Rabu, 01 Agustus 2012

Pendidikan Nilai dan Pengembangan Kepribadian Pertemuan 11 dan 12


NILAI KEAGAMAN DAN KEPRIBADIAN SEHAT DALAM KONTEKS TUJUAN PENDIDIKAN NASIONAL

Perhatian masyarakat Indonesia – terutama pemerintah – terhadap pendidikan nilai dan kepribadian telah diwujudkan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) No. 20 tahun 2003. Secara khusus hal itu terungkap dalam pasal 3, yaitu:
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Berpijak pada UU Sisdiknas tersebut pendidikan nilai dan kepribadian bukan saja menjadi tanggung jawab masyarakat dan suku tertentu saja tetapi juga menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat dan bangsa Indonesia. Pendidikan nilai ini diperlukan sebagai upaya kongkrit untuk menjadi benteng dan penyaring kepribadian sehat masyarakat Indonesia dari perkembangan sain, teknologi, dan budaya lain dari luar Indonesia.
Setidaknya dalam mengembangkan pendidikan nilai keagamaan – dengan mengikut cara melihat pendidikan nilai ala Mulyana (2004: 146-176) – terdapat   beberapa hal yang harus dihadapi masyarakat Indonesia.

A.           Tantangan Pendidikan Nilai Keagamaan
Di antara tantangan pendidikan nilai keagamaan di Indonesia kurangnya penyadaran nilai, yang disebabkan oleh adanya pergeseran subtansi pendidikan di Indonesia. Pada mulanya makna pendidikan sarat dengan nilai-nilai moral. Namun demikian, nilai-nilai moral yang biasa diusung dalam pendidikan itu telah bergeser menuju pendidikan yang lebih bermakna pada pemindahan pengetahuan (transforming of knowledge) saja. Gejala ini bukan hanya terjadi pada pendidikan yang berorientasi pada ketrampilan (skill), tetapi juga pada wilayah yang notabene berorientasi pada keagamaan dan moralitas.
Perubahan subtansi pendidikan tersebut turut pula merubah oientasi kepribadian sehat masyarakat Indonesia. Akibatnya, peserta didik tidak lebih sebagai perpustakaan berjalan (working library) yang hanya mengumpulkan dan mengahafal pengetahuan. Peserta didik pun tidak kritis dan cenderung menjadi pasif terhadap apa yang disampaikan oleh pendidik. Akibat lainnya adalah proses pendidikan di Indonesia lebih banyak melahirkan orang-orang yang hanya peduli pada dirinya sendiri dan orang-orang yang sepaham.
Di antara penyebab terjadinya pergeseran orientasi pendidikan di Indonesia, adalah; masih kukuhnya pengaruh behaviorisme yang mengacu pada pertimbangan atribut-atribut luar seperti perubahan tingkah laku perserta didik yang dapat diamati dan diukur; rendahnya kapasitas pendidik dalam menguasai metode pendidikan dan materi; godaan dan pengaruh perkembangan sains dan teknologi yang ditawarkan lebih menjajikan daripada ilmu lain; rendahnya sikap demokratis para pemimpin lembaga pendidikan. Akibatnya peserta didik cenderung dieksploitasi yang mengabaikan sisi kemanusiaan mereka.
Semakin kaburnya pemahaman masyarakat yang terlibat dalam dunia pendidikan terhadap tiga-pusat pendidikan yang pernah digagas oleh Ki Hajar Dewantara bahwa lingkungan pendidikan terdiri dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat. Kenyataan ini di dukung oleh sebagian masyarakat yang menyerahkan dan mepercayakan sepenuhnya kecerdasan – emosi, intelektual, dan spirtual -- anak-anak  mereka pada guru dan lembaga pendidikan semata.
Benturan dan pergeseran nilai pun terus semakin rumit. Hal itu terermin dalam munculnya beragam konseptual yang dipahami secara sempit oleh sebagian masyarakat, dan perubahan perilaku keseharian yang meninggalkan nilai-nilai lokal yang jauh lebih baik. Benturan dan pergeseran itu semakin dirasakan oleh masyarakat yang ditunjukkan dalam terjadinya perbedaan radikal antara perilaku orang tua dengan generasi sesudahnya.

B. Landasan Kultural Pendidikan Nilai Keagamaan
Meskipun negara Indonesia bukanlah negara agama, tetapi mayoritas masyarakatnya menganut agama, seperti Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, dan Kong Hucu. Kalaulah mungkin secara kelembagaan mereka tidak menganut agama tertentu, sekurang-kurangnya mereka tetap percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Kenyataan ini menjadi modal yang sangat bagus sebagai upaya melahirkan model pendidikan nilai keagamaam secara lebih membumi dan bisa diterima banyak kalangan.  
Selain itu, sebenarnya, pendidikan nilai – keagamaan maupun moralitas – sudah diamanatkan secara formal dalam Pancasila, Undang-undang Dasar 1945 (UUD’45), dan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Secara hirakhis, mulai sila pertama hingga sila ke-lima, Pancasila senantiasa menganut amanat agar masyarakat Indonesia dalam hidupnya – sebagai  pribadi, sebagai anggota masyarakat, sebagai warga negara, maupun sebagai  bagian dari alam semesta – senantiasa berorientasi pada Ketuhanan Yang Maha Esa. Begitu pula dalam Undang-undang Dasar 1945. Landasan konstitusional tersebut, tepatnya dalam pembukaan maupun batang tubuhnya, secara tegas menyebutkan tentang nilai ketuhanan, kodrat kemanusiaan, maupun etis-filosofis sebagai manusia Indonesia. Secara jelas pula dalam GBHN tahun 1993 menawarkan konsep manusia Indonesia, yaitu; ketakwaan, budi pekerti, kepribadian, semangat kebangsaan, dan cinta tanah air. Beberapa landasan tersebut di atas semakin diperkuat dengan diterbitkannya UU Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003.

C. Status Pendidikan Nilai Keagamaan
Sebenarnya pendidikan nilai keagamaan sudah diselenggarakan secara sistematis oleh lembaga pendidikan maupun masyarakat. Lembaga pendidikan dari tingkat SD/MI hingga Perguruan Tinggi (PT) senantiasa mengajarkan nilai-nilai keagamaan kepada peserta didiknya. Namun demikian, pengaruh pendidikan nilai keagamaan tersebut belum sepenuhya bisa dirasakan pengaruh positifnya oleh masyarakatnya. Persoalannya, sebagian lembaga pendidikan tersebut menjadikan materi nilai keagamaan sebagai bagain dari mata pelajaran yang hanya ditransformasikan saja kepada peserta didik. Masyarakat pun juga telah menyediakan pendidikan keagamaan, tetapi pengaruhnya tidak begitu signifikan dalam pembentukan kepribadian seseorang.
Kurang maksimalnya pengaruh pendidikan nilai keagamaan di lembaga  pendidikan maupun masyarakat, tampaknya menuntut adanya pengakuan serta dorongan dari seluruh masyarakat Indonesia untuk memperhatikan pentingnya pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga. Tuntutan ini didasarkan pada kenyataan di masyarakat pada umumnya  bahwa keluarga merupakan institusi  pendidikan nilai yang memberi pengaruh sangat besar kepada kepribadian seseorang. Dengan memberi perhatian yang besar pada pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga, setidaknya akan menjadi pendorong sekaligus jalan keluar terjadinya proses pendidikan nilai yang lebih bertanggung jawab dan sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.

D. Pendidikan Nilai Keagamaan dan Inovasi Pendidikan
Pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga sudah menjadi bagian yang integral dari masyarakat Indonesia dalam proses pembentukan kepribadian yang sehat. Pendidikan nilai keagamaan tidak hanya melibatkan keluarga tertentu saja, tetapi juga melibatkan seluruh masyarakat. Karena keberhasilan dalam pendidikan nilai dalam keluarga ini akan memberi dampak secara langsung pada kecerdasan emosinal, intelektual, spiritual pada peserta didik, dalam hal ini anak-anak. Dampak lain yang lebih besar adalah lahirnya masyarakat yang berkepribadian sehat. Oleh karena itu, inovasi dalam pendidikan nilai keagamaan harus terus menerus digali dengan harapan nilai keagamaan yang berbasis pada nilai kebudayaan Indonesia bisa menjadi benteng masyarakat dari perkembangan sain, teknologi, dan budaya lain yang tidak sesuai dengan buadaya Indonesia pada umumnya dan masyarakat Sunda pada khususnya.  

Tugas !
Petunjuk :
1.       Buatlah sebuah Laporan Penelitian yang berjudul “MODEL PENDIDIKAN NILAI KEAGAMAAN DISEKOLAH : Studi Kasus di .…..”. Kriteria model pendidikan nilai tersebut sesuai dengan kriteria model pembelajaran nilai sebagai mana diuraikan dalam BAB I.
2.       Sumber data berupa perkataan, tindakan, dokumen harian dari guru dan siswa disebuah sekolah terdekat dimana anda tinggal.
3.       Laporan Penelitian tersebut ditulis 1,5 spasi, huruf yang digunakan Times New Roman dengan ukuran 12 dengan jenis kertas A4. 
4.       Data tersebut dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan dan studi dokumentasi.
Adapun formatnya sebagai berikut :
Halaman muka
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I.  Pendahuluan (2 halaman)
A.     Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan penelitian
D.     Manfaat dan kegunaan penelitian
E.      Metodologi Penelitian (metode penelitian yang digunakan, Lokasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data)
Bab II. Kajian Teori ( 4 halaman)
A.     Makna dan Kriteria Model Pendidikan Nilai Keagamaan
B.     Pendidikan Nilai Keagamaan di sekolah
Bab III.Analisis dan Penafsiran Data (6 halaman)
A.    Analisis sumber data Primer
1.       Tujuan (Aims)
2.       Langkah-langkah kegiatan (syntax)
3.       Sistem sosial (the social system)
4.       Prinsip-prinsip reaksi (Principles of reactions)
5.       Dukungan system ( Support System)
6.       Evaluasi (Evaluations)
B.     Analisis sumber  data Sekunder
1.      Tujuan (Aims)
2.      Langkah-langkah kegiatan (syntax)
3.      Sistem sosial (the social system)
4.      Prinsip-prinsip reaksi (Principles of reactions)
5.      Dukungan system ( Support System)
6.      Evaluasi (Evaluations)
Bab IV. Kesimpulan dan saran (2 halaman)
A.    Kesimpulan
B.     Saran
Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar