SHALAT LAIL DAN HARI RAYA
Shalat lail atau shalat malam juga disebut sebagai
shalat tarawih. Di samping itu juga sering disebut shalat witir. Dalam
pemikiran fiqhiyah, shalat ini tidak termasuk yang difardhukan atau yang hukum
mengerjakannya wajib, akan tetapi shalat yang termasuk hukumnya sunat. Tarjih
tampaknya lebih suka mempergunakan istilah Tathawwu untuk ragam shalat
demikian.
Berdasarkan pertimbangan kekhususan shalat lail,
disamping bahasannya cukup panjang serta dalam bulan Ramadhan yang mengerjakan
hampir seluruh lapisan umat, maka bahasan mengenai shalat lail ini ditempatkan
dalam sub bahasan tersendiri dalam sub bab C.
Shalat lail atau shalat malam yang juga sering disebut
dengan shalat witir atau qiyamul lail
atau qiyamu ramadhan, raka’atnya menurut Tarjih sebanyak sebelas. Dalam praktek
di masyarakat terdapat banyak ragam dan perbedaan antara satu dengan yang lain
mengenai jumlah raka’at shalat ini.
Jumlah raka’at yang dituntunkan Tarjih sebanyak sebelas
(11) raka’at, dikerjakan dengan cara dua-dua raka’at dan tiga, atau empat-empat
raka’at dan tiga, setiap bagian masing-masing diakhiri salam. Megenai kapan
dilaksanakan shalat lail tidak banyak perbedaan pendapat yaitu diantara waktu
sesudah shalat Isya hingga terbit fajar. Baik dalam bulan Ramadhan atau diluar
bulan itu.Sumber dalil yang dijadikan landasan adanya perintah shalat lail
didasarkan pada sunnah rasul yang biasa mengerjakannya dan menganjurkan untuk
membiasakan mengerjakan shalat lail. Keterangan ini yang ditarjihkan adalah
hadits Abdullah bin Amr bin Ash berikut:
: عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَالَ :قَالَ الْعَاصِ عَمِرِوبْنِ بْنِ عَبْدِاللَّهِ لِحَدِيْثِ
(عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ) اللَّيْلِ قِيَامَ
فَتَرَكَ اللَّيْلِ مِنَ يَقُوْمُ كاَنَ فَلاَنٍ
مِثْلَ لاَتَكُنْ ، يَاعَبْدَاللَّهِ
Artinya: “Beralasan hadits Abdullah bin Amr bin Ash mengatakan:
pernah Rasulullah saw. berkata: “Hai Abdullah, janganlah engkau jadi seperti
Fulan. Ia pernah sering shalat malam tetapi lalu tidak melakukannya lagi””.
(Riwayat Bukhari dan Muslim).
1.
Waktu
Shalat Lail
Selanjutnya penetapan waktu sesudah shalat Isya hingga
menjelang terbit fajar dan jumlah raka’atnya sebanyak sebelas berdasarkan
hadits Aisyah dan hadits Kharijah bin
Hudsafah.
Hadits Aisyah;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ زَوْجِ
عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
الْعَتَمَةَ وَهِىَالَّتِىيَدْعُوْالنَّاسُ الْعِشَاءِ صَلاَةِ مِنْ
يَفْرُغَ أَنْ بَيْنَ فِيْمَا عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
(الشَّيْخَانِ رَوَاهُ) اَلْحَدِيْثَ رَكْعَةً إِحدَىعَشْرَةَ إِلَىالْفَجْرِ
Artinya: “Beralasan hadits Aisyah istri Nabi saw. yang menceritakan:
Rasulullah saw. mengerjakan shalat pada waktu antara selesai shalat Isya yaitu
yang disebut ‘Atamah: sampai fajar sebelas raka’at”. (Riwayat bukharia dan
Muslim)
Hadits Kharijah bin
Khudzafah;
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ عَلَيْنَا خَرَجَ :قَالَ حُذَافَةَ بْنِ
خَارِجَةَ وَحَدِيْثِ
:قُلْنَا .النَّعَامِ حُمُرِ مِنْ هِىَخَيْرٌ بِصَلاَةِ اللَّهُ لَقَدْأَمَدَّكُمُ :فَقَالَ غَدَاتٍ ذَاتَ
أَحْمَدُوَاَبُوْ) الْفَجْرِ إِلَىطُلُوْعِ الْعِشَاءِ صَلاَةِ بَيْنَ
اَلْوِتْرُ :قَالَ ؟ اللَّهِ يَارَسُوْلَ وَمَاهِيَ
(وَكَذَاالذَّارَقُطْنِىُّ مَاجَهْ
وَابْنُ دَاوُدَوَالتِّرْمِذِىُّ
Artinya: “Beralasan pula hadits Kharijah bin Khudzafah mengatakan:
pernah pula suatu pagi Rasulullah saw. datang kepada kami dan mengatakan:
“Benar-benar Allah telah menganugerahi kami semacam shalat yang lebih
menyenangkan daripada unta pilihan”. Kami bertanya: “Apakah itu Rasulullah
saw.?”. Ia menjawab: “Shalat witir antara shalat Isya hingga fajar
menyingsing”. (Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah, begitu pula
Daraquthni).
Mengenai shalat
lail baik dalam Ramadhan maupun diluarnya serta pembagian empat-empat-tiga,
didasarkan hadits Aisyah di bawah ini;
فِىرَمَضَانَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلِ صَلاَةِ عَنْ سُئِلَتْ حِيْنَ عَائِشَةَ لِحَدِيْثّ
عَلَى وَلاَفِىغَيْرِهِ فِىرَمَضَانَ يَزِيْدُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ مَاكاَنَ :قَلَتْ ،
يُصَلِّىأَرْبَعًا ثُمَّ
، وَطُوْلِهِنَّ حُسْنِهِنَّ عَنْ
فَلاَتَسْأَلْ يُصَلِّىأَرْبَعًا رَكْعَةً عَشْرَةَ إِحْدَى
(وَمُسْلِمٌ الْبُخَارِىُّ رَوَاهُ) يُصَلِّىثَلاَثًا ثُمَّ
، وَطُوْلِهِنَّ حُسْنِهِنَّ عَنْ
فَلاَتَسْأَلْ
Artinya: “Beralasan hadits Aisyah yang menerangkan bahwa ketika ia
ditanya tentang shalat Rasulullah saw. dalam bulan Ramadhan; maka ia menjawab:
“Pada bulan ramadhan maupun di bulan lainnya tak pernah Rasulullah saw.
mengerjakan lebih dari sebelas rakaat; ia kerjakan empat raka’at. jangan engkau
tanyakan eloknya dan lamanya. Lalu ia kerjakan tiga raa’at””. (Riwayat Bukhari
dan Muslim)
Di samping
keterangan diatas, Tarjih dalam penjelasannya sebagaimana HPT menyatakan bahwa
waktu shalat lail itu ialaha pada bagian pertama awaktu malam, atau pada tengah
malam, atau pada bagian akhir. Sementaera mengerjakan shalat lail pada bagian
akhir dinyatakan sebagai lebih utama.
Penjelasan demikian
didasarkan pada sumber dalil sebagaimana diketemukan di dalam hadits Aisyah dan
hadits Jabir di bawah ini.
Hadits Aisyah;
مِنْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ قَدْأَوْتَرَ اللَّيْلِ كُلِّ مِنْ :قَالَتْ عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
(وَمُسْلِمٌ الْبُخَارِىُّ رَوَاهُ) إِلَىالسَّحَرِ وِتْرُهُ فَانْتهَى وَاَخِرِهِ وَأوْسَطِهِ اللَّيْلِ أَوَّلِ
Artinya: “Beralasan hadits Aisyah mengatakan: “Pada sepanjang malam
Rasulullah saw. saw. pernah kerjakan shalat witir permulaan malam dan tengahnya
serta akhirnya dan selesai witirnya pada waktu menjelang Subuh””. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits Jabir;
آَخِرِ مِنْ
لاَيَقُوْمَ أَنْ خَافَ أَيُّكُمْ :قَالَ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىِّ عَنِ جَابِرٍ
لِحَدِيْثِ
أَخِرِ قِرَاءَةَ فَاِنَّ
، آَخِرِهِ مِنْ
فَلْيُتِرْ الَّيْلِ آَخِرِ مِنْ بِقِيَامِ وَثِقَ وَمَنْ
، لْيَرْقُدْ ثُمَّ
فَلْيُتِرْ الَّيْلِ
(مَاجَهْ وَابْنُ مُذِيُّ وَالتُّرْ وَمُسْلِمٌ اَحْمَدُ رَوَاهُ) أَفْضَلُ وَذَلِكَ مَحْضُوْرَةٌ اللَّيْلِ
Artinya: “Beralasan hadits Jabir dari Nabi saw. yang mengatakan:
“Siapa diantaramu khawatir tidak akan dapat bangun pada akhir malam, maka
hendaklah ia shalat witir lalu tidur, dan barangsiapa percaya akan dapat bangun
pada kahir malam, hendaklah ia shalat witir pada akhir malam itu, sebab akhir
malam itu disaksikan malaikat dan itu lebih utama””. (Riwayat Ahmad, Muslim, Tirmidzidan Ibnu
Majah)
2.
Jumlah
Raka’at Shalat Lail
Cara mengerjakan sebelas raka’at denga membagi dua
raka’at sebanyak empat kali, kecuali tiga raka’at witir, didasarkan hadits Ibnu
Umar, Ibnu Abbas dan Zaid bin Khalid sebagaiman nukilan HPT di bawah ini.
Hadits Ibnu Umar
فَقَالَ ؟ اللَّيْلَ صَلاَةُ كَيْفَ
، اللَّهِ يَارَسُوْلَ ؟فَقَالَ رَجُلٌ
قَامَ :قَالَ عُمَرَ
ابْنِ لِحَدِيْثِ
الصُّبْحَ خِفْتَ
فَاِنْ ، مَثْنَىمَثْنَى الَّليْلِ صَلاَةُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلَ
(الْجَمَاعَةُ رَوَاهُ) بِوَاحِدَةٍ فَاَوْتِرْ
Artinya: “Beralasan hadits Ibnu Umar yang mengatakan: seorang lelaki
bangkit dan berdiri lalu menanyakan: “Bagaimana cara shalat malam hai
Rasulullah saw.?”, jawab Rasulullah saw.: “Shalat malam itu dua raka’at dua
raka’at. jika engkau khawatir akan terkejar subuh, hendakklah engkau kerjakan
witir atau satu raka’at saja””. (Riwayat Jama’ah)
Hadits Ibnu Abbas;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ مَاصَنَعَ مِثْلَ فَصَنَعْتُ فَقُمْتُ :قَالَ عَبَّاسٍ ابْنِ وَلِحَدِيْثِ
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ فَوَضَعَ إِلَىجَنْبِهِ فَقُمْتُ ذَهَبْتُ ثُمَّ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ فَصَلَّى . يَنْتِلُهَا بِاُذُنِىالْيُمْنَى وَاَخَذَ الْيُمْنَىعَلَىرَأْسِى يَدَهُ
فَقَامَ الْمُؤَذِّنُ جَاءَ
حَتَّى اضْطَجَعَ اَوْتَرَثُمَّ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ
(مُسْلِمٌ رَوَاهُ) فَصَلَّىصُبْحَ خَرَجَ
ثُمَّ خَفِيْفَتَيْنِ فَصَلَّىرَكْعَتَيْنِ
Artinya: “Beralasan pula hadits Ibnu Abbas yang mengatakan: “Lalu
aku berdiri di samping Rasulullah saw. ; tetapi lalu ia letakkan tangan
kanannya pada kepala saya dan dipegangnya telinga kanan saya dan ditelitinya,
lalu ia shalat dua raka’at kemudian dua raka’at lagi, lalu dua raka’at lagi
kemudian dua raka’at lalu shalat witir, kemudian ia tiduran menyamping sehingga
datang Bilal menyerukan adzan. Maka bangunlah ia dan shalat dua raka’at
singkat-singkat, kemudian pergi shalat subuh””. (Riwayat Muslim)
Hadits Zaid bin
Khalid al-Juhan;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلِ صَلاَةَ لَأَرْمُقَنَّ : قَالَ أَنَّهُ الْجُهَنِىِّ خَالِدٍ زَيْدِبْنِ وَلِحَدِيْثِ
طَوِيْلَتَيْنِ : طَوِيْلَتَيْنِ صَلَّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَفِيْفَتَيْنِ فَصَلَّىرَكْعَتَيْنِ ، اللَّيْلَةَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
وَهُمَادُوْنَ صَلَّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
قَبْلَهُمَا اللَّتَيْنِ وَهُمَادُوْنَ رَكْعَتَيْنِ صَلَّى ثُمَّ طَوِيْلَتَيْنِ
اللَّتَيْنِ وَهُمَادُوْنَ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ
قَبْلَهُمَا اللَّتَيْنِ وَهُمَادُوْنَ صَلَّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ قَبْلَهُمَا اللَّتَيْنِ
(مُسْلِمٌ رَوَاهُ) رَكْعَةً عَشْرَةَ ثَلاَثَ
فَذَلِكَ أَوْتَرَ قَبْلَهُمَا
Artinya: “Beralasan pula hadits Zaid bin Khalid a-Juhan yang
mengatakan: “Benar-benar aku hendak mengamati shalat Rasulullah saw. malam ini.
Lalu (aku lihat) dia shalat dua raka’at singkat-singkat kemudian dua raka’at
panjang-panjang kemudian ia shalat dua raka’at yang kurang panjang dari yang
sebelumnya kemudian ia shalat dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang
sebelumnya kemudian ia shalat dua raka’at yang kurang lagi panjangnya dari yang
sebelumnya lalu shalat dua raka’at lagi yang kurang panjang dari yang
sebelumnya, kemudian ia shalat witir. Maka jadilah seluruhnya tiga belas
raka’at””. (Riwayat Muslim)
Selain penjelasan
diatas, dalam penjelasan lain di akhir bab mengenai shalat lail dalam HPT
terdapat penjelasan selanjutnya mengenai jumlalh raka’at dan pembagiannya.
Penjelasan
sebagaimana dalam HPT itu menyatakan;
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat dengan cara lain, maka yang sebelas
raka’at itu boleh engkau kerjakan dua-dua raka’at atau empat-empat raka’at
seperti tersebut diatas, atau enam raka’at”.
Di samping itu juga
dapat dikerjakan dengan; “atau delapan raka’at terus-menerus dan hanya duduk
pada penghabisannya lalu salam”. Sumber dalil yang dijadikan dasar penjelasan diatas adalah hadits Abdullah bin Abu Qais dan hadits Abu
Salamah.
Hadits Abdullah bin
Qais;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ بِكُمْ : لِعَائِشَةَ قُلْتُ :قَالَ أَبِىقَيْسٍ بْنِ عَبْدِاللَّهِ لِحَدِيْثِ
وَثَمَانٍ ، وَثَلاَثٍ وَسِتٍّ ، وَثَلاَثٍ بِاَرْبَعٍ يُوْتِرُ كاَنَ :قَالَتْ ؟
يُوْتِرُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
ثَلاَثَ مِنْ
بِاَكْثََرَ وَلاَ سَبْعٍ مِنْ يُوْتِرُبِأَنْقَصَ يَكُنْ وَلَمْ ، وَثَلاَثٍ وَعَشْرٍ ،
ثَلاَثٍ
(أَبُودَاوُدَ رَوَاهُ) عَشْرَةَ
Artinya; “Beralasan hadits Abdullah bin Abu Qais yang mengatakan
bahwa ia bertanya pada Aisyah “Berapa raka’at Rasulullah saw. shalat witir?” ia
menjawab: “ia kerjakan witir empat lalu tiga atau enam lalu tiga, atau delapan
lalu tiga atau sepuluh lalu tiga, ia tak pernah berwitir kurang dari tujuh
raka’at dan tidak lebih dari tiga belas””. (Riwayat Abu Dawud)
Hadits Abu Salamah;
عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةِ
عَنْ عَائِشَةَ سَأَلْتُ :قَالَ سَلَمَةَ أَبِى
وَلِحَدِيْثِ
أَنْ إِذَاأَرَادَ جَالِسٌ
وَهُوَ يُصَلِّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُوْتِرُ ثُمَّ يُصَلِّىثَمَانِىَ كاَنَ : فَقَالَتْ ،
رَوَاهُ). الصُّبْحِ صَلاَةِ مِنْ وَالاِقَامَةِ النِّدَاءِ بَيْنَ
رَكْعَتَيْنِ يُصَلِّى ثُمَّ يَرْكَعُ ثُمَّ قَامَ
يَرْكَعُ
يُصَلِّىثَمَانِىرَكَعَاتٍ :قَالَ بِاِسْنَادِهِ قَتَادَةَ طَرِيْقِ عَنْهَامِنْ أَبِىدَاوُدَ وَفِىرِوَايَةِ . (مُسْلِمٌ
تَسْلِيْمًا يُسَلِّمُ ثُمَّ يَدْعُوْ ثُمَّ عَزَّوَجَلَّ اللَّهَ وَيَذْكُرُ فَيَجْلِسُ اِلاَّعِنْدَالثَّامِنَةِ فِيْهَا لاَيَجْلِسُ
إِحْدَى فَتِلْكَ ، رَكْعَةً يُصَلِّى ثُمَّ مَايُسَلِّمُ بَعْدَ وَهُوَجَالِسٌ يُصَلِّىرَكْعَتَيْنِ ثُمَّ يُسْمِعُنَا
يَابَنَىُّ رَكْعَةً عَشْرَةَ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Salamah yang mengatakan: pernah aku
bertanya pada Aisyah tentang shalat Rasulullah saw. , maka ia menjawab: “ia
kerjakan shalat tiga belas raka’at. ia shalat delapan raka’at kemudian shalat
witir lalu shalat dua raka’at sambil
duduk kalau ia hendak ruku’ ia bangkit lalu ruku’ kemudian daripada itu shalat
du raka’at antara adzan dan iqamah pada shalat subuh. (Riwayat Muslim).
Diterangkan riwayat Abu Dawud dari Qatadah katanya: “Nabi shalat delapan
raka’at denga tidak duduk (tahiyat)
kecuali pada raka’at yang kedelapan. Dalam duduk itu membaca dzikir dan do’a
kemudian membaca salam dengan salam yang terdengar sampai kepada kami; lalu shalat dua raka’at sambil
duduk setelah ia baca salam. Kemudian ia shalat lagi satu raka’at. itulah
sebelas raka’atnya semua, hai anakku”””.
3.
Fatihah
dan Surat al-Qur’an setiap raka’at
Menurut kesimpulan Tarjih sebagaimana dapat diketemukan
dalamHPT, di setipa raka’at shalat lail, dibaca baik surat al-Fatihah meupun
salah satu surat al-Qur’an.
Dasarnya ialah hadits Aisyah di bawah ini.
فِىجَوْفِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلِ صَلاَةِ عَنْ أَنَّهَاسُئِلَتْ عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
اَرْبَعَ فَيَرْكَعُ إِلَىأَهْلِهِ يَرْجِعُ ثُمَّ
فِىجَمَاعَةٍ الْعِشَاءِ يُصَلِّىصَلاَةَ كاَنَ :فَقَالَتْ اللَّيْلِ
مَوْضُوْعٌ وَسِوَاكُهُ عِنْدَرَأْسِهِ مُغَطًّى وَطَهُوْرُهُ وَيَنَامُ اِلَىفِرَاشِهِ يَأوِى
ثُمَّ رَكَعَاةٍ
يَقُوْمُ ثُمَّ
الْوُضُوْعَ وَيُسْبِغُ فَيَتَسَوَّكُ اللَّيْلِ مِنَ الَّتِىيَبْعَثُهُ سَاعَتَهُ اللَّهُ حَتَّىيَبْعَثُهُ
الْقُرْآَنِ مِنَ وَسُوْرَةٍ الْكِتَابِ بِأُمِّ يَقْرَأُفِيْهِنَّ ثَمَانِىرَكَعَاتٍ فَيُصَلِّي مُصَلاَّةَ إِلَى
ثُمَّ فِىالتَّاسِعَةِ وَيَقْرَأُ وَلاَيُسَلِّمُ يَقْعُدَفِىالثَّمِنَةِ مِنْهَاحَتَّى وَلاَيَقْعُدُفِىشَيْئِ وَمَاشَاءَاللَّهُ
وَاحِدَةً تَسْلِيْمَةً وَيُسَلِّمُ إِلَيْهِ وَيَرْغَبَ وَيَسْأَلَهُ يَدْعُوَ أَنْ اللَّهُ
بِمَاشَاءَ فَيَدْعُوْ يَقْعُدُ
وَيَرْكَعُ الْكِتَابَ بِأُمِّ يَقْرَأُوَهُوَقَاعِدٌ ثُمَّ
تَسْلِيْمِهِ شِدَّةِ مِنْ الْبَيْتِ أَهْلَ يَكاَدُيُوْقِظُ شَدِيْدَةً
يَدْعُوَ أَنْ شَاءَاللَّهُ يَدعُوْمَا وَهُوَقَاعِدٌثُمَّ وَيَسْجُدُ فَيَرْكَعْ يَقْرَأُالثَّانِيَةِ ثُمَّ وَهُوَقَاقَاعِدٌ
بَدَنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلِ صَلاَةُ
تِلْكَ تَزَلْ فَلَمْ ، وَيَنْصَرِفُ يُسلِّمُ ثُمَّ
حَتَّىقُبِضَ وَهُوََقَاعِدٌ وَرَكْعَتَيْهِ وَالسَّبْعِ إِلَىالسِّتِّ فَجَََعَلهَا تِسْنَتَيْنِ التِّسْعِ مِنَ فَنَقَصَّ
(اَبُوْدَاوُدَ رَوَاهُ) عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ عَلَىذَلِكَ
Artinya: (nukilan arti disusun menjadi beberapa alinea untuk
mempermudah membacanya) “Beralasan hadits Aisyah yang menceritakan bahwa ia
pernah ditanya tentang shalat Rasulullah saw. di tengah malam lalu ia
mengatakan: “Ia kerjakan shalat Isya dengan berjama’ah kemudian ia kembali
kepada keluarganya, lalu shalat empat raka’at kemudian ia pergi ke peraduannya
lalu tidur, di arah kepalanya terletak tempat air wudlu yang ditutupi dan sikat
gigi, sampai ia dibangunkan Allah pada saat ia dibangunkan pada tengah malam,
ia lalu menggosok giginya dan berwudlu dengan sempurna kemudian pergi ke tempat
shalat lalu ia shalat delapan raka’at”.
“Dalam raka’at-raka’at itu membaca fatihah dan surat
al-Qur’an dan ayat-ayat lainnya. Ia tidak duduk (untuk tahiyat awal) selama itu
kecuali pada raka’at ke delapan dan tidak menutup dengan salam. Pada raka’at ke
sembilan ia mebaca seperti sebelumnya lalu duduk tahiyat akhir membaca do’a
dengan ebrmacam-macam do’a dan mohon kepada Allah serta menyatakan keinginannya kemudian ia membaca salam sekali
dengan suara keras yang hampir membangunkan isi rumah karena nyaringnya. Kemudian ia
shalat sambil duduk dengan membaca fatihah dan ruku’ sambil duduk lalu ia
kerjakan raka’at kedua serta ruku’ dan sujud sambil duduk kemudian membaca do’a
sepuas hatinya dan akhirnya menutup dengan salam dan lalu bangkit dan pergi”.
“Demikianlah selalu shalat Rasulullah saw. sampai akhirnya
bertambah berat badannya. Maka lalu yang sembilan raka’at itu dikurangi dua
sehingga menjadi enam dan tujuh ditambah dua raka’at yang dikerjakan sambil
duduk. Demikianlah dikerjakan sampai Nabi wafat”. (Riwayat Abu Dawud)
Menurut pennjelasan Tarjih selanjutnya mengenai bilangan
enam dan tujuh dalam hadits diatas, yaitu bahwa “Nabi mengerjakan shalat enam
raka’at lalu duduk untuk tahiyat awal kemudian berdiri dan pada raka’at ketujuh
menutupnya dengan salam lalu shalat dua raka’at sambil duduk”. Hadits ini
mengandung pengertian mengenai mudahnya mengerjakan shalat lail, sehingga tidak
mengharuskan bilangan raka’at sebelas asal jumlahnya gasal.
Penjelasan Tarjih diatas agak berbeda dengan praktek dan
kebiasaan mengenai bilangan dan pembagian yang 11 raka’at di kalangan
Muhammadiyah.
4.
Bacaan
Witir; Tiga Raka’at Akhir
Pengetahuan masyarakat mengenai witir sering dikaitkan
dengan jumlah tiga atau raka’at gasal lainnya sebagai bagian akhir shalat lail.
Dasarnya mengenai bagian akhir shalat lail yang terdiri dari tiga raka’at
adalah hadits Aisyah sebagaimana yang telah disebutkan.
Selanjutnya, mengenai surat-surat yang dibaca
sebagaimana kebiasaan Rasulullah saw. ialah membaca surat al-A’la sesudah
Fatihah pada raka’at pertama, selanjutnya, membaca surat al-Kafirun pada
rakak’at kedua. Sementara itu surat al-Ikhlash dibaca pada raka’at ketiga. Cara
demikian menurut Tarjih disimpulkan berdasarkan hadits Ubai bin Ka’ab berikut;
بِسَبِّحِ فِىالْوِتْرِ يَقْرَأُ كاَنَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ النَّبِيَّ أَنَّ كَعْبٍ بْنِ أُبَىِّ
لِحَدِيْثِ
هُوَاللَّهُ بِقُلْ
وَفِىالثَّالِثَةِ
، يَااَيُّهَاالَكاَفِرُوْنَ بِقُلْ
الثَّانِيَةِ وَفِىالرَّكْعَةِ الأَعْلَى رَبِّكَ اسْمَ
(مَاجَهْ وَابْنُ وَالتُّرْمُذِىُّ النَّسَائِيُّ رَوَاهُ) اَحَدٌ
Artinya: “Berlasan hadits Ubai Ibnu Ka’ab yang menceritakan bahwa
Nabi saw, pada shalat witir, ia membaca: “Sabbihisma rabikal a’la” dan “Qul ya
ayyuhal kafirun” pada raka’at kedua dan “qul huwallahu ahad” pada raka’at
ketiganya”. (Riwayat Nasai dan Tirmidzi serta Ibnu Majah)
5.
Jumlah
Raka’at Witir
Mengenai berapa jumlah raka’at shalat witir selain tiga
raka’at yang kita kenal, dalam penjelasan Tarjih mengenai hal ini terdapat
keragaman. Ragam jumlah itu bervariasi dari satu hingga sembilaln raka’at.
Berikut ini akan dikemukakan penjelasan Tarjih mengenai
ragam jumlah raka’at witir diatas berikut sumber dalil yang dijadikan dasar.
a. Satu atau tiga raka’at. ragam jumlah raka’at shalat
witir satu atau tiga demikian berdasarkan dua buah hadits Aisyah berikut;
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ زَوْجِ
عَائِشَةَ لِحَدِيْثِ
الْعَتَمَةَ وَهِىَالَّتِىيَدْعُوالنَّاسُ الْعِشَاءِ صَلاَةِ
مِنْ يَفْرَغَ أَنْ يُصَلِّىبَيْنَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
فَاِذَاسَكَتَ ،
بِوَاحِدَةٍ وَيُوْتِرُ رَكْعَتَيْنِ كُلِّ بَيْنَ يُسَلِّمُ رَكْعَةً عَشْرَةَ إِحْدَى إِلَىالْفَجْرِ
خَفِيْفَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فَرَكَعَ قَامَ الْمُؤَذِّنُ وَجَاءَهُ الْفَجْرُ لَهُ
تَبَيَّنَ الْفَجْرِ صَلاَةِ مِنْ الْمُؤَذِّنُ
(وَمُسْلِمٌ الْبُخَارِيُّ رَوَاهُ) لِلاِقَامَةِ الْمُؤَذِّنُ حَتَّىيَأْتِيَهُ الأَيْمَنِ عَلَىشِقِّهِ اضْطَجَعَ ثُمَّ
Artinya: “Beralasan hadits Asisyah istri Nabi saw. yang
menceritakan: “Adapun Rasulullah saw. mengerjakan shalat pada waktu antara ia
selesai shalat Isya yaitu yang orang namakan ‘atamah hingga fajar sebelas
raka’at dengan membaca salam antara dua raka’at lalu shalat witir satu raka’at
kemudian apabila muadzin telah selesai seruan Subuhnya, dan terlihat olehnya
akan fajar dan Bilal menghampirinya ia lalu shalat dua raka’at singkat-singkat
kemudian berbaring pada lambung kanan sampai muadzin datang kepadanya untuk
seruan iqamah””. (Riwayat Bukhari dan Muslim)
لاَيَفْصِلُ يُوْتِرُبِثَلاَثٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَائِشَةَ وَلِحَدِيْثِ
(الشَّيْخَيْنِ عَلَىشَرْطِ صَحِيْحٌ : وَقَالَ وَالْحَاكِمُ وَالْبَيْهَقِيُّ وَالنَّسَائِيُّ أَحْمَدُ رَوَاهُ) بَيْنَهُمَا
Artinya: “Beralasan pula pada hadits Aisyah yang menerangkan: Adapun
Rasulullah saw. mengerjakan shalat witir tiga raka’at dengan tidak
dipisah-pisahkan.” (Riwayat Ahmad, Nasai, Baihaqi, dan Hakim serta mengatakan
bahwa hadits shahih menurut persyaratan Bukhari dan Muslim).
b. Lima atau tujuh
raka’at. penjelasan Tarjih mengenai jumlah raka’at witir menyatakan bahwa
bilangan raka’at witir dapat terdiri dari lima atau tujuh raka’at dengan duduk
pada penghabisannya. Dasar dari ragam jumlah raka’at witir diatas adalah hadits
Abu Hurairah, Aisyah, Ummi Salamah dan Ibnu Abbas.
Hadits Abu
Hurairah;
تُشْبِهُوا بِثَلاَثٍ لاَتُوْتِرُ :قَالَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِيِّ عَنِ
أَبِىهُرَيْرَةَ لِحَدِيْثِ
وَالْحَاكِمُ حِبَّانَ وَابْنُ
الدَّرَقُطْنِىُّ
رَوَاهُ) اَوْسَبْعٍ أَوْتِرُوابِخَمْسٍ وَلَكِنْ الْمَغْرِبِ بِصَلاَةِ
(صَحِيْحٌ وَاِسْنَادُهُ :الْعِرَقىُّ وَقَالَ
مُتَفَرِّقَةٍ بِأَلْفَاظٍ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Nabi
pernah berkata: “Jangan mengerjakan witir tiga raka’at seperti shalat Maghrib
(dengan tahiyyat awal). Hendaklah kamu mengerjakan lima atau tujuh raka’at”.
(Riwayat Daraquthni, Ibnu Hibban, dan Hatim dengan kata-kata yang berbeda. Kata
al-Iraqi: Sanadnya shahih)”.
Hadits Aisyah;
ثَلاَثَ اللَّيْلِ مِنَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَائِشَةَ وَلِحَدِيْثِ
(الشَّيْخَانِ رَوَاهُ) أَخِرِهَا اِلاَّفِى فِىشَيْئٍ لاَيَجْلِسُ بِخَمْسٍ يُوْتِرُذٍلِكَ رَكْعَةً عَشْرَةَ
Artinya: “Beralasan pula hadits Aisyah yang menerangkan: Adapun
Rasulullah saw. sering mengerjakan shalat malam tiga belas raka’at denga
perhitungan lima daripadanya selaku witir yang ia kerjakan terusan tanpa duduk
kecuali pada akhirnya”. (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Hadits Ummu
Salamah;
وَبِخَمْسٍ يُوْتِرُبِسَبْعٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ سَلَمَةَ أُمِّ
وَلِحَدِيْثِ
(مَاجَهْ وَابْنُ وَالنَّسَائِيُّ اَحْمَدُ رَوَاهُ) وَلاَكَلاَمٍ بِسَلاَمٍ بَيْنَهُنَّ لاَيَفْصِلُ
Artinya: “Dan beralasan hadits Ummi Salamah yang menerangkan:
“Rasulullah saw. pernah mengerjakan witir tujuh atau lima raka’at tanpa dipisah
antara semuanya dengan bacaan salam atau lainnya””. (Riwayat Nasai, Ibnu Majah)
Hadits Ibnu Abbas;
إِلاَّ يُسَلِّمُ لَمْ
بِهِنَّ أَوْخَمْسًاأَوْتَرَ صَلَّىسَبْعًا ثُمَّ :أَبِىدَاوُدَبِلَفْظٍ عِنْدَ
عَبَّاسٍ ابْنِ وَعَنِ
فِىآَخِرِيْنَ
Artinya: “Beralasan pula hadits Ibnu Abbas tersebut pada kumpulan
Abu Dawud yang bunyinya: “Kemudian Nabi shalat tujuh atau lima raka’at dengn
pengertian witir, yang tidak ia membaca salam kecuali pada raka’at terakhir””.
c. Tujuh raka’at.
penjelasan Tarjih memngnai ragam bilangan witir menyatakan dapat berjumlah
tujuh raka’t dengan duduk tasyahud awal pada raka’at keenam dan diakhiri pada
raka’at ke tujuh dengan duduk salam. Dasarnya ialah hadits Sa’ad bin hisyam
berikut ini;
يَجْلِسْ لَمْ
رَكَعَاتٍ أَوْتَرَبِسَبعٍ وَاَخَذَاللَّحْمَ فَلَمَّاأَسَنَّ :هِشَامٍ بْنِ
سَعْدِ لِحَدِيْثِ
(أَحْمَدُوَالنَّسَائِيُّوَاَبُوْدَاوُدَ) اَلْحَدِيْثَ اِلاَّفِىالسَّابِعَةِ يُسَلِّمْ وَلَمْ وَالسَّابِعَةِ إِلاَّفِىالسَّدِسَةِ
Artinya: “Beralasan hadits Sa’ad bin Hisyam: “Maka setelah ial
bertambah berat badannya karena usia lanjut ia kerjakan witir tujuh raka’at
degnan hanya duduk antara yang keenam dan yang ketujuh untuk hanya membaca
salam pada raka’at yang ketujuh””. (Riwayat Ahmad, Nasai dan Abu Dawud).
d. Sembilan
raka’at. Sebagaimana dalam HPT, Tarjih menyatakan bahwa ragam jumlah bilangan
raka’at shalat witir ada yang mencapai sembilan. Dalam hal ini Tarjih
menyatakan bahwa jumlah witir adalah “sembilan raka’at dengan duduk tasyahud
awal pada raka’at ke delapan dan di akhiri pada raka’at ke sembilan dengan
duduk untuk salam”.
Penjelasan mengenai
jumlah raka’t shalat witir sebanyak sembilan raka’at didasarkan pada sumber
dalil dari hadits Aisyah sebagaiman telah dikutip dalam bahasan mengenai
ketentuan membaca Fatihah dan surat al-Qur’an pada bagian terdahulu bahasan
shalat lail.
6.
Bacaan
Sesudah Shalat Lail
Sesudah seluruh rangkaian shalat lail selesai
dikerjakan, menurut Tarjih, Rasulullah saw. kemudian duduk dan membaca do’a di
bawah ini.
“Subbhanal malikil quddus, subbanal malikil quddus,
subhanal malikul quddus, rabbil malaikati warruh”.
Artinya: “Maha suci Tuhan yang merajai dan Yang Maha
Suci, Yang menguasai Malaikat Jibril”.
Menurut keterangan Tarjih, Rasulullah saw. membaca do’a
diatas dilakukannya dengan suara nyaring dan panjang. Ketentuan bacaan dan cara
membacanya itu didasarkan hadits Ubai bin Ka’ab sebagaimana nukilan dalam HPT
berikut;
فِىالْوِتْرِ يَقْرَأُ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَ كَعْبٍ
أَبَىِّبْنِ لِحَدِيْثِ
سُبْحَانَ :قَالَ فَإِذَاسَلَّمَ .أَحَدٌ هُوَاللَّهُ وَقُلْ يَاأَيُّهَالْكَفِرُوْنَ وَقُلْ
الاَعْلَى رَبِّكَ اسْمَ بِسَبِّحِ
أَبُوْدَاوُدَوَالنَّسَائِىُّوَ رَوَاهُ) وَيَرْفَعُهُ فِىالثَّالِثِ يَمُدُّصَوْتَهُ مَرَّاتٍ ثَلاَثَ
الْقُدُّوْسِ الْمَلِكِ
الْقُدُّوْسِ سُبْحَانَ :قَالَ الْمَلِكِ اِذَاسَلَّمَ :قَالَ اِذَاسَلَّمَ :الدَّارَقُطْنِىِّ وَلَفْظُ (الدَّارَقُطْنِىِّ
(الْعِرَاقِىُّ وَصَحَّحَهُ) وَالرُّوْحِ الْمَلاَئِكَةِ رَبِّ :وَيَقُوْلُ يَمُدُّصَوْتَهُ مَرَّاتٍ ثَلاَثَ
Artinya: “Beralasan hadits Ubai bin Ka’ab yang menceritakan bahwa
Rasulullah saw. pada shalat witir membaca: “Sabbihisma rabbikal a’la” dan “Qul
huwallahu ahad”. Lalu jika ia telah membaca sala, lalu membaca “Subhana malikul
quddus” tiga kali dengan memanjangkan suaranya dan membaca “Rabbil malaikati
warruh””. (Hadits ini dikuatkan oleh ‘Iraqi). (Riwayat Abu Dawud, Nasai dan
Daraquthni).
7.
Dua
Raka’at Pendahuluan (Iftitah)
Shalat iftitah atau pendahuluan dalam rangkaian shalat
lain, belum begitu banyak dikenal dan dipraktekkan dalam masyarakat. mennurut
Tarjih sebgaimana dalam HPT, sebelum mengerjakan shalat lail, Rasulullah saw.
menganjurkan untuk terlebih dahulu mengerjakan shalat dua raka’at
singkat-singkat sebagai pendahuluan.
Landasan dalil bagi perumusan tuntunan diatas
didiasarkan pada hadits Abu Hurairah dan hadits Aisyah.
Hadits Abu Hurairah;
مِنَ أَحَدُكُمُ إِذَاقَامَ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ قَلَ : قَالَ أَبِىهُرَيْرَةَ لِحَدِيْثِ
(وَاَحْمَدُوَاَبُوْدَاوُدَ مُسْلِمٌ رَوَاهُ) خَفِيْفَتَيْنِ بِرَكْعَتَيْنِ صَلاَتَهُ فَلْيَفْتَحْ اللَّيْلِ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Hurairah yang mengatakan bahwa
Rasulullah saw. pernah berkata: “Jika seseorang diantaramu shalat di waktu
malam, maka hendaklah ia kerjakan pendahuluan dengan shalat dua raka’at
singkat””. (Riwayat Muslim, Ahmad dan Abu Dawud).
Hadits Aisyah;
اللَّيْلِ مِنَ
اِذاَقَامَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَتْ عَائِشَةَ وَلِحَدِيْثِ
(وَأَحْمَدُ مُسْلِمٌ رَوَاهُ) خَفِيْفَتَيْنِ بِرَكْعَتَيْنِ صَلاَتَهُ اِفْتَتَحَ
Artinya: “Dan beralasan hadits Aisyah yang mengatakan: “Adapun
Rasulullah saw. jika telah bangun di waktu malam untuk shalat maka ia mulai
shalatnya dengan dua raka’at pendek-pendek”” (Riwayat Muslim dan Ahmad).
Mengenai cara
mengerjakan shalat pendahuluan atau iftitah, Tarjih selanjutnya menjelaskan
bahwa pada raka’at pertama sesudah takbiratul Ikhram, membaca bacaan di bawah
ini. Setelah itu kemudian membaca fatihah. Berbeda dengan raka’at pertama, pada
raka’at kedua hanya membaca fatihah.
Adapun bacaan
sesudah takbir yaitu: “Subhana dzil mulki wal malakut wal’izzati wal jabaruut
wal kibriya’I wal adhamah”. Arti bacaan ini yaitu: “Maha suci Tuhan yang
memiliki alam semesta Yang Maha Besar dan Maha Agung”.
Dasar dari rincian
shalat pendahuluan itu ialah hadits Hudzaifah bin Yaman dan hadits Kuraib
berikut.
Hadits Hudzaifah
bin Yaman;
فَتَوَضَّأَ لَيْلَةٍ ذَاتَ
عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ
صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ أَتَيْتُ :قَالَ الْيَمَانِ بْنِ
خُدَيْفَةَ وَلِحَدِيْثِ
الْمُلْكِ ذِى
سُبْحَانَ :فَقَالَ يَمِيْنِهِ عَنْ
فَاَقَامَنِى يَسَارِهِ عَنْ فَقُمْتُ فَاَتَيْتُهُ ، يُصَلِّى وَقَامَ
(مُوَثَّقُوْنَ رِجَالُهُ : الزَّوَائِدِ فِىمَجْمَعِ وَقَالَ
فِىالاَوْسَطِ الطَّبَرَانِىُّ أَخْرَجَهُ) اَلْحَدِيْثَ
Artinya: “Beralasan hadits Abu Hudzaifah bin Yaman yang mengatakan:
“Aku pernah mendatangi Nabi pada suatu malam. Ia mengambil wudlu kemudian
shalat lalu aku hampiri di sebelah kirinya lalu aku ditempatkan di sebelah
kanannya. Ia membaca: “Subhana dzil mulk”’. (Riwyat Thabarani dengan mengatkan
bahwa perawinya orang terpercaya).
Hadits Kuraib dari
Ibnu Abbas;
فَصَلَّى (ض ر عِنْدَمَيْمُنَةَ مَبِيْتِهِ فِىقِصَّةِ) قَالَ عَبَّاسٍ ابْنِ عَنِ
كُرَيْبٍ لِحَدِيْثِ
، سَلَّمَ ثُمَّ رَكْعَةٍ فِىكُلِّ الْقُرْآَنِ قَدّقَرَأَفِيْهِمَابِأُمِّ خَفِيْفَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ
الصَّلاَةَ :فَقَالَ بِلاَلٌ فَأَتَاهُ نَامَ ثُمَّ
بِالْوِتْرِ رَكْعَةً إِحْدَىعَشْرَةَ صَلَّى حَتَّى صَلَّى ثُمَّ
(أَبُوْدَاوُدَ رَوَاهُ) صَلَّىبِالنَّاسِ ثُمَّ
رَكْعَتَيْنِ فَرَكَعَ فَقَامَ اللَّهِ يَارَسُوْلَ
Artinya: “beralasan pula hadits Kuraib dari Ibnu Abbas yang
menceritakan dalam ceritanya ketika ia bermalam di rumah Maimunah: “Nabi lalu
shalat dua raka’at pendek-pendek membaca Fatihah dalam tiap raka’atnya kemudian
membaca salam lalu shalat sebelas raka’at dengan witirnya kemudian tidur. Maka
sahabat Bilal menghampirinya sambil berseru: waktu shalat ya Rasulullah saw.!
Nabi lalu bangkit dan shalat dua raka’at. kemudian memimpin shalat orang
banyak””. (Riwayat Abu Dawud).
8.
Shalat
Hari Raya (‘Ied)
Buku HPT tidak menjelaskan mengenai tuntunan shalat hari raya. Mengingat
shalat ini melibatkan banyak orang dalam waktu yang bersamaan dan adanya
perbedaan bagaimana cara mengerjakan, maka bahasan masalah ini yang dimuat
dalam buku Tanya Jawab Agama sebagai rangkuman tanya jawab di Suara
Muhammadiyah asuhan Tim Tarjih, aan dikemukakan kembali dalam buku ini.
Berdasarkan pertanyaam mengenai jumlah khutbah Ied dua
kali atau sekali, Tim menjelaskan bahwa amalan Muhammadiyah dengan sekali khutbah lalu salam berdasarkan ketiadaan
berita mengenai sunnah Rasul yang mengerjakan dua kali.
Sementara pelaksanaan khutbah sesudah shalat, menurut
Tim Tarjih hal itu didasarkan pada hadits Ibnu Umar riwayat ahli hafits kecuali
Abu Dawud.
Hadits Ibnu Umar;
وَاَبُوْبَكْرٍ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ اللَّهِ
رَسُوْلُ كاَنَ : قَالَ عَنْهُ
رَضِىَاللَّهُ عُمَرَ ابْنِ عَنِ
(دَاوُدَ اَبَا اِلاَّ الْجَمَعَةَ رَوَاهُ) الْخَطْبَةِ قَبْلَ الْعِيْدَيْنِ وَعُمَرُيُصَلُّوْنَ
Artinya: “Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra. ia berkata; Rasulullah
saw., Abu Bakar dan Umar mengerjakan shalat Ied sebelum Khutbah.”
Oleh karena hadits
ini tidak menunjukkan jumlah dua kali khutbah, Tim Tarjih menyimpulkan jumlah
khutbah hanya satu kali.
Selanjutnya
mengenai jumlah takbir dalam shalat Ied, atas pertanyaan mengenai masalah ini,
Tim Tarjih menjelaskan sebagaimana uraian berikut.
Tarjih Garut tahun
1976 menetapkan bahwa pada raka’at pertama jumlah takbirnya sebanyak tujuh kali
dan raka’at kedua sebanyak lima kali. Dasar dari penyimpulan demikian menurut
Tim Tarjih ialah hadits dari Amr bin Syu’aib, hadits riwayat Daraquthni dan Abu
Dawud, serta hadits dari Amr bin Auf al-Muzany, sebagaimana nukilan berikut.
Hadits dari Amr bin
Syu’aib;
الاُوْلَى فِى
تَكْبِيْرَةً عَشْرَةَ فِىالْعِيْدِاِثْنَتَى كَبَّرَ عَلَيْهِ
وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ إِنَّ
(مَاجَهُ أَحْمَدُوَابْنُ رَوَاهُ) وَلاَبَعْدَهَا قَبْلَهَا يُصَلِّ
وَلَمْ فِىالاَخِرَةِ سَبْعًاوَخَمْسًا
Artinya: “Bahwa Nabi saw. membaca takbir pada (shalat) hari raya dua
belas kali, pada raka’at yang pertama sebanyak tujuh kali dan yang akhir lima
kali dan beliau tidak shalat (sunnat) sebelum maupun sesudahnya”. (Riwayat
Ahmad dan Ibnu Majah).
Hadits riwayat
Daraquthny dan Abu Dawud;
فِىالاُوْلَىوَخَمْسٌ فِىالْفِطْرِوَخَمْسٌ اَلتَّكْبِيْرُ : عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىُّ قَالَ
(وَالدَّارَقُطْنِى أَبُوْدَاوُدَ رَوَاهُ) بَعْدَهُمَاكِلْتَيْهِمَا وَالْقِرَاءَةُ فِىالاَخِرَاةِ
Artinya: “Nabi saw. bersabda: “Takbir di hari raya fitrah tujuh kali
pada raka’at pertama dan lima kali pada yang akhir dan bacaan sesudah
kedua-duanya””.
Hadits dari Amr bin
Auf al-Muzany;
الْقِرَاءَةِ سَبْعًاقَبْلَ فِىالاُوْلَى فِىالْعِيْدَيْنِ كَبَّرَ عَلَيْهِ وَالسَلَّمَ صَلَّىاللَّهُ النَّبِىَّ إِنَّ
(التّرمذى رواه) الْقِرَاءَةِ خَمْسًاقَبْلَ وَفِىالثَّانِيَةِ
Artinya: “Bahwasanya Nabi saw. bertakbir pada dua hari raya
(maksudnya shalat hari raya) pada yang pertama tujuh kali sebelum membaca
al-Fatihah dan pada yang kedua lima kali sebelum membaca al-Fatihah”. (Riwayat
at-tirmidzi).
Menurut keterangan
Tim Tarjih, hadits nukilan ketiga merupakan kutipan dari Fiqhus Sunnah.
Ketiganya menjadi perdebatan ulama mengenai keshahihannya. Namun demikian
karena hadits-hadits tersebut saling memperkuat satu atas yang lain, menurut
Tim Tarjih, bersasarkan qaidah Tarjih bahwa hadits dlaif yang demikian itu
walaupun tidak dapat dijadikan hujjah (alasan) akan tetapi jika banyak jalannya
dan ada qarinah mengenai ketetapan asalnya serta tidak bertentangan dengan al-Qur’an
dan hadits sahih maka dapat dijadikan dasar hukum.
Keterangan lainnya,
Tim Tarjih justru mempertanyakan cara demikian karena dapat bertentangan dengan
qaidah Tarjih yang lain yang menyatakan bawa ‘cela itu didahulukan daripada
ta’dil sesudah keterangan yang jelas dan syah menurut anggapan syara’.
Berdasarkan uraian
mengenai pandangan Tim Tarjih atas pertanyaan dan juga ketetapan Tarjih di
atas, persoalan mengenai jumlah takbir dalam shalat hari raya tampaknya belum
jelas benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar