Rabu, 01 Agustus 2012

Pendidikan Nilai dan Pengembangan Kepribadian Pertemuan 3 dan 4


NILAI KEAGAMAAN

A.                Pengertian dan Struktur Nilai Keagamaan
1. Pengertian Nilai Keagamaan
Sebelum mengemukakan pengertian nilai keagamaan terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian nilai secara umum. Dalam bukunya yang berjudul Filsafat Nilai, Frondizi (2001:8), mengatakan nilai merupakan kualitas yang tidak riil, dimana nilai suatu objek merupakan sifat, kualitas atau suigeneris yang dimiliki objek tersebut.
 Suatu nilai adalah sebuah keyakinan, suatu cara bertindak yang spesifik, atau suatu keadaan akhir dari eksistensi secara pribadi atau sosial yang lebih diingini. Sementara itu Djahiri (1966 : 23), menyatakan bahwa nilai merupakan seperangkat ide, gagasan, serta sesuatu yang berharga menurut standar logika, estetika, etika, agama, dan hukum yang menjadi orientasi motivasi dalam berprilaku dan bersikap maka nilai yang dianut dapat dijadikan standar dalam mengukur suatu aktivitas.
 Nilai merupakan wujud daripada afektif (affective domain) serta berada dalam diri seseorang. Dan secara utuh dan bulat merupakan suatu sistem, dimana aneka jenis nilai (nilai keagamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum, etis, etik dll) berpadu jalin menjalin serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat) sebagai suatu kesatuan yang utuh. Sistem nilai ini sangat dominan/kuat menentukan perilaku dan kepribadian seseorang. Sangat berpengaruh karena merupakan pegangan emosional seseorang (values are powerful emotional commitment ; - Fraenkel dalam Djahiri ,2004 : 18).
Menurut Rokeach (1980:160) :
Value, unlike an attitude, is a standard or yardstick to guide actions, attitudes, comparisons, evaluations and justifications of self and others”.

Maksudnya nilai berbeda dengan sikap. Ia adalah standar atau ukuran untuk mengarahkan perbuatan, sikap, perbandingan, penilaian, dan pembenaran diri atau orang lain.
Menurut Mulyana (2004: 78) Nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan. Rujukan itu dapat berupa norma, etika, peraturan undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai bersifat abstrak, berada dibelakang fakta, melahirkan tindakan, melekat dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks. Hal itu sesuai dengan pernyataan Shaver (dalam Hersh at.all, 1980:27), berikut ini:
“Values are standards and principles for judging worth. They are the criteria by which we judge things (people, object, ideas, actions, and situations) to be good, worthwhile, desirable or, on the other hand, bad, worthless, despicable or, of course, somewhere in between these extremes”.

Makna nilai adalah standar dan prinsip untuk menilai sesuatu yang berharga (manusia, benda, gagasan-gagasan, perbuatan, dan situasi) yang bagus, berguna, yang diinginkan atau sebaliknya buruk, tidak berharga, diantara perbedaan-perbedaan itu.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat dinyatakan bahwa nilai keagamaan adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan yang bersumber dari agama. Rujukan dan keyakinan tersebut berupa ide yang ada dalam pikiran yang dapat mengarahkan perilaku, penilaian, dan menentukan pilihan.
Yang dimaksud dengan nilai keagamaan disini adalah nilai yang bersumber dari agama Islam (Ilahiah) dan nilai-nilai yang bersumber dari hasil pemikiran atau perasaan manusia (insaniah) yang relevan atau tidak bertentangan dengan nilai Ilahiah.

2. Struktur Nilai Keagamaan
Uraian di atas menunjukan bahwa nilai sebagai penentu perilaku dan kepribadian serta memiliki struktur.
 Kategori nilai yang paling elementer terletak pada nilai dasar dan sifatnya logis, etis dan estetis. Nilai dasar ini berada pada wilayah nilai tersendiri yang perlu dibedakan dari jenis nilai lainnya yang terdapat dalam katagoresasi-kategorisasi dan hirarkhi nilai. Dengan demikian, struktur nilai dapat dijelaskan berdasarkan :
a. Kategori Nilai Dasar
Nilai dasar adalah nilai yang menjadi inti nilai-nilai lainnya. Nilai dasar tersebut meliputi nilai logis, nilai etis, dan nilai estetis.
b. Kategori Wilayah Kajian
Dalam teori nilai yang digagasnya, Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam nilai tersebut cenderung menampilkan sosok yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spranger merancang teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih kuat pada salah satu diantara enam nilai yang terdapat dalam teorinya. Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoritik, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama (Mulyana, 2004:33). Nilai-nilai tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1). Nilai Teoritik
Nilai ini melibatkan pertimbangan logis dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoritik memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal pikiran. Karena itu, nilai ini erat degan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori, dan generalisasi yang diperoleh dari sejumlah pengamatan dan pembuktian ilmiah. Kadar kebenaran teoritik muncul dalam beragam bentuk sesuai dengan wilayah kajiannya. Kebenaran teoritik filsafat lebih mencerminkan hasil pemikiran radikal dan komprehensif atas gejala-gejala yang lahir dalam kehidupan; sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan menampilkan kebenaran obyektif yang dicapai dari hasil pengujian dan pengamatan yang mengikuti norma ilmiah. Karena itu, komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah filosof dan ilmuwan. (Mulyana, 2004:33).
2). Nilai Ekonomis
Nilai ini terikait dengan pertimbangan nilai yang berkadar untung-rugi. Obyek yang ditimbangnya adalah “harga” dari suatu barang atau jasa. Secara praktis nilai ekonomi dapat ditemukan dalam pertimbangan nilai produksi, pemasaran, konsumsi barang, perincian kredit keuangan, dan pertimbangan kemakmuran hidup secara umum. Kelompok manusia yang memiliki minat kuat terhadap nilai ini adalah para pengusaha, ekonom, atau setidaknya orang yang memiliki jiwa materialistik (Mulyana, 2004:33).
3).  Nilai Estetik
Nilai estetik menempatkan nilai tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari sisi subyek yang memilikinya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai estetik ini lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat subyektif.  Nilai estetik banyak dimiliki oleh para seniman seperti musisi, pelukis, atau perancang model (Mulyana, 2004:34).
4). Nilai Sosial
Raven (1977: 220 dalam Nursasongko, 2001: 42) mendefinisikan nilai sosial sebagai berikut :
Social values are set of society attitude considered as a truth and it is become the standard for people to act in order to achieve democratic and harmonious life. The values are used as standards to act and to construct a sincere relationship among the society.

Raven menjelaskan bahwa nilai-nilai sosial merupakan seperangkat sikap masyarakat yang dihargai sebagai suatu kebenaran dan dijadikan standar untuk bertingkah laku guna memperoleh kehidupan masyarakat yang demokratis dan harmonis. Nilai sosial tersebut digunakan sebagai acuan atau pedoman untuk bertingkah laku guna menata hubungan sesama warga masyarakat secara sukarela.
Nilai tertinggi yang terdapat pada nilai ini adalah kasih sayang antar manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada rentang antara kehidupan yang individualistik dengan altruistik. Sikap tidak berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, dan perasaan simpati dan empati merupakan perilaku yang menjadi kunci keberhasilan dalam meraih nilai sosial. Dalam psikologi sosial, nilai sosial yang paling ideal dapat dicapai dalam konteks hubungan interpersonal, yakni ketika seseorang dengan yang lainnya saling memahami. Sebaliknya, jika manusia tidak memiliki perasan kasih sayang dan pemahaman terhadap sesamanya, maka secara mental ia hidup tidak sehat. Nilai sosial banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia atau yang dikenal sebagai sosok filantropik (Mulyana, 2004:34).
5) Nilai Politik
Nilai tertinggi dalam nilai ini adalah kekuasaan dengan  kadar nilainya yang bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pada pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap pemilikan nilai politik pada diri seseorang yang kurang tertarik pada nilai ini. Dalam kontek persaingan nilai politik ini brsifat universal, namun apabila dilihat dari kadar pemilikannya nilai politik memang menjadi tujuan utama orang tertentu, seperti para politisi atau penguasa (Mulyana, 2004: 35).
6) Nilai Agama
Secara hakiki sebenarnya nilai ini merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi yang datangnya dari Tuhan. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental merupakan dua sisi unggul yang dimiliki nilai agama. Nilai tertinggi yang harus dicapai adalah kesatuan (unity) yaitu adanya keselarasan semua unsur kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan dan tindakan, atau antara ‘itiqad dengan perbuatan. Spranger melihat bahwa pada sisi nilai inilah kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Di antara kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para nabi, imam, atau orang-orang yang shaleh (Mulyana, 2004:35).
 Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dinyatakan bahwa nilai agama mencakup juga nilai-nilai teoritis, nilai ekonomi, nilai politik, nilai sosial, dan nilai estetis. Hal ini tergambar dalam lima dimensi ajaran Islam, yaitu ritual, mistikal, ideologikal, intelektual dan sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, seperti; salat, misa atau kebaktian. Dimensi mistikal menunjukan pengalaman keagamaan yang meliputi paling sedikit tiga aspek: concern, cognition, trusts dan fear. Keinginan untuk mencari makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang Mahakuasa, tawakal, dan takwa, adalah dimensi mistikal. Dimensi ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi manusia vis-à-vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah, umat beragama, khususnya orang Islam, memandang manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fi al-ardh) yang dipandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan kehendak Allah di bumi. Dimensi intelektual menunjukan tingkat pemahaman orang terhadap kedalaman doktrin-doktrin serta ajaran-ajaran agama yang dipeluknya. Dimensi sosial disebut Glock dan Stark sebagai consequential dimensions adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan oleh agama  (Rahmat, 1989:38).
Dengan demikian nilai teoritis terdapat dalam dimensi intelektual. Nilai ekonomi dan social terdapat dalam dimensi social (muamalat), nilai tauhid dan politik terdapat dalam Dimensi ideologikal, nilai etis dan estetis terdapat dalam Dimensi mistikal (ikhsan, akhlak dan adab). Adapun dimensi ritual mengandung nilai kepatuhan.        
Hal itu tergambar pula dalam maqashidu al-tasyri’iyah (tujuan perundang-undangan Islam). Pembuat hukum (syari’) dalam menciptakan syari’at (undang-undang) bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum, memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadahan bagi ummat manusia (Yahya, at. al., 1986: 333). Hal ini berarti kemaslahatan dan kebaikan merupakan nilai terakhir yang hendak dicapai oleh syara’. Tujuan umum tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
c. Klasifikasi Nilai
Klasifikasi nilai berarti pengelompokan nilai. Klasifikasi nilai tersebut meliputi: nilai terminal dan nilai instrumental, nilai instrinsik dan nilai ekstrinsik, nilai personal dan nilai sosial, nilai subyektif dan nilai obyektif (Mulyana, 2004: 78).
1). Nilai Terminal dan Nilai Instrumental
 Menurut Rokeach (1980:160) “an instrumental value is therefore defined as a single belief that always takes the following form: “ I believe that such-and-such a mode of conduct (for example, honesty, courage) is personally and socially preferable in all situations with respect to all objects.” Nilai instrumental adalah cara bertindak (seperti kejujuran, keberanian) baik secara personal dan sosial lebih disukai dalam seluruh keadaan yang berkenaan dengan semua sasaran.
 Sedangkan nilai terminal “ Terminal value takes a comparable form:  I believe that such-and-such an end-state of existence (for example, salvation, a world at peace) is personally and socially worth striving for.” Nilai terminal adalah suatu keadaan akhir (seperti, keselamatan, perdamaian dunia) baik secara personal atau sosial untuk mendapatkan sesuatu yang berharga.
 Hal ini menujukan bahwa nilai instrumental adalah nilai antara, sedangkan nilai terminal adalah nilai akhir. Berikut ini tabel kedua nilai tersebut:
Nilai Instrumental
Nilai Terminal
Bercita-cita keras
Berwawasan luas
Berkemampuan
Ceria
Bersih
Bersemangat
Pemaaf
Penolong
Jujur
Imajinatif
Mandiri
Cerdas
Logis
Cinta
Taat
Sopan
Tanggung jawab
Pengawasan diri
Hidup nyaman
Hidup bergairah
Rasa berprestasi
Rasa kedamaian
Rasa keindahan
Rasa persamaan
Keamanan keluarga
Kebebasan
Kebahagiaan
Keharmonisan diri
Kasih sayang yang matang
Rasa aman secara luas
Kesenangan
Keselamatan
Rasa hormat
Pengakuan sosial
Persahabatan abadi
Kearifan
Secara kronologis kejadian nilai pada diri individu, mengikuti urutan nilai seperti yang dikemukakan oleh Rokeach. Perilaku yang muncul saat seseorang memelihara hidup bersih, misalnya, berujung pada nilai akhir yang secara internal telah secara konsisten dimilikinya yaitu keindahan atau kesehatan. Dalam pengertian ini pula bahwa nilai-nilai yang bersifat instrumental atau nilai perantara lebih sering muncul dalam perilaku secara eksternal, pada lapisan luar sistem perilaku dan nilai, sedangkan untuk nilai terminal atau nilai akhir lebih bersifat inherent, tersembunyi di belakang nilai-nilai instrumental yang diwujudkan dalam perilaku. Sisi lain yang dapat membedakan antara nilai instrumental dengan nilai terminal adalah nilai instrumental muncul dalam beragam bentuk yang lebih spesifik, sedangkan nilai terminal berada pada bentuk tunggal yang bermakna umum dalam konteks cakupan nilai-nilai instrumental terkait (Mulyana, 2004: 28).
2) Nilai Intrinsik Dan Nilai Ekstrinsik
Dalam istilah lain dari nilai instrumental atau nilai prantara sering disebut nilai ekstrinsik. Lawan dari nilai ekstrinsik adalah nilai intrinsik yang sepadan artinya dengan nilai terminal atau nilai akhir. Sama seperti dalam penjelasan sebelumnya, keberadaan hubungan antara satu nilai dengan yang lainnya tidak berdiri sendiri (mutually exclusice).
 Sesuatu dikatakan memiliki nilai intrinsik jika hal tersebut dinilai untuk kebaikannya sendiri, bukan untuk kebaikan hal lain, sedangkan sesuatu memiliki niliai ekstrinsik apabila hal tersebut menjadi prantara untuk mencapai hal lain. Misalnya, pemilikan pengetahuan dapat menjadi nilai intrinsik, dalam arti hal yang dinilai untuk kebaikannya sendiri, sedangkan berperilaku rajin dalam menuntut ilmu, kelengkapan sarana, kelengkapan sumber dan kedisiplinan belajar merupakan nilai-nilai ekstrinsik, yakni nilai yang menjadi perantara tercapainya pemilikan pengetahuan seseorang. Contoh itu menyiratkan bahwa sebuah nilai intrinsik dapat dijabarkan kedalam sejumlah nilai ekstrinsik yang mendukung terpelihara dan tercapainya nilai intrinsik.
 Untuk hal tertentu, kedua nilai dapat dimiliki secara bersamaan. Hal mengenai kepemilikan pengetahuan misalnya, dapat dinilai sebagai sesuatu yang baik dalam pengetahuan itu sendiri atau ia berada pada posisi nilai intrinsik. Tetapi ketika pemilikan pengetahuan itu menjadi perantara bagi tercapainya nilai lain, seperti keberhasilan ekonomi atau pengaruh kekuasaan, maka ia berada pada posisinya sebagai nilai ektrinsik. Contoh lain, keikhlasan dapat menjadi nilai intrinsik ketika diperjuangkan melalui perilaku suka menolong, mengamalkan ilmu, sungguh-sungguh dalam bekerja, dan tawakal. Tetapi ketika keikhlasan diangkat kepermukaan sebagai wacana “seolah-olah ikhlas”, padalahal keikhlasan hanya dijadikan sebagai perantara bagi tercapainya kerelaan orang lain untuk menyumbang dan membantu dirinya, maka posisi keikhlasan ditempatkan sebagai nilai ekstrinsik.
 Kedudukan nilai intrinsik lebih permanen dan secara hirarkis lebih tinggi dari nilai ekstrinsik. Oleh karena itu, Titus (1979 dalam Mulyana, 2004:29) menyatakan bahwa: “Intrinsic values are to be preferrred to those that are extrinsic”. Dalam arti kata, nilai intrinsik merupakan nilai yang lebih baik dari pada nilai ekstrinsik. Karena dalam perjalanan kehidupan jangka panjang manusia, niliai intrinsik yang bersumber dari nilai sosial, intelek, estetika, dan agama cenderung memberikan kepuasan yang lebih permanen dari pada nilai-nilai ekstrinsik yang kerap lahir dalam tampilan nilai material. Selain itu, dalam memilih nilai seseorang harus berlandaskan pada inilai intrinsik (nilai akhir) yang sesuai dengan keyakinan kita dan konsisten dengan tuntutan kehidupan. Dengan demikian, kita tidak mengalami distorsi nilai dalam arti menempatkan nilai bukan pada posisi yang seharusnya.
Dalam konteks pemahaman agama, nilai intrinsik merupakan nilai yang paling esensial dan berlaku universal. Dalam nilai-nilai intrinsik inilah, nilai kebajikan antar satu agama dengan agama lainnya dapat bertemu sebagai kebenaran yang obyektif. Karena itu pada wilayah nilai ini, atas dasar kesamaan harga nilai intrinsik dan kecenderungan bahwa semua agama pada dasarnya memiliki nilai kebajikan, banyak orang yang beranggapan bahwa semua agama sama; yakni bermisikan kebajikan dan keselamatan. Yang membedakan antara satu dengan lainnya hanyalah pada sistem keyakinan yang tersembunyi serta artifak-artifak dan ritual yang tampak. (Mulyana, 2004 :29).
Menurut Alport (dalam Rahmat, 1989: 26) ada dua macam cara beragama: yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa, salat, naik haji, dan sebagainya tetapi tidak di dalamnya. Kata Alport, cara beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Saya ingin menyatakan bahwa cara beragama semacam ini tidak akan melahirkan masyarakat yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian, irihati, dan fitnah masih akan tetap berlangsung.
Pada yang kedua, yang intrinsik, yang dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat, agama dipandang sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive, yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifiying factor). Cara beragama seperti ini, terhunjam ke dalam diri penganutnya. Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang.
3)      Nilai Personal dan Nilai Sosial
Selain cara klasifikasi nilai berdasarkan urutan kejadian nilai ada pula yang membedakan nilai berdasarkan derajat kedekatan nilai dengan pemilik nilai (individu) dan derajat manfaat nilai bagi orang lain (sosial). Misalnya, suatu prestasi akademik yang sering diidentifikasi melalui indikator-indikator perilaku seperti memiliki rangking bagus, aktif dalam belajar di kelas, mengerjakan tugas tepat waktu, atau memperoleh nilai tes yang bagus lebih menunjukan pada konsep nilai skolastik tertentu yang bersifat personal, bukan sosial.
Sementara itu, ketika suatu nilai interpersonal diidentifikasi melalui indikator-indikator yang lebih bermakna moral-etik seperti mampu memaafkan orang lain, memiliki rasa empati, memiliki sosiabilitas yang tinggi, atau ramah kepada orang lain, hal tersebut lebih merujuk pada nilai yang bersifat sosial.
Nilai-nilai yang bersifat personal terjadi dan terkait secara pribadi atas dasar dorongan-dorongan yang lahir secara psikologis dalam diri seseorang, sedangkan nilai-nilai yang bersifat sosial lahir karena adanya kontak secara psikologis maupun sosial dengan dunia luar yang dipersepsi atau disikapi. Jenis nilai kedua yang disebutkan di atas lebih dikenal dengan nilai-nilai moral (moral values).
Cara pengklasifikasian nilai berdasarkan personal dan sosial ini, menurut Monica Thapar (2003) terjadi sebagai konsekuensi dan kecenderungan umum bahwa seseorang berpegang pada nilai tertentu dikarenakan dia melihat adanya manfaat dari realisasi nilai tersebut bagi orang lain. Atas dasar kecenderungan inilah maka muncul klasifikasi nilai sesuai dengan orientasi nilai, yakni berdasarkan tingkat kedekatan hubungan antara nilai dengan pemilik nilai dan hubungan antara nilai dengan orang lain yang merasakan manfaat dari nilai yang diwujudkan. Pendekatan ini, menurut Thapar mengarahkan pada klasifikasi nilai, yaitu: (1) nilai yang berorientasi pada diri, dan (2) nilai yang berorientasi pada orang lain (Mulyana, 2004: 30).
Didalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan (muamalah) mempunyai kedudukan sedemikian penting, sehingga dihargai lebih tinggi daripada ibadah-ibadah ritual (mahdhah) (Rahmat, 1989: 46). Ibadah mahdhah mengandung nilai-nilai personal, sedangkan muamalah mengandung nilai-nilai sosial. Ibadah mahdah adalah ibadah ritual, adalah hubungan antara makhluk dengan Tuhannya ia bersifat personal. Ibadah ghair mahdhah adalah ibadah sosial, yaitu hubungan antara makhluk dengan sesamanya, ia bersifat sosial. Ibadah yang mengandung nilai dan arti sosial, lebih penting dibandingkan dengan ibadah personal. (Rahmat, 1989:48)
4) Nilai Subyektif dan Nilai Obyektif
Nilai itu objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya, nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun fisis (Frondizi, 2001: 20). Menurut Frondizi (2001: 33) tidak semua nilai mesti subjektif atau objektif. Menurutnya ada nilai yang subjektif, objektif, dan ada pula yang objektif sekaligus subjektif.
 Nilai yang paling rendah, yaitu nilai kenikmatan bersifat subjektif. Yang menjadi sumber kenikmatan atau ketidak nikmatan adalah subjek bukan objek. Misalnya seseorang lebih suka pada anggur sementara yang lainnya lebih suka pada madu. Perbedaan preferensi (pilihan) mungkin disebabkan oleh idiosinkrasi (kekhasan) pribadi, atau karena kebiasaan yang dianut, karena hidup dalam satu negara atau negara yang lainnya. Inilah yang dimaksudkan dengan peribahasa “de gustibus non disputandum”, masalah selera tidak dapat diperdebatkan, karena itu merupakan satu pengakuan atas lebih menonjolnya yang subjektif atas yang objektif pada atas aksiologis yang paling rendah.
Adapun nilai objektif terletak pada nilai tertinggi seperti nilai etis. Keadilan atau ketidak adilan, kejujuran dan kebohongan dan lain-lain, tidak didasarkan pada kondisi psikis, fisik atau sosial tertentu. Semua itu bersifat universal. Nilai etis memiliki kekuatan besar yang memaksa kita untuk menerimanya, sekalipun itu bertentangan dengan hasrat, kecenderungan, dan kepentingan pribadi kita. Setidak-tidaknya, nampak bahwa unsur objektivitas dalam arti ini jauh lebih besar daripada apa yang terdapat di dalam penghargaan terhadap apa yang merupakan kenikmatan.
 Di antara kedua ekstrem ini orang menemukan nilai yang lain: kegunaan, vital, estetik. Dalam kelompok yang terakhir ini keseimbangan antara yang subjektif dengan yang objektif nampaknya jauh lebih besar, meskipun juga beraneka ragam sesuai dengan hakikat nilai estetik. Misalnya, unsur subjektif yang menonjol di dalam nilai kebagusan sebuah baju ­– tidak  mungkin terpisah dari model dan unsur yang lebih langsung lainnya – yang  tidak ada manakala kita mempertimbangkan keindahan sebuah lukisan.
Nilai keagamaan merupakan nilai etis yang bersumber dari agama. Sebagaimana nilai etis, nilai keagamaan bersifat objektif. Nilai tersebut antara lain keberanian, kesederhanaan, bijaksana, dan adil. Keempat nilai ini  merupakan nilai utama yang pokok (Thabathaba’i, 1991: 227). Masing-masing dari keempat pokok akhlak yang utama tersebut mempunyai cabang-cabang. Hubungan antara cabang-cabang ini dengan pokok-pokok di atas adalah seperti hubungan antara spesies (al-nau’) dengan jenis (al-jins). Lalu cabang-cabang dari empat pokok akhlak yang utama itu mempunyai ranting-ranting, dan begitu seterusnya.
Keutamaan-keutamaan yang merupakan bagian-bagian atau cabang-cabang dari sikap al-iffat (sederhana) mencakupi al-haya’ (malu), al-sakha (dermawan), al-di’ah (tenang), al-wara’ (wara’), al-shabr (sabar), al-wiqar (anggun berwibawa), al-hurriyyat (integritas), al-musalamat (lembut), al-qana’at (puas), husnu al-huda (optimis atau berpengharapan), al-damalsat (loyal), dan al-intizham (disiplin). Bagian-bagian atau ranting al-sakha’ (dermawan) meliputi al-karram (murah hati), al-musamihat (pengampunan), al-samahat (tangan terbuka), al-nail (rela), al-nuwasat (berbakti), dan al-itsar (mementingkan orang lain).
Al-haya (rasa malu) adalah tindakan menahan diri karena takut melakukan hal-hal yang tidak senonoh, dan kehati-hatian menghindari celaan dan hinaan.
Al-di’at (tenang) adalah kemampuan seseorang untuk menguasai dirinya dan tidak dilanda gejolak hawa nafsu.
Al-wara’ (wara’) merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat baik, sehingga mencapai kesempurnaan jiwa.
Al-shabr (sabar) adalah tegarnya diri tehadap gempuran hawa nafsu, sehingga tidak terjebak busuknya kenikmatan duniawi.
Al-wiqar (anggun berwibawa) adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi gejolak tuntutan duniawi.
Al-hurriyyat (integritas) adalah kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencari harta di jalan yang benar, mendermakan harta itu di jalan yang benar pula, serta menahan diri agar tidak mencari harta di jalan yang tidak benar.
Al-musalamat (lembut) adalah lembut hati yang sampai ke jiwa dari watak yang bebas dari kegelisahan.
 Al-qana’at (puas) adalah tidak berlebihan dalam makan, minum dan berhias.
Husn al-huda (optimis) merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan moral yang mulia.
Al-damatsat (loyal) adalah sikap jiwa yang tunduk pada hal-hal yang terpuji, serta bersemangat mencapai kebaikan.
Al-intizham (disiplin) adalah kondisi jiwa yang membuat jiwa menilai dan menatanya dengan benar.
Sikap-sikap keutamaan yang merupakan ranting-ranting atau bagian-bagian dari sikap dermawan :
Al-karram (murah hati) merupakan kecenderungan untuk mudah menginfakkan hartanya di jalan yang berhubungan dengan hal-hal yang agung dan banyak memanfaatkannya juga selaras dengan kondisi lain.
Al-musamihat (tangan terbuka) adalah membelanjakan sebagian apa yang tidak boleh dibelanjakan.
Al-nail (rela) adalah bergembira hati dalam berbuat baik dan suka pada perbuatan itu.
Al-musawat (berbakti) adalah menolong teman atau orang yang berhak ditolong, dan memberi mereka uang dan makanan.
Al-itisar (mementingkan orang lain) merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan ini orang menahan diri dari yang diingininya, demi memberikannya kepada orang lain, yang menurut hematnya lebih berhak.
Keutamaan-keutamaan yang merupakan cabang-cabang atau bagian-bagian dari sikap al-syaja’at (berani) adalah kibr al-nafs (besar jiwa), ‘adam al-thaisy (tidak gegabah), ‘azm al-himmat (ulet), al-syahamat (ksatria), al-najdat (tegar), ihtimal al-kadd (ulet dalam bekerja), al-tsabat (tabah), al-shabr (sabar), dan al-hilm (tenang).
Kibr  al-nafs (besar jiwa) adalah meninggalkan persoalan yang tak penting dan mampu menanggung kehormatan atau kehinaan. Oleh karena itu, pemiliknya senantiasa mempersiakan dirinya untuk mencapai perbuatan agung.
‘Adam al-thaisy (tidak gegabah, menguasai diri) terlihat pada waktu berselisih, atau pada saat peperangan, ketika orang mempertahankan kaum wanita dan syariat. Menguasai diri ini terjadi bila jiwa mampu mengendalikan gerakan-gerakannya pada kondisi-kondisi di atas disebabkan oleh seriusnya kondisi-kondisi itu.
‘Azm al-himmat (ulet, berkeinginan besar) merupakan kebajikan jiwa, yang membuat orang bahagia akibat bersungguh-sungguh.
Al-syahamat (ksatria) adalah berkemauan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan besar dengan harapan-harapan mendapatkan reputasi yang baik.
Al-tsubut (tabah) adalah suatu kebajikan jiwa yang membuat seseorang mencapai ketenangan jiwa, tidak mudah dimasuki bisikan-bisikan yang mendorongnya melakukan kejahatan, dan tidak mudah dan tidak cepat dilanda marah.
Al-najdat (tegar) adalah kepercayaan diri dalam menghadapihal-hal yang menakutkan, hingga pemilik sikap ini tidak lagi dilanda kegelisahan.
Ihtimal al-kadd (ulet dalam bekerja) adalah kekuatan jiwa yang menggunakan organ tubuh demi kebaikan melalui praktik dan kebiasaan yang baik.
Al-shabr (sabar) di sini erat hubungannya dengan hal-hal yang menakutkan.
Al-hilm (tenang, sabar, murah hati) merupakan kebajikan jiwa. Dengan kebajikan ini seseorang menjadi tenang dalam menghadapi nasib baik dan nasib buruk, sekalipun kesulitan yang menyertai kemiskinan.
Kebajikan-kebajikan yang merupakan bagian-bagian dari kebajikan sikap arif atau bijaksana (al-hikmat) ,mencakup: al-dzaka (pandai), suhulat al-ta’lim (kemampuan belajar dengan mudah), al-dzikr (ingat), shafa al-dzihn (kejernihan pikiran), sur’at al-fahm (cepat paham), dan al-ta’aqqul (berpikir).
Al-dzaka’ (pandai) merupakan cepat mengembangkan kesimpulan-kesimpulan, serta mudahnya kesimpulan-kesimpulan itu dipahami jiwa.
Suhulat al-ta’lim (kemampuan belajar dengan mudah) adalah kekuatan jiwa serta ketajaman dalam memahami sesuatu, yang dengan kemampuan ini maka daat dipahami masalah-masalah teoritis.
Al-dzikr (ingat) adalah menetapnya gambaran tentang apa yang telah dicerap jiwa atau imajinasi.
Shafa al-dzihn (kejernihan pikiran) merupakan kesiapan jiwa untuk menyimpulkan apa saja yang dikehendaki.
Sur’at al-fahm (cepat paham) adalah kecepatan jiwa memahami apa yang diserap oleh indera dan imajinasi.
Al-ta’aqqul (berpikir) adalah upaya mencocokkan objek-objek yang dikaji oleh jiwa dengan keadaan sebenarnya objek-objek ini.
Kebajikan-kebajikan yang merupakan bagian-bagian dari al-adalat (keadilan) mencakup : istiqlal al-nafs (kemerdekaan jiwa), al-shadaqat ( bersahabat), al-zuhd (zuhud), al-ulfat (bersemangat sosial), al-nashihah (tulus), shilat al-rahm (bersilaturahmi), karram al thab’I wa ‘uluwwat (kemuliaan dan ketinggian tabiat), al-mukafa’at (memberikan imbalan), husn al-syarikat (baik dalam bekerja sama), al-muraqabat (pengawasan), husn al-qadla (kejelian dalam memutuskan persoalan), al-tawaddud (cinta), al-musalamat (suka damai), al-muruwwat ( penuh pertimbangan), al-ibadat (beribadah), tark al-hiqd (meninggalkan kedengkian), dan al-luthf (lemah lembut, halus).
Al-shadaqat (bersahabat) adalah cinta yang tulus, yang menyebabkan orang memperhatikan masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya.
Al-ulfat (bersemangat sosial) adalah berupaya seragam dalam pendapat dan keyakinan. Semangat gotong royong dan salng menolong dalam mengatur kehidupan terkandung dalam bersemangat sosial ini.
Silaturahmi adalah serbagai kebaikan duniawi kepada kerabat dekat.
Al-mukafa’at (memberi imbalan) adalah membalas kebaikan sesuai dengan kebaikan yang diterima atau malah lebih.
Husn al-syarikat (baik dalam bekerja sama) adalah mengambil dan memberi dalam berbisnis dengan adil dan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan.
Husn al-qadla (kejelian dalam memutuskan persoalan) adalah tepat dan adil dalam memutuskan persoalan tanpa diiringi rasa menyesal dan mengungkit-ungkit.
Tawaddud (cinta) adalah mengharapkan cinta dari mereka yang dianggap telah merasa puas dengan cara hidup yang dicapainya (para zahid), juga dari mereka yang dianggap orang-orang yang mulia, dengan cara bermanis muka serta melakukan perbuatan-perbuatan yang mengundang simpati mereka.
d. Hierarki nilai
Berbeda dengan klasifikasi, hierarki nilai mengacu pada urutan pentingnya nilai. Nilai tersusun secara hierarkis, yakni ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah. Nilai terjadi dalam urutan pentingnya, atau sesuai dengan tabel nilai. Hierarki ditunjukan oleh preferensi pada ada (being) dihadapkan dengan dua nilai, seseorang biasanya akan lebih senang pada yang tertinggi dari dua nilai tersebut, meskipun adakalanya dia mungkin memilih nilai yang lebih rendah karena motivasi tidak langsung.
Scheler (dalam Frondizi, 2001:132) berpendapat bahwa  ada lima kriteria penentu hierarki nilai, pertama, keabadian nilai. Scheler melihat bahwa benda yang lebih tahan lama (abadi) senantiasa lebih disukai daripada yang bersifat sementara dan mudah berubah. Scheler menegaskan bahwa nilai yang terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada dasarnya fana, nilai yang lebih tinggi daripada semua nilai yang lain sekaligus merupakan nilai yang abadi. Apa yang sesuai dengan penampakan inderawi pada hakikatnya sebagai nilai yang berubah yang setara dengan nilai kesehatan misalnya, atau nilai pengetahuan. Kedua, bersifat dapat dibagi-bagi (divisibility). Ketinggian yang dicapai nilai berbanding terbalik dengan sifat dapat dibagi-baginya, yakni semakin tinggi derajatnya, semakin kecil sifatnya untuk dapat dibagi-bagi, dikarenakan oleh keikutsertaan dari yang banyak di dalamnya. Dengan demikian kenikmatan spiritual atau estetis lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan kenikmatan material atau inderawi. Karena kenikmatan inderawi meniscayakan adanya pembagian terhadap benda-benda yang dinikmati, sedangkan kenikmatan spiritual tidak demikian. sebagai misal apa yang terjadi dalam kasus makanan, minuman atau sepotong kain. Dalam berbagai kasus ini, jumlah nilai ditentukan oleh ukuran pengembannya; sepotong pakaian atau sepotong roti kurang lebih bernilai dua kali dari parohannya. Dalam satu karya seni, hal ini tidak terjadi; separoh patung atau lukisan tidak sama dengan separoh nilai totalnya. Karena alasan ini, kita dapat bersama-sama menikmatinya (sama sekali bukan soal yang penting bagi nilai spiritual bagaimana banyak orang menikmatinya) sedangkan kenikmatan dari apa yang merupakan kenikmatan inderawi membutuhkan pembagian atas masing-masing benda. Maka dari itu, benda material memisahkan orang, menimbulkan pertentangan kepentingan, karena benda harus dimiliki, sedangkan benda (sesuatu) yang bersifat spiritual menyatukan orang karena menjadi milik bersama. Ketiga, dasar. Jika satu nilai menjadi dasar bagi nilai yang lain, nilai tersebut lebih tinggi daripada nilai yang lain ini. Tentunya, semua nilai didasarkan pada nilai yang lebih tinggi, yang bagi Scheler adalah nilai keagamaan. Keempat, kedalaman kepuasan. Bagi Scheler, terdapat hubungan yang hakiki antara “kedalaman kenikmatan” yang menyertai persepsi sentimental atas nilai dan hierarkinya. Namun, seperti dalam kasus preferensi, hierarki nilai tidak terkandung didalam kedalaman kenikmatan yang dihasilkannya. Juga ada hubungan antara esensi-esensi yang baginya nilai yang tertinggi menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam. Kelima adalah relativitas nilai. Semakin kurang kerelativan nilai, semakin tinggi keberadaannya. Nilai yang tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak.
Berdasarkan  kelima kriteria hierarki nilai diatas, Scheler (dalam Frondizi,2001:136) mengemukakan hierarki atau tabel nilai sebagai berikut.  Pertama, nampak pada tingkatan yang terendah nilai “kenikmatan” dan “ketidaknimatan”, yang sesuai dengan susana afektif nikmat dan rasa sakit yang bersifat inderawi. Kedua, nilai vital yang tidak tergantun dan tidak dapat direduksi dengan kenimatan dan ketdiaknimatan. Antitesis halus-kasar adalah fundamental dalam stratum aksiologis meskipun nilai keadaan baik sesuai dengan kawasan ini, seperti yang telah dinyatakan, semua modus perasaan vital seperti kesehatan, kelelahan, kesakitan, usia tua, dan kematian.
Kawasan nilai spiritual merupakan kelompok aksiologis yang ketiga. Dalam kehadiran nilai ini, nilai vital maupun nilai kenikmatan harus dikorbankan. Kita menangkap nilai melalui persepsi sentimental “spiritual”, dan di dalam kegiatan seperti misalnya preferensi spirital, cinta dan benci, yang seharusnya tidak dikacaukan dengan tindakan vital yang sesuai dengan nama yang sama.
Di dalam nilai spiritual, berikut ini dapat dibedakan secara hierarkis: (a) nilai keindahan dan kejelekan, dan berbagai nilai estetik murni yang lain; (b) nilai keadilan dan ketidakadilan, yang seharusnya tidak dikacaukan dengan ”benar” dan “salah”, karena ini mengacu pada satu urutan yang ditetapkan oleh hukum, dan yang tidak tergantung pada ide tentang Negara dan legislasi positif; (c) nilai “pengetahuan murni tentang kebenaran”, yang diusahakan untuk direalisasikan oleh filsafat, yang dilawankan dengan ilmu positif yang beraspirasi pada pengetahuan dengan tujuan untuk mengendalikan kejadian-kejadian.
Haruslah dicatat bahwa Scheler berbicara tentang nilai “pengetahuan” dan bukan tentang kebenaran itu sendiri; bagi dia, kebenaran tidak termasuk dalam semesta nilai. Nilai keilmuan ataupun nilai budaya merupakan “ nilai karena acuan” pada pengetahuan tersebut.
Di atas nilai spiritual terletak kelompok nilai yang terakhir, yaitu nilai kekudusan  dan nilai profan. Nilai religius tidak dapat direduksi menjadi nilai spiritual, dan memiliki keberadaan khas yang menyatakan diri kepada kita dalam berbagai objek yang hadir untuk kita sebagai yang mutlak.
Karena nilai pada umumnya tidak tergantung pada benda dan pada semua bentuk historis, maka dapat dimengerti bahwa Scheler mungkin menyatakan nilai religius sama sekali bersifat independen dalam kaitannya dengan segala sesuatu yang sejak semula dipandang suci dalam perjalanan sejarah, termasuk bagian “konsep Tuhan yang paling murni”.
Kondisi yang sesuai dengan nilai religius adalah kegembiraan yang luar biasa (ekstasi) dan kehilangan harapan (desperasi), yang diukur dari yang kudus. Reaksi khusus yang sesuai adalah keyakinan, pemujaan dan penyembahan. Sebaliknya, cinta merupakan aksi yang dengan itu kita menangkap nilai kekudusan.
Bagi Scheler, hubungan hierarkis nilai ini, yang dimulai dari kenikmatan menuju kekudusan, dengan menggunakan nilai vital dan spiritual, adalah aprioristik dan dengan demikian mendahului hubungan yang ada di antara benda-benda. Ia dapat diterapkan bagi benda dengan begitu saja karena ia berlaku bagi “nilai” yang hadir di dalam benda. Dalam pada itu Mulyana (2004:139) mengemukakan urutan atau hierarki nilai. Hierarki nilai itu secara berurutan adalah: nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan nilai kerohanian.

B. Obyek, Cara Memperoleh dan Kualitas Kebenaran Nilai Keagamaan
1.      Sumber dan Obyek nilai
Menurut Purwahadiwardoyo (1965: 97) sumber nilai yang menjadi landasan kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu, nilai ilahiah dan nilai insaniah. Nilai ilahiah, merupakan nilai yang diperintahkan oleh tuhan melalui para nabi dan rasulNya. Nilai ini mengandung kemutlakan dan kebenaran abadi bagi kehidupan manusia. Sedangkan, nilai insaniah, merupakan nilai yang tumbuh dan berkembang sesuai kesepakatan manusia, serta hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai-nilai insani akan melembaga menjadi tradisi-tradisi dan norma-norma sosial yang diwariskan secara turun-temurun, serta mengikat anggota masyarakat tertentu.
Sementara itu, sumber nilai meliputi ajaran agama, logika filsafat, teori ilmu, peraturan undang-undang, adat kebiasaan, dan karya seni. Adapun obyek nilai meliputi tingkah laku (perilaku relijius, karakter berfikir filosofis, sikap ilmiah, perilaku etis, dan perilaku estetis). Sebagai objek nilai, semuanya tampil sebagai aktualisasi nilai (Mulyana,2004:80).

2. Cara memperoleh nilai
Nilai diperoleh melalui dua cara yaitu melalui otak dan fungsi akal, serta melalui hati dan fungsi rasa. Ini menegaskan bahwa nilai pada diri seseorang dapat diperoleh melalui “pintu” panca indra yang diikuti oleh tataan berpikir logis atau logis-empiris, juga nilai diperoleh melalui “pintu” non-indra seperti intuisi atau wawasan (insight) yang diikuti tataan perasaan mistis.
 Secara umum, perolehan nilai melalui pintu otak berlangsung secara logis-empiris. Seperti diyakini oleh para fungsionalis, pengetahuan diperoleh melalui proses penginderaan, diikuti oleh sikap, kemudian melahirkan keyakinan, dan disusul oleh kesadaran. Semua itu berlangsung dalam proses berpikir yang terjadi dalam otak. Apabila pengetahuan sampai pada tingkat kesadaran, maka pengetahuan itu sudah setara dengan nilai, atau setidaknya nilai berada dalam tahapan proses keyakinan dan kesadaran seseorang. Tidak semua keyakinan atau kesadaran dalam pandangan funsionalis memiliki kualitas yang setara dengan nilai. Sebagai misal, keyakinan menurut pandangan fungsionalis dapat terjadi ketika seseorang merasa yakin bahwa di rumah tidak ada orang setelah pintu rumah itu diketuk beberapa kali dan tidak ada yang membukanya. Pada kasus ini keyakinan tidak setara dengan nilai, tetapi cara kerja keyakinan itu dalam otak memungkinkan bersemayamnya nilai-nilai.
Cara lain untuk menguraikan perolehan nilai melalui otak dapat dijelaskan dari cara pencarian kebenaran dan keutamaan melalui filsafat. Melalui cara berpikir secara mendalam, filsafat menemukan makna dari sesuatu yang abstrak atau makna yang ada “di belakang” obyek yang konkret. Cara berpikir filosofis yang mengunakan paradigma berpikir logis-abstrak memungkinkan otak berfungsi secara optimal  untuk menemukan makna yang tidak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan. Makna itu dapat menjadi rujukan (nilai) seseorang andaikata ia benar-benar meyakininya atau drumuskan ke dalam klausul-klausul normatif seperti dalam ajaran Marxisme. Nilai kebenaran dan keutamaan seperti itu diperoleh melalui pintu otak dengan jalan kontemplais filosofis.
 Berikutnya, nilai diperoleh melalui paradigma berpikir logis-empiris. Paradigma ini merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang selalu memerlukan bukti-bukti nyata dalam menguji kebenaran dan keutamaan sesuatu. Nilai yang diperoleh melalui jalan ini banyak mengungkapkan kebenaran teoritik seperti halnya dalam keyakinan para ilmuwan. Selain nilai kebenaran, kita dapat memperoleh nilai keutamaan yang terdapat dari teori-teori ilmu pengetahuan atau yang ditempuh melalui cara berpikir ilmiah. Nilai-nilai keutaman ini banyak kita temukan dalam cabang disiplin ilmu agama, ilmu sosial dan humaniora. Hal terpenting dari cara memperoleh nilai melalui paradigma ilmu pengetahuan terletak pada caranya yang harus logis-empiris. Cara ini berlaku untuk perolehan semua nilai yang dapat dipertanggungjawabkan melalui metode ilmiah yang berlangsung secara logico-hipotetico-verificatif  (buktikan bahwa itu logis, tarik hipotesis, dan ajukan bukti empiris) (Mulyana,2004:82).
Berbeda dari cara perolehan nilai melalui otak, cara memperoleh nilai melalui hati dan fungsi rasa  tidak lagi menyertakan pertimbangan logis (filsafat) atau logis-empiris (ilmu pengetahuan). Karena itu, perolehan nilai dalam paradigma ini hanya dapat ditangkap oleh ketajaman mata hati. Tuhan, malaikat, surga, jin, dan neraka merupakan alam ghaib yang kecerdasan otak tidak lagi mampu membuktikan secara tuntas melalui cara berpikir logis atau logis-empiris. Keitika otak berfilsafat, Tuhan dapat ditemukan. Ia adalah penyebab tunggal dari segala kejadian semesta alam. Namun kecerdasan otak dalam berfilsafat tidak akan mampu menjawab pertanyaan tentang Tuhan yang sangat hakiki. Demikian pula, ketika otak menggunakan cara berpikir ilmiah yang menuntut pembuktian logis-empiris, pengetahuan Tuhan secara hakiki dianggap tidak dapat memenuhi kriteria ilmiah. Otak yang berlimu itu tidak mampu membuktikan logico-hipotetico-verificatif yang memuaskan. Inilah yang disebut Ahmad Tafsir (2002) sebagai pengetahuan mistik yang derajatnya dapat disejajarkan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan ini masuk melalui “pintu” intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati. Jalan (thareqat) perolehan dan pencerahan nilai seperti ini digunakan oleh para kaum sufi yang mengalami pengembaraan batin pada wilayah supra-logis.
Kecuali itu, perolehan nilai secara mistik dapat terarah pada wilayah supra-natural. Sifat pengetahuan nilai pada wilayah ini sama seperti pada wilayah supra-logis. Ia tidak memenuhi kecukupan pengetahuan (sufficient-rationalis) untuk dipahami secara filosofis maupun ilmiah. Keberadaannya hanya dapat diterima oleh rasa. Pengetahuan nilai ini bukan lagi mistik biasa seperti yang dialami oleh kaum sufi, melainkan sebagai mistik magis, yang menurut Ahmad Tafsir jenis mistik ini terbagi lagi kedalam dua bagian, yaitu mistik-magis-hitam dan mistik-magis-putih. Contoh sederhana, perolehan nilai melalui mistik-magis-putih tercemin dalam keyakinan seorang ahli hikmah yang merawat do'a-do'a, tertentu karena dianggapnya memiliki kekuatan mujarab untuk mengobati penyakit. Sedangkan perolehan nilai melali mistik-magis-hitam tercermin dalam keyakinan seseorang yang memelihara jimat atas anggapan benda itu memiliki kekuatan supra-natural. Uraian ini membuktikan bahwa perolehan nilai tidak hanya dapat dicapai oleh otak beserta fungsi akalnya, tetapi juga oleh “kecerdasan” hati dan fungsi rasa (Mulyana,2004:83).

3. Ukuran Kualitas Nilai
Secara lebih dalam, ukuran kualitas nilai dijelaskan sebagai berikut.
a. Ukuran Kualitas Nilai Berdasarkan Patokannya
Ukuran kualitas nilai dapat ditetapkan dengan cara mengidentifikasi patokannya. Apa patokan kualitas nilai itu? Pertanyaan ini mudah dijawab. Patokan kualitas nilai adalah benar-salah (logis), baik-buruk (etis), dan indah-tidak indah (estetis). Jadi sebenarnya ukuran kualitas nilai dapat ditetapkan berdasrkan nilai-nilai dasar. Namun harap dicatat bahwa dalam tiga patokan nilai itu terdapat derajat kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dari Tuhan (theistik) dan dari manusia (humanistik) (Mulyana, 2004 :83).
b. Ukuran Kualitas Nilai Berdasarkan Perwujudannya
Ukuran kualitas nilai dpat ditetapkan melalui cara seseorang mewujudkan nilai. Karena itu pertanyaan yang perlu diajukan adalah: (1) Apakah perbuatan yang mengandung nilai kebenaran selalu baik? (2) Apakah perbuatan yang mengandung nilai kebaikan itu selalu benar? (3) Apakah perbuatan yang bernilai keindahan itu selalu baik? Pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk menggugurkan ukuran kualitas nilai yang didasarkan pada patokan benar-salah, baik-buruk, dan indah-tidak indah seperti telah dikemukakan di atas. Kualitas nilai di sini sudah dilekatkan pada perbuatan atau pada hasil karya seni seseorang. Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak sederhana. Kualitas nilai sudah dipikirkan secara inter-kualitas. Artinya, sebuah patokan nilai dalam suatu tindakan manusia dievaluasi melalui patokan nilai lain. Seperti pertanyaan tadi, nilai kebenaran dievaluasi oleh nilai kebaikan, nilai kebaikan dievaluasi oleh nilai kebenaran, dan nilai keindahan dievaluasi oleh nilai kebaikan.
“Tidak” adalah jawaban yang tepat untuk menjawab tiga pertanyaan tadi. Contoh konkretnya, seseorang menggunakan tangga untuk mencuri mangga orang lain. Ia dengan benar menggunakan tangga sebagai alat untuk naik, tetapi tindakan mencuri merugikan orang lain. Terbukti bahwa suatu tindakan yang benar tidak diikuti oleh kebaikan. Seorang mahasiswa belajar meresume buku tebal dengan baik, tetapi cara ia membaca seluruh isi buku sampai titik-komanya, padahal waktu untuk mengumpulkan tugas terbatas merupakan tindakan yang salah. Terbukti bahwa suatu tindakan yang baik tidak selalu diikuti oleh cara yang benar. Contoh lain, seorang membuat air mancur di pekarangannya dengan menggunakan air ledeng yang dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Membuat air mancur adalah sesuatu yang indah, tetapi cara ia menggunakan air ledeng yang membuat orang lain kekurangan air adalah sesuatu yang buruk. Terbukti bahwa nilai keindahan pada orang itu tidak selalu diikuti oleh nilai kebaikan.
Kalau kita urut lebih jauh, sebenarnya masih banyak peristiwa tindakan manusia yang mengandung ambiguitas nilai. Di sini saya tidak bermaksud untuk menjelaskan semua itu. Dengan tiga pertanyaan tadi diharapkan cukup untuk membuat kesimpulan bahwa ukuran kualitas nilai pada tindakan adalah relativitas (Mulyana. 2004 :85).
c. Ukuran Kualitas Nilai berdasarkan Derajat Kebenarannya
Ukuran kualitas nilai pada bagian ini lebih kompleks lagi, karena derajat kebenaran melibatkan dua dimensi syarat yang harus dipenuhi oleh nilai. Dimensi syarat pertama, nilai harus memenuhi pemikiran logis dalam filsafat, pemikiran logis-empiris dalam ilmu pengetahuan dan keyakinan mistik dalam pengetahuan mistik. Dimensi syarat kedua, nilai harus dapat memenuhi derajat kebenaran menurut manusia atau menurut Allah. Karena itu, untuk bagian ini ukuran kualitas nilai meliputi : logis-humanistik, logis-theistik, logis-empiris-humanitik, logis-empiris-theistik, mistik-humanistik, dan mistik-theistik.
1) Logis-Humanistik
Ukuran kualitas nilai yang logis-humanistik banyak kita temukan dalam kebenaran-kebenaran filsafat. Kebenaran ini dicapai berkat cogito ergo sum-nya Descrates yang berupaya yang melepaskan ikatan agama dari kebebasan berpikir. Cogito ergo sum berarti aku berpikir aku ada. Ini adalah bentuk keyakinan tertinggi bahwa manusia mampu menggunakan akalnya tanpa campur tangan aturan agama. Akibat dari keyakinan seperti ini, kebenaran pada wilayah filsafat sering kali melahirkan kebenaran menurut pandangan manusia tetapi belum tentu menurut pandangan Tuhan. Sebagai misal, liberalisme yang lahir dari pandangan filsafat rasionalisme banyak mengandung nilai kebenaran humanistik. Cara berpikir rasionalisme yang radikal (sampai ke akar permasalahan) tentang kehidupan manusia menghasilkan kesimpulan-kesimpulan logis bahwa agama adalah urusan pribadi, hak pribadi harus dihargai sepenuhnya, dan akal adalah alat satu-satunya untuk menyelesaikan kehidupan manusia. Cara pandang seperti ini memiliki harga nilai yang ditempuh secara logis berdasarkan kemampuan akal manusia. Itulah yang dimaksud dengan ukuran kebenaran nilai yang logis-humanistik.
2) Logis-Theistik
Dalam sejarah filsafat Yunani, garis berpikir para filosof ada yang sampai pada nilai-nilai ketuhanan. Ketika Socrates menyimpulkan bahwa hakikat kehidupan dibangun oleh keutamaan (arete) yang berlandaskan pada moral absolut, kesimpulan tersebut diambil secara logis melalu perenungan tentang hakikat kehidupan. Ujung pikiran logis ini adalah Tuhan. Demikian pula, ketika para filosof Islam menyimpulkan bahwa hakikat hidup manusia terletak pada jiwanya yang tak terbagi, ini pun sudah secara langsung melekatkan hasil pemikiran logis dengan Tuhan sebagai Pemilik jiwa manusia. Cara berpikir filosofis seperti itu tidak menempatkan akal sebagai tujuan melainkan sebagai alat untuk mencapai keutamaan-keutamaan hidup. Tuhan adalah tujuan akhir dari ikhtiar berpikir secara logis. Karena itu, hasil pemikiran para filosof ini mengandung kebenaran yang bersifat theistik. Inilah yang dimaksud dengan ukuran kebenaran nilai yang logis-theistik.
3) Logis-empiris-humanistik
Ukuran kebenaran ini dicapai oleh ilmu pengetahuan. Dengan menggunakan paradigma logis-empiris, ilmu pengetahuan telah melahirkan sejumlah teori tentang alam dan kehidupan manusia. Teori dihasilkan dari proses kerja ilmiah yang mengikuti kaidah-kaidah yang baku. Kaidah-kaidah baku itu ditempuh melalui cara berpikir logis, membuat hipotesis, dan membuktikan secara empirik. Cara kerja ilmiah seperti ini telah menempatkan ilmu pengetahuan sebagai bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Tetapi,  cara kerja ilmu sangat mungkin menghasilkan kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari manusia, oleh mansia, dan untuk manusia. Sebagai misal, lahirnya teori tentang Id, ego, superego, tabularasa dalam Psikologi, akal kolektif dalam Sosiologi, being-in-the –world dalam Psikologi Eksistensial, mengukuhkan kuatnya paham rasionalisme sebagai akar dari cara kerja ilmiah. Kebenaran-kebenaran memiliki nilai yang bersifat humanistik. Tetapi sifat humanistik yang dibedakan dari theistik tidak berlaku lagi ketika hal itu disifatkan pada kebenaran-kebenaran teori dalam disiplin ilmu alam. Pada ilmu pengetahuan ini, kebenaran teori berlaku universal dan selalu mengikuti hukum alam. Oleh karena itu, dalam IPA tidak mudah untuk memisahkan kadar nilai yang humanistik dari yang theistik. Dalam konteks pemahaman seperti ini, maka ukuran kualitas nilai yang berdasarkan pada derajat kebenaran logis-empiris-humanistik berlaku pada Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humoniora.
4) Logis-Empiris-Theistik
Ukuran kualitas nilai ini hanya berada dari segi derajat kebenaran kalau kita bandingkan dengan kualitas nilai yang logis-empiris-humanistik. Proses pencapaian kualitas nilai ditempuh secara ilmiah, yakni mengandalkan kecerdasan akal dalam berpikir logis, membuat hipotesis, dan menguji hipotesis dalam wilayah empiris. Namun kebenaran teori yang dicapai dari hasil telaahan secara ilmiah itu sampai pada nilai rujukan ilahiyah yang bersumber dari wahyu. Kebenaran seperti itu banyak dimiliki oleh teori-teori yang terdapat dalam cabang disiplin ilmu agama (Hadits, Fiqh, Syariah, Pendidikan Islam, dsb) atau dalam cabang disiplin ilmu iterdisipliner (Psikologi Agama, Sosiologi Agama, Antropologi Agama, dsb. Sebagai misal, teori tentang peneladanan (uswah) dalam pendidikan agama sering terbuktikan benar bahwa hal itu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan anak. Ini artinya, nilai kebenaran terdapat dalam teori peneladanan itu terbukti secara empirik dan dibenarkan secara logis. Selain itu, kebenarannya mengandung nilai-nilai theistik, karena peneladanan itu dilakukan dalam konteks ketaatan beragama.
5) Mistik-Humanistik
Ukuran kualitas nilai yang bersifat mistik-humanistik tidak lagi menggunakan cara kerja ilmiah. Meskipun bukti empirinya ada, pikiran logis tidak lagi berfungsi untuk menjelaskan hal yang mistik.
 Karena itu, pembenaran terhadap pengetahuan mistik dicapai melalui intuisi rasa. Kebenaran di sini identik dengan keyakinan mistik. Untuk beberapa pengetahuan mistik, keyakinan yang dijadikan rujukkan para pelaku mistik boleh jadi hanya sampai pada pemenuhan kebutuhan emosi manusia, tanpa mengikatkan diri pda kekuatan supra-logis yang Maha Pintar, yani Tuhan. Karena itu, mistik dapat berada pada wilayah supra-natural dengan kadar kebenaran yang bersifat humanistik. Kalau kita rujuk pendapat Ahmad Tafsir (2002), ukuran kebenaran nilai yang bersifat mistik-humanistik ini banyak terkandung dalam pengetahuan mistik-magis hitam atau lebih dikenal ilmu hitam seperti santet, pelet, atau ilmu kebeal. Pada wilayah pengetahuan ini ukuran kualitas nilai berada pada derajat kebenaran mistik-humanistik.
6) Mistik-Theistik
Ukuran kualitas nilai yang mistik-theistik memiliki cara kerja yang hampir sama dengan mistik-humanistik seperti telah dijelaskan di atas. Namun, pada keyakinan mistik-theistik, rujukan nilai akhirnya jelas. Tuhan adalah sentral dari kesadaran rasa yang berpusat dalam hati. Karena itu, keyakinan pada wilayah mistik ini memiliki kualitas kebenaran ilmiah atau dengan kualitas keyakinan mistik lainnya yang bersumber dari manusia. Wilayah mistik ini banyak diarungi oleh para kaum sufi yang melakukan pengembaraan batin untuk menemukan Tuhan pada dirinya. Mereka mencoba menghilangkan sebanyak mungkin unsur-unsur jasmaniah (nasut) dan memperbesar unsur rohaniah (lahut). Karena itu, nilai kebenaran dan keyakinan yang dicapai oleh kaum sufi selalu merujuk pada nilai-nilai ilahiyah. Inilah yang dimaksud dengan ukuran kualitas nilai yang mistik-theistik (Mulyana, 2004 :85-88).

C. Kegunaan dan Metode Nilai Keagamaan Dalam Memecahkan Masalah
1. Kegunaan Pengetahuan Nilai
Untuk menjelaskan kegunaan nilai bagi kehidupan manusia dapat dilacak dari posisi nilai yang berada dalam tiga wilayah pengetahuan manusia, yaitu wilayah fisosofis, wilayah ilmu pengetahuan, dan wilayah mistik. Kegunaan nilai dalam wilayah pengetahuan itu dijelaskan sebagai berikut.
a.  Kegunaan nilai dalam wilayah filsafat
Ketika suatu nilai kebenaran diperoleh melalui pemikiran filsafat, nilai tiu dapat dijadikan rujukan dalam menentukan cara hidup suatu masyarakat atau bangsa. Jika nilai kebenaran kemudian diakui secara luas dan benar-benar dijadikan rujukan dalam bermasyarakat atau berbangsa, maka status nilai bergeser dari nilai kebenarar filosofis ke arah nilai keyakinan edeologis. Pancasila misalnya, merupakan edeologi bangsa kita yang dirumuskan dari hasil pemikiran filosofis tentang nilai-nilai luhur bangsa. Nilai-nilai yang dicapai melalui pmikiran filosofis itu dikristalisasi ke dalam lima sila yang secara hierarkis menempatkan nilai ketuhanan sebagai nilai tertinggi, diikuti oleh nilai kodrat kemanusaan, kemudian nilai etis-filosofis persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial. Karena itu, William O’niel (2001) mengindikasikan bahwa hasil pemikiran filosofis yang tadinya elitis dapat menjadi keyakinan ideologis yang populis tatkala diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh suatu kelompok.
Namun pada batas-batas tertentu, nilai kebenaran yang dicapai melalui filsafat tidak selalu menjadi ideologi suatu bangsa. Kebenaran-kebenaran itu berfungsi sebagai rujukan nilai dalam memecahkan masalah yang spesifik. Sebagai misal, Filsafat Pendidikan menemukan kebenaran bahwa manusia adalah hewan yang dapat dididik (animal educandum). Kebenaran ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan suaha-usaha pendidikan ke arah menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak. Demikian pula, ketika Filsafat Pendidikan Islam menemukan adanya potensi keagamaan (hidayat al-diniyyat) dalam diri anak, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bagi pengembangan sistem pendidikan yang dapat menumbuhkan kesadaran beragama anak. Dengan demikian, nilai-nilai kebenaran atau keutamaan yang dicapai melalui filsafat berguna bagi penyelesaian masalah kehidupan manusia, mulai dari permasalahan yang lebih spesifik sampai pada permasalahan ideologi suatu bangsa (Mulyana, 2004:91).
b.  Kegunaan Nilai dalam wilayah Ilmu Pengetahuan
Teori-teori ilmu pengetahuan dapat dipastikan memiliki nilai. Setidaknya dalam teori itu terkandung nilai logis yang sekaligus mencerminkan tradisi kebenaran ilmu pengetauan. Dalam Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humioniora, nilai dapat kita temukan bukan saja sebagai nilai logis, tetapi juga sebagai nilai etis dan nilai estetis. Sebagai misal, teori struktur berpikir yang digagas Robert Kaplan (1966) dalam linguistik mencakup tiga nilai tersebut. Teori lilnguistik ini menyatakan bahwa orang Inggris memiliki proses berpikir yang linier (linear system), sedangkan orang Timur cenderung berputar (coil system). Nilai kebenaran logis dalam teori ini dapat diperoleh ketika kita berpikir bahwa pada kenyataan orang Inggris dan  orang Timur pada umumnya menggunakan cara berpikir demikian. Ketika orang Inggris mengemukakan pendapat, mereka cenderung to-the-point. Ini berbeda dari orang Timur pada umumnya yang tidak langsung pada sasaran yang dituju. Sedangkan nilai etis dalam teori linguistik itu dapat diperoleh dengan cara menelaah perilaku menghargai terhadap orang lain sebagai akibat dari cara berpikir kebahasaan yang berbeda. Boleh jadi, bagi orang Inggris etika berargumen dengan orang lain diungkapkan dengan terus terang. Tetapi, orang Timur tidak demikian. Etika berargumen perlu dikemas dalam bahasa yang tidak menyinggung perasaan orang lain. Demikian pula untuk nilai estetis. Nilai ini dapat kita peroleh dari dua teori tentang sistem berpikir itu dengan cara menelaah struktur keindahan bahasa. Meskipun nilai keindhan dalam berpikir itu relatif, tetapi unsur keindahan pasti ada dalam kedua teori itu. Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam teori linguistik itu dapat bermanfaat bagi pemahaman kita tentang latar belakang budaya bangsa, sekaligus untuk memperbaiki budaya berpikir.
Lebih khusus lagi, pada wilayah ilmu pengetahuan ini tidak sedikit teori-teori nilai yang telah digagas oleh para ahli nilai. Misalnya, teori klasifikasi nilai menurut Rokeach (1973) yang membagi nilai ke dalam nilai instrumental dan nilai terminal dapat dijadikan petunjuk bagi proses penyadaran nilai terhadap peserta didik. Teori nilai ini setidaknya dapat memberikan petunjuk bahwa penyadaran nilai perlu dimulai dari nilai-nilai instrumental sebelum sampai pada kesadaran nilai terminal. Sifat nilai instrumental yang lebih operasional dibanding nilai terminal kemungkinan proses penyadaran nilai berlangsung efektif. Sebagai misal, menanamkan rasa keindahan pada diri anak, guru dapat membiasakan hidup bersih pada anak didik ketika meeka berada di lingkungan sekolah. Inilah kegunaan teori nilai pada wilayah ilmu pengetahuan (Mulyana, 2004:92).
c.  Kegunaan Nilai dalam Wilayah Mistik
Kebiasaan para sufi untuk memperbanyak unsur rohani (lahut) dan membatasi unsur jasmani (nasut) merupakan bukti bahwa nilai ada dalam wilayah mistik. Hal ini dapat dipahami karena nilai menjadi rujukan bagi mereka dalam bertindak. Tidaklah mungkin kalau mereka tidak meyakini bahwa di sana ada sesuatu yang berharga. Karena itu, tindakan mereka yang diarahkan pada pencerahan batin melalui pengembaan rasa adlah upaya mereka dalam meraih nilai. Nilai ini bersifat mistik-theistik. Sumbernya dari Tuhan.
Nilai-nilai apa saja yang dikejar olah para sufi itu? Mudah diduga bahwa para sufi mengejar nilai-nilai yang bersifat ruhaniah, bukan jasmaniah. Karenanya, tema-tema abstrak yang secara spesifik digunakan oleh kaum sufi itulah nilai-nilai yang dijadikan rujukan mereka. Nilai itu dapat berupa nilai kemuliaan, nilai keutamaan, nilai kemaslahatan, dan nilai kesucian, yang semuanya berpusat pada nilai keyakinan mereka terhadap Tuhan. Lebih dalam lagi, para sufi selalu merindukan dirinya terisi oleh nilai yang melekat pada sifat-sifat Tuhan seperti nilai kemurahan dan nilai kasih sayang. Mereka berharap adanya kulminasi kesadaran nilai pada dirinya. Sebab itu, cara mereka menghuni dunia kehidupan batin sulit dipahami oleh orang yang tidak secara sukarela mengikuti relung kehidupan itu. Keyakinan terhadap nilai-nilai ini berguna bagi pencerahan hati agar hati dapat membimbing pikiran dan tindakan.
Sebenarnya masih ada nilai-nilai yang berkembang dalam wilayah mistik ini seperti dalam mistik-magis putih. Namun, kalau dilihat dari tujuannya mistik-magis ini agak berbeda dari mistik biasa yang dianut kaum sufi. Tujuan belajar mistik-magis putih ada kaitannya dengan kekuatan atau kepintaran dalam melakukan sesuatu. Karena itu, nilai kekuatan dan nilai kepintaran boleh jadi merupakan nilai yang paling diutamakan. Keyakinan terhadap nilai seperti itu bermanfaat untuk membantu orang lain atau untuk mempertahankan diri.

2. Cara Pengetahuan Nilai Menyelesaikan Masalah
Seperti dalam penjelasan terdahulu, cara pengetahuan nilai menyelesaikan masalah kehidupan manusia akan disajikan dengan cara membagi nilai ke dalam tiga wilayah, yaitu wilayah filsafat, wilayah ilmu pengetahuan, dan wilayah mistik. Cara ini dipandang efektif karena nilai berada dalam ketiga wilayah ini dan sifatnya melekat dalam keyakinan filosofis, ilmiah, dan mistik.
a.  Penyelesaian dalam Wilayah Filsafat
Ketika para filosofis berpikir tentang hakikat sesuatu, mereka pasti sampai pada terminologi nilai sebagai tema abstrak. Nilai kebenaran yang diyakini oleh Plato dan nilai keutamaan yang diyakini oleh Socrates adalah dua kesimpulan yang dihasilkan dari filsafat. Kesimpulan tentang kebenaran dan keutamaan itu dicapai melalui cara berpikir logis yang radikal tentang hakikat dari manusia dan hakikat kehidupan. Cara berpikir seperti itu dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah kehidupan saat ini, termasuk di dalamnya masalah nilai. Muncul pertanyaan, apakah nilai itu sebagai obyek yang diselesaikan oleh filsafat atau pengetahuan yang dapat menyelesaikan masalah secara filosofis? Kedua-duanya benar. Nilai dapat menjadi tema masalah yang hendak diselesaikan secara filosofis, juga dapat menjadi pengetahuan yang membantu menyelesaikan masalah kehidupan. Sebagai misal, masalah kenakalan remaja diprediksi menyertakan nilai-nilai yang destruktif seperti berkurangnya rasa keimanan, menurunnya kepercayaan kepada orang tua, kesukaan terhadap materi, atau menurunnya kejujuran pada kawula muda. Penyelesaian persoalan nilai itu dapat dibantu melalui pemikiran filosofis, dengan cara mencari akar permasalahannya. Tarohlah secara logis diduga kuat bahwa penyebab utamanya adalah paham materialisme yang merebak pada kawula muda. Maka logika berpikir filosofis menyatakan bahwa paham itu harus diberantas.
Ketika orang yang berpikir filosofis itu melakukan pemecahan masalah nilai, ia pasti memiliki pengetahuan tentang nilai. Kalau tidak, ia tidak akan tahu bagaimana menyelesaikan masalah itu. Contoh lain, seorang filosof pendidikan melihat bahwa akar permasalahan mutu pendidikan bukan terletak pada hal-hal yang bersifat instrumental, tetapi pada keyakinan filosofisnya. Cara berpikir demikian pasti berdasarkan pada pengetahuannya tentang nilai-nilai yang terkandung dalam filsafat pendidikan itu dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat pendidikan. Dengan demikian, pengetahuan nilai yang berada pada wilayah filsafat dapat menyelesaikan masalah kehidupan dengan cara menggunakan kerangka berpikir logis sebagai metodenya (Mulyana, 2004:94).
b.  Penyelesaian dalam Wilayah Ilmu Pengetahuan
Pada wilayah ini, nilai lebih mudah dipahami. Banyak teori nilai yang dapat menjadi pengetahuan kita. Pengetahuan tentang nilai dapat kita gunakan untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Seperti dalam persoalan kenakalan remaja tadi, pemecahan masalah dapat dilakukan melalui pengetahuan kita tentang nilai-nilai yang berada pada wilayah ilmu. Karena ilmu menuntut adanya bukti empirik, maka penyelesaian harus melalui tindakan pendidikan. Disinilah teori nilai berhubungan dengan Psikologi, Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, Politik, Budaya, Moral, dan Etika yang memberikan kejelasan tentang cara-cara penyelesaian masalah. Menurut Psikologi, nilai-nilai yang destruktif itu lahir karena kawula muda itu memiliki keyakinan nilai yang salah. Karenanya mereka harus dibimbing. Bagamana cara membimbingnya? Sosiologi menyarankan: Tanamkan perasaan saling membutuhkan antara anak dan orang tua! Apa yang mesti disertakan dalam bimbingan itu? Etika dan Moral berbicara: Isi pengetahuan dan kesadaran mereka  dengan nilai agama dan perasan tanggung jawab! Demikian pula, Ekonomi menyarankan: Berlakulah hemat agar hidup lebih sejahtera!
Pengetahuan tentang teori nilai juga dapat membimbing kita dalam penyelesaian masalah secara sistematis. Ketika anak didik memiliki kelemahan dalam mengapresiasi nilai, pengetahuan tentang Value Claririfation Technique (VCT) dapat menjadi salah satu cara untuk menyelesaikan masalah itu. Anak didik dibimbing untuk penimbang dan memilih nilai sesuatu dengan pengalaman dan kemampuan mereka. Dengan cara ini, mereka diharapkan memiliki tanggung jawab atas nilai-nilai yang dipilihnya. Selain itu, pengetahuan kita tentang metode keteladanan, metode pembiasaan, metode penanaman, dan prinsip evaluasi nilai jangka panjang dapat membantu kita dalam menciptakan pendidikan yang bermakna. Inilah cara ilmiah pengetahuan nilai menyelesaikan masalah pendidikan .
c.  Penyelesaian dalam Wilayah Mistik
Mistik adalah sesuatu yang diluar kemampuan pikiran logis manusia. Artinya kemampuan otak tidak lagi memiliki kemampuan mengolahnya secara berstruktur seperti dalam fisafat dan ilmu pengetahuan. Karena itu, nilai ditangkap bukan lagi oleh kecerdasan akal, melainkan melalui ketajaman mata hati. Kalau demikian, cara menyelesaikan permasalahannya pun berbeda. Di sini keyakinan hati harus dikedepankan, walaupun akal masih bertanya.
Sifatnya yang tidak logis, membuat penyelesaiannya pun tidak logis. Seorang remaja yang kecanduan narkotika (nilai destruktif) dapat sembuh melalui praktik wirid dalam jumlah terntentu. Cara ini sudah terbukti banyak hasilnya dibandingkan dengan pendekatan terapi psikologis yang kontemporer. Ada pula orang mengidap penyakit darah tinggi dapat sembuh karena ia sering pergi ke pengajian. Ini pun banyak terbukti. Jadi , fakta empiriknya memang ada. Tapi, mengapa hal ini terjadi? Pikiran logis tidak dapat menjawab. Inilah cara pengetahuan nilai menyelesaikan permasalahan pada wilayah mistik.
 
TUGAS!
Petunjuk  :
1.       Buatlah sebuah laporan penelitian yang berjudul “ORIENTASI NILAI BUDAYA SUNDA”. Nilai-nilai tersebut diklasifikasikan berdasarkan macam-macam nilai berdasarkan wilayah kajiannya.
2.       Sumber data diperoleh dari pribahasa yang masih digunakan dalam masyarakat yang tinggal disekitar anda. Jumlah responden sebanyak sepuluh (10) orang dari latar belakang dan status sosial ekonomi yang berbeda.
3.       Laporan Penelitian tersebut ditulis 1,5 spasi, huruf yang digunakan Times New Roman dengan ukuran 12 dengan jenis kertas A4.
Adapun formatnya sebagai berikut :
Halaman muka
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I.  Pendahuluan (2 halaman)
A.    Latar Belakang Masalah
B.     Rumusan Masalah
C.     Tujuan penelitian
D.    Manfaat dan kegunaan penelitian
E.     Metodologi Penelitian (metode penelitian yang digunakan, Lokasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data)
Bab II. Kajian Teori ( 4 halaman)
A.    Pengertian dan struktur nilai berdasarkan wilayah kajian
B.     Obyek, Cara Memperoleh dan Kualitas Kebenaran Nilai Keagamaan
C.     Kegunaan dan Metode Nilai Keagamaan Dalam Memecahkan Masalah
Bab III.Analisis dan Penafsiran Data (6 halaman)
  1. Analisis sumber data Primer
1.       Nilai Teoritik
2.       Nilai Ekonomis
3.       Nilai Estetik
4.       Nilai Sosial
5.       Nilai Politik
6.       Nilai Agama
  1. Analisis sumber data Sekunder
1.       Nilai Teoritik
2.       Nilai Ekonomis
3.       Nilai Estetik
4.       Nilai Sosial
5.       Nilai Politik
6.       Nilai Agama
Bab IV. Kesimpulan dan saran (2 halaman)
  1. Kesimpulan
  2. Saran
Daftar Pustaka

2 komentar: