NILAI KEAGAMAAN
A.
Pengertian
dan Struktur Nilai Keagamaan
1. Pengertian Nilai Keagamaan
Sebelum mengemukakan pengertian nilai
keagamaan terlebih dahulu perlu dikemukakan pengertian nilai secara umum. Dalam
bukunya yang berjudul Filsafat Nilai, Frondizi (2001:8), mengatakan
nilai merupakan kualitas yang tidak riil, dimana nilai suatu objek merupakan
sifat, kualitas atau suigeneris yang dimiliki objek tersebut.
Suatu nilai
adalah sebuah keyakinan, suatu cara bertindak yang spesifik, atau suatu keadaan
akhir dari eksistensi secara pribadi atau sosial yang lebih diingini. Sementara
itu Djahiri (1966 : 23), menyatakan bahwa nilai merupakan seperangkat ide,
gagasan, serta sesuatu yang berharga menurut standar logika, estetika, etika, agama,
dan hukum yang menjadi orientasi motivasi dalam berprilaku dan bersikap maka
nilai yang dianut dapat dijadikan standar dalam mengukur suatu aktivitas.
Nilai
merupakan wujud daripada afektif (affective domain) serta berada dalam
diri seseorang. Dan secara utuh dan bulat merupakan suatu sistem, dimana aneka
jenis nilai (nilai keagamaan, sosial budaya, ekonomi, hukum, etis, etik dll)
berpadu jalin menjalin serta saling meradiasi (mempengaruhi secara kuat)
sebagai suatu kesatuan yang utuh. Sistem nilai ini sangat dominan/kuat
menentukan perilaku dan kepribadian seseorang. Sangat berpengaruh karena
merupakan pegangan emosional seseorang (values are powerful emotional
commitment ; - Fraenkel dalam Djahiri ,2004 : 18).
Menurut Rokeach (1980:160) :
“Value, unlike an attitude, is a
standard or yardstick to guide actions, attitudes, comparisons, evaluations and
justifications of self and others”.
Maksudnya nilai berbeda dengan sikap. Ia
adalah standar atau ukuran untuk mengarahkan
perbuatan, sikap, perbandingan, penilaian, dan pembenaran diri atau
orang lain.
Menurut Mulyana (2004: 78) Nilai adalah
rujukan dan keyakinan dalam menentukan
pilihan. Rujukan itu dapat berupa norma, etika, peraturan undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan rujukan
lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang. Nilai
bersifat abstrak, berada dibelakang fakta, melahirkan tindakan, melekat dalam
moral seseorang, muncul sebagai ujung proses
psikologis, dan berkembang ke arah yang lebih kompleks. Hal itu sesuai
dengan pernyataan Shaver (dalam Hersh at.all, 1980:27), berikut ini:
“Values are standards and principles
for judging worth. They are the criteria by which we judge things (people,
object, ideas, actions, and situations) to be good, worthwhile, desirable or,
on the other hand, bad, worthless, despicable or, of course, somewhere in
between these extremes”.
Makna nilai adalah standar dan prinsip
untuk menilai sesuatu yang berharga (manusia, benda, gagasan-gagasan,
perbuatan, dan situasi) yang bagus, berguna, yang diinginkan atau sebaliknya
buruk, tidak berharga, diantara perbedaan-perbedaan itu.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas
dapat dinyatakan bahwa nilai keagamaan adalah rujukan dan keyakinan dalam
menentukan pilihan yang bersumber dari
agama. Rujukan dan keyakinan tersebut berupa ide yang ada dalam pikiran
yang dapat mengarahkan perilaku, penilaian, dan menentukan pilihan.
Yang dimaksud dengan nilai keagamaan
disini adalah nilai yang bersumber dari agama Islam (Ilahiah) dan
nilai-nilai yang bersumber dari hasil pemikiran atau perasaan manusia (insaniah)
yang relevan atau tidak bertentangan dengan nilai Ilahiah.
2. Struktur Nilai Keagamaan
Uraian di atas menunjukan bahwa nilai
sebagai penentu perilaku dan kepribadian serta memiliki struktur.
Kategori nilai yang paling elementer terletak
pada nilai dasar dan sifatnya logis, etis dan estetis. Nilai dasar ini berada
pada wilayah nilai tersendiri yang perlu dibedakan dari jenis nilai lainnya
yang terdapat dalam katagoresasi-kategorisasi dan hirarkhi nilai. Dengan
demikian, struktur nilai dapat dijelaskan berdasarkan :
a. Kategori Nilai Dasar
Nilai dasar adalah nilai yang menjadi inti
nilai-nilai lainnya. Nilai dasar tersebut meliputi nilai logis, nilai etis, dan
nilai estetis.
b. Kategori Wilayah Kajian
Dalam teori nilai yang digagasnya,
Spranger (Allport, 1964) menjelaskan adanya enam orientasi nilai yang sering
dijadikan rujukan oleh manusia dalam kehidupannya. Dalam pemunculannya, enam
nilai tersebut cenderung menampilkan sosok
yang khas terhadap pribadi seseorang. Karena itu, Spranger merancang
teori nilai itu dalam istilah tipe manusia (the types of man), yang berarti setiap orang memiliki orientasi yang lebih
kuat pada salah satu diantara enam nilai yang terdapat dalam teorinya.
Enam nilai yang dimaksud adalah nilai teoritik, nilai ekonomis, nilai estetik,
nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama (Mulyana, 2004:33). Nilai-nilai
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1). Nilai Teoritik
Nilai ini melibatkan pertimbangan logis
dan rasional dalam memikirkan dan membuktikan kebenaran sesuatu. Nilai teoritik
memiliki kadar benar-salah menurut pertimbangan akal pikiran. Karena itu, nilai
ini erat degan konsep, aksioma, dalil, prinsip, teori, dan generalisasi yang
diperoleh dari sejumlah pengamatan dan pembuktian ilmiah. Kadar kebenaran
teoritik muncul dalam beragam bentuk sesuai dengan wilayah kajiannya. Kebenaran
teoritik filsafat lebih mencerminkan hasil
pemikiran radikal dan komprehensif atas gejala-gejala yang lahir dalam
kehidupan; sedangkan kebenaran ilmu pengetahuan
menampilkan kebenaran obyektif yang dicapai dari hasil pengujian dan pengamatan yang mengikuti norma ilmiah. Karena
itu, komunitas manusia yang tertarik pada nilai ini adalah filosof dan
ilmuwan. (Mulyana, 2004:33).
2). Nilai Ekonomis
Nilai ini terikait dengan pertimbangan
nilai yang berkadar untung-rugi. Obyek yang ditimbangnya adalah “harga” dari
suatu barang atau jasa. Secara praktis nilai ekonomi dapat ditemukan dalam
pertimbangan nilai produksi, pemasaran, konsumsi barang, perincian kredit
keuangan, dan pertimbangan kemakmuran hidup secara umum. Kelompok manusia yang memiliki minat kuat terhadap nilai ini
adalah para pengusaha, ekonom, atau setidaknya orang yang memiliki jiwa
materialistik (Mulyana, 2004:33).
3).
Nilai Estetik
Nilai estetik menempatkan nilai
tertingginya pada bentuk dan keharmonisan. Apabila nilai ini ditilik dari sisi
subyek yang memilikinya, maka akan muncul kesan indah-tidak indah. Nilai
estetik ini lebih mengandalkan pada hasil penilaian pribadi seseorang yang bersifat
subyektif. Nilai estetik banyak dimiliki
oleh para seniman seperti musisi, pelukis, atau perancang model (Mulyana,
2004:34).
4). Nilai Sosial
Raven (1977: 220 dalam Nursasongko, 2001:
42) mendefinisikan nilai sosial sebagai berikut :
Social values are set of society
attitude considered as a truth and it is become the standard for people to act
in order to achieve democratic and harmonious life. The values are used as
standards to act and to construct a sincere relationship among the society.
Raven menjelaskan bahwa nilai-nilai sosial
merupakan seperangkat sikap masyarakat yang dihargai sebagai suatu kebenaran
dan dijadikan standar untuk bertingkah laku guna memperoleh kehidupan
masyarakat yang demokratis dan harmonis. Nilai sosial tersebut digunakan sebagai
acuan atau pedoman untuk bertingkah laku guna menata hubungan sesama warga
masyarakat secara sukarela.
Nilai tertinggi yang terdapat pada nilai
ini adalah kasih sayang antar manusia. Karena itu kadar nilai ini bergerak pada
rentang antara kehidupan yang individualistik dengan altruistik. Sikap tidak
berpraduga jelek terhadap orang lain, sosiabilitas, keramahan, dan perasaan
simpati dan empati merupakan perilaku yang menjadi kunci keberhasilan dalam
meraih nilai sosial. Dalam psikologi sosial, nilai sosial yang paling ideal
dapat dicapai dalam konteks hubungan interpersonal, yakni ketika seseorang
dengan yang lainnya saling memahami. Sebaliknya, jika manusia tidak memiliki
perasan kasih sayang dan pemahaman terhadap sesamanya, maka secara mental ia
hidup tidak sehat. Nilai sosial banyak dijadikan pegangan hidup bagi orang yang
senang bergaul, suka berderma, dan cinta sesama manusia atau yang dikenal
sebagai sosok filantropik (Mulyana, 2004:34).
5) Nilai Politik
Nilai tertinggi dalam nilai ini adalah
kekuasaan dengan kadar nilainya yang
bergerak dari intensitas pengaruh yang rendah sampai pada pengaruh yang tinggi (otoriter). Kekuatan
merupakan faktor penting yang berpengaruh terhadap pemilikan nilai
politik pada diri seseorang yang kurang tertarik pada nilai ini. Dalam kontek persaingan nilai politik ini brsifat
universal, namun apabila dilihat dari kadar pemilikannya nilai politik
memang menjadi tujuan utama orang tertentu,
seperti para politisi atau penguasa (Mulyana, 2004: 35).
6) Nilai Agama
Secara hakiki sebenarnya nilai ini
merupakan nilai yang memiliki dasar kebenaran yang paling kuat dibandingkan
dengan nilai-nilai sebelumnya. Nilai ini bersumber dari kebenaran tertinggi
yang datangnya dari Tuhan. Struktur mental manusia dan kebenaran mistik-transendental
merupakan dua sisi unggul yang dimiliki nilai agama. Nilai tertinggi yang
harus dicapai adalah kesatuan (unity) yaitu adanya keselarasan semua
unsur kehidupan; antara kehendak manusia dengan perintah Tuhan, antara ucapan
dan tindakan, atau antara ‘itiqad dengan perbuatan. Spranger melihat
bahwa pada sisi nilai inilah kesatuan filsafat hidup dapat dicapai. Di antara
kelompok manusia yang memiliki orientasi kuat terhadap nilai ini adalah para
nabi, imam, atau orang-orang yang shaleh (Mulyana, 2004:35).
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat
dinyatakan bahwa nilai agama mencakup juga nilai-nilai teoritis, nilai ekonomi,
nilai politik, nilai sosial, dan nilai estetis. Hal ini tergambar dalam lima
dimensi ajaran Islam, yaitu ritual, mistikal, ideologikal, intelektual dan
sosial. Dimensi ritual berkenaan dengan upacara-upacara keagamaan, seperti;
salat, misa atau kebaktian. Dimensi mistikal menunjukan pengalaman keagamaan
yang meliputi paling sedikit tiga aspek: concern,
cognition, trusts dan fear. Keinginan untuk mencari
makna hidup, kesadaran akan kehadiran Yang
Mahakuasa, tawakal, dan takwa, adalah dimensi mistikal. Dimensi
ideologikal mengacu pada serangkaian kepercayaan yang menjelaskan eksistensi
manusia vis-à-vis Tuhan dan makhluk Tuhan yang lain. Pada dimensi inilah, umat
beragama, khususnya orang Islam, memandang
manusia sebagai wakil Tuhan di bumi (khalifatullah fi al-ardh)
yang dipandang mengemban tugas luhur untuk mewujudkan kehendak Allah di bumi. Dimensi intelektual menunjukan tingkat pemahaman orang terhadap kedalaman doktrin-doktrin
serta ajaran-ajaran agama yang
dipeluknya. Dimensi sosial disebut Glock dan Stark sebagai consequential
dimensions adalah manifestasi ajaran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Ini meliputi seluruh perilaku yang didefinisikan
oleh agama (Rahmat,
1989:38).
Dengan demikian nilai teoritis terdapat
dalam dimensi intelektual. Nilai ekonomi dan social terdapat dalam dimensi
social (muamalat), nilai tauhid dan politik terdapat dalam Dimensi
ideologikal, nilai etis dan estetis terdapat dalam Dimensi mistikal (ikhsan,
akhlak dan adab). Adapun dimensi ritual mengandung nilai kepatuhan.
Hal itu tergambar pula dalam maqashidu
al-tasyri’iyah (tujuan perundang-undangan Islam). Pembuat hukum (syari’)
dalam menciptakan syari’at
(undang-undang) bertujuan untuk merealisir kemaslahatan umum,
memberikan kemanfaatan dan menghindarkan kemafsadahan bagi ummat manusia
(Yahya, at. al., 1986: 333). Hal ini berarti kemaslahatan dan kebaikan
merupakan nilai terakhir yang hendak dicapai oleh syara’. Tujuan umum
tersebut adalah memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
c. Klasifikasi Nilai
Klasifikasi nilai berarti pengelompokan
nilai. Klasifikasi nilai tersebut meliputi: nilai terminal dan nilai
instrumental, nilai instrinsik dan nilai ekstrinsik, nilai personal dan nilai
sosial, nilai subyektif dan nilai obyektif (Mulyana, 2004: 78).
1). Nilai Terminal dan Nilai Instrumental
Menurut Rokeach (1980:160) “an instrumental
value is therefore defined as a single belief that always takes the following
form: “ I believe that such-and-such a mode of conduct (for example, honesty,
courage) is personally and socially preferable in all situations with respect
to all objects.” Nilai instrumental adalah cara bertindak (seperti
kejujuran, keberanian) baik secara personal dan sosial lebih disukai
dalam seluruh keadaan yang berkenaan dengan semua sasaran.
Sedangkan nilai terminal “ Terminal value
takes a comparable form: I believe that
such-and-such an end-state of existence (for example, salvation, a world at
peace) is personally and socially worth striving for.” Nilai terminal adalah suatu keadaan akhir (seperti,
keselamatan, perdamaian dunia) baik secara personal atau sosial untuk
mendapatkan sesuatu yang berharga.
Hal
ini menujukan bahwa nilai instrumental adalah nilai antara, sedangkan nilai terminal adalah nilai akhir.
Berikut ini tabel kedua nilai tersebut:
Nilai Instrumental
|
Nilai Terminal
|
Bercita-cita keras
Berwawasan luas
Berkemampuan
Ceria
Bersih
Bersemangat
Pemaaf
Penolong
Jujur
Imajinatif
Mandiri
Cerdas
Logis
Cinta
Taat
Sopan
Tanggung jawab
Pengawasan diri
|
Hidup nyaman
Hidup bergairah
Rasa berprestasi
Rasa kedamaian
Rasa keindahan
Rasa persamaan
Keamanan keluarga
Kebebasan
Kebahagiaan
Keharmonisan diri
Kasih sayang yang matang
Rasa aman secara luas
Kesenangan
Keselamatan
Rasa hormat
Pengakuan sosial
Persahabatan abadi
Kearifan
|
Secara kronologis kejadian nilai pada diri individu, mengikuti
urutan nilai seperti yang dikemukakan oleh Rokeach. Perilaku yang muncul saat seseorang
memelihara hidup bersih, misalnya, berujung pada nilai akhir yang secara
internal telah secara konsisten dimilikinya yaitu keindahan atau kesehatan.
Dalam pengertian ini pula bahwa nilai-nilai yang bersifat instrumental atau
nilai perantara lebih sering muncul dalam perilaku secara eksternal, pada
lapisan luar sistem perilaku dan nilai, sedangkan untuk nilai terminal atau
nilai akhir lebih bersifat inherent, tersembunyi di belakang nilai-nilai
instrumental yang diwujudkan dalam perilaku. Sisi lain yang dapat membedakan
antara nilai instrumental dengan nilai terminal adalah nilai instrumental
muncul dalam beragam bentuk yang lebih spesifik, sedangkan nilai terminal
berada pada bentuk tunggal yang bermakna umum dalam konteks cakupan nilai-nilai
instrumental terkait (Mulyana, 2004: 28).
2) Nilai Intrinsik Dan Nilai Ekstrinsik
Dalam istilah lain dari nilai instrumental
atau nilai prantara sering disebut nilai ekstrinsik. Lawan dari nilai
ekstrinsik adalah nilai intrinsik yang sepadan artinya dengan nilai terminal
atau nilai akhir. Sama seperti dalam penjelasan sebelumnya, keberadaan hubungan
antara satu nilai dengan yang lainnya tidak berdiri sendiri (mutually
exclusice).
Sesuatu dikatakan memiliki nilai intrinsik
jika hal tersebut dinilai untuk kebaikannya sendiri, bukan untuk kebaikan hal
lain, sedangkan sesuatu memiliki niliai ekstrinsik apabila hal tersebut menjadi
prantara untuk mencapai hal lain. Misalnya, pemilikan pengetahuan dapat menjadi
nilai intrinsik, dalam arti hal yang dinilai untuk kebaikannya sendiri,
sedangkan berperilaku rajin dalam menuntut ilmu, kelengkapan sarana,
kelengkapan sumber dan kedisiplinan belajar merupakan nilai-nilai ekstrinsik,
yakni nilai yang menjadi perantara tercapainya pemilikan pengetahuan seseorang.
Contoh itu menyiratkan bahwa sebuah nilai intrinsik dapat dijabarkan kedalam
sejumlah nilai ekstrinsik yang mendukung terpelihara dan tercapainya nilai
intrinsik.
Untuk hal tertentu, kedua nilai dapat dimiliki
secara bersamaan. Hal mengenai kepemilikan pengetahuan misalnya, dapat dinilai
sebagai sesuatu yang baik dalam pengetahuan itu sendiri atau ia berada pada
posisi nilai intrinsik. Tetapi ketika pemilikan pengetahuan itu menjadi
perantara bagi tercapainya nilai lain,
seperti keberhasilan ekonomi atau pengaruh kekuasaan, maka ia berada pada posisinya sebagai nilai
ektrinsik. Contoh lain, keikhlasan dapat menjadi nilai intrinsik ketika
diperjuangkan melalui perilaku suka
menolong, mengamalkan ilmu, sungguh-sungguh dalam bekerja, dan tawakal.
Tetapi ketika keikhlasan diangkat kepermukaan sebagai wacana “seolah-olah
ikhlas”, padalahal keikhlasan hanya dijadikan sebagai perantara bagi
tercapainya kerelaan orang lain untuk menyumbang dan membantu dirinya, maka
posisi keikhlasan ditempatkan sebagai nilai ekstrinsik.
Kedudukan nilai intrinsik lebih permanen dan
secara hirarkis lebih tinggi dari nilai ekstrinsik. Oleh karena itu, Titus
(1979 dalam Mulyana, 2004:29) menyatakan bahwa: “Intrinsic values are to be
preferrred to those that are extrinsic”. Dalam arti kata, nilai intrinsik
merupakan nilai yang lebih baik dari pada nilai ekstrinsik. Karena dalam
perjalanan kehidupan jangka panjang manusia, niliai intrinsik yang bersumber
dari nilai sosial, intelek, estetika, dan agama cenderung memberikan kepuasan
yang lebih permanen dari pada nilai-nilai ekstrinsik yang kerap lahir dalam
tampilan nilai material. Selain itu, dalam memilih nilai seseorang harus
berlandaskan pada inilai intrinsik (nilai akhir) yang sesuai dengan keyakinan
kita dan konsisten dengan tuntutan kehidupan. Dengan demikian, kita tidak
mengalami distorsi nilai dalam arti menempatkan nilai bukan pada posisi yang
seharusnya.
Dalam konteks pemahaman agama, nilai
intrinsik merupakan nilai yang paling esensial dan berlaku universal. Dalam
nilai-nilai intrinsik inilah, nilai kebajikan antar satu agama dengan agama
lainnya dapat bertemu sebagai kebenaran yang obyektif. Karena itu pada wilayah
nilai ini, atas dasar kesamaan harga nilai intrinsik dan kecenderungan bahwa
semua agama pada dasarnya memiliki nilai
kebajikan, banyak orang yang beranggapan bahwa semua agama sama; yakni bermisikan kebajikan dan
keselamatan. Yang membedakan antara
satu dengan lainnya hanyalah pada sistem keyakinan yang tersembunyi
serta artifak-artifak dan ritual yang tampak. (Mulyana, 2004 :29).
Menurut Alport (dalam Rahmat, 1989: 26)
ada dua macam cara beragama: yang ekstrinsik dan yang intrinsik. Yang
ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu untuk dimanfaatkan, dan bukan untuk
kehidupan, something to use but not to live. Orang berpaling kepada Tuhan,
tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama digunakan untuk menunjang
motif-motif lain: kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri. Orang yang
beragama dengan cara ini, melaksanakan bentuk-bentuk luar dari agama, ia puasa,
salat, naik haji, dan sebagainya tetapi tidak di dalamnya. Kata Alport, cara
beragama seperti ini memang erat kaitannya dengan penyakit mental. Saya ingin
menyatakan bahwa cara beragama semacam ini tidak akan melahirkan masyarakat
yang penuh kasih sayang. Sebaliknya, kebencian, irihati, dan fitnah masih akan
tetap berlangsung.
Pada yang kedua, yang intrinsik, yang
dianggap menunjang kesehatan jiwa dan kedamaian masyarakat, agama dipandang
sebagai comprehensive commitment, dan driving integrating motive,
yang mengatur seluruh hidup seseorang. Agama diterima sebagai faktor pemadu (unifiying
factor). Cara beragama seperti ini, terhunjam ke dalam diri penganutnya.
Hanya dengan cara itu kita mampu menciptakan lingkungan yang penuh kasih
sayang.
3)
Nilai
Personal dan Nilai Sosial
Selain cara klasifikasi nilai berdasarkan
urutan kejadian nilai ada pula yang membedakan nilai berdasarkan derajat
kedekatan nilai dengan pemilik nilai (individu) dan derajat manfaat nilai bagi
orang lain (sosial). Misalnya, suatu prestasi akademik yang sering
diidentifikasi melalui indikator-indikator perilaku seperti memiliki rangking
bagus, aktif dalam belajar di kelas, mengerjakan tugas tepat waktu, atau
memperoleh nilai tes yang bagus lebih menunjukan pada konsep nilai skolastik
tertentu yang bersifat personal, bukan sosial.
Sementara itu, ketika suatu nilai
interpersonal diidentifikasi melalui indikator-indikator
yang lebih bermakna moral-etik seperti mampu memaafkan orang lain, memiliki rasa empati, memiliki
sosiabilitas yang tinggi, atau ramah kepada orang lain, hal tersebut
lebih merujuk pada nilai yang bersifat sosial.
Nilai-nilai yang bersifat personal terjadi
dan terkait secara pribadi atas dasar dorongan-dorongan yang lahir secara
psikologis dalam diri seseorang, sedangkan nilai-nilai yang bersifat sosial
lahir karena adanya kontak secara psikologis maupun sosial dengan dunia luar
yang dipersepsi atau disikapi. Jenis nilai kedua yang disebutkan di atas lebih
dikenal dengan nilai-nilai moral (moral values).
Cara pengklasifikasian nilai berdasarkan
personal dan sosial ini, menurut Monica Thapar (2003) terjadi sebagai
konsekuensi dan kecenderungan umum bahwa seseorang berpegang pada nilai
tertentu dikarenakan dia melihat adanya manfaat dari realisasi nilai tersebut
bagi orang lain. Atas dasar kecenderungan inilah maka muncul klasifikasi nilai
sesuai dengan orientasi nilai, yakni berdasarkan tingkat kedekatan hubungan
antara nilai dengan pemilik nilai dan hubungan antara nilai dengan orang lain
yang merasakan manfaat dari nilai yang
diwujudkan. Pendekatan ini, menurut Thapar mengarahkan pada klasifikasi
nilai, yaitu: (1) nilai yang berorientasi pada diri, dan (2) nilai yang
berorientasi pada orang lain (Mulyana, 2004: 30).
Didalam Islam, tugas-tugas kemasyarakatan
(muamalah) mempunyai kedudukan sedemikian penting, sehingga dihargai
lebih tinggi daripada ibadah-ibadah ritual (mahdhah) (Rahmat, 1989: 46).
Ibadah mahdhah mengandung nilai-nilai personal, sedangkan muamalah
mengandung nilai-nilai sosial. Ibadah mahdah adalah ibadah ritual,
adalah hubungan antara makhluk dengan Tuhannya ia bersifat personal. Ibadah ghair
mahdhah adalah ibadah sosial, yaitu hubungan antara makhluk dengan
sesamanya, ia bersifat sosial. Ibadah yang mengandung nilai dan arti sosial,
lebih penting dibandingkan dengan ibadah personal. (Rahmat, 1989:48)
4) Nilai Subyektif dan Nilai Obyektif
Nilai itu objektif jika ia tidak
tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai; sebaliknya, nilai itu
subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat
psikis ataupun fisis (Frondizi, 2001: 20). Menurut Frondizi (2001: 33) tidak
semua nilai mesti subjektif atau objektif. Menurutnya ada nilai yang subjektif,
objektif, dan ada pula yang objektif sekaligus subjektif.
Nilai yang paling rendah, yaitu nilai
kenikmatan bersifat subjektif. Yang menjadi
sumber kenikmatan atau ketidak nikmatan adalah subjek bukan objek.
Misalnya seseorang lebih suka pada anggur sementara yang lainnya lebih suka
pada madu. Perbedaan preferensi (pilihan) mungkin disebabkan oleh idiosinkrasi (kekhasan) pribadi, atau karena
kebiasaan yang dianut, karena hidup dalam
satu negara atau negara yang lainnya. Inilah yang dimaksudkan dengan
peribahasa “de gustibus non disputandum”, masalah selera tidak dapat diperdebatkan, karena itu merupakan satu pengakuan
atas lebih menonjolnya yang subjektif atas yang objektif pada atas
aksiologis yang paling rendah.
Adapun nilai objektif terletak pada nilai
tertinggi seperti nilai etis. Keadilan atau ketidak adilan, kejujuran dan
kebohongan dan lain-lain, tidak didasarkan pada kondisi psikis, fisik atau
sosial tertentu. Semua itu bersifat universal. Nilai etis memiliki kekuatan
besar yang memaksa kita untuk menerimanya, sekalipun itu bertentangan dengan
hasrat, kecenderungan, dan kepentingan pribadi kita. Setidak-tidaknya, nampak
bahwa unsur objektivitas dalam arti ini jauh lebih besar daripada apa yang
terdapat di dalam penghargaan terhadap apa yang merupakan kenikmatan.
Di
antara kedua ekstrem ini orang menemukan nilai yang lain: kegunaan, vital, estetik. Dalam kelompok yang
terakhir ini keseimbangan antara yang subjektif dengan yang objektif
nampaknya jauh lebih besar, meskipun juga beraneka ragam sesuai dengan hakikat
nilai estetik. Misalnya, unsur subjektif yang menonjol di dalam nilai kebagusan
sebuah baju – tidak mungkin terpisah
dari model dan unsur yang lebih langsung lainnya – yang tidak ada manakala kita mempertimbangkan
keindahan sebuah lukisan.
Nilai keagamaan merupakan nilai etis yang
bersumber dari agama. Sebagaimana nilai
etis, nilai keagamaan bersifat objektif. Nilai tersebut antara lain keberanian, kesederhanaan, bijaksana, dan
adil. Keempat nilai ini merupakan
nilai utama yang pokok (Thabathaba’i, 1991:
227). Masing-masing dari keempat pokok akhlak yang utama tersebut
mempunyai cabang-cabang. Hubungan antara
cabang-cabang ini dengan pokok-pokok di atas adalah seperti hubungan
antara spesies (al-nau’) dengan jenis (al-jins). Lalu cabang-cabang dari empat pokok akhlak yang utama itu mempunyai
ranting-ranting, dan begitu seterusnya.
Keutamaan-keutamaan yang merupakan
bagian-bagian atau cabang-cabang dari sikap al-iffat (sederhana)
mencakupi al-haya’ (malu), al-sakha (dermawan), al-di’ah
(tenang), al-wara’ (wara’), al-shabr (sabar), al-wiqar
(anggun berwibawa), al-hurriyyat (integritas), al-musalamat
(lembut), al-qana’at (puas), husnu al-huda (optimis atau
berpengharapan), al-damalsat (loyal), dan al-intizham (disiplin).
Bagian-bagian atau ranting al-sakha’ (dermawan) meliputi al-karram (murah
hati), al-musamihat (pengampunan), al-samahat (tangan terbuka), al-nail (rela),
al-nuwasat (berbakti), dan al-itsar (mementingkan orang lain).
Al-haya (rasa malu) adalah tindakan
menahan diri karena takut melakukan hal-hal
yang tidak senonoh, dan kehati-hatian menghindari celaan dan hinaan.
Al-di’at (tenang) adalah kemampuan seseorang untuk menguasai dirinya
dan tidak dilanda gejolak hawa nafsu.
Al-wara’ (wara’) merupakan pencetakan diri agar senantiasa berbuat
baik, sehingga mencapai kesempurnaan jiwa.
Al-shabr (sabar) adalah tegarnya diri tehadap gempuran hawa nafsu,
sehingga tidak terjebak busuknya kenikmatan duniawi.
Al-wiqar (anggun berwibawa) adalah ketegaran jiwa dalam menghadapi
gejolak tuntutan duniawi.
Al-hurriyyat (integritas) adalah kebajikan jiwa yang membuat
seseorang mencari harta di jalan yang benar,
mendermakan harta itu di jalan yang benar pula, serta menahan diri agar
tidak mencari harta di jalan yang tidak benar.
Al-musalamat (lembut) adalah lembut hati yang sampai ke jiwa dari
watak yang bebas dari kegelisahan.
Al-qana’at (puas) adalah
tidak berlebihan dalam makan, minum dan berhias.
Husn al-huda (optimis) merupakan keinginan melengkapi jiwa dengan
moral yang mulia.
Al-damatsat (loyal) adalah sikap jiwa yang tunduk pada hal-hal yang
terpuji, serta bersemangat mencapai kebaikan.
Al-intizham (disiplin) adalah kondisi jiwa yang membuat jiwa menilai
dan menatanya dengan benar.
Sikap-sikap keutamaan yang merupakan
ranting-ranting atau bagian-bagian dari sikap dermawan :
Al-karram (murah hati) merupakan kecenderungan untuk mudah
menginfakkan hartanya di jalan yang berhubungan dengan hal-hal yang agung dan
banyak memanfaatkannya juga selaras dengan kondisi lain.
Al-musamihat (tangan terbuka) adalah membelanjakan sebagian apa yang
tidak boleh dibelanjakan.
Al-nail (rela) adalah bergembira hati dalam berbuat baik dan suka
pada perbuatan itu.
Al-musawat (berbakti) adalah menolong teman atau orang yang berhak
ditolong, dan memberi mereka uang dan makanan.
Al-itisar (mementingkan orang lain) merupakan kebajikan jiwa. Dengan
kebajikan ini orang menahan diri dari yang diingininya, demi memberikannya
kepada orang lain, yang menurut hematnya lebih berhak.
Keutamaan-keutamaan yang merupakan cabang-cabang atau bagian-bagian
dari sikap al-syaja’at (berani) adalah kibr al-nafs (besar jiwa), ‘adam
al-thaisy (tidak gegabah), ‘azm al-himmat (ulet), al-syahamat (ksatria),
al-najdat (tegar), ihtimal al-kadd (ulet dalam bekerja), al-tsabat (tabah),
al-shabr (sabar), dan al-hilm (tenang).
Kibr
al-nafs (besar jiwa) adalah meninggalkan persoalan yang tak penting dan mampu menanggung kehormatan
atau kehinaan. Oleh karena itu, pemiliknya senantiasa mempersiakan
dirinya untuk mencapai perbuatan agung.
‘Adam al-thaisy (tidak gegabah, menguasai diri) terlihat pada waktu
berselisih, atau pada saat peperangan, ketika orang mempertahankan kaum wanita
dan syariat. Menguasai diri ini terjadi bila jiwa mampu mengendalikan
gerakan-gerakannya pada kondisi-kondisi di atas disebabkan oleh seriusnya
kondisi-kondisi itu.
‘Azm al-himmat (ulet, berkeinginan besar) merupakan kebajikan jiwa,
yang membuat orang bahagia akibat bersungguh-sungguh.
Al-syahamat (ksatria) adalah berkemauan untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan besar dengan harapan-harapan mendapatkan reputasi yang
baik.
Al-tsubut (tabah) adalah suatu kebajikan jiwa yang membuat seseorang
mencapai ketenangan jiwa, tidak mudah dimasuki bisikan-bisikan yang
mendorongnya melakukan kejahatan, dan tidak mudah dan tidak cepat dilanda
marah.
Al-najdat (tegar) adalah kepercayaan diri dalam menghadapihal-hal
yang menakutkan, hingga pemilik sikap ini tidak lagi dilanda kegelisahan.
Ihtimal al-kadd (ulet dalam bekerja) adalah kekuatan jiwa yang
menggunakan organ tubuh demi kebaikan melalui praktik dan kebiasaan yang baik.
Al-shabr (sabar) di sini erat hubungannya dengan hal-hal yang
menakutkan.
Al-hilm (tenang, sabar, murah hati) merupakan kebajikan jiwa. Dengan
kebajikan ini seseorang menjadi tenang dalam menghadapi nasib baik dan nasib
buruk, sekalipun kesulitan yang menyertai kemiskinan.
Kebajikan-kebajikan yang merupakan bagian-bagian dari kebajikan
sikap arif atau bijaksana (al-hikmat) ,mencakup: al-dzaka (pandai), suhulat
al-ta’lim (kemampuan belajar dengan mudah), al-dzikr (ingat), shafa al-dzihn
(kejernihan pikiran), sur’at al-fahm (cepat paham), dan al-ta’aqqul (berpikir).
Al-dzaka’ (pandai) merupakan cepat mengembangkan
kesimpulan-kesimpulan, serta mudahnya kesimpulan-kesimpulan itu dipahami jiwa.
Suhulat al-ta’lim (kemampuan belajar dengan mudah) adalah kekuatan
jiwa serta ketajaman dalam memahami sesuatu, yang dengan kemampuan ini maka
daat dipahami masalah-masalah teoritis.
Al-dzikr (ingat) adalah menetapnya gambaran tentang apa yang telah
dicerap jiwa atau imajinasi.
Shafa al-dzihn (kejernihan pikiran) merupakan kesiapan jiwa untuk
menyimpulkan apa saja yang dikehendaki.
Sur’at al-fahm (cepat paham) adalah kecepatan jiwa memahami apa yang
diserap oleh indera dan imajinasi.
Al-ta’aqqul (berpikir) adalah upaya mencocokkan objek-objek yang
dikaji oleh jiwa dengan keadaan sebenarnya objek-objek ini.
Kebajikan-kebajikan yang merupakan bagian-bagian dari al-adalat
(keadilan) mencakup : istiqlal al-nafs (kemerdekaan jiwa), al-shadaqat (
bersahabat), al-zuhd (zuhud), al-ulfat (bersemangat sosial), al-nashihah
(tulus), shilat al-rahm (bersilaturahmi), karram al thab’I wa ‘uluwwat
(kemuliaan dan ketinggian tabiat), al-mukafa’at (memberikan imbalan), husn
al-syarikat (baik dalam bekerja sama), al-muraqabat (pengawasan), husn al-qadla
(kejelian dalam memutuskan persoalan), al-tawaddud (cinta), al-musalamat (suka
damai), al-muruwwat ( penuh pertimbangan), al-ibadat (beribadah), tark al-hiqd
(meninggalkan kedengkian), dan al-luthf (lemah lembut, halus).
Al-shadaqat (bersahabat) adalah cinta yang tulus, yang menyebabkan
orang memperhatikan masalah-masalah sahabatnya dan berbuat baik untuknya.
Al-ulfat (bersemangat sosial) adalah berupaya seragam dalam pendapat
dan keyakinan. Semangat gotong royong dan salng menolong dalam mengatur
kehidupan terkandung dalam bersemangat sosial ini.
Silaturahmi adalah serbagai kebaikan duniawi kepada kerabat dekat.
Al-mukafa’at (memberi imbalan) adalah membalas kebaikan sesuai
dengan kebaikan yang diterima atau malah lebih.
Husn al-syarikat (baik dalam bekerja sama) adalah mengambil dan
memberi dalam berbisnis dengan adil dan sesuai dengan kepentingan pihak-pihak
yang bersangkutan.
Husn al-qadla (kejelian dalam memutuskan persoalan) adalah tepat dan
adil dalam memutuskan persoalan tanpa diiringi rasa menyesal dan
mengungkit-ungkit.
Tawaddud (cinta) adalah mengharapkan cinta
dari mereka yang dianggap telah merasa puas dengan cara hidup yang dicapainya
(para zahid), juga dari mereka yang dianggap orang-orang yang mulia, dengan
cara bermanis muka serta melakukan perbuatan-perbuatan yang mengundang simpati mereka.
d. Hierarki nilai
Berbeda dengan klasifikasi, hierarki nilai
mengacu pada urutan pentingnya nilai. Nilai tersusun secara hierarkis, yakni
ada nilai yang lebih tinggi dan ada nilai yang lebih rendah. Nilai terjadi
dalam urutan pentingnya, atau sesuai dengan tabel nilai. Hierarki ditunjukan
oleh preferensi pada ada (being) dihadapkan dengan dua nilai, seseorang
biasanya akan lebih senang pada yang tertinggi dari dua nilai tersebut,
meskipun adakalanya dia mungkin memilih nilai yang lebih rendah karena motivasi
tidak langsung.
Scheler (dalam Frondizi, 2001:132)
berpendapat bahwa ada lima kriteria
penentu hierarki nilai, pertama, keabadian nilai. Scheler melihat bahwa
benda yang lebih tahan lama (abadi) senantiasa lebih disukai daripada yang
bersifat sementara dan mudah berubah. Scheler menegaskan bahwa nilai yang
terendah dari semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada dasarnya fana,
nilai yang lebih tinggi daripada semua nilai yang lain sekaligus merupakan
nilai yang abadi. Apa yang sesuai dengan penampakan inderawi pada hakikatnya
sebagai nilai yang berubah yang setara dengan nilai kesehatan misalnya, atau
nilai pengetahuan. Kedua, bersifat dapat dibagi-bagi (divisibility).
Ketinggian yang dicapai nilai berbanding terbalik dengan sifat dapat dibagi-baginya,
yakni semakin tinggi derajatnya, semakin
kecil sifatnya untuk dapat dibagi-bagi, dikarenakan oleh keikutsertaan
dari yang banyak di dalamnya. Dengan demikian kenikmatan spiritual atau
estetis lebih tinggi nilainya dibandingkan dengan kenikmatan material atau inderawi. Karena kenikmatan inderawi meniscayakan
adanya pembagian terhadap benda-benda yang dinikmati, sedangkan kenikmatan
spiritual tidak demikian. sebagai misal apa yang terjadi dalam kasus makanan,
minuman atau sepotong kain. Dalam berbagai kasus ini, jumlah nilai ditentukan
oleh ukuran pengembannya; sepotong pakaian atau sepotong roti kurang lebih
bernilai dua kali dari parohannya. Dalam satu karya seni, hal ini tidak
terjadi; separoh patung atau lukisan tidak sama dengan separoh nilai totalnya.
Karena alasan ini, kita dapat bersama-sama menikmatinya (sama sekali bukan soal
yang penting bagi nilai spiritual bagaimana banyak orang menikmatinya)
sedangkan kenikmatan dari apa yang merupakan kenikmatan inderawi membutuhkan
pembagian atas masing-masing benda. Maka dari itu, benda material memisahkan
orang, menimbulkan pertentangan kepentingan, karena benda harus dimiliki,
sedangkan benda (sesuatu) yang bersifat spiritual menyatukan orang karena
menjadi milik bersama. Ketiga, dasar. Jika satu nilai menjadi dasar bagi
nilai yang lain, nilai tersebut lebih tinggi daripada nilai yang lain ini.
Tentunya, semua nilai didasarkan pada nilai yang lebih tinggi, yang bagi
Scheler adalah nilai keagamaan. Keempat, kedalaman kepuasan. Bagi
Scheler, terdapat hubungan yang hakiki antara “kedalaman kenikmatan” yang
menyertai persepsi sentimental atas nilai dan hierarkinya. Namun, seperti dalam
kasus preferensi, hierarki nilai tidak terkandung didalam kedalaman kenikmatan
yang dihasilkannya. Juga ada hubungan antara esensi-esensi yang baginya nilai
yang tertinggi menghasilkan kepuasan yang lebih mendalam. Kelima adalah
relativitas nilai. Semakin kurang kerelativan nilai, semakin tinggi
keberadaannya. Nilai yang tertinggi dari semua nilai adalah nilai mutlak.
Berdasarkan kelima kriteria hierarki nilai diatas,
Scheler (dalam Frondizi,2001:136) mengemukakan hierarki atau tabel nilai
sebagai berikut. Pertama, nampak
pada tingkatan yang terendah nilai “kenikmatan” dan “ketidaknimatan”, yang
sesuai dengan susana afektif nikmat dan rasa sakit yang bersifat inderawi. Kedua,
nilai vital yang tidak tergantun dan tidak dapat direduksi dengan kenimatan dan
ketdiaknimatan. Antitesis halus-kasar adalah fundamental dalam stratum
aksiologis meskipun nilai keadaan baik sesuai
dengan kawasan ini, seperti yang telah dinyatakan, semua modus perasaan
vital seperti kesehatan, kelelahan, kesakitan, usia tua, dan kematian.
Kawasan nilai spiritual merupakan kelompok
aksiologis yang ketiga. Dalam kehadiran nilai ini, nilai vital maupun
nilai kenikmatan harus dikorbankan. Kita menangkap nilai melalui persepsi
sentimental “spiritual”, dan di dalam kegiatan seperti misalnya preferensi
spirital, cinta dan benci, yang seharusnya tidak dikacaukan dengan tindakan
vital yang sesuai dengan nama yang sama.
Di dalam nilai spiritual, berikut ini
dapat dibedakan secara hierarkis: (a) nilai keindahan dan kejelekan, dan
berbagai nilai estetik murni yang lain; (b) nilai keadilan dan ketidakadilan,
yang seharusnya tidak dikacaukan dengan ”benar” dan “salah”, karena ini mengacu
pada satu urutan yang ditetapkan oleh hukum, dan yang tidak tergantung pada ide
tentang Negara dan legislasi positif; (c) nilai “pengetahuan murni tentang
kebenaran”, yang diusahakan untuk direalisasikan oleh filsafat, yang dilawankan
dengan ilmu positif yang beraspirasi pada pengetahuan dengan tujuan untuk
mengendalikan kejadian-kejadian.
Haruslah dicatat bahwa Scheler berbicara
tentang nilai “pengetahuan” dan bukan tentang kebenaran itu sendiri; bagi dia,
kebenaran tidak termasuk dalam semesta nilai. Nilai keilmuan ataupun nilai
budaya merupakan “ nilai karena acuan” pada pengetahuan tersebut.
Di atas nilai spiritual terletak kelompok
nilai yang terakhir, yaitu nilai kekudusan
dan nilai profan. Nilai religius tidak dapat direduksi menjadi nilai
spiritual, dan memiliki keberadaan khas yang menyatakan diri kepada kita dalam
berbagai objek yang hadir untuk kita sebagai yang mutlak.
Karena nilai pada umumnya tidak tergantung
pada benda dan pada semua bentuk historis, maka dapat dimengerti bahwa Scheler
mungkin menyatakan nilai religius sama sekali bersifat independen dalam
kaitannya dengan segala sesuatu yang sejak semula dipandang suci dalam
perjalanan sejarah, termasuk bagian “konsep Tuhan yang paling murni”.
Kondisi yang sesuai dengan nilai religius
adalah kegembiraan yang luar biasa (ekstasi) dan kehilangan harapan (desperasi),
yang diukur dari yang kudus. Reaksi khusus yang sesuai adalah keyakinan,
pemujaan dan penyembahan. Sebaliknya, cinta merupakan aksi yang dengan itu kita
menangkap nilai kekudusan.
Bagi Scheler, hubungan hierarkis nilai
ini, yang dimulai dari kenikmatan menuju kekudusan, dengan menggunakan nilai
vital dan spiritual, adalah aprioristik dan dengan demikian mendahului hubungan
yang ada di antara benda-benda. Ia dapat diterapkan bagi benda dengan begitu
saja karena ia berlaku bagi “nilai” yang hadir di dalam benda. Dalam pada itu
Mulyana (2004:139) mengemukakan urutan atau hierarki nilai. Hierarki nilai itu
secara berurutan adalah: nilai kenikmatan, nilai kehidupan, nilai kejiwaan, dan
nilai kerohanian.
B. Obyek, Cara Memperoleh dan Kualitas Kebenaran Nilai
Keagamaan
1.
Sumber
dan Obyek nilai
Menurut Purwahadiwardoyo (1965: 97) sumber nilai yang
menjadi landasan kehidupan manusia dapat digolongkan menjadi dua, yaitu, nilai ilahiah
dan nilai insaniah. Nilai ilahiah, merupakan nilai yang
diperintahkan oleh tuhan melalui para nabi dan rasulNya. Nilai ini mengandung
kemutlakan dan kebenaran abadi bagi kehidupan manusia. Sedangkan, nilai insaniah,
merupakan nilai yang tumbuh dan berkembang sesuai kesepakatan manusia, serta
hidup dan berkembang dari peradaban manusia. Nilai-nilai insani akan melembaga
menjadi tradisi-tradisi dan norma-norma sosial yang diwariskan secara
turun-temurun, serta mengikat anggota masyarakat tertentu.
Sementara itu, sumber nilai meliputi ajaran agama,
logika filsafat, teori ilmu, peraturan undang-undang, adat kebiasaan, dan karya
seni. Adapun obyek nilai meliputi tingkah laku (perilaku relijius, karakter
berfikir filosofis, sikap ilmiah, perilaku etis, dan perilaku estetis). Sebagai
objek nilai, semuanya tampil sebagai aktualisasi nilai (Mulyana,2004:80).
2. Cara
memperoleh nilai
Nilai diperoleh melalui dua cara yaitu
melalui otak dan fungsi akal, serta melalui hati dan fungsi rasa. Ini
menegaskan bahwa nilai pada diri seseorang dapat diperoleh melalui “pintu”
panca indra yang diikuti oleh tataan berpikir logis atau logis-empiris, juga
nilai diperoleh melalui “pintu” non-indra seperti intuisi atau wawasan (insight)
yang diikuti tataan perasaan mistis.
Secara
umum, perolehan nilai melalui pintu otak berlangsung secara logis-empiris.
Seperti diyakini oleh para fungsionalis, pengetahuan diperoleh melalui proses penginderaan, diikuti oleh sikap,
kemudian melahirkan keyakinan, dan disusul oleh kesadaran. Semua itu
berlangsung dalam proses berpikir yang terjadi dalam otak. Apabila pengetahuan
sampai pada tingkat kesadaran, maka pengetahuan itu sudah setara dengan nilai,
atau setidaknya nilai berada dalam tahapan proses keyakinan dan kesadaran
seseorang. Tidak semua keyakinan atau kesadaran dalam pandangan funsionalis
memiliki kualitas yang setara dengan nilai. Sebagai misal, keyakinan menurut
pandangan fungsionalis dapat terjadi ketika seseorang merasa yakin bahwa di
rumah tidak ada orang setelah pintu rumah itu diketuk beberapa kali dan tidak
ada yang membukanya. Pada kasus ini keyakinan tidak setara dengan nilai, tetapi
cara kerja keyakinan itu dalam otak memungkinkan bersemayamnya nilai-nilai.
Cara
lain untuk menguraikan perolehan nilai melalui otak dapat dijelaskan
dari cara pencarian kebenaran dan keutamaan melalui filsafat. Melalui cara
berpikir secara mendalam, filsafat menemukan makna dari sesuatu yang abstrak
atau makna yang ada “di belakang” obyek yang konkret. Cara berpikir filosofis
yang mengunakan paradigma berpikir logis-abstrak memungkinkan otak berfungsi
secara optimal untuk menemukan makna
yang tidak terjelaskan oleh ilmu pengetahuan. Makna itu dapat menjadi rujukan (nilai) seseorang andaikata ia benar-benar
meyakininya atau drumuskan ke dalam klausul-klausul normatif seperti
dalam ajaran Marxisme. Nilai kebenaran dan keutamaan seperti itu diperoleh
melalui pintu otak dengan jalan kontemplais filosofis.
Berikutnya, nilai diperoleh melalui paradigma
berpikir logis-empiris. Paradigma ini merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang
selalu memerlukan bukti-bukti nyata dalam menguji kebenaran dan keutamaan
sesuatu. Nilai yang diperoleh melalui jalan ini banyak mengungkapkan kebenaran
teoritik seperti halnya dalam keyakinan para ilmuwan. Selain nilai kebenaran,
kita dapat memperoleh nilai keutamaan yang terdapat dari teori-teori ilmu pengetahuan atau yang ditempuh melalui
cara berpikir ilmiah. Nilai-nilai keutaman ini banyak kita temukan dalam
cabang disiplin ilmu agama, ilmu sosial dan
humaniora. Hal terpenting dari cara memperoleh nilai melalui paradigma
ilmu pengetahuan terletak pada caranya yang harus logis-empiris. Cara ini berlaku untuk perolehan semua nilai yang
dapat dipertanggungjawabkan melalui metode ilmiah yang berlangsung
secara logico-hipotetico-verificatif (buktikan bahwa itu logis, tarik hipotesis,
dan ajukan bukti empiris) (Mulyana,2004:82).
Berbeda dari cara perolehan nilai melalui
otak, cara memperoleh nilai melalui hati dan fungsi rasa tidak lagi menyertakan pertimbangan logis
(filsafat) atau logis-empiris (ilmu pengetahuan). Karena itu, perolehan nilai
dalam paradigma ini hanya dapat ditangkap oleh ketajaman mata hati. Tuhan,
malaikat, surga, jin, dan neraka merupakan alam ghaib yang kecerdasan otak
tidak lagi mampu membuktikan secara tuntas melalui cara berpikir logis atau
logis-empiris. Keitika otak berfilsafat, Tuhan dapat ditemukan. Ia adalah
penyebab tunggal dari segala kejadian semesta alam. Namun kecerdasan otak dalam
berfilsafat tidak akan mampu menjawab pertanyaan tentang Tuhan yang sangat
hakiki. Demikian pula, ketika otak menggunakan cara berpikir ilmiah yang
menuntut pembuktian logis-empiris, pengetahuan Tuhan secara hakiki dianggap
tidak dapat memenuhi kriteria ilmiah. Otak yang berlimu itu tidak mampu
membuktikan logico-hipotetico-verificatif yang memuaskan. Inilah yang
disebut Ahmad Tafsir (2002) sebagai pengetahuan mistik yang derajatnya dapat
disejajarkan dengan filsafat dan ilmu pengetahuan. Pengetahuan ini masuk
melalui “pintu” intuisi dan bersarang dalam keyakinan hati. Jalan (thareqat)
perolehan dan pencerahan nilai seperti ini digunakan oleh para kaum sufi yang
mengalami pengembaraan batin pada wilayah supra-logis.
Kecuali itu, perolehan nilai secara mistik
dapat terarah pada wilayah supra-natural. Sifat pengetahuan nilai pada wilayah
ini sama seperti pada wilayah supra-logis. Ia tidak memenuhi kecukupan
pengetahuan (sufficient-rationalis) untuk dipahami secara filosofis
maupun ilmiah. Keberadaannya hanya dapat diterima oleh rasa. Pengetahuan nilai
ini bukan lagi mistik biasa seperti yang dialami oleh kaum sufi, melainkan
sebagai mistik magis, yang menurut Ahmad Tafsir jenis mistik ini terbagi lagi
kedalam dua bagian, yaitu mistik-magis-hitam dan mistik-magis-putih. Contoh
sederhana, perolehan nilai melalui mistik-magis-putih tercemin dalam keyakinan
seorang ahli hikmah yang merawat do'a-do'a, tertentu karena dianggapnya
memiliki kekuatan mujarab untuk mengobati penyakit. Sedangkan perolehan nilai
melali mistik-magis-hitam tercermin dalam keyakinan seseorang yang memelihara
jimat atas anggapan benda itu memiliki kekuatan supra-natural. Uraian ini
membuktikan bahwa perolehan nilai tidak hanya dapat dicapai oleh otak beserta
fungsi akalnya, tetapi juga oleh “kecerdasan” hati dan fungsi rasa
(Mulyana,2004:83).
3. Ukuran Kualitas Nilai
Secara lebih dalam, ukuran kualitas nilai
dijelaskan sebagai berikut.
a. Ukuran Kualitas Nilai Berdasarkan Patokannya
Ukuran kualitas nilai dapat ditetapkan
dengan cara mengidentifikasi patokannya. Apa patokan kualitas nilai itu?
Pertanyaan ini mudah dijawab. Patokan kualitas nilai adalah benar-salah
(logis), baik-buruk (etis), dan indah-tidak
indah (estetis). Jadi sebenarnya ukuran kualitas nilai dapat ditetapkan
berdasrkan nilai-nilai dasar. Namun harap dicatat bahwa dalam tiga patokan
nilai itu terdapat derajat kebenaran, kebaikan dan keindahan yang bersumber dari Tuhan (theistik) dan dari manusia
(humanistik) (Mulyana, 2004 :83).
b. Ukuran Kualitas Nilai Berdasarkan Perwujudannya
Ukuran kualitas nilai dpat ditetapkan
melalui cara seseorang mewujudkan nilai. Karena itu pertanyaan yang perlu
diajukan adalah: (1) Apakah perbuatan yang mengandung nilai kebenaran selalu
baik? (2) Apakah perbuatan yang mengandung nilai kebaikan itu selalu benar? (3)
Apakah perbuatan yang bernilai keindahan itu selalu baik? Pertanyaan ini tidak
dimaksudkan untuk menggugurkan ukuran kualitas nilai yang didasarkan pada
patokan benar-salah, baik-buruk, dan indah-tidak indah seperti telah
dikemukakan di atas. Kualitas nilai di sini sudah dilekatkan pada perbuatan
atau pada hasil karya seni seseorang. Untuk menjawab pertanyaan ini memang
tidak sederhana. Kualitas nilai sudah dipikirkan secara inter-kualitas.
Artinya, sebuah patokan nilai dalam suatu
tindakan manusia dievaluasi melalui patokan nilai lain. Seperti pertanyaan
tadi, nilai kebenaran dievaluasi oleh nilai kebaikan, nilai kebaikan dievaluasi
oleh nilai kebenaran, dan nilai keindahan dievaluasi oleh nilai kebaikan.
“Tidak” adalah jawaban yang tepat untuk
menjawab tiga pertanyaan tadi. Contoh
konkretnya, seseorang menggunakan tangga untuk mencuri mangga orang lain. Ia dengan benar menggunakan tangga sebagai
alat untuk naik, tetapi tindakan mencuri merugikan orang lain. Terbukti
bahwa suatu tindakan yang benar tidak diikuti oleh kebaikan. Seorang mahasiswa
belajar meresume buku tebal dengan baik, tetapi cara ia membaca seluruh isi
buku sampai titik-komanya, padahal waktu untuk mengumpulkan tugas terbatas
merupakan tindakan yang salah. Terbukti bahwa suatu tindakan yang baik tidak
selalu diikuti oleh cara yang benar. Contoh lain, seorang membuat air mancur di
pekarangannya dengan menggunakan air ledeng yang dikonsumsi oleh masyarakat
sekitar. Membuat air mancur adalah sesuatu yang indah, tetapi cara ia
menggunakan air ledeng yang membuat orang lain kekurangan air adalah sesuatu
yang buruk. Terbukti bahwa nilai keindahan pada orang itu tidak selalu diikuti
oleh nilai kebaikan.
Kalau kita urut lebih jauh, sebenarnya
masih banyak peristiwa tindakan manusia yang
mengandung ambiguitas nilai. Di sini saya tidak bermaksud untuk
menjelaskan semua itu. Dengan tiga pertanyaan tadi diharapkan cukup untuk membuat kesimpulan bahwa ukuran kualitas nilai
pada tindakan adalah relativitas (Mulyana. 2004 :85).
c. Ukuran Kualitas Nilai berdasarkan Derajat Kebenarannya
Ukuran kualitas nilai pada bagian ini
lebih kompleks lagi, karena derajat kebenaran melibatkan dua dimensi syarat
yang harus dipenuhi oleh nilai. Dimensi syarat pertama, nilai harus memenuhi
pemikiran logis dalam filsafat, pemikiran logis-empiris dalam ilmu pengetahuan
dan keyakinan mistik dalam pengetahuan mistik. Dimensi syarat kedua, nilai
harus dapat memenuhi derajat kebenaran menurut manusia atau menurut Allah.
Karena itu, untuk bagian ini ukuran kualitas nilai meliputi : logis-humanistik,
logis-theistik, logis-empiris-humanitik, logis-empiris-theistik,
mistik-humanistik, dan mistik-theistik.
1) Logis-Humanistik
Ukuran kualitas nilai yang
logis-humanistik banyak kita temukan dalam kebenaran-kebenaran filsafat.
Kebenaran ini dicapai berkat cogito ergo sum-nya Descrates yang berupaya
yang melepaskan ikatan agama dari kebebasan berpikir. Cogito ergo sum
berarti aku berpikir aku ada. Ini adalah bentuk keyakinan tertinggi bahwa
manusia mampu menggunakan akalnya tanpa campur tangan aturan agama. Akibat dari
keyakinan seperti ini, kebenaran pada wilayah filsafat sering kali melahirkan
kebenaran menurut pandangan manusia tetapi belum tentu menurut pandangan Tuhan.
Sebagai misal, liberalisme yang lahir dari pandangan filsafat rasionalisme
banyak mengandung nilai kebenaran humanistik. Cara berpikir rasionalisme yang
radikal (sampai ke akar permasalahan) tentang kehidupan manusia menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan logis bahwa agama adalah urusan pribadi, hak pribadi
harus dihargai sepenuhnya, dan akal adalah alat satu-satunya untuk
menyelesaikan kehidupan manusia. Cara pandang seperti ini memiliki harga nilai
yang ditempuh secara logis berdasarkan kemampuan akal manusia. Itulah yang
dimaksud dengan ukuran kebenaran nilai yang logis-humanistik.
2) Logis-Theistik
Dalam sejarah filsafat Yunani, garis
berpikir para filosof ada yang sampai pada nilai-nilai ketuhanan. Ketika
Socrates menyimpulkan bahwa hakikat kehidupan dibangun oleh keutamaan (arete)
yang berlandaskan pada moral absolut, kesimpulan tersebut diambil secara logis
melalu perenungan tentang hakikat kehidupan. Ujung pikiran logis ini adalah
Tuhan. Demikian pula, ketika para filosof Islam menyimpulkan bahwa hakikat
hidup manusia terletak pada jiwanya yang tak terbagi, ini pun sudah secara
langsung melekatkan hasil pemikiran logis dengan Tuhan sebagai Pemilik jiwa
manusia. Cara berpikir filosofis seperti itu tidak menempatkan akal sebagai
tujuan melainkan sebagai alat untuk mencapai keutamaan-keutamaan hidup. Tuhan
adalah tujuan akhir dari ikhtiar berpikir secara logis. Karena itu, hasil
pemikiran para filosof ini mengandung kebenaran yang bersifat theistik. Inilah
yang dimaksud dengan ukuran kebenaran nilai yang logis-theistik.
3) Logis-empiris-humanistik
Ukuran kebenaran ini dicapai oleh ilmu
pengetahuan. Dengan menggunakan paradigma logis-empiris, ilmu pengetahuan telah
melahirkan sejumlah teori tentang alam dan kehidupan manusia. Teori dihasilkan
dari proses kerja ilmiah yang mengikuti kaidah-kaidah yang baku. Kaidah-kaidah
baku itu ditempuh melalui cara berpikir logis, membuat hipotesis, dan
membuktikan secara empirik. Cara kerja ilmiah seperti ini telah menempatkan
ilmu pengetahuan sebagai bagian yang sangat penting bagi kehidupan manusia.
Tetapi, cara kerja ilmu sangat mungkin menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan yang berasal dari manusia, oleh mansia, dan untuk
manusia. Sebagai misal, lahirnya teori tentang Id, ego, superego, tabularasa
dalam Psikologi, akal kolektif dalam Sosiologi, being-in-the –world dalam
Psikologi Eksistensial, mengukuhkan kuatnya paham rasionalisme sebagai akar
dari cara kerja ilmiah. Kebenaran-kebenaran memiliki nilai yang bersifat
humanistik. Tetapi sifat humanistik yang dibedakan dari theistik tidak berlaku
lagi ketika hal itu disifatkan pada kebenaran-kebenaran teori dalam disiplin
ilmu alam. Pada ilmu pengetahuan ini, kebenaran teori berlaku universal dan
selalu mengikuti hukum alam. Oleh karena itu, dalam IPA tidak mudah untuk
memisahkan kadar nilai yang humanistik dari yang theistik. Dalam konteks
pemahaman seperti ini, maka ukuran kualitas nilai yang berdasarkan pada derajat
kebenaran logis-empiris-humanistik berlaku pada Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Humoniora.
4) Logis-Empiris-Theistik
Ukuran kualitas nilai ini hanya berada
dari segi derajat kebenaran kalau kita bandingkan dengan kualitas nilai yang
logis-empiris-humanistik. Proses pencapaian kualitas nilai ditempuh secara
ilmiah, yakni mengandalkan kecerdasan akal dalam berpikir logis, membuat
hipotesis, dan menguji hipotesis dalam wilayah empiris. Namun kebenaran teori
yang dicapai dari hasil telaahan secara ilmiah itu sampai pada nilai rujukan
ilahiyah yang bersumber dari wahyu. Kebenaran seperti itu banyak dimiliki oleh
teori-teori yang terdapat dalam cabang disiplin ilmu agama (Hadits, Fiqh,
Syariah, Pendidikan Islam, dsb) atau dalam cabang disiplin ilmu iterdisipliner
(Psikologi Agama, Sosiologi Agama, Antropologi Agama, dsb. Sebagai misal, teori
tentang peneladanan (uswah) dalam pendidikan agama sering terbuktikan
benar bahwa hal itu memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan
anak. Ini artinya, nilai kebenaran terdapat dalam teori peneladanan itu
terbukti secara empirik dan dibenarkan secara logis. Selain itu, kebenarannya
mengandung nilai-nilai theistik, karena peneladanan itu dilakukan dalam konteks
ketaatan beragama.
5) Mistik-Humanistik
Ukuran kualitas nilai yang bersifat
mistik-humanistik tidak lagi menggunakan cara kerja ilmiah. Meskipun bukti
empirinya ada, pikiran logis tidak lagi berfungsi untuk menjelaskan hal yang
mistik.
Karena itu, pembenaran terhadap pengetahuan
mistik dicapai melalui intuisi rasa. Kebenaran di sini identik dengan keyakinan
mistik. Untuk beberapa pengetahuan mistik, keyakinan yang dijadikan rujukkan
para pelaku mistik boleh jadi hanya sampai pada pemenuhan kebutuhan emosi
manusia, tanpa mengikatkan diri pda kekuatan supra-logis yang Maha Pintar, yani
Tuhan. Karena itu, mistik dapat berada pada wilayah supra-natural dengan kadar
kebenaran yang bersifat humanistik. Kalau kita rujuk pendapat Ahmad Tafsir
(2002), ukuran kebenaran nilai yang bersifat mistik-humanistik ini banyak
terkandung dalam pengetahuan mistik-magis hitam atau lebih dikenal ilmu hitam
seperti santet, pelet, atau ilmu kebeal. Pada wilayah pengetahuan ini ukuran
kualitas nilai berada pada derajat kebenaran mistik-humanistik.
6) Mistik-Theistik
Ukuran kualitas nilai yang mistik-theistik
memiliki cara kerja yang hampir sama dengan mistik-humanistik seperti telah
dijelaskan di atas. Namun, pada keyakinan
mistik-theistik, rujukan nilai akhirnya jelas. Tuhan adalah sentral dari kesadaran rasa yang berpusat dalam hati.
Karena itu, keyakinan pada wilayah mistik ini memiliki kualitas
kebenaran ilmiah atau dengan kualitas keyakinan mistik lainnya yang bersumber dari manusia. Wilayah mistik ini banyak
diarungi oleh para kaum sufi yang melakukan pengembaraan
batin untuk menemukan Tuhan pada dirinya. Mereka mencoba menghilangkan
sebanyak mungkin unsur-unsur jasmaniah (nasut) dan memperbesar unsur rohaniah (lahut). Karena
itu, nilai kebenaran dan keyakinan yang dicapai oleh kaum sufi selalu
merujuk pada nilai-nilai ilahiyah. Inilah yang dimaksud dengan ukuran kualitas
nilai yang mistik-theistik (Mulyana, 2004 :85-88).
C. Kegunaan dan Metode Nilai Keagamaan Dalam Memecahkan
Masalah
1. Kegunaan Pengetahuan Nilai
Untuk menjelaskan kegunaan nilai bagi kehidupan
manusia dapat dilacak dari posisi nilai yang berada dalam tiga wilayah
pengetahuan manusia, yaitu wilayah fisosofis, wilayah ilmu pengetahuan, dan
wilayah mistik. Kegunaan nilai dalam wilayah pengetahuan itu dijelaskan sebagai
berikut.
a. Kegunaan nilai dalam
wilayah filsafat
Ketika suatu nilai kebenaran diperoleh
melalui pemikiran filsafat, nilai tiu dapat dijadikan rujukan dalam menentukan
cara hidup suatu masyarakat atau bangsa. Jika nilai kebenaran kemudian diakui
secara luas dan benar-benar dijadikan rujukan dalam bermasyarakat atau
berbangsa, maka status nilai bergeser dari nilai kebenarar filosofis ke arah
nilai keyakinan edeologis. Pancasila misalnya, merupakan edeologi bangsa kita
yang dirumuskan dari hasil pemikiran filosofis tentang nilai-nilai luhur
bangsa. Nilai-nilai yang dicapai melalui pmikiran filosofis itu dikristalisasi
ke dalam lima sila yang secara hierarkis menempatkan nilai ketuhanan sebagai
nilai tertinggi, diikuti oleh nilai kodrat kemanusaan, kemudian nilai
etis-filosofis persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan sosial. Karena
itu, William O’niel (2001) mengindikasikan bahwa hasil pemikiran filosofis yang
tadinya elitis dapat menjadi keyakinan ideologis yang populis tatkala diterima
sebagai fakta atau kebenaran oleh suatu kelompok.
Namun pada batas-batas tertentu, nilai
kebenaran yang dicapai melalui filsafat tidak selalu menjadi ideologi suatu
bangsa. Kebenaran-kebenaran itu berfungsi sebagai rujukan nilai dalam
memecahkan masalah yang spesifik. Sebagai misal, Filsafat Pendidikan menemukan
kebenaran bahwa manusia adalah hewan yang dapat dididik (animal educandum).
Kebenaran ini dapat dijadikan rujukan untuk melakukan suaha-usaha pendidikan ke
arah menyediakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan anak. Demikian pula,
ketika Filsafat Pendidikan Islam menemukan adanya potensi keagamaan (hidayat
al-diniyyat) dalam diri anak, maka hal itu dapat dijadikan petunjuk bagi
pengembangan sistem pendidikan yang dapat menumbuhkan kesadaran beragama anak.
Dengan demikian, nilai-nilai kebenaran atau keutamaan yang dicapai melalui
filsafat berguna bagi penyelesaian masalah kehidupan manusia, mulai dari
permasalahan yang lebih spesifik sampai pada permasalahan ideologi suatu bangsa
(Mulyana, 2004:91).
b. Kegunaan Nilai dalam wilayah
Ilmu Pengetahuan
Teori-teori ilmu pengetahuan dapat
dipastikan memiliki nilai. Setidaknya dalam teori itu terkandung nilai logis
yang sekaligus mencerminkan tradisi kebenaran ilmu pengetauan. Dalam Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Humioniora, nilai dapat kita temukan bukan saja sebagai
nilai logis, tetapi juga sebagai nilai etis dan nilai estetis. Sebagai misal,
teori struktur berpikir yang digagas Robert Kaplan (1966) dalam linguistik
mencakup tiga nilai tersebut. Teori lilnguistik ini menyatakan bahwa orang
Inggris memiliki proses berpikir yang linier (linear system), sedangkan
orang Timur cenderung berputar (coil system). Nilai kebenaran logis
dalam teori ini dapat diperoleh ketika kita berpikir bahwa pada kenyataan orang
Inggris dan orang Timur pada umumnya
menggunakan cara berpikir demikian. Ketika orang Inggris mengemukakan pendapat,
mereka cenderung to-the-point. Ini berbeda dari orang Timur pada umumnya
yang tidak langsung pada sasaran yang dituju. Sedangkan nilai etis dalam teori
linguistik itu dapat diperoleh dengan cara menelaah perilaku menghargai
terhadap orang lain sebagai akibat dari cara berpikir kebahasaan yang berbeda.
Boleh jadi, bagi orang Inggris etika berargumen dengan orang lain diungkapkan
dengan terus terang. Tetapi, orang Timur tidak demikian. Etika berargumen perlu
dikemas dalam bahasa yang tidak menyinggung perasaan orang lain. Demikian pula
untuk nilai estetis. Nilai ini dapat kita peroleh dari dua teori tentang sistem
berpikir itu dengan cara menelaah struktur keindahan bahasa. Meskipun nilai
keindhan dalam berpikir itu relatif, tetapi unsur keindahan pasti ada dalam kedua teori itu. Dengan demikian,
nilai-nilai yang terkandung dalam teori linguistik itu dapat bermanfaat
bagi pemahaman kita tentang latar belakang
budaya bangsa, sekaligus untuk memperbaiki budaya berpikir.
Lebih khusus lagi, pada wilayah ilmu
pengetahuan ini tidak sedikit teori-teori nilai yang telah digagas oleh para
ahli nilai. Misalnya, teori klasifikasi nilai menurut Rokeach (1973) yang
membagi nilai ke dalam nilai instrumental dan nilai terminal dapat dijadikan
petunjuk bagi proses penyadaran nilai terhadap peserta didik. Teori nilai ini
setidaknya dapat memberikan petunjuk bahwa penyadaran nilai perlu dimulai dari
nilai-nilai instrumental sebelum sampai pada kesadaran nilai terminal. Sifat
nilai instrumental yang lebih operasional dibanding nilai terminal kemungkinan
proses penyadaran nilai berlangsung efektif. Sebagai misal, menanamkan rasa
keindahan pada diri anak, guru dapat membiasakan hidup bersih pada anak didik
ketika meeka berada di lingkungan sekolah. Inilah kegunaan teori nilai pada
wilayah ilmu pengetahuan (Mulyana, 2004:92).
c. Kegunaan Nilai dalam
Wilayah Mistik
Kebiasaan para sufi untuk memperbanyak
unsur rohani (lahut) dan membatasi unsur jasmani (nasut)
merupakan bukti bahwa nilai ada dalam wilayah mistik. Hal ini dapat dipahami
karena nilai menjadi rujukan bagi mereka
dalam bertindak. Tidaklah mungkin kalau mereka tidak meyakini bahwa di sana ada sesuatu yang berharga. Karena itu,
tindakan mereka yang diarahkan pada pencerahan batin melalui pengembaan
rasa adlah upaya mereka dalam meraih nilai. Nilai ini bersifat mistik-theistik.
Sumbernya dari Tuhan.
Nilai-nilai apa saja yang dikejar olah
para sufi itu? Mudah diduga bahwa para sufi mengejar nilai-nilai yang bersifat
ruhaniah, bukan jasmaniah. Karenanya,
tema-tema abstrak yang secara spesifik digunakan oleh kaum sufi itulah
nilai-nilai yang dijadikan rujukan mereka. Nilai itu dapat berupa nilai kemuliaan,
nilai keutamaan, nilai kemaslahatan, dan nilai kesucian, yang semuanya berpusat pada nilai keyakinan mereka
terhadap Tuhan. Lebih dalam lagi,
para sufi selalu merindukan dirinya terisi oleh nilai yang melekat pada
sifat-sifat Tuhan seperti nilai kemurahan dan nilai kasih sayang. Mereka
berharap adanya kulminasi kesadaran nilai
pada dirinya. Sebab itu, cara mereka menghuni dunia kehidupan batin
sulit dipahami oleh orang yang tidak secara sukarela mengikuti relung kehidupan
itu. Keyakinan terhadap nilai-nilai ini berguna bagi pencerahan hati agar hati
dapat membimbing pikiran dan tindakan.
Sebenarnya masih ada nilai-nilai yang
berkembang dalam wilayah mistik ini seperti
dalam mistik-magis putih. Namun, kalau dilihat dari tujuannya mistik-magis
ini agak berbeda dari mistik biasa yang dianut kaum sufi. Tujuan belajar
mistik-magis putih ada kaitannya dengan kekuatan atau kepintaran dalam melakukan sesuatu. Karena itu, nilai
kekuatan dan nilai kepintaran boleh jadi
merupakan nilai yang paling diutamakan. Keyakinan terhadap nilai seperti
itu bermanfaat untuk membantu orang lain atau untuk mempertahankan diri.
2. Cara Pengetahuan Nilai Menyelesaikan Masalah
Seperti dalam
penjelasan terdahulu, cara pengetahuan nilai
menyelesaikan masalah kehidupan manusia akan disajikan dengan cara membagi
nilai ke dalam tiga wilayah, yaitu wilayah filsafat, wilayah ilmu pengetahuan,
dan wilayah mistik. Cara ini dipandang efektif karena nilai berada dalam ketiga
wilayah ini dan sifatnya melekat dalam keyakinan filosofis, ilmiah, dan mistik.
a. Penyelesaian dalam Wilayah
Filsafat
Ketika para filosofis berpikir tentang
hakikat sesuatu, mereka pasti sampai pada terminologi nilai sebagai tema
abstrak. Nilai kebenaran yang diyakini oleh Plato dan nilai keutamaan yang
diyakini oleh Socrates adalah dua kesimpulan yang dihasilkan dari filsafat.
Kesimpulan tentang kebenaran dan keutamaan itu dicapai melalui cara berpikir
logis yang radikal tentang hakikat dari manusia dan hakikat kehidupan. Cara
berpikir seperti itu dapat digunakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah kehidupan saat ini, termasuk di dalamnya
masalah nilai. Muncul pertanyaan, apakah nilai itu sebagai obyek yang
diselesaikan oleh filsafat atau pengetahuan yang dapat menyelesaikan masalah
secara filosofis? Kedua-duanya benar. Nilai dapat menjadi tema masalah yang
hendak diselesaikan secara filosofis, juga dapat menjadi pengetahuan yang membantu menyelesaikan masalah kehidupan. Sebagai
misal, masalah kenakalan remaja diprediksi menyertakan nilai-nilai yang
destruktif seperti berkurangnya rasa keimanan, menurunnya kepercayaan kepada
orang tua, kesukaan terhadap materi, atau menurunnya kejujuran pada kawula
muda. Penyelesaian persoalan nilai itu dapat dibantu melalui pemikiran
filosofis, dengan cara mencari akar permasalahannya. Tarohlah secara logis
diduga kuat bahwa penyebab utamanya adalah paham materialisme yang merebak pada
kawula muda. Maka logika berpikir filosofis menyatakan bahwa paham itu harus
diberantas.
Ketika orang yang berpikir filosofis itu
melakukan pemecahan masalah nilai, ia pasti memiliki pengetahuan tentang nilai.
Kalau tidak, ia tidak akan tahu bagaimana
menyelesaikan masalah itu. Contoh lain, seorang filosof pendidikan
melihat bahwa akar permasalahan mutu pendidikan bukan terletak pada hal-hal
yang bersifat instrumental, tetapi pada keyakinan filosofisnya. Cara berpikir
demikian pasti berdasarkan pada pengetahuannya tentang nilai-nilai yang
terkandung dalam filsafat pendidikan itu dan nilai-nilai yang berkembang dalam
masyarakat pendidikan. Dengan demikian, pengetahuan nilai yang berada pada
wilayah filsafat dapat menyelesaikan masalah kehidupan dengan cara menggunakan
kerangka berpikir logis sebagai metodenya (Mulyana, 2004:94).
b. Penyelesaian dalam Wilayah
Ilmu Pengetahuan
Pada wilayah ini, nilai lebih mudah
dipahami. Banyak teori nilai yang dapat menjadi pengetahuan kita. Pengetahuan
tentang nilai dapat kita gunakan untuk menyelesaikan masalah kehidupan. Seperti
dalam persoalan kenakalan remaja tadi, pemecahan masalah dapat dilakukan
melalui pengetahuan kita tentang nilai-nilai yang berada pada wilayah ilmu.
Karena ilmu menuntut adanya bukti empirik, maka penyelesaian harus melalui
tindakan pendidikan. Disinilah teori nilai berhubungan dengan Psikologi,
Sosiologi, Antropologi, Ekonomi, Politik, Budaya, Moral, dan Etika yang
memberikan kejelasan tentang cara-cara penyelesaian masalah. Menurut Psikologi,
nilai-nilai yang destruktif itu lahir karena kawula muda itu memiliki keyakinan
nilai yang salah. Karenanya mereka harus dibimbing. Bagamana cara membimbingnya? Sosiologi menyarankan: Tanamkan perasaan
saling membutuhkan antara anak dan orang tua! Apa yang mesti disertakan dalam bimbingan itu? Etika dan Moral berbicara:
Isi pengetahuan dan kesadaran mereka
dengan nilai agama dan perasan tanggung jawab! Demikian pula, Ekonomi
menyarankan: Berlakulah hemat agar hidup lebih sejahtera!
Pengetahuan tentang teori nilai juga dapat
membimbing kita dalam penyelesaian masalah
secara sistematis. Ketika anak didik memiliki kelemahan dalam mengapresiasi nilai, pengetahuan tentang Value
Claririfation Technique (VCT) dapat menjadi salah satu cara
untuk menyelesaikan masalah itu. Anak didik
dibimbing untuk penimbang dan memilih nilai sesuatu dengan pengalaman
dan kemampuan mereka. Dengan cara ini, mereka diharapkan memiliki tanggung jawab atas nilai-nilai yang
dipilihnya. Selain itu, pengetahuan kita tentang metode keteladanan, metode pembiasaan, metode penanaman, dan
prinsip evaluasi nilai jangka panjang dapat membantu kita dalam menciptakan
pendidikan yang bermakna. Inilah cara ilmiah pengetahuan
nilai menyelesaikan masalah pendidikan .
c. Penyelesaian dalam Wilayah
Mistik
Mistik adalah sesuatu yang diluar
kemampuan pikiran logis manusia. Artinya kemampuan otak tidak lagi memiliki
kemampuan mengolahnya secara berstruktur
seperti dalam fisafat dan ilmu pengetahuan. Karena itu, nilai ditangkap
bukan lagi oleh kecerdasan akal, melainkan melalui ketajaman mata hati. Kalau demikian, cara menyelesaikan
permasalahannya pun berbeda. Di sini keyakinan hati harus dikedepankan,
walaupun akal masih bertanya.
Sifatnya yang tidak logis, membuat
penyelesaiannya pun tidak logis. Seorang remaja yang kecanduan narkotika (nilai
destruktif) dapat sembuh melalui praktik
wirid dalam jumlah terntentu. Cara ini sudah terbukti banyak hasilnya dibandingkan dengan pendekatan terapi
psikologis yang kontemporer. Ada pula orang mengidap penyakit darah
tinggi dapat sembuh karena ia sering pergi
ke pengajian. Ini pun banyak terbukti. Jadi , fakta empiriknya memang ada. Tapi, mengapa hal ini terjadi? Pikiran
logis tidak dapat menjawab. Inilah
cara pengetahuan nilai menyelesaikan permasalahan pada wilayah mistik.
TUGAS!
Petunjuk
:
1.
Buatlah
sebuah laporan penelitian yang berjudul “ORIENTASI NILAI BUDAYA SUNDA”.
Nilai-nilai tersebut diklasifikasikan berdasarkan macam-macam nilai berdasarkan
wilayah kajiannya.
2.
Sumber
data diperoleh dari pribahasa yang masih digunakan dalam masyarakat yang
tinggal disekitar anda. Jumlah responden sebanyak sepuluh (10) orang dari latar
belakang dan status sosial ekonomi yang berbeda.
3.
Laporan
Penelitian tersebut ditulis 1,5 spasi, huruf yang digunakan Times New Roman
dengan ukuran 12 dengan jenis kertas A4.
Adapun formatnya
sebagai berikut :
Halaman muka
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I.
Pendahuluan (2 halaman)
A.
Latar
Belakang Masalah
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
penelitian
D.
Manfaat
dan kegunaan penelitian
E.
Metodologi
Penelitian (metode penelitian yang digunakan, Lokasi dan sampel penelitian,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data)
Bab II. Kajian Teori ( 4 halaman)
A.
Pengertian
dan struktur nilai berdasarkan wilayah kajian
B.
Obyek,
Cara Memperoleh dan Kualitas Kebenaran Nilai Keagamaan
C.
Kegunaan
dan Metode Nilai Keagamaan Dalam Memecahkan Masalah
Bab III.Analisis dan Penafsiran Data (6
halaman)
- Analisis sumber data Primer
1.
Nilai
Teoritik
2.
Nilai
Ekonomis
3.
Nilai
Estetik
4.
Nilai
Sosial
5.
Nilai
Politik
6.
Nilai
Agama
- Analisis sumber data Sekunder
1.
Nilai
Teoritik
2.
Nilai
Ekonomis
3.
Nilai
Estetik
4.
Nilai
Sosial
5.
Nilai
Politik
6.
Nilai
Agama
Bab IV. Kesimpulan dan saran (2 halaman)
- Kesimpulan
- Saran
Daftar Pustaka
Buku Mulyana, 2094:34 judulnya apa ya?
BalasHapusmohon info nya 🙏
Mantaaf
BalasHapus