NILAI
KEAGAMAN DAN KEPRIBADIAN SEHAT DALAM KONTEKS TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL
Perhatian masyarakat Indonesia – terutama
pemerintah – terhadap pendidikan nilai dan kepribadian telah diwujudkan dalam
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No. 20 tahun 2003.
Secara khusus hal itu terungkap dalam pasal 3, yaitu:
Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.
Berpijak pada UU Sisdiknas
tersebut pendidikan nilai dan kepribadian bukan saja menjadi tanggung jawab
masyarakat dan suku tertentu saja tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh
masyarakat dan bangsa Indonesia. Pendidikan nilai ini diperlukan sebagai upaya
kongkrit untuk menjadi benteng dan penyaring kepribadian sehat masyarakat
Indonesia dari perkembangan sain, teknologi, dan budaya lain dari luar
Indonesia.
Setidaknya dalam
mengembangkan pendidikan nilai keagamaan – dengan mengikut cara melihat
pendidikan nilai ala Mulyana (2004: 146-176) – terdapat beberapa hal yang harus dihadapi masyarakat
Indonesia.
A.
Tantangan
Pendidikan Nilai Keagamaan
Di
antara tantangan pendidikan nilai keagamaan di Indonesia kurangnya penyadaran
nilai, yang disebabkan oleh adanya pergeseran subtansi pendidikan di Indonesia.
Pada mulanya makna pendidikan sarat dengan nilai-nilai moral. Namun demikian,
nilai-nilai moral yang biasa diusung dalam pendidikan itu telah bergeser menuju
pendidikan yang lebih bermakna pada pemindahan pengetahuan (transforming of
knowledge) saja. Gejala ini bukan hanya terjadi pada pendidikan yang
berorientasi pada ketrampilan (skill), tetapi juga pada wilayah yang
notabene berorientasi pada keagamaan dan moralitas.
Perubahan
subtansi pendidikan tersebut turut pula merubah oientasi kepribadian sehat
masyarakat Indonesia. Akibatnya, peserta didik tidak lebih sebagai perpustakaan
berjalan (working library) yang hanya mengumpulkan dan mengahafal
pengetahuan. Peserta didik pun tidak kritis dan cenderung menjadi pasif
terhadap apa yang disampaikan oleh pendidik. Akibat lainnya adalah proses
pendidikan di Indonesia lebih banyak melahirkan orang-orang yang hanya peduli
pada dirinya sendiri dan orang-orang yang sepaham.
Di
antara penyebab terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di Indonesia,
adalah; masih kukuhnya pengaruh behaviorisme yang mengacu pada
pertimbangan atribut-atribut luar seperti perubahan tingkah laku perserta didik
yang dapat diamati dan diukur; rendahnya kapasitas pendidik dalam menguasai
metode pendidikan dan materi; godaan dan pengaruh perkembangan sains dan
teknologi yang ditawarkan lebih menjajikan daripada ilmu lain; rendahnya sikap
demokratis para pemimpin lembaga pendidikan. Akibatnya peserta didik cenderung
dieksploitasi yang mengabaikan sisi kemanusiaan mereka.
Semakin
kaburnya pemahaman masyarakat yang terlibat dalam dunia pendidikan terhadap
tiga-pusat pendidikan yang pernah digagas oleh Ki Hajar Dewantara bahwa
lingkungan pendidikan terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.
Kenyataan ini di dukung oleh sebagian masyarakat yang menyerahkan dan
mepercayakan sepenuhnya kecerdasan – emosi, intelektual, dan spirtual --
anak-anak mereka pada guru dan lembaga
pendidikan semata.
Benturan
dan pergeseran nilai pun terus semakin rumit. Hal itu terermin dalam munculnya
beragam konseptual yang dipahami secara sempit oleh sebagian masyarakat, dan
perubahan perilaku keseharian yang meninggalkan nilai-nilai lokal yang jauh
lebih baik. Benturan dan pergeseran itu semakin dirasakan oleh masyarakat yang
ditunjukkan dalam terjadinya perbedaan radikal antara perilaku orang tua dengan
generasi sesudahnya.
B. Landasan Kultural Pendidikan Nilai Keagamaan
Meskipun
negara Indonesia bukanlah negara agama, tetapi mayoritas masyarakatnya menganut
agama, seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hucu. Kalaulah
mungkin secara kelembagaan mereka tidak menganut agama tertentu,
sekurang-kurangnya mereka tetap percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataan ini
menjadi modal yang sangat bagus sebagai upaya melahirkan model pendidikan nilai
keagamaam secara lebih membumi dan bisa diterima banyak kalangan.
Selain
itu, sebenarnya, pendidikan nilai – keagamaan maupun moralitas – sudah
diamanatkan secara formal dalam Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 (UUD’45),
dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Secara hirakhis, mulai sila pertama
hingga sila ke-lima, Pancasila senantiasa menganut amanat agar masyarakat
Indonesia dalam hidupnya – sebagai
pribadi, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, maupun
sebagai bagian dari alam semesta –
senantiasa berorientasi pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu pula dalam
Undang-undang Dasar 1945. Landasan konstitusional tersebut, tepatnya dalam
pembukaan maupun batang tubuhnya, secara tegas menyebutkan tentang nilai
ketuhanan, kodrat kemanusiaan, maupun etis-filosofis sebagai manusia Indonesia.
Secara jelas pula dalam GBHN tahun 1993 menawarkan konsep manusia Indonesia,
yaitu; ketakwaan, budi pekerti, kepribadian, semangat kebangsaan, dan cinta tanah
air. Beberapa landasan tersebut di atas semakin diperkuat dengan diterbitkannya
UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003.
C. Status Pendidikan Nilai Keagamaan
Sebenarnya
pendidikan nilai keagamaan sudah diselenggarakan secara sistematis oleh lembaga
pendidikan maupun masyarakat. Lembaga pendidikan dari tingkat SD/MI hingga
Perguruan Tinggi (PT) senantiasa mengajarkan nilai-nilai keagamaan kepada
peserta didiknya. Namun demikian, pengaruh pendidikan nilai keagamaan tersebut
belum sepenuhya bisa dirasakan pengaruh positifnya oleh masyarakatnya.
Persoalannya, sebagian lembaga pendidikan tersebut menjadikan materi nilai
keagamaan sebagai bagain dari mata pelajaran yang hanya ditransformasikan saja
kepada peserta didik. Masyarakat pun juga telah menyediakan pendidikan keagamaan,
tetapi pengaruhnya tidak begitu signifikan dalam pembentukan kepribadian
seseorang.
Kurang
maksimalnya pengaruh pendidikan nilai keagamaan di lembaga pendidikan maupun masyarakat, tampaknya
menuntut adanya pengakuan serta dorongan dari seluruh masyarakat Indonesia
untuk memperhatikan pentingnya pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga.
Tuntutan ini didasarkan pada kenyataan di masyarakat pada umumnya bahwa keluarga merupakan institusi pendidikan nilai yang memberi pengaruh sangat
besar kepada kepribadian seseorang. Dengan memberi perhatian yang besar pada
pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga, setidaknya akan menjadi pendorong
sekaligus jalan keluar terjadinya proses pendidikan nilai yang lebih
bertanggung jawab dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
D. Pendidikan Nilai Keagamaan dan
Inovasi Pendidikan
Pendidikan
nilai keagamaan dalam keluarga sudah menjadi bagian yang integral dari
masyarakat Indonesia dalam proses pembentukan kepribadian yang sehat.
Pendidikan nilai keagamaan tidak hanya melibatkan keluarga tertentu saja,
tetapi juga melibatkan seluruh masyarakat. Karena keberhasilan dalam pendidikan
nilai dalam keluarga ini akan memberi dampak secara langsung pada kecerdasan
emosinal, intelektual, spiritual pada peserta didik, dalam hal ini anak-anak.
Dampak lain yang lebih besar adalah lahirnya masyarakat yang berkepribadian
sehat. Oleh karena itu, inovasi dalam pendidikan nilai keagamaan harus terus
menerus digali dengan harapan nilai keagamaan yang berbasis pada nilai kebudayaan
Indonesia bisa menjadi benteng masyarakat dari perkembangan sain, teknologi,
dan budaya lain yang tidak sesuai dengan buadaya Indonesia pada umumnya dan
masyarakat Sunda pada khususnya.
Tugas !
Petunjuk :
1.
Buatlah
sebuah Laporan Penelitian yang berjudul “MODEL PENDIDIKAN NILAI
KEAGAMAAN DISEKOLAH : Studi Kasus di .…..”. Kriteria model pendidikan nilai
tersebut sesuai dengan kriteria model pembelajaran nilai sebagai mana diuraikan
dalam BAB I.
2.
Sumber
data berupa perkataan, tindakan, dokumen harian dari guru dan siswa disebuah
sekolah terdekat dimana anda tinggal.
3.
Laporan
Penelitian tersebut ditulis 1,5 spasi, huruf yang digunakan Times New Roman
dengan ukuran 12 dengan jenis kertas A4.
4.
Data
tersebut dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan dan studi dokumentasi.
Adapun formatnya
sebagai berikut :
Halaman muka
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I.
Pendahuluan (2 halaman)
A.
Latar
Belakang Masalah
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
penelitian
D.
Manfaat
dan kegunaan penelitian
E.
Metodologi
Penelitian (metode penelitian yang digunakan, Lokasi dan sampel penelitian,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data)
Bab II. Kajian Teori ( 4 halaman)
A.
Makna dan
Kriteria Model Pendidikan Nilai Keagamaan
B.
Pendidikan
Nilai Keagamaan di sekolah
Bab III.Analisis dan Penafsiran Data (6
halaman)
A.
Analisis
sumber data Primer
1.
Tujuan
(Aims)
2.
Langkah-langkah
kegiatan (syntax)
3.
Sistem
sosial (the social system)
4.
Prinsip-prinsip
reaksi (Principles of reactions)
5.
Dukungan
system ( Support System)
6.
Evaluasi
(Evaluations)
B.
Analisis
sumber data Sekunder
1.
Tujuan
(Aims)
2.
Langkah-langkah
kegiatan (syntax)
3.
Sistem
sosial (the social system)
4.
Prinsip-prinsip
reaksi (Principles of reactions)
5.
Dukungan
system ( Support System)
6.
Evaluasi
(Evaluations)
Bab IV. Kesimpulan dan saran (2 halaman)
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar