةُ كَيْفَ ، اللَّهِ  يَارَسُوْلَ ؟فَقَالَ رَجُلٌ قَامَ :قَالَ عُمَرَ ابْنِ لِحَدِيْثِ
الصُّبْحَ خِفْتَ فَاِنْ ، مَثْنَىمَثْنَى الَّليْلِ صَلاَةُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ
(الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ) بِوَاحِدَةٍ  فَاَوْتِرْ

Artinya: “Beralasan hadits Ibnu Umar yang mengatakan: seorang lelaki bangkit dan berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam hai Rasulullah saw.?”, jawab Rasulullah saw.: “Shalat malam itu dua raka’at dua raka’at. jika engkau khawatir akan terkejar subuh, hendakklah engkau kerjakan witir atau satu raka’at saja””. (Riwayat Jama’ah)
            Hadits Ibnu Abbas;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ مَاصَنَعَ مِثْلَ فَصَنَعْتُ فَقُمْتُ :قَالَ عَبَّاسٍ ابْنِ وَلِحَدِيْثِ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ فَوَضَعَ إِلَىجَنْبِهِ فَقُمْتُ ذَهَبْتُ ثُمَّ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى . يَنْتِلُهَا بِاُذُنِىالْيُمْنَى وَاَخَذَ الْيُمْنَىعَلَىرَأْسِى يَدَهُ
فَقَامَ الْمُؤَذِّنُ جَاءَ حَتَّى اضْطَجَعَ اَوْتَرَثُمَّ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ
(مُسْلِمٌ رَوَاهُ) فَصَلَّىصُبْحَ خَرَجَ ثُمَّ خَفِيْفَتَيْنِ فَصَلَّىرَكْعَتَيْنِ
Artinya: “Beralasan pula hadits Ibnu Abbas yang mengatakan: “Lalu aku berdiri di samping Rasulullah saw. ; tetapi lalu ia letakkan tangan kanannya pada kepala saya dan dipegangnya telinga kanan saya dan ditelitinya, lalu ia shalat dua raka’at kemudian dua raka’at lagi, lalu dua raka’at lagi kemudian dua raka’at lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping sehingga datang Bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia dan shalat dua raka’at singkat-singkat, kemudian pergi shalat subuh””. (Riwayat Muslim)
            Hadits Zaid bin Khalid al-Juhan;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةَ لَأَرْمُقَنَّ : قَالَ أَنَّهُ الْجُهَنِىِّ خَالِدٍ زَيْدِبْنِ وَلِحَدِيْثِ
طَوِيْلَتَيْنِ : طَوِيْلَتَيْنِ صَلَّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَفِيْفَتَيْنِ فَصَلَّىرَكْعَتَيْنِ ، اللَّيْلَةَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
وَهُمَادُوْنَ صَلَّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَبْلَهُمَا اللَّتَيْنِ وَهُمَادُوْنَ رَكْعَتَيْنِ صَلَّى ثُمَّ طَوِيْلَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ وَهُمَادُوْنَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَبْلَهُمَا اللَّتَيْنِ وَهُمَادُوْنَ صَلَّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَبْلَهُمَا اللَّتَيْنِ
(مُسْلِمٌ رَوَاهُ) رَكْعَةً عَشْرَةَ ثَلاَثَ فَذَلِكَ أَوْتَرَ  قَبْلَهُمَا
Artinya: “Beralasan pula hadits Zaid bin Khalid a-Juhan yang mengatakan: “Benar-benar aku hendak mengamati shalat Rasulullah saw. malam ini. Lalu (aku lihat) dia shalat dua raka’at singkat-singkat kemudian dua raka’at panjang-panjang kemudian ia shalat dua raka’at yang kurang panjang dari yang sebelumnya kemudian ia shalat dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya kemudian ia shalat dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang sebelumnya lalu shalat dua raka’at lagi yang kurang panjang dari yang sebelumnya, kemudian ia shalat witir. Maka jadilah seluruhnya tiga belas raka’at””. (Riwayat Muslim)
            Selain penjelasan diatas, dalam penjelasan lain di akhir bab mengenai shalat lail dalam HPT terdapat penjelasan selanjutnya mengenai jumlalh raka’at dan pembagiannya.
            Penjelasan sebagaimana dalam HPT itu  menyatakan; “Jika engkau hendak mengerjakan shalat dengan cara lain, maka yang sebelas raka’at itu boleh engkau kerjakan dua-dua raka’at atau empat-empat raka’at seperti tersebut diatas, atau enam raka’at”.
            Di samping itu juga dapat dikerjakan dengan; “atau delapan raka’at terus-menerus dan hanya duduk pada penghabisannya lalu salam”. Sumber dalil yang dijadikan dasar  penjelasan diatas adalah  hadits Abdullah bin Abu Qais dan hadits Abu Salamah.
            Hadits Abdullah bin Qais;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ بِكُمْ : لِعَائِشَةَ قُلْتُ :قَالَ أَبِىقَيْسٍ بْنِ عَبْدِاللَّهِ لِحَدِيْثِ
وَثَمَانٍ ، وَثَلاَثٍ وَسِتٍّ ، وَثَلاَثٍ بِاَرْبَعٍ يُوْتِرُ كاَنَ :قَالَتْ ؟ يُوْتِرُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
ثَلاَثَ مِنْ بِاَكْثََرَ وَلاَ سَبْعٍ مِنْ يُوْتِرُبِأَنْقَصَ يَكُنْ وَلَمْ ، وَثَلاَثٍ وَعَشْرٍ ، ثَلاَثٍ
(أَبُودَاوُدَ رَوَاهُ) عَشْرَةَ
Artinya; “Beralasan hadits Abdullah bin Abu Qais yang mengatakan bahwa ia bertanya pada Aisyah “Berapa raka’at Rasulullah saw. shalat witir?” ia menjawab: “ia kerjakan witir empat lalu tiga atau enam lalu tiga, atau delapan lalu tiga atau sepuluh lalu tiga, ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh raka’at dan tidak lebih dari tiga belas””. (Riwayat Abu Dawud)
            Hadits Abu Salamah;
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةِ عَنْ عَائِشَةَ سَأَلْتُ :قَالَ سَلَمَةَ أَبِى وَلِحَدِيْثِ
أَنْ إِذَاأَرَادَ جَالِسٌ وَهُوَ يُصَلِّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُوْتِرُ ثُمَّ يُصَلِّىثَمَانِىَ كاَنَ : فَقَالَتْ ،
رَوَاهُ). الصُّبْحِ صَلاَةِ مِنْ وَالاِقَامَةِ النِّدَاءِ بَيْنَ رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّى ثُمَّ يَرْكَعُ ثُمَّ قَامَ يَرْكَعُ
يُصَلِّىثَمَانِىرَكَعَاتٍ :قَالَ بِاِسْنَادِهِ قَتَادَةَ طَرِيْقِ عَنْهَامِنْ أَبِىدَاوُدَ وَفِىرِوَايَةِ . (مُسْلِمٌ
تَسْلِيْمًا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَدْعُوْ ثُمَّ عَزَّوَجَلَّ اللَّهَ وَيَذْكُرُ فَيَجْلِسُ اِلاَّعِنْدَالثَّامِنَةِ فِيْهَا لاَيَجْلِسُ
إِحْدَى فَتِلْكَ ، رَكْعَةً يُصَلِّى ثُمَّ مَايُسَلِّمُ بَعْدَ وَهُوَجَالِسٌ يُصَلِّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسْمِعُنَا
يَابَنَىُّ رَكْعَةً عَشْرَةَ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Salamah yang mengatakan: pernah aku bertanya pada Aisyah tentang shalat Rasulullah saw. , maka ia menjawab: “ia kerjakan shalat tiga belas raka’at. ia shalat delapan raka’at kemudian shalat witir lalu shalat dua raka’at  sambil duduk kalau ia hendak ruku’ ia bangkit lalu ruku’ kemudian daripada itu shalat du raka’at antara adzan dan iqamah pada shalat subuh. (Riwayat Muslim). Diterangkan riwayat Abu Dawud dari Qatadah katanya: “Nabi shalat delapan raka’at  denga tidak duduk (tahiyat) kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan do’a kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai  kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil duduk setelah ia baca salam. Kemudian ia shalat lagi satu raka’at. itulah sebelas raka’atnya semua, hai anakku”””.

3.      Fatihah dan Surat al-Qur’an setiap raka’at
Menurut kesimpulan Tarjih sebagaimana dapat diketemukan dalamHPT, di setipa raka’at shalat lail, dibaca baik surat al-Fatihah meupun salah satu surat al-Qur’an.
Dasarnya ialah hadits Aisyah di bawah ini.
فِىجَوْفِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةِ عَنْ أَنَّهَاسُئِلَتْ عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
اَرْبَعَ فَيَرْكَعُ إِلَىأَهْلِهِ يَرْجِعُ ثُمَّ فِىجَمَاعَةٍ الْعِشَاءِ يُصَلِّىصَلاَةَ كاَنَ :فَقَالَتْ اللَّيْلِ
مَوْضُوْعٌ وَسِوَاكُهُ عِنْدَرَأْسِهِ مُغَطًّى وَطَهُوْرُهُ وَيَنَامُ اِلَىفِرَاشِهِ يَأوِى ثُمَّ رَكَعَاةٍ
يَقُوْمُ ثُمَّ الْوُضُوْعَ وَيُسْبِغُ فَيَتَسَوَّكُ اللَّيْلِ مِنَ الَّتِىيَبْعَثُهُ سَاعَتَهُ اللَّهُ حَتَّىيَبْعَثُهُ
الْقُرْآَنِ مِنَ وَسُوْرَةٍ الْكِتَابِ بِأُمِّ يَقْرَأُفِيْهِنَّ ثَمَانِىرَكَعَاتٍ فَيُصَلِّي مُصَلاَّةَ إِلَى
ثُمَّ فِىالتَّاسِعَةِ وَيَقْرَأُ وَلاَيُسَلِّمُ يَقْعُدَفِىالثَّمِنَةِ مِنْهَاحَتَّى وَلاَيَقْعُدُفِىشَيْئِ وَمَاشَاءَاللَّهُ
وَاحِدَةً تَسْلِيْمَةً وَيُسَلِّمُ إِلَيْهِ وَيَرْغَبَ وَيَسْأَلَهُ يَدْعُوَ أَنْ اللَّهُ بِمَاشَاءَ فَيَدْعُوْ يَقْعُدُ
وَيَرْكَعُ الْكِتَابَ بِأُمِّ يَقْرَأُوَهُوَقَاعِدٌ ثُمَّ تَسْلِيْمِهِ شِدَّةِ مِنْ الْبَيْتِ أَهْلَ يَكاَدُيُوْقِظُ شَدِيْدَةً
يَدْعُوَ أَنْ شَاءَاللَّهُ يَدعُوْمَا وَهُوَقَاعِدٌثُمَّ وَيَسْجُدُ فَيَرْكَعْ يَقْرَأُالثَّانِيَةِ ثُمَّ وَهُوَقَاقَاعِدٌ
بَدَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةُ تِلْكَ تَزَلْ فَلَمْ ، وَيَنْصَرِفُ يُسلِّمُ ثُمَّ
حَتَّىقُبِضَ وَهُوََقَاعِدٌ وَرَكْعَتَيْهِ وَالسَّبْعِ إِلَىالسِّتِّ فَجَََعَلهَا تِسْنَتَيْنِ التِّسْعِ مِنَ فَنَقَصَّ
(اَبُوْدَاوُدَ رَوَاهُ) عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ عَلَىذَلِكَ

Artinya: (nukilan arti disusun menjadi beberapa alinea untuk mempermudah membacanya) “Beralasan hadits Aisyah yang menceritakan bahwa ia pernah ditanya tentang shalat Rasulullah saw. di tengah malam lalu ia mengatakan: “Ia kerjakan shalat Isya dengan berjama’ah kemudian ia kembali kepada keluarganya, lalu shalat empat raka’at kemudian ia pergi ke peraduannya lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudlu yang ditutupi dan sikat gigi, sampai ia dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan pada tengah malam, ia lalu menggosok giginya dan berwudlu dengan sempurna kemudian pergi ke tempat shalat lalu ia shalat delapan raka’at”.
“Dalam raka’at-raka’at itu membaca fatihah dan surat al-Qur’an dan ayat-ayat lainnya. Ia tidak duduk (untuk tahiyat awal) selama itu kecuali pada raka’at ke delapan dan tidak menutup dengan salam. Pada raka’at ke sembilan ia mebaca seperti sebelumnya lalu duduk tahiyat akhir membaca do’a dengan ebrmacam-macam do’a dan mohon kepada Allah serta menyatakan  keinginannya kemudian ia membaca salam sekali dengan suara keras yang hampir  membangunkan  isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia shalat sambil duduk dengan membaca fatihah dan ruku’ sambil duduk lalu ia kerjakan raka’at kedua serta ruku’ dan sujud sambil duduk kemudian membaca do’a sepuas hatinya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit dan pergi”.
“Demikianlah selalu shalat Rasulullah saw. sampai akhirnya bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan raka’at itu dikurangi dua sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua raka’at yang dikerjakan sambil duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi wafat”. (Riwayat Abu Dawud)
Menurut pennjelasan Tarjih selanjutnya mengenai bilangan enam dan tujuh dalam hadits diatas, yaitu bahwa “Nabi mengerjakan shalat enam raka’at lalu duduk untuk tahiyat awal kemudian berdiri dan pada raka’at ketujuh menutupnya dengan salam lalu shalat dua raka’at sambil duduk”. Hadits ini mengandung pengertian mengenai mudahnya mengerjakan shalat lail, sehingga tidak mengharuskan bilangan raka’at sebelas asal jumlahnya gasal.
Penjelasan Tarjih diatas agak berbeda dengan praktek dan kebiasaan mengenai bilangan dan pembagian yang 11 raka’at di kalangan Muhammadiyah.
4.      Bacaan Witir; Tiga Raka’at Akhir
Pengetahuan masyarakat mengenai witir sering dikaitkan dengan jumlah tiga atau raka’at gasal lainnya sebagai bagian akhir shalat lail. Dasarnya mengenai bagian akhir shalat lail yang terdiri dari tiga raka’at adalah hadits Aisyah sebagaimana yang telah disebutkan.
Selanjutnya, mengenai surat-surat yang dibaca sebagaimana kebiasaan Rasulullah saw. ialah membaca surat al-A’la sesudah Fatihah pada raka’at pertama, selanjutnya, membaca surat al-Kafirun pada rakak’at kedua. Sementara itu surat al-Ikhlash dibaca pada raka’at ketiga. Cara demikian menurut Tarjih disimpulkan berdasarkan hadits Ubai bin Ka’ab berikut;
بِسَبِّحِ فِىالْوِتْرِ يَقْرَأُ كاَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيَّ أَنَّ كَعْبٍ بْنِ أُبَىِّ لِحَدِيْثِ
هُوَاللَّهُ بِقُلْ وَفِىالثَّالِثَةِ ، يَااَيُّهَاالَكاَفِرُوْنَ بِقُلْ الثَّانِيَةِ وَفِىالرَّكْعَةِ الأَعْلَى رَبِّكَ اسْمَ
(مَاجَهْ وَابْنُ وَالتُّرْمُذِىُّ النَّسَائِيُّ رَوَاهُ) اَحَدٌ
Artinya: “Berlasan hadits Ubai Ibnu Ka’ab yang menceritakan bahwa Nabi saw, pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma rabikal a’la” dan “Qul ya ayyuhal kafirun” pada raka’at kedua dan “qul huwallahu ahad” pada raka’at ketiganya”. (Riwayat Nasai dan Tirmidzi serta Ibnu Majah)
5.      Jumlah Raka’at Witir
Mengenai berapa jumlah raka’at shalat witir selain tiga raka’at yang kita kenal, dalam penjelasan Tarjih mengenai hal ini terdapat keragaman. Ragam jumlah itu bervariasi dari satu hingga sembilaln raka’at.
Berikut ini akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai ragam jumlah raka’at witir diatas berikut sumber dalil yang dijadikan dasar.
a. Satu atau tiga raka’at. ragam jumlah raka’at shalat witir satu atau tiga demikian berdasarkan dua buah hadits Aisyah berikut;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ زَوْجِ عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
الْعَتَمَةَ وَهِىَالَّتِىيَدْعُوالنَّاسُ الْعِشَاءِ صَلاَةِ مِنْ يَفْرَغَ أَنْ يُصَلِّىبَيْنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
فَاِذَاسَكَتَ ، بِوَاحِدَةٍ وَيُوْتِرُ رَكْعَتَيْنِ كُلِّ بَيْنَ يُسَلِّمُ رَكْعَةً  عَشْرَةَ إِحْدَى إِلَىالْفَجْرِ
خَفِيْفَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فَرَكَعَ قَامَ الْمُؤَذِّنُ وَجَاءَهُ الْفَجْرُ لَهُ تَبَيَّنَ الْفَجْرِ صَلاَةِ مِنْ الْمُؤَذِّنُ
(وَمُسْلِمٌ الْبُخَارِيُّ رَوَاهُ) لِلاِقَامَةِ الْمُؤَذِّنُ حَتَّىيَأْتِيَهُ الأَيْمَنِ عَلَىشِقِّهِ اضْطَجَعَ ثُمَّ
Artinya: “Beralasan hadits Asisyah istri Nabi saw. yang menceritakan: “Adapun Rasulullah saw. mengerjakan shalat pada waktu antara ia selesai shalat Isya yaitu yang orang namakan ‘atamah hingga fajar sebelas raka’at dengan membaca salam antara dua raka’at lalu shalat witir satu raka’at kemudian apabila muadzin telah selesai seruan Subuhnya, dan terlihat olehnya akan fajar dan Bilal menghampirinya ia lalu shalat dua raka’at singkat-singkat kemudian berbaring pada lambung kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk seruan iqamah””. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
لاَيَفْصِلُ يُوْتِرُبِثَلاَثٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَائِشَةَ وَلِحَدِيْثِ
(الشَّيْخَيْنِ عَلَىشَرْطِ صَحِيْحٌ : وَقَالَ وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ وَالنَّسَائِيُّ أَحْمَدُ رَوَاهُ) بَيْنَهُمَا
Artinya: “Beralasan pula pada hadits Aisyah yang menerangkan: Adapun Rasulullah saw. mengerjakan shalat witir tiga raka’at dengan tidak dipisah-pisahkan.” (Riwayat Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan Hakim serta mengatakan bahwa hadits shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim).
            b. Lima atau tujuh raka’at. penjelasan Tarjih mengenai jumlah raka’at witir menyatakan bahwa bilangan raka’at witir dapat terdiri dari lima atau tujuh raka’at dengan duduk pada penghabisannya. Dasar dari ragam jumlah raka’at witir diatas adalah hadits Abu Hurairah, Aisyah, Ummi Salamah dan Ibnu Abbas.
            Hadits Abu Hurairah;
تُشْبِهُوا بِثَلاَثٍ لاَتُوْتِرُ :قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ عَنِ أَبِىهُرَيْرَةَ لِحَدِيْثِ
وَالْحَاكِمُ حِبَّانَ وَابْنُ الدَّرَقُطْنِىُّ رَوَاهُ) اَوْسَبْعٍ أَوْتِرُوابِخَمْسٍ وَلَكِنْ الْمَغْرِبِ بِصَلاَةِ
(صَحِيْحٌ وَاِسْنَادُهُ :الْعِرَقىُّ وَقَالَ مُتَفَرِّقَةٍ بِأَلْفَاظٍ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi pernah berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka’at seperti shalat Maghrib (dengan tahiyyat awal). Hendaklah kamu mengerjakan lima atau tujuh raka’at”. (Riwayat Daraquthni, Ibnu Hibban, dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata al-Iraqi: Sanadnya shahih)”.
            Hadits Aisyah;
ثَلاَثَ اللَّيْلِ مِنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَائِشَةَ وَلِحَدِيْثِ
(الشَّيْخَانِ رَوَاهُ) أَخِرِهَا اِلاَّفِى فِىشَيْئٍ لاَيَجْلِسُ بِخَمْسٍ يُوْتِرُذٍلِكَ رَكْعَةً عَشْرَةَ
Artinya: “Beralasan pula hadits Aisyah yang menerangkan: Adapun Rasulullah saw. sering mengerjakan shalat malam tiga belas raka’at denga perhitungan lima daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk kecuali pada akhirnya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
            Hadits Ummu Salamah;
وَبِخَمْسٍ يُوْتِرُبِسَبْعٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ سَلَمَةَ أُمِّ وَلِحَدِيْثِ
(مَاجَهْ وَابْنُ وَالنَّسَائِيُّ اَحْمَدُ رَوَاهُ) وَلاَكَلاَمٍ بِسَلاَمٍ بَيْنَهُنَّ لاَيَفْصِلُ
Artinya: “Dan beralasan hadits Ummi Salamah yang menerangkan: “Rasulullah saw. pernah mengerjakan witir tujuh atau lima raka’at tanpa dipisah antara semuanya dengan bacaan salam atau lainnya””. (Riwayat Nasai, Ibnu Majah)
            Hadits Ibnu Abbas;
إِلاَّ يُسَلِّمُ لَمْ بِهِنَّ أَوْخَمْسًاأَوْتَرَ صَلَّىسَبْعًا ثُمَّ :أَبِىدَاوُدَبِلَفْظٍ عِنْدَ عَبَّاسٍ ابْنِ وَعَنِ
فِىآَخِرِيْنَ
Artinya: “Beralasan pula hadits Ibnu Abbas tersebut pada kumpulan Abu Dawud yang bunyinya: “Kemudian Nabi shalat tujuh atau lima raka’at dengn pengertian witir, yang tidak ia membaca salam kecuali pada raka’at terakhir””.
            c. Tujuh raka’at. penjelasan Tarjih memngnai ragam bilangan witir menyatakan dapat berjumlah tujuh raka’t dengan duduk tasyahud awal pada raka’at keenam dan diakhiri pada raka’at ke tujuh dengan duduk salam. Dasarnya ialah hadits Sa’ad bin hisyam berikut ini;
يَجْلِسْ لَمْ رَكَعَاتٍ أَوْتَرَبِسَبعٍ وَاَخَذَاللَّحْمَ فَلَمَّاأَسَنَّ :هِشَامٍ بْنِ سَعْدِ لِحَدِيْثِ
(أَحْمَدُوَالنَّسَائِيُّوَاَبُوْدَاوُدَ) اَلْحَدِيْثَ اِلاَّفِىالسَّابِعَةِ يُسَلِّمْ وَلَمْ وَالسَّابِعَةِ إِلاَّفِىالسَّدِسَةِ
Artinya: “Beralasan hadits Sa’ad bin Hisyam: “Maka setelah ial bertambah berat badannya karena usia lanjut ia kerjakan witir tujuh raka’at degnan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk hanya membaca salam pada raka’at yang ketujuh””. (Riwayat Ahmad, Nasai dan Abu Dawud).
            d. Sembilan raka’at. Sebagaimana dalam HPT, Tarjih menyatakan bahwa ragam jumlah bilangan raka’at shalat witir ada yang mencapai sembilan. Dalam hal ini Tarjih menyatakan bahwa jumlah witir adalah “sembilan raka’at dengan duduk tasyahud awal pada raka’at ke delapan dan di akhiri pada raka’at ke sembilan dengan duduk untuk salam”.
            Penjelasan mengenai jumlah raka’t shalat witir sebanyak sembilan raka’at didasarkan pada sumber dalil dari hadits Aisyah sebagaiman telah dikutip dalam bahasan mengenai ketentuan membaca Fatihah dan surat al-Qur’an pada bagian terdahulu bahasan shalat lail.
6.      Bacaan Sesudah Shalat Lail
Sesudah seluruh rangkaian shalat lail selesai dikerjakan, menurut Tarjih, Rasulullah saw. kemudian duduk dan membaca do’a di bawah ini.
“Subbhanal malikil quddus, subbanal malikil quddus, subhanal malikul quddus, rabbil malaikati warruh”.
Artinya: “Maha suci Tuhan yang merajai dan Yang Maha Suci, Yang menguasai Malaikat Jibril”.
Menurut keterangan Tarjih, Rasulullah saw. membaca do’a diatas dilakukannya dengan suara nyaring dan panjang. Ketentuan bacaan dan cara membacanya itu didasarkan hadits Ubai bin Ka’ab sebagaimana nukilan dalam HPT berikut;
فِىالْوِتْرِ يَقْرَأُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَ كَعْبٍ أَبَىِّبْنِ لِحَدِيْثِ
سُبْحَانَ :قَالَ فَإِذَاسَلَّمَ .أَحَدٌ هُوَاللَّهُ وَقُلْ يَاأَيُّهَالْكَفِرُوْنَ وَقُلْ الاَعْلَى رَبِّكَ اسْمَ بِسَبِّحِ
أَبُوْدَاوُدَوَالنَّسَائِىُّوَ رَوَاهُ) وَيَرْفَعُهُ فِىالثَّالِثِ يَمُدُّصَوْتَهُ مَرَّاتٍ ثَلاَثَ الْقُدُّوْسِ الْمَلِكِ
الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ :قَالَ الْمَلِكِ اِذَاسَلَّمَ :قَالَ اِذَاسَلَّمَ :الدَّارَقُطْنِىِّ وَلَفْظُ (الدَّارَقُطْنِىِّ
(الْعِرَاقِىُّ وَصَحَّحَهُ) وَالرُّوْحِ الْمَلاَئِكَةِ رَبِّ :وَيَقُوْلُ يَمُدُّصَوْتَهُ مَرَّاتٍ ثَلاَثَ
Artinya: “Beralasan hadits Ubai bin Ka’ab yang menceritakan bahwa Rasulullah saw. pada shalat witir membaca: “Sabbihisma rabbikal a’la” dan “Qul huwallahu ahad”. Lalu jika ia telah membaca sala, lalu membaca “Subhana malikul quddus” tiga kali dengan memanjangkan suaranya dan membaca “Rabbil malaikati warruh””. (Hadits ini dikuatkan oleh ‘Iraqi). (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan Daraquthni).
7.      Dua Raka’at Pendahuluan (Iftitah)
Shalat iftitah atau pendahuluan dalam rangkaian shalat lain, belum begitu banyak dikenal dan dipraktekkan dalam masyarakat. mennurut Tarjih sebgaimana dalam HPT, sebelum mengerjakan shalat lail, Rasulullah saw. menganjurkan untuk terlebih dahulu mengerjakan shalat dua raka’at singkat-singkat sebagai pendahuluan.
Landasan dalil bagi perumusan tuntunan diatas didiasarkan pada hadits Abu Hurairah dan hadits Aisyah.
Hadits Abu Hurairah;
مِنَ أَحَدُكُمُ إِذَاقَامَ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَلَ : قَالَ أَبِىهُرَيْرَةَ لِحَدِيْثِ
(وَاَحْمَدُوَاَبُوْدَاوُدَ مُسْلِمٌ رَوَاهُ) خَفِيْفَتَيْنِ بِرَكْعَتَيْنِ صَلاَتَهُ فَلْيَفْتَحْ اللَّيْلِ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata: “Jika seseorang diantaramu shalat di waktu malam, maka hendaklah ia kerjakan pendahuluan dengan shalat dua raka’at singkat””. (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).
            Hadits Aisyah;
اللَّيْلِ مِنَ اِذاَقَامَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَائِشَةَ وَلِحَدِيْثِ
(وَأَحْمَدُ مُسْلِمٌ رَوَاهُ) خَفِيْفَتَيْنِ بِرَكْعَتَيْنِ صَلاَتَهُ اِفْتَتَحَ
Artinya: “Dan beralasan hadits Aisyah yang mengatakan: “Adapun Rasulullah saw. jika telah bangun di waktu malam untuk shalat maka ia mulai shalatnya dengan dua raka’at pendek-pendek”” (Riwayat Muslim dan Ahmad).
            Mengenai cara mengerjakan shalat pendahuluan atau iftitah, Tarjih selanjutnya menjelaskan bahwa pada raka’at pertama sesudah takbiratul Ikhram, membaca bacaan di bawah ini. Setelah itu kemudian membaca fatihah. Berbeda dengan raka’at pertama, pada raka’at kedua hanya membaca fatihah.
            Adapun bacaan sesudah takbir yaitu: “Subhana dzil mulki wal malakut wal’izzati wal jabaruut wal kibriya’I wal adhamah”. Arti bacaan ini yaitu: “Maha suci Tuhan yang memiliki alam semesta Yang Maha Besar dan Maha Agung”.
            Dasar dari rincian shalat pendahuluan itu ialah hadits Hudzaifah bin Yaman dan hadits Kuraib berikut.
            Hadits Hudzaifah bin Yaman;
فَتَوَضَّأَ لَيْلَةٍ ذَاتَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ أَتَيْتُ :قَالَ الْيَمَانِ بْنِ خُدَيْفَةَ وَلِحَدِيْثِ
الْمُلْكِ ذِى سُبْحَانَ :فَقَالَ يَمِيْنِهِ عَنْ فَاَقَامَنِى يَسَارِهِ عَنْ فَقُمْتُ فَاَتَيْتُهُ ، يُصَلِّى وَقَامَ
(مُوَثَّقُوْنَ رِجَالُهُ : الزَّوَائِدِ فِىمَجْمَعِ وَقَالَ فِىالاَوْسَطِ الطَّبَرَانِىُّ أَخْرَجَهُ) اَلْحَدِيْثَ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Hudzaifah bin Yaman yang mengatakan: “Aku pernah mendatangi Nabi pada suatu malam. Ia mengambil wudlu kemudian shalat lalu aku hampiri di sebelah kirinya lalu aku ditempatkan di sebelah kanannya. Ia membaca: “Subhana dzil mulk”’. (Riwyat Thabarani dengan mengatkan bahwa perawinya orang terpercaya).
            Hadits Kuraib dari Ibnu Abbas;
فَصَلَّى (ض ر عِنْدَمَيْمُنَةَ مَبِيْتِهِ فِىقِصَّةِ) قَالَ عَبَّاسٍ ابْنِ عَنِ كُرَيْبٍ لِحَدِيْثِ
، سَلَّمَ ثُمَّ رَكْعَةٍ فِىكُلِّ الْقُرْآَنِ قَدّقَرَأَفِيْهِمَابِأُمِّ خَفِيْفَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
الصَّلاَةَ :فَقَالَ بِلاَلٌ فَأَتَاهُ نَامَ ثُمَّ بِالْوِتْرِ رَكْعَةً إِحْدَىعَشْرَةَ صَلَّى حَتَّى صَلَّى ثُمَّ
(أَبُوْدَاوُدَ رَوَاهُ) صَلَّىبِالنَّاسِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ فَرَكَعَ فَقَامَ اللَّهِ يَارَسُوْلَ
Artinya: “beralasan pula hadits Kuraib dari Ibnu Abbas yang menceritakan dalam ceritanya ketika ia bermalam di rumah Maimunah: “Nabi lalu shalat dua raka’at pendek-pendek membaca Fatihah dalam tiap raka’atnya kemudian membaca salam lalu shalat sebelas raka’at dengan witirnya kemudian tidur. Maka sahabat Bilal menghampirinya sambil berseru: waktu shalat ya Rasulullah saw.! Nabi lalu bangkit dan shalat dua raka’at. kemudian memimpin shalat orang banyak””. (Riwayat Abu Dawud).
8.      Shalat Hari Raya (‘Ied)
Buku HPT tidak menjelaskan  mengenai tuntunan shalat hari raya. Mengingat shalat ini melibatkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan dan adanya perbedaan bagaimana cara mengerjakan, maka bahasan masalah ini yang dimuat dalam buku Tanya Jawab Agama sebagai rangkuman tanya jawab di Suara Muhammadiyah asuhan Tim Tarjih, aan dikemukakan kembali dalam buku ini.
Berdasarkan pertanyaam mengenai jumlah khutbah Ied dua kali atau sekali, Tim menjelaskan bahwa amalan Muhammadiyah dengan sekali  khutbah lalu salam berdasarkan ketiadaan berita mengenai sunnah Rasul yang mengerjakan dua kali.
Sementara pelaksanaan khutbah sesudah shalat, menurut Tim Tarjih hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Umar riwayat ahli hafits kecuali Abu Dawud.
Hadits Ibnu Umar;
وَاَبُوْبَكْرٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَ عَنْهُ رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ
(دَاوُدَ اَبَا اِلاَّ الْجَمَعَةَ رَوَاهُ) الْخَطْبَةِ قَبْلَ الْعِيْدَيْنِ وَعُمَرُيُصَلُّوْنَ
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata; Rasulullah saw., Abu Bakar dan Umar mengerjakan shalat Ied sebelum Khutbah.”
            Oleh karena hadits ini tidak menunjukkan jumlah dua kali khutbah, Tim Tarjih menyimpulkan jumlah khutbah hanya satu kali.
            Selanjutnya mengenai jumlah takbir dalam shalat Ied, atas pertanyaan mengenai masalah ini, Tim Tarjih menjelaskan sebagaimana uraian berikut.
            Tarjih Garut tahun 1976 menetapkan bahwa pada raka’at pertama jumlah takbirnya sebanyak tujuh kali dan raka’at kedua sebanyak lima kali. Dasar dari penyimpulan demikian menurut Tim Tarjih ialah hadits dari Amr bin Syu’aib, hadits riwayat Daraquthni dan Abu Dawud, serta hadits dari Amr bin Auf al-Muzany, sebagaimana nukilan berikut.
            Hadits dari Amr bin Syu’aib;
الاُوْلَى فِى تَكْبِيْرَةً عَشْرَةَ فِىالْعِيْدِاِثْنَتَى كَبَّرَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ إِنَّ
(مَاجَهُ أَحْمَدُوَابْنُ رَوَاهُ) وَلاَبَعْدَهَا قَبْلَهَا يُصَلِّ وَلَمْ فِىالاَخِرَةِ سَبْعًاوَخَمْسًا
Artinya: “Bahwa Nabi saw. membaca takbir pada (shalat) hari raya dua belas kali, pada raka’at yang pertama sebanyak tujuh kali dan yang akhir lima kali dan beliau tidak shalat (sunnat) sebelum maupun sesudahnya”. (Riwayat Ahmad dan Ibnu Majah).
            Hadits riwayat Daraquthny dan Abu Dawud;
فِىالاُوْلَىوَخَمْسٌ فِىالْفِطْرِوَخَمْسٌ اَلتَّكْبِيْرُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىُّ قَالَ
(وَالدَّارَقُطْنِى أَبُوْدَاوُدَ رَوَاهُ) بَعْدَهُمَاكِلْتَيْهِمَا وَالْقِرَاءَةُ فِىالاَخِرَاةِ
Artinya: “Nabi saw. bersabda: “Takbir di hari raya fitrah tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada yang akhir dan bacaan sesudah kedua-duanya””.
            Hadits dari Amr bin Auf al-Muzany;
الْقِرَاءَةِ سَبْعًاقَبْلَ فِىالاُوْلَى فِىالْعِيْدَيْنِ كَبَّرَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ إِنَّ
(التّرمذى رواه) الْقِرَاءَةِ خَمْسًاقَبْلَ وَفِىالثَّانِيَةِ
Artinya: “Bahwasanya Nabi saw. bertakbir pada dua hari raya (maksudnya shalat hari raya) pada yang pertama tujuh kali sebelum membaca al-Fatihah dan pada yang kedua lima kali sebelum membaca al-Fatihah”. (Riwayat at-tirmidzi).
            Menurut keterangan Tim Tarjih, hadits nukilan ketiga merupakan kutipan dari Fiqhus Sunnah. Ketiganya menjadi perdebatan ulama mengenai keshahihannya. Namun demikian karena hadits-hadits tersebut saling memperkuat satu atas yang lain, menurut Tim Tarjih, bersasarkan qaidah Tarjih bahwa hadits dlaif yang demikian itu walaupun tidak dapat dijadikan hujjah (alasan) akan tetapi jika banyak jalannya dan ada qarinah mengenai ketetapan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan hadits sahih maka dapat dijadikan dasar hukum.
            Keterangan lainnya, Tim Tarjih justru mempertanyakan cara demikian karena dapat bertentangan dengan qaidah Tarjih yang lain yang menyatakan bawa ‘cela itu didahulukan daripada ta’dil sesudah keterangan yang jelas dan syah menurut anggapan syara’.
            Berdasarkan uraian mengenai pandangan Tim Tarjih atas pertanyaan dan juga ketetapan Tarjih di atas, persoalan mengenai jumlah takbir dalam shalat hari raya tampaknya belum jelas benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar