Rabu, 01 Agustus 2012

Pendidikan Nilai dan Pengembangan Kepribadian Pertemuan 7 dan 8


KEBUDAYAAN SUNDA

A.                Makna  Sunda Dan Kebudayaan Sunda
Menurut Ma’mun Atmamihardja (1958:7) kata Sunda berasal dari pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu seperti kata-kata Sumatra, Madura, Bali yang menunjukan kata tempat. Selanjutnya menurut Gonda  (dalam Ekadjati,2005: 3) kata suddha dalam bahasa Sansekerta dipakai sebagai nama gunung yang menjulang di wiyaha ini, yaitu Gunung Sunda (tinggi 1.850 meter). Gunung ini tampak dari jauh putih bercahaya – makna kata suddha  dalam bahasa Sansekerta- karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung tersebut. Dalam Ensiklopedi Sunda (1999 : 618) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Sunda adalah nama wilayah dibagian barat pulau Jawa yang batas sebelah timurnya Cipamali sampai pada akhir abad ke –16, kemudian dipindahkan ke Cilosari. Sedangkan menurut Pires (1513), batas wilayah disebelah timurnya adalah Cimanuk (Salmoen 1939 : 122).
Dalam perkembangan lain istilah Sunda  digunakan pula dalam konotasi manusia atau kelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Orang Sunda adalah mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang-orang lain sebagai orang Sunda. Orang-orang lain itu berupa baik orang-orang sunda sendiri maupun orang-orang yang bukan orang Sunda (Warnaen et.al., 1987:1). Di dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama, seseorang atau sekelompok orang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya, baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang sunda di manapun ia atau mereka berada dan dibesarkan. Menurut kriteria kedua, orang Sunda adalah orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial  budaya Sunda dan dalam hidupnya mengahayati serta mempergunakan  norma-norma dan nilai-nilai budaya  Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya, dan sikap orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang atau sekelompok orang yang orang tuanya atau leluhurnya orang sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia atau mereka tidak mengenal, menghayati dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya. Sebaliknya, seseorang atau sekelompok orang yang orang tuanya atau leluhurnya bukan orang Sunda, menjadi orang Sunda karena ia atau mereka dilahirkan, dibesarkan, dan hidup dalam lingkunag sosial budaya Sunda serta menghayati dan mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya. Perlu dikemukakan bahwa ada orang yang mendefinisikan orang Sunda berdasarkan salah satu kriteria di atas. Misalnya, Ajip Rosidi (1984: 13) mengemukakan  definisi orang Sunda hanya berdasarkan kriteria kedua.
Oleh orang yang tinggal di daerah pesisir, misalnya penduduk Cirebon, orang Sunda biasa disebut urang gunung, wong gunung, dan tiyang gunung, artinya orang gunung (ENI, IV, 1921; Rosidi, 1984;129; Adiwilaga, 1975). Besar kemungkinan timbulnya sebutan tersebut setelah adanya anggapan bahwa pusat Tanah Sunda di Priangan. Priangan memang merupakan daerah pegunungan dengan puncak-puncaknya yang cukup tinggi. Dalam pada itu, peranan orang Sunda di daerah pesisir akhir abad ke-16 Masehi dinggap berakhir, beralih ke daerah pegunungan atau pedalaman (Ekadjati,2005: 7-8).
Sunda dipertalikan pula secara erat dengan pengertian kebudayaan. Bahwa ada yang dinamakan kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah Sunda. Kebudayaan Sunda dalam tata kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia digolongkan ke dalam kebudayaan daerah (lihat: Undang-undang Dasar 1945, terutama penjelasan pasal 32 dan pasal 36) dan ada yang menamai kebudayaan suku bangsa, untuk membedakan dengan kebudayaan nasional. Disamping persamaan-persamaan dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain (Ekadjati, 2005: 8). 

B. Sumber-sumber Nilai Budaya Sunda
Budaya Sunda merupakan salah satu kebudayaan Nusantara yang menjadi sumber nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral ini dapat dijumpai dalam perilaku dan kepribadian sebagian masyarakat Sunda, nilai-nilai luhur Prabu Siliwangi, ungkpan-ungkpan dan pribahasa Sunda, serta naskah-naskah kuno yang ditulis para leluhur Sunda. Di antara naskah Sunda yang hingga sekarang terpelihara dan menjadi bahan kajian ilmiah adalah Naskah Shanghyang Siksa Kandang Karesian, Dongeng tokoh Kabayan, Carita Mundinglaya di Kusumah, Carita Pantun Lutung Kasarung, Roman Pangeran Kornel dan Roman Mantri Jero, dan Sasakala Tangkuban Parahu.
Mengikut Warnaen (1987) nilai-nilai luhur yang terkandung dalam kebudayaan Sunda meliputi pandangan hidup manusia sebagai pribadi, manusia, manusia dengan lingkungan masyarakatnya, manusia dengan alam, manusia dengan Tuhan, dan manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah. Berikut sumber-sumber nilai dalam kebudayaan Sunda; 
1.      Ungkapan Tradisional Sunda
Ungkapan tradisional Sunda mencerminkan bahwa orang Sunda sebagai pribadi memiliki sifat-sifat sopan, sederhana, jujur, berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas, mencintai tanah air dan bangsa, serta baik hati (Warnaen, 1987: 13). Berikut contoh ungkapan tentang kepribadin  
1)      Kudu hade gogog hade tagog (harus baik salak (anjing), baik laku), maknanya harus baik budi bahasa dan baik tingkah laku.
2)      Teu busik bulu salambar (tidak kusut bulu selembar), maknanya pendirian yang kokoh, tidak goyah sedikitpun.
3)      Kudu leules jeujeur liat tali (joran harus lentur tali harus kenyal), maknanya segala keputusan dan perbuatan harus melalui pemikiran yang masak.

Menurut Warnaen (1987) ungkapan tradisional tentang pandangan hidup manusia dengan lingkungan masyarakat menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan sesamanya harus dilandasi oleh sikap saling mengasihi, saling mengasah, saling mengasuh sehingga tercipta Susana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian, ketentraman, dan kekeluargaan (Warnaen, 1987: 19).
Selain itu hubungan dalam masyarakat tidak hanya meliputi sesama tetapi juga berkaitan dengan negara dan bangsanya. Warnaen (1987) menjelaskan bahwa hubungan tersebut hendaknya didasarkan oleh sikap menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan ikut kepada masyarakat. berikut beberapa ungkapan yang menjelaskan tentang hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya;
1)      Taraje nanggeuh dulang tinande (tangga bersandar dulang pun siap menadah), maknanya siap sedia menjalankan kewajiban, khususnya seorang istri kepada suaminya.
2)      Ulah nyieun pucuk ti girang ( jangan membuat tunas dari hulu), maknanya jangan mencari-cari bibit permusuhan.
3)      Ulah nyolok mata buncelik (jangan mencolok mata yang melotot), maknanya jangan berbuat sesuatu dihadapan orang lain dengan maksud mempermalukan orang itu.
4)      Kudu silih asih silih asah jeung silih asuh (harus saling mengasihi saling mengasah dan saling mengasuh), maknanya diantara sesama hidup harus salilng mengasihi, mengasah dan mengasuh.
5)      Kawas gula jeung peueut (seperti gula dengan nira yang matang), maknanya hidup rukun sayang menyanyangi , tidak pernah berselisih.

Sementara itu, ungkapan tradisional tentang hubungan manusia dengan alam menjelaskan bahwa manusia harus menggunakan akalnya dan  menghormati kebiasaan orang lain. Hal itu sebagaimana dalam ungkapan berikut ini:
1)      Manur hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna (burung terbang dengan sayapnya manusia hidup dengan akalnya), artinya setiap makhluk masing-masing telah diberi cara atau alat untuk melangsungkan kehidupannya.
2)      Jawadah tutung biritna sacarana-sacarana (Juadah hangus sebelah bawah, masing-masing dengan caranya), maknanya setiap bangsa memiliki cara dan kebiasaan masing-masing, agar orang saling menghormati cara dan kebiasaan itu meskipun berbeda.
3)      Leutik ringkang gede bugang (Kecil langkah besar bangkai), maknanya manusia itu meskipun kecil badannya, kalau meninggal dalam perjalanan, besar urusannya, berbeda dengan binatang.

Tentang pandangan manusia dengan Tuhan menjelaskan bahwa manusia seharusnya bertakwa dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab kelak pada saatnya semua akan kembali kepada Tuhan. Selain itu harus pula mempunyai kesadaran bahwa manusia itu lemah, tidak berdaya, dan kematiannya itu di tangan Tuhan. Harus pula percaya bahwa kesengsaraan dan kebahagiaan merupakan kehendak Tuhan. Berikut ungkapan yang menjelaskan tentang hubungan manusia dengan Tuhan;
1)      Mulih kajati mulang ka asal (kembali kesejati pulang keasal), maknanya meninggal, berasal dari Tuhan kembali ke Tuhan.
2)      Dihin pinasti anyar pinanggih (sejak dahulu ditentukan baru sekarang dijumpai), maknanya segala hal yang dialami sekarang sesungguhnya sudah ditentukan dahulu. Agar orang percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan.
3)      Nimu luang tina burung (Mendapat pengalaman dari perangkap), maknanya: mendapat pengalaman atau pengetahuan pada waktu mendapat kecelakaan. Agar orang tidak berputus asa atau kecewa jika ditimpa kemalangan atau kecelakaan, sebab dalam dalam kemalangan atau musibah itu ada hikmah yang dapat kita petik.
4)      Eling tan pangling, rinasuk jaja tumeheng pati (ingat tidak akan kesamaran, masuk kedalam dada sampai mati), maknanya kenyakinan yang sangat teguh yang dipegang sampai mati.
5)      Kedhongana kuncinana, wong mati mangsa wurunga (di gedung yang dikunci pun orang yang mati mustakhil tidak jadi), maknanya walau bagaimanapun, setiap orang tidak akan luput dari kematian.

Dan yang terakhir ungkapan yang mengandung ajaran tentang manusia dalam mengejar kepuasan lahir dan batin. Untuk mewujudkan kemulyaan lahir dan kepuasaan batin, setiap orang dianjurkan untuk menjauhi pantangan dan menjalankan aturan adat istiadat. Di antara pantangan yang harus dihindari adalah, bersaing (Warnaen, 1987: 27), rebutan kekuasaan kekuasaan dan pengaruh, mementingkan diri sendiri dan memeras rakyat kecil (Warnaen, 1987: 28).  Sedangkan tindakan yang dianjurkan adalah bekerja keras dan tidak mudah menyerah memiliki rasa tanggung jawab (Warnaen, 1987: 28). Untuk mewujudkan kepuasaan batiniah diantaranya dengan menghargai dan saling menghormati, serta mensyukuri setiap rezki yang diterimanya berapa pun jumlahnya, dan memahami dengan baik hak dan kewajiban serta hidup dalam kesederhanaan (Warnaen, 1987: 30). Berikut ungkapan yang mengandung ajaran tentang kepuasan lahir dan batin;
1)      Ulah pagiri-giri calik, pagirang-girang tampian (jangan berlomba mau duduk di tempat yang yang paling tinggi, mau bertepian mandi paling hulu), maknanya janganlah saling mengatasi di dalam mencari keuntungan sehingga tidak mengindahkan keselamatan bersama. Jangan berebutan kekuasaan atau jabatan.
2)      Meber-meber totopong heureut (membentangkan ikat kepala yang sempit), maknanya mengatur uang (rezki) yang sedikit untuk keperluan yang banyak, sulit sekali, tetapi sering harus dilakukan.
3)      Ngeduk cikur kudu mihatur, nyohel jahe kudu micarek, ngagegel kudu bewara (mengeduk kencur harus minta izin, mencongkel jahe harus bicara, menggoyang pohon yang berbuah harus memberi tahu), maknanyasegala kegiatan harus dilandasi persetujuan bersama.
4)      Tiis ceuli herang mata (sejuk pendengaran, bening penglihatan), maknanya hidup dalam ketenangan dan kedamaian, tidak mendengar atau melihat hal-hal yang jelek.
5)      Kudu bisa miheupekeun maneh (harus dapat menitipkan diri), maknanya harus bertingkah laku baik, agar dapat hidup bersama orang lain dengan selamat.

2.      Carita Pantun Lutung Kasarung
Bagi masyarakat Sunda Carita Pantun Lutung Kasarung bukan saja sebagai cerita rakyat disampaikan secara turun temurun, tetapi juga menagndung unsur pendidikan nilai di dalamnya. Mengikut Warnaen, dkk. (1987), dalam Carita  pantun Lutung Kasarung pun mngandung lima nilai pokok dalam kehidupan manusia.
Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi dalam Carita Lutung Kasarung menegaskan bahwa orang Sunda dalam hubungannya dengan pribadi  adalah pelaku yang harus memainkan peran penting dalam proses kehidupannya dan kehidupan masyarakat yang dijalaninya dengan penuh keseimbangan. (Warnaen, dkk., 1987: 44) Orang Sunda juga adalah kelompok etnik yang mudah memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain, rendah hati, selalu memahami orang lain, jujur, tabah, percaya diri dan pengabdian. Warnaen, dkk., 1987: 44). Berikut tulisan yang mengandung ajaran tentang kepribadian;
Kuring rek diajar ngidung,
nya ngidung carita pantun,
ngahudang carita wayang,
nyilokakeun nyukcruk laku,
nyukcruk laku nu bahayu,

mapay lampah nu baheula,

Artinya:
Saya akan belajar menyangikan kidung,
yaitu kidung cerita pantun,
membangkitkan lagi cerita wayang,
menggambarkan urutan  pengalaman,
pengalaman yang telah silam,

menyesuaiakan perjalanan masa silam

bisina nerus narutus,
bisina narajang alas,
palias nerus narutus,
palias narajang alas,
da puguh galuring tutur,
ngembat papatan carita.

Artinya:
Kalau-kalau lurus menembus,
kalau-kalau menerjang hutan balantara,

semoga tidak lurus menembus,
semoga tidak menerjang hutan belantara,
sebab telah tentu jalannya tuturan,
telah panjang jalan cerita.  

Orang sunda dalam hubungannya dengan masyarakat adalah memahami orang lain diluar dirinya, merasa terikat antara satu dengan yang lainnya, ikatan itu disebabkan oleh aturan-aturan dan adat, norma masyarakat yang dikembangkan dalam lakon ini adalah ketabahan, kejujuran, rendah hati dan memiliki prinsip hidup, toleransi serta yakin pada nasib dan kekuasaan Tuhan (Warnaen, dkk, 1987 : 50). Berikut pernyataan yang mengandung ajaran tersebut:
Mas Prabu Ageung Tapa,
miwah ka tuang si Dalem,
nu geulis Nitisauri,

Sakiwari keur puputra,
puputra reana tujuh;
teu gaduh putra lalaki,
tuang putra kabeh istri.

Artinya:
Mas Prabu Ageung Tapa,
serta kepada Si Dalem istri Tuan,
yang cantik Nitisuari,

Pada waktu itu mempunyai anak,
mempunyai anak banyaknya tujuh,
tak memiliki anak laki-laki,
anaknya semua wanita.

Heunteu majer remung salah,
bisi teu rampung jeung anak-putu,
nu salawe kuren.

Rempug ta heunteu?
Anak-putu nu salawe,
majah rempug kabeh.

Linggih ambring…geus poek
balik sowang-sowangan
sadungus-dungus

Artinya:    
Jika tak berembuk disalahkan,
apabila tak bersetuju dengan anak-cucu,
yang berjumlah duapuluh lima keluarga.

“Setujuhkan atau tidak?”
Anak-cucu yang dua puluh lima itu,
katanya semua setuju.

Habis bersih…gelaplah sudah,
kembali sendiri-sendiri,
ke rumahnya masing-masing.

Orang sunda dalam hubungannya dengan alam adalah relasional dengan penyesuaian diri yang diperlukan, karena itu segala gejala alam ada sebabnya. Orang Sunda menyadari bahwa alam berjalan menurut waktu yang berulang. Gejala alam identik dengan gejala kemanusiaan (Warnaen, 1987: 51). Pada situasi tertentu gejala alam akan mengakibatkan berbagai segi bagi kehidupan manusia (Warnaen, dkk, 1987: 56).
bisina nerus narutus,
bisina narajang alas,

palias nerus narutus,
palias narajang alas,
da puguh galuring tutur,
ngembat papatan carita.

Artinya:
Kalau-kalau lurus menembus,
kalau-kalau menerjang hutan balantara,

semoga tidak lurus menembus,
semoga tidak menerjang hutan belantara,
sebab telah tentu jalannya tuturan,
telah panjang jalan cerita.  

Di Gunung Capu Mandala-Hayu,
Mandala-Kasawiatan,
di hulu-dayeuh;

dina cai teu inumeun,
dina areuy teu tilaseum,
dina jalan teu seorangeun,
sakitu kasamaramunan!

Artinya:
Di Gunung Cupu Mandala-Hayu,
Mandala Kasawitan,
di hulu kota

pada tempat yang airnya tak bisa diminum,
pada salur-saluran yang tak mungkin dipotong,
pada jalan yang tak mungkin dilalui,
sedemikian sunyi senyap!

Orang Sunda dalam hubungannya dengan Tuhan. Tuhan merupakan keyakinan yang ada sejak masa pra Hindu. Konsep Tuhan itu adalah penguasa dunia dan alam jagat raya, yang serba kuasa dan mengetahui segala apa pun (Warnaen dkk, 1987: 61). Berikut pelukisan hubungan manusia dengan Tuhan dalam dalam Carita Pantun Lutung Kasarung;
Bul ngukus mêndung ka manggung,
ka manggung nêda papayung,
 ka dewata nêda,
ka puhaci nêda suci.

Artinya:
Mengepullah asap ke atas,
ke atas minta perlindungan,
kepada dewata mohon maaf,
kepada pohaci mohon kesucian.

Nêda panjang pangapura,
rek ngusik-ngusik nu keur calik;
ngoba-ngobah nu keur tapa.
Artinya:
Mohon maaf yang terus menerus,
sebab akan mengusik yang sedang bersemayam,
menggoda yang sedang bertapa.

Meraih kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah merupakan dua sisi yang dari kehidupan manusia Sunda yang timbul dari kehendaknya dan yang diungkapkan oleh ide dan gagasan sehingga menyebabkan tindakan-tindakan tertentu. Menurut  naskah, kepuasan rokhani menjadi tolak ukur terhadap kemajuan lahiriah (Warnaen, dkk., 1987: 67). Faktor penentu yang paling dominan dalam wewujudkan kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah adalah pengabdian (Warnaen, dkk., 1987: 68).  
Purbasari ayu wangi,
kancana ayu dewata,

bulu punduk miuh-miuh,
têtêngêr jadian tahun,

putêr kurung dina irung,
têtêngêr teureuh wong agung,

tapak jalak dina letah, têtêngêr bisa marentah,
jalma lênjang ti papangna,
geulis datang ka ngalahir,
komara mancur ka manggung,

“Geugeulisan Purbasari,
bakal ngalinding ka aing”.

Artinya:
Purbasari Ayu Wangi,
Kancana Ayu Dewata,

bulu kuduk tumbuh halus,
pertanda selalu tumbuh subur apa saja tumbuhan yang ditanamnya,
puter kurung pada hidung,
pertanda keturunan orang besar,

tapak jalak pada lidah,
pertanda dapat memerintah,
orang yang semampai di antara yang paling semampai,
cantik sampai ke perwujudannya,

wibawa bersinar ke atas,

kecantikan Purbasari,
akan menyisihkanku.”

“Adi, sia haying hirup ta hênteu?”
“Lamun sia haying awet hirup,

di ditu piênggoneum sia,
di hulu dayeuh,
dina talupuh sabebek,
dina hateup sajajalon.

Artinya:
“Adik, kau ingin hidup atau tidak?”

“Jika kau ingin panjang umur,
disanalah tempatmu,
di hulu negeri
pada lantai bambu sekeping
pada atap lalang sebuah

3.      Naskah Shanghyang Siksa Kandang Karesian
Naskah Shanghyang Siksa Kandang Karesian tahun 1518, naskah aslinya ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda kuno dan dialihkan dalam tulisan latin oleh K. F. Holle dibantu oleh R. Ng. Purbacaraka. Naskah ini berisi sejumlah ajaran yang banyak bersumberkan dari ajaran agama Hindu dan Budha.
Pembahasannya juga meliputi beberapa pandangan hidup orang Sunda, yaitu Pandangan tentang manusia sebagai pribadi, sipat manusia yang dianggap baik yaitu riang gembira, tenang dan tidak suka mengeluh, rendah hati dan tidak senang dipuji dan tidak berlebih-lebihan dalam mencari keuntungan atau penghasilan, prilaku yang baik yakni hormat dan hati-hati dalam tutur kata, mawas diri setelah berbuat sesuatu, menginsyafi bahwa suatu perbuatan akan berakibat baik dan buruk. Data yang paling banyak adalah yang berhubungan dengan gunanya berguru atau mencontoh hal-hal yang baik. Peran guru akan menentukan kualitas seseorang. (Warnaen, dkk, 1987: 111). Berikut kutipan ungkapan dari Naskah Shanghyang Siksa Kandang Karesian;
1)      Jaga rang ceta ma, mullah luhya, mullah kuciwa (berhati-hatilah bila melakukan sesuatu, jangan mengeluh jangan kecewa), maknanya seseorang jangan mempunyai sifat suka mengeluh dan putus asa.
2)      Jaga rang ngajadikeun gaga sawah, tihap ulah sangsara, jaga rang nyieun kebonan tihap mullah ngundeur ka huma beet salih, ka huma lêga sakalih, hamo beunang urang laku sadu. Cocooan ulah tihap meuli mulih tihap nukeur, pakarang mullah tihap nginjeun, simbut cawêt mulah kasaratan, hakan inum ulah kakurangan  (Bila kita berladang atau bersawah, sekedar jangan sengsara, berkebun sekedar jangan memetik sayuran di lading kecil atau lading luas milik orang, memilihara ternah sekedar angan hanya membeli atau menukar dengan barang (barter), memiliki perkakas sekedar jangan meminjam, selimut dan pakaian jangan kekurangan, makan dan minum pun jangan kekurangan), maknanya kita berusaha memiliki sesuatu bukan untuk kemewahan, tetapi sekedar untuk mencukupi keperluan kita sehari-hari.
3)      Guru rare, guru kaki, guru kakang, guru tua (Berguru kepada anak-anak, kepada kakek-kakek, kepada kakak, dan kepada pak tua), maknanya harus berguru kepada orang-orang yang ada di dalam keluarga, dan tak perlu melihat tingkatan usianya.
4)      Lamun anggeus di karma ning akarma, di twah ring atwah, anggeus pahi kilikan, ni gopel nu rapes, nu hala nu hayu (Bila kita selesai mengerjakan tugas, melakukan perbuatan, semua harus kita periksa kembali, mana yang buruk dan mana yang baik, mana yang mungkin mencelakakan kita dan mana pula yang menyelamatkan), maknanya kita harus mawas diri setelah kita selesai melakukan sesuatu.
5)      Janma wong, janma siwong, wastu siwong (Janma wong ialah orang dalam jasadnya saja, janma siwong ialah orang baik tetapi belum mendapat didikan, wastu siwong  ialah orang terdidik sehingga faham akan ajaran yang luhur), maknanya Orang mesti mendapat didikan agar memahami ilmu yang berguna bagi dirinya.

Orang Sunda secara pribadi sadar akan hubungannya dengan masyarakat yang menimbulkan aturan-aturan yang harus disepakati oleh semua warga masyarakat, selain itu aturan tentang baik dan buruk muncul pada hakekatnya berdasarkan penilaian terhadap dijalankan atau tidaknya aturan-aturan tadi. (Warnaen dkk, 1987: 112). Berikut ungkapan yang mengandung ajaran hubungan manusia dengan lingkungannya;
1)   Mulah hiri mullah dengki deung deungeun sakahulunan (Jangan iri dan jangan culas kepada kawan sperhambaan), maknanya seseorang jangan mempunyai sifat iri dan culas terhadap kawan sendiri.
2)   Ulah mo pake na sabda atong teuang guru basa, bakti suksila di pada janma, di kula kadang baraya (Jangan sampai tidak menggunakan tutur kata yang hormat, hati-hatilah berbahasa, sopan-santunlah kepada setiap orang dan kepada sanak saudara), maknanya seseorang harus berlaku sopan dalam bertutur kata kepada setiap orang.
3)   Maka nguni nyeueung nu meunang pudyan, meunang parekan, nyeueung nu dineneh ku tohaan, teka dek nyetnyot tineung urang (Demikian pula menyaksikan orang yang mendapat pujian, mendapat selir (hadiah dari raja), melihat orang yang dikasihi raja,(jangan)lalu goyah kesetiaan kita), maknanya seseorang jangan sampai goyah kesetiaannya kepada atasan, walaupun atasan tidak menaruh perhatian kepada pekerjaannya, padahal yang lain diperhatikan.   
4)   Jaga urang deuuk, ulah salah hareup, maka rampes di sila ( berhati-hatilah kita duduk, jangan salah menghadap, harus baik sikap waktu duduk bersila), maknanya kesopanan harus dijaga, bila kita berkesempatan menghadap orang-orang terhormat.
5)   Aya ma na janma rampes ruana, rampes tingkahna, rampes twahna, turut saageungna, kena itu sinangguh janma utama ngaranna. Aya ma janma goreng ruanaa,ireug tingkahna, rampes twahna, itu ma mulah diturut tingkahna dara sok jeueung rwana, turut ma twahna. Aya janma goreng rwana, ireug tingkahna, goreng twahna,itu ma carut ning bumi, silih dirina urang sabuwana, ngaran calang ning janma (Bila ada orang yang baik perangainya, baik tingkahnya, baik pula perbuatannya, tirulah keseluruhannya, karena dia adalah orang yang disebut manusia utama. Bila ada orang yang buruk perangainya, salah tingkahnya, baik perbuatannya, dia jangan ditiru tingkahnya, tapi cepat-cepat lihat perangainya dan tiru perbuatannya. Bila ada orang yang buruk perangainya, salah tingkahnya, buruk perbuatannya, adalah kotoran dunia.   

Masyarakat Sunda mempunyai kesadaran yang tinggi terhadap pentingnya alam, misalnya kebersihan lingkungan amat dipentingkan. Alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. (Warnaen, dkk., 114). Gambaran penghormatan manusia terhadapa alam semesta berikut ini;
1)   Trena, taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wowohan, dadi ma hukan landung tahun, tumuwuh daek, make hurip na urang reya (rumput, pohon, tumbuhan melatadan perdu, pada kehijauan tumbuh buah-buahan, hujan turun sepanjang tahun, semua dapat tumbuh, itulah penunjung kehidupan orang banyak), maknanya yang dianggap sebagai penunjang kehidupan ialah tumbuh-tumbuhan yang menghijau, hujan yang cukup turun setiap tahun sehingga dapat menyuburkan tanaman.
2)   Lamun urang ka dayeuh, ulah ngising di pinggir jalan, di sisi imah di tuntung caangna, bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni tungku nu rongah-rongah, bisii kasumpah kapadakeun…ngising mah tujuh lengkah ti jalan, boa mo nêmu picarekeun sakalih, ja urang nyaho di ulah pamali (bila kita datang ke kota, jangan buang berak di pinggir jalan, di samping rumah, di tempat yang terang, kalau-kalau tercium oleh bangsawan dan raja. Timbuni dan tutuplah bagian yang berlubang itu, agar tidak kena serapah akhirnya…buang berak harus tujuh langkah dari (pinggir) jalan, buang air kecil harus tiga langkah, agar tidak mendapat marah dari semuanya, karena kita tahu pada larangan dan pantangan), maknanya kita harus tahu dan menjalankan aturan dalam hal memelihara kebersihan lingkungan.   
   
Dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan, Shanghyang Siksa Kandang Karesian berisi ajaran yang harus diperhatikan oleh semua orang. Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa setiap orang harus mentaati (serta menjalankan) ajaran, adapun tempat yang dianggap suci ialah rumah adat, tempat keramat atau tempat memuja, seperti: candi, kuil, lingga dan arca atau patung. (Warnaen, dkk, 1987: 115). Berikut ungkapan yang menyatakan ajaran pandangan manusia tentang Tuhan;
1)   Ya ta janma bijil ti nirmala ning lêmah,pahonan, pabutê, pamujaan, imah maneuh, candi, prasada, lingga linggih, batu gangsa, lêmah biningba, ginawe wongwongan, saspuan. Sakitu, saukur lêmah kaopeksa, cai kusucikeun, kapawitrakeun. Nya keh janma rahayu, yanma rampes, ya janma krêta (Ada yang keluar dari kesucian tanah, tempat, tempat kurban, tempat keramat, tempat memuja, sanggar, candi, kuil, lingga suci, batu perunggu, tempat arca, patung-patung, (lalu orang) membersihkannya dengan sapu. Demikianlah, seluruh permukaan tanah terurus, air dapat disucikan, dikeramatkan. Itu semua manusia yang selamat, orang baik-baik, orang sejahtera), maknanya orang harus selalu membersihkan dan memelihara tempat-tempat suci keagamaan.
2)    Ini triwarga di lamba: Wisnu kangken prabu, Brahma kangken  rama, Isora kangken resi. Nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat (Ini tiga warga pada kehidupan luas; Wisnu diibaratkan prabu (raja), Brahma diibaratkan resi, Isora diibaratkan pendeta. Bila tritangtu peneguh dunia, maka triwarga yang menghidupkan jagat raya), maknanya Kepercayaan bahwa jagat raya dikuasai oleh Wisnu, Brahma dan Isora (Siwa).
3)   Ka bojo sing ngalap manah, sakadar nu matak geunah, ulah nu matak tugenah, ku hukum moal kamanah, pameget kukuhan sara, ulah arek lalawora, kkumaha tuturan sara, ambrih lulus nya salira, Ulah dek silih benduan, tiktikan jeung timburuan, bisi kagok kalakuan, tangtu cacad jeung batur salembur, mun bojo kaluluputan, wurukan bae ingitan, supaya kasalametan, ulah mawa nafsu setan (Kepada istri haruslah pandai mengambil hati, sekedar yang mengakibatkan kesenangan, jangan mengakibatkan tak nyaman, oleh hukkumpun tak akan disetujui, Pria hendaknya teguh pada agama jangan gegabah dan lalai, (berbuatlah) sebagaimana ajaran agama agar selamatlah badan Janganlah saling mamarahi curiga dalam penggunaan harta dan cemburuan jika demikian akan serba sulitlah kelakuan tentulah terjadi cela dengansesama tetangga. Apabila istri berbuat kehilafan nasihati saja dan ingatkan agar supaya beroleh keselamatan janganlah membawa nafsu setan.
4)   Anak bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di guru, wong tani tani bakti di wado, wado bakti di di mantri, mantri bakti di nu nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata, dewata bakti di hyang (anak berbakti kepada ayah, perempuan berbakti pada suami, hamba sahaya berbakti kepada majikan, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada wado (nama jabatan), wado berbakti kepada mantri (nama jabatan), mantri berbakti kepada nu nangganan (nama jabatan), nu nangganan berbakti kepada mangkubumi (nama jabatan), mangkubumi berbakti kepada ratu atau raja, ratu atau raja berakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang), maknanya seseorang harus berbakti kepada orang yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi dari dia, sedangkan ratu atau raja harus berbakti kepada zat yang ada di dunia supernatural.
5)   Bakti ka Batara! Sing para dewata kabeh baktika Barata Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan pretyaksa (Berbaktilah kepada Barata! Maka para dewata pun berbakti pada Barata kekuatan yang Tunggal. Semua menentukan ketaatan dan kejelasan), maknanya Sebagai makhluk, kita harus menyembah Tuhan yang Maha Esa dengan penuh ketaatan, karena perintah-Nya benar adanya.

4. Sawer Panganten
Sawér merupakan adat kebiasaan memberi nasihat atau menyampaikan perasaan hati pada upacara peralihan dalam hidup seseorang, biasanya orang tua kepada anaknya (Ensiklopedi Sunda, 2000: 580). Dengan demikian istilah Sawer Panganten  berarti nasehat orang tua yang disampaikan secara penuh perasaan kepada anaknya yang menjadi penganten. Sawer Panganten yang disusun oleh Yus Rusyana merupakan salah satu sumber nilai dalam kebudayaan Sunda. Perkawinan menurut orang Sunda merupakan pandangan hidup orang Sunda yang utama. Lima pandangan hidup seperti yang terdapat dalam sumber-sumber sebelumnya juga menjadi kandungan penting dalam  Sawer Penganten.
Dalam pandangan hidup manusia sebagai pribadi, dalam perkawinan seorang suami harus bertanggung jawab berkenaan dengan keselamatan dan kesejahteraan istrinya; memimpin istrinya, memberi pendidikan, mempunyai pengertian yang tinggi dan toleransi terhadap istrinya, tidak membiarkannya liar; tidak meyakiti hati istrinya, tidak mudah menjatuhkan talak, dan tidak pecemburu; dan menjauhkan diri dari pergaulan dengan perempuan lacur dan orang-orang yang suka berjudi (Warnaen, dkk., 1987: 118-119).
Sementara itu kewajiban istri dihadapan suami adalah setia dan patuh kepada suami, karena suami sebagai pengganti orang tuanya; menjaga keserasian hubungan dengan suaminya, menyenangkan hati, saling memberi  dan menerima; menjaga diri dari pergaulan bebas, tidak meninggalkan rumah di kala suami tidak berada di rumah, menjalankan tata krama; dan menghindari pertengkaran, tidak pencemburu, tidak pemboros, tidak membuka rahasia; tidak selingkuh, dan tidak mudah minta bercerai.  (Warnaen, dkk., 1987: 120)
Berikut ajaran tentang hak dan kewajiban pribadi sebagai suami istri;
Dalam pandangan hidup manusia dengan Tuhan, Sawer Panganten menjelaskan bahwa perkawinan merupakan takdir dari Allah yang harus dijaga dan dimulyakan. Karena sebelum prosesi pernikahan berlangsung selalu dimulai dengan permintaan izin kepada Tuhan serta bersyukur kepada-Nya dan meminta perlindungan agar selalu berada dalam keselamatan (Warnaen, dkk., 1987: 122). Berikut sebagian pernyataan dalam Sawer Penganten;
Pun sapun ka luhur
ka Sang Rumuhum
ka Guruputra Yang Bayu
ka handap ka Sang Barata
ka Batara ka Nagaraja
amit ampun ka nu kagungan lêmbur
tabe kanu kagungan bale
amit ka nu kagungan bumi
bisingna numbuk kukubung
bisingna nojo kosong
bising ngarêmpak larangan
nu calik jadi canoli
nu aya di papajangan
sarawuh di papajangan
nêda ampun nya paralun
nêda panjang pangampura
jisim kuring rek ngembarkeun
pangandika kangjêng Nabi Rasulullah saw.

(Yus Rusyana, 1971: 24)

Artinya:
Mohon ampun
ke atas kepada Sang Rumuhun
ke bawah ke Sang Batara
kepada Batara kepada Batari
kepada Batara Nagaraja
minta ampun kepada yang empunya kampung
tabe kepada yang empunya balai
minta izin kepada yang empunya rumah
kalau-kalau mengena bilik
kalau-kalau mengena ruang kosong
yang duduk menjadi canoli
yang ada di ruang berhiasan
minta ampun
minta panjang permaafan
saya akan mengumumkan sabda
Kangjeng Nabi Rasulullah saw.
(Warnaen, dkk., 1987: 125)
       
Sementara itu tentang upaya manusia dalam meraih kepuasan lahiriah dan batiniah dalam Sawer Penganten menjadi tujuan utamanya. Di antara yang harus dilakukan dalam mencapai kepuasan lahiriah dan batiniah tersebut dengan cara kerja tekun dalam menjalankan mata pencaharian, seperti bertani, berdagang, atau beternak. Berikut bait yang menjelaskan tentang upaya meraih kepuasan lahiriah dan batiniah;
Sing tangginas nyaring manah
ulah kajongjonan ngeunah
masing leukeun ngolah tanah
tancab-tuncêb anu ngeunah.

Montong loba nu dicêkêl
ngan kudu têmên jeung wêkêl
pingeusaneun boga bêkêl
sumawon tambah patikêl.

Naon bae bibilintik
ngarah sautak-saeutik
mibit hayam mibit itik
keur meuli poleng jeung bati.
(Yus Rusana, 1971: 63, dalam Warnaen, 1987: 125)

Artinya:
Mesti  tangkas berhati nyalang
jangan terus keenakan
harus tekun mengolah tanah
menanam apa yang enak dimakan.

Tak usah banyak yang dipegang
asal bersungguh-sungguh
sebagai jalan agar memiliki bekal
apalagi ditambah pandai berdagang.

Kerja apapun usahakanlah dengan tekun
mencari berdikit-dikit
membibitkan ayam dan itik
untuk membeli poleng dan batik.
(Warnaen, dkk., 1987: 126)


5. Roman Pangeran Kornel dan Roman Mantri Jêro  
Pangeran Kornel adalah sebutan untuk bupati Sumedang yang diangkat kolonel oleh pemerintah Belanda tatkala ditugaskan untuk mengerahkan pasukan dan mengepalainya selama mengepung para pemberontak pengikut Pangeran Diponegoro, karena dikhawatirkan pemberontakan itu akan menyebar ke Jawa Barat (Ensiklopedi Sunda, 2000: 487). Selanjutnya kisah hidup pangeran Kornel itu menginspirasi R Memed Sastra Hadiprawira menuliskannya sebagai roman sejarah pada tahun 1930. Sedangkan Mantri   Jero adalah roman sejarah karya R. Memed Sastra Hadiprawira pada tahun 1928. Mantri Jero mengisahkan tentang keadaan tanah Priangan pada awal abad 17,  beberapa tahun sebelum dan sesudah ditaklukkan oleh balatentara Sultan Agung dari Mataram (Ensiklopedi Sunda, 2000: 399).  Oleh Warnaen, dkk. (1987), kedua roman mengandung nilai-nilai luhur berbasis kebudayaan Sunda.
Tentang pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi, kedua roman tersebut menjelaskan seharusnya seseorang mempunyai tabiat yang luhur keutamaan, keteguhan hati, keberanian, dan  kepandaian (Warnaen, dkk., 1987: 131-141). Berikut ungkapan Pangeran Kornel dan Mantri Jero;
1)   Nangis seibarat hujan, nyiram binih-kaprawiran. Malah mandar eta bibit kautaman, nu dipêlak dina lêmah anu pinuh ka eurih-jukut-kapeurih melentung jadi petetan serta mulus hirup-hirip, jadi tangkal pangubah kadang warga. Artinya: menangis seibarat hujan yang menyiram benih keperwiraan. Agar benih benih keutamaan, yang ditahan dalam tanah yang penuh dengan ilalang-rumput-kesedihan, tumbuh bertunas dan hidup mulus jauh dari hama penyakit, menjadi pohon tempat kaum keluarga berlindung. (Pangeran Kornel) (Warnaen, dkk., 1987: 146)
2)   …ibarat tangkal, diarah iuhna, pangauban kuring leutik, penyalindungan nu kapanasan. Artinya:…ibarat pohon, berguna karena keteduhannya, tempat bernaung si kecil, tempat berteduh yang kepanasan. (Pangeran Kornel) (Warnaen, dkk., 1987: 147)
3)   tabeat linuhung, nya eta nyaah ka nu masakat, artinya tabiat yang luhur ialah sayang kepada orang yang papa” (Pangeran Kornel) (Warnaen, dkk., 1987: 147)
4)   kudu percaya kana keyakinan hate sorangan, sanajan cek batur salah, tapi lamun cek kayakinan hate sorangan bênêr, asal cukup ihtiar, ulah rek galideur, sabab saksi nomor hiji nu bakal nyalahkeun jeung ngabênêrkeun kalakuan maneh teh nya eta: hate. Sanajan kalakuan goreng beunang disimbuta ku omongan bohong, tapi hate mah moal beunang dipaling. Lamun nyieun kasalahan moal pinanggih jeung kasugêmaan, salilana bêrêwit dina ati, tangyina jadi panyakit, anu bakal ngaruksak kana badan jeung pikiran (Mantri Jero). Artinya:…harus percaya pada keyakinan hati nurani sendiri, biarpun kata orang lain salah, tapi jika menurut keyakinan sendiri benar, asal cukup ikhtiar, jangan goyah, sebab saksi nomor satu yang akan menyalahkan dan membenarkan kelakuanmu itu ialah hati. Biarpun kelakuan busuk dapat diselimuti dengan omongan bohong, tapi hati tak dapat ditipu. Berbuat kesalahan tak akan pernah menemukan kebahagiaan, selamanya makan hati, tentu jadi penyakit yang akan merusak badan dan pikiran (Mantri Jero) (Warnaen, dkk., 1987: 148)
5)   …ulah rek ngalalaworakeun kuno têtêkon katatakrama, sebab turunan mah teu beunang dibunian. Lir ibarat emat, sanajan geus rimeuk oge, ari dikosok mah tangtu herang deui, wantuning moal obah sifat kaemasanana mah. Kitu heula, digosokeun kana batu pangujian, jadi salilana moal kabobodo. Di jelema oge nya kitu: lamun rek niten hiji jelema turunan luhur-lainna, diuji heula, nya eta ditilik tindak-rengkakna, tata bahasana jeung ngomongna, sebab ieu sarat-sarat nu tilu rupa hese diturutnana, lamun dina dirina hênteu nyampak darahna.” Artinya…jangan mengabaikan aturan tatakrama, sebab darah keturunan tak dapat disembunyikan. Ibarat emat, meskipun sudah kusam tapi kalau digosok akan bercahaya kembali, karena tiada ‘kan pernah berubah sifat keemasannya. Begitu pula kalau mau tahu tulen tidaknya emas, bukankah harus diuji pula, digosokkan pada batu penguji, jadi selamanya tidak akan terperdaya. Demikina pula ihwal manusia; kalau mau meneliti apakah seseorang berasal dari keluarga mulia atau bukan, harus diuji lebih dulu, yaitu diamati gerak-geriknya, tata cara berbahasa, dan tutur katanya, sebab ketiga macam syarat ini sulit ditiru, kalau pada diri orang itu tidak ada darah keturunannya. (Mantri Jero) (Warnaen, 1987: 149). 

Pandangan hidup berikutnya tentang hubungan manusia dengan  lingkungan masyarakatnya. Kedua roman tersebut menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan masyarakatnya terdiri dari dua bagian; yaitu hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan negara (manusia sebagai insan masyarakat, bangsa, dan negara) (Warnaen, dkk., 1987: 153). Manusia hubungannya dengan manusia harus mengutamakan: tolong menolong dalam kesusahan, asal usul keturunan keluarga, tatakrama, hubungan kekeluargaan, memahami perasaan orang lain (surti), saling mengalah, tenggang rasa, mengindari meyakiti hati orang lain (Warnaen, dkk., 1987: 153). Sedangkan, manusia dalam hubungannya dengan negara berupa komitmen bahwa penguasa adalah abdi masyarakat dan rakyat abdi negara. Kewajiban penguasa negara adalah menciptakan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam masyarakat; kewajiban rakyat adalah taat, patuh, dan setia kepada perintah penguasa negara (Warnaen, dkk., 1987: 153).
Pandangan hidup tentang manusia dengan alam. Menurut Roman Pangeran Kornel dan dan Mantri Jero tentang hubungan manusia dengan alam tidak begitu jelas. Tetapi terdapat keyakinan bahwa di balik dunia nyata ini ada pula dunia lain yang tak nyata atau gaib ((Warnaen, dkk., 1987: 154). Alam yang tidak nyata itu diyakini seoalah-olah menyimpan hokum alam untuk alam nyata dalam bentuk wewalês, uga, dan kila-kila. Menurut pandangan orang Sunda berdasar Roman Pangeran Kornel dan Mantri Jero, ketiga istilah tersebut menunjukkan bahwa alam nyata dan alam tidak nyata terdapat hubungan mistik antara kehidupan manusia di alam nyata dengan alam tidak nyata.Wewalês (pembalasan) atau ganjaran kepada barangsiapa yang berbuat kejahatan atau kebaikan terhadap orang lain. (Warnaen, dkk., 1987: 154). Uga merupakan kepercayaan pada takdir dalam perjalanan waktu (Warnaen, dkk., 1987: 155). Kila-kila ataiu totonden adalah tanda-tanda alam yang seakan-akan membawa berita dari alam goib untuk alam nyata dan yang harus ditafsirkan oleh manusia (Warnaen, dkk., 1987: 156).
Pandangan hidup yang terakhir adalah pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Tuhan menurut Roman Pangeran Kornel dan Mantri Jero tampak sinkritis (Warnaen, dkk., 1987: 158). Tuhan Yang Maha Esa itu disifasi dengan sifat-sifat dewa dalam agama Hindu dan Allah dalam agama Islam (Warnaen, dkk., 1987: 158). Berikut pernyataan tentang Tuhan;
Sungut sambung lemek, suku sambung lempang,
kaula panghulu agung, wawakil panatagama,
nêda panaksen, angungna ka Gusti Allah nu maha wisesa, 
jêmbarna ka sakur nu hadir, batinna ka Nu Ngayuga,
lahirna ka bumi-langit, ka bayu, ka kayu jeung ka watu,
lamun  ênya Raden Yogaswara bêrêsih dirina, sing kêbêl
teuleumna, ulah muncul sameneh Sang Batok Kohok titêrêb”

Artinya:
Mulut sambung bicara, kaki sambung langkah,
aku penghulu agung, wakil panatagama,
minta kesaksian, agungnya kepada Gusti Allah Yang
Maha Kuasa, umumnya kepada semua yang hadir,
batinnya kepada Sang Penjaga, lahirnya kepada bumi-langit,
kepada angin, kepada kyua, kepada batu, kalau betul
diri Raden Yogiswara bersih, semoga lama menyelam
jangan muncul sebelum Dang Tempurung Bolong tenggelam.
(Mantri Jero) (Warnaen, dkk., 1987: 158-159).    

6.             Nilai-nilai Dalam Adat Istiadat Sunda
Yang peneliti maksudkan dengan nilai-nilai dalam adat istiadat Sunda adalah sebagaimana yang tesirat dalam karangan R.H. Hasan Mustapa. Dalam bukunya yang berjudul Bab adat-adat Urang Priangan jeung Urang Sunda Lian ti Eta, mengelompokkannya menjadi beberapa pasal. Pasal-pasal tersebut menjelasakan tentang Adat Pengajaran, Adat Orang Ngidam, Adat Menjaga Orang Hamil, Adat Menyunat/ Khitanan, Adat Menikah, Adat Pertanian di Priangan, Sesuatu Yang Ditakuti Manusia, Adat Kematian, Waktu Yang Dimuliakan, dan Penahanan, Perhitungan, Tanda-tanda Uga.
Berpijak pada nilai-nilai tersebut, peneliti mengelompokkan ke dalam enam katagore, sebagai berikut;
1)   Pandangan hidup manusia sebagai pribadi, asak jeujeuhan; orang yang baik kelakukannya besar pertimbangannya (bijaksana). Dengan jalan memeluk agama, bertata susila, prasangka, pertimbangan, mengetahui baik buruk, tata kesopanan, berhati-hati sedapat mungkin. (Mustapa, 1985: 7). Sesorang itu harus mandiri (tidak manja) mempunyai pikiran sendiri, dan mempunyai rasa malu. Penanaman nilai-nilai kemandirian itu dilakukan ketika seorang anak telah menajalani khitanan. (Mustapa,1985: 57). Bagi orang Sunda, terutama seorang suami ketika ditinggal wafat istrinya, tidak boleh larut dalam kesedihan. Mereka sebagai suami maupun anak harus tetap optimis. Hal itu sebagaimana terungkap dalam kalimat berikut ini, “Neuteuk leukeur meulah jantung, geus lain-lainna deui, cas kayas paris jingga.” Kalimat itu disampaikan kepada anak dan suaminya agar tetap teguh dan melupakan kesedihan karena ditinggal mati. (Mustapa, 1985: 128).
2)   Pandangan hidup manusia dengan sesama; mentaati orang tua, guru atau ratu (Mustapa, 1985: 4), gede daluangna kurang luangna (Mustapa, 1985: 5). Maksud dari ajaran tersebut adalah seseorang yang banyak pengetuahannya tetapi belum ada hasil pekerjaannya. Tidak boleh menghina orang tua, akibatnya durhaka (Mustapa, 1985: 6); Anak merak kukuncungan, uyah tara tees ka luhur; bila ayahnya demikian pasti anaknya pun demikian. (Mustapa, 1985: 7); bagi perempuan yang ngidam (nyiram) baik dirinya maupun suaminya disarankan untuk melihat dan melakukan hal-hal atau peristiwa yang baik-baik, dan dilarang melihat dan melakukan hal-hal atau peristiwa yang buruk dan tercela. (Mustapa, 1985: 8). Orang tua yang memiliki anak perempuan yang tengah mengandung – dengan usia kandungan tiga bulan sampai 100 hari disarankan – untuk bersedekah kepada orang tua-tua lainnya yang diminta doa restunya agar kandungannya selamat. (Mustapa, 1985: 8). Yang perlu disediakan yaitu minyak kelapa atau air, untuk dipakai oleh orang yang sedang mengandung dengan doa nurbuat, maksudnya keselamatan bagi bayi yang sedang dikandung, karena banyak sekali pantang-pantangan atau tabu  yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang mengandung dan  suaminya. (Mustapa, 1985: 8) Kalau seandainya terjadi anaknya tidak selamat, misalnya cacat kulitnya atau anggota badannya, biasa disebut “nurut buat”, artinya meniru kelakuan ibunya atau ayahnya. Dalam hal ini terdapat pula kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya, yaitu; melahirkan, khitanan, mengawinkan, dan mengurus kematian (Mustapa, 1985: 8). Selain itu terdapat larangan melakukan tindakan tertentu yang jika dilakukan bisa menimbulkan dampak negatif bukan pada pelakuknya, tetapi pada orang lain, seperti anak-anak yang suka bermain menelungkup, bisa menyebabkan tidak mempunyai ibu; memakan makanan yand masam di waktu matahari terbenam mengakibatkan ditinggal mati ibunya; anak lelaki yang melangkahi pakara (perkakas alat untuk menenun) bisa menyebabkan impoten; memandikan kucing mengakibatkan hujan angin; anak kecil yang suka bercermin bisa menyebabkab tenggelam (Mustapa, 1985: 13). Menghadiri undangan (keduri) merupakan bentuk kewajiban social bagi orang Sunda. Bila tidak datang hal itu akan merusak hubungan kekeraban dan kemasyarakatan. (Mustapa,1985: 48) Penghormatan kepada sesama manusia bukan hanya kepada mereka yang masih hidup, tetapi juga kemana mereka yang sudah wafat, terutama leluhur. Karena orang Sunda meyakini bahwa hubungan antara sesama manusia tidak hanya semasa hidup di dunia tetapi juga setelah matinya. (Mustapa,1985: 49). Dalam hubungannya dengan sesama manusia ini, orang Sunda sangat menjunjung tinggi aturan adat dan agama, terutama soal perkawinan. Jika terlahir seorang anak dari perempuan yang tidak jelas ayahnya, maka anak itu disebut anak haram. Anak tersebut tidak akan dihargai, karena ayahnya tak tentu. Anak tersebut akan dikatakan bersih hingga tujuh turunan, kecuali jika perempuan tersebut ada yang mengawini sebelum melahirkan atau si anak itu, atau anak itu membunuh ibunya sendiri. (Mustapa, 1985: 64). Dalam hubungannya budaya dan tempat baru, orang Sunda yang merantau diberi nasehat orang tua-tua, kudu pindah cai pindah tampian, maksudnya agar selamat harus pandai menyesuaikan diri dengan adat di desa perantauan. (Mustapa, 1985: 172). Taat pada peraturan pun menjadi bagian dari kehidupan orang Sunda yang terkandung dalam  indung hukum bapa drigama. Maksud dari pernyataan tersebut adalah ada hukum yang mengatur seperti seorang ibu yang mengasuh dan ada drigama sebagai aturan negara yang mendidik seperti seorang bapak. (Mustapa, 1985: 173).         
3)   Pandangan hidup manusia dengan alam; tidak boleh melangkahi padi (nyi sri), akibatnya mendapat penyakit yang disebabkan oleh setan, dan takut mendapat celaka yang disebabkan oleh makhluk yang tidak kelihatan. (Mustapa, 1985: 6). Dalam kaitannya dengan kelahiran seorang bayi, orang Sunda memahami bahwa memperlakukan tembuni (ari-ari atau plasenta) bayi yang lahir. Pembuangan atau penguburan tembuni diperlakukan seperti mengarah seorang penganten. (Mustapa, 1985: 31). Dalam kaitannya dengan fenomena alam terutama hujan, orang Sunda meyakini bahwa alam bisa diajak kerjasama. Misalnya ketika akan melaksanakan hajatan di musim hujan, empunya hajatan bisa meminta tolong pada pawing hujan untuk mengendalikan turunnya air huja, nyarang. (Mustapa,1985: 53). Orang Sunda dikenal sebagai masyarakat agraris. Penghormatan mereka terhadap air, tanah, tanaman (terutama padi) sangat tinggi. Untuk mengawali membajak tanah, menyemaikan benih, menanam padi, memanemnya, menyimpannya di lumbung padi, mengambilnya dari lumbung untuk ditumbuk, serta memakannya harus disertai dengan ritual dan penghormatan yang khusus. Menjaga kelakuan, ucapan yang tidak bermanfaat harus dihindari demi untuk menjaga keselamatan tanamannya (Mustapa, 1985: 98). Seperti peringatan kepada orang yang menghina padi, melangkahi atau pun menginjaknya pun harus tegas, “Jangan berbuat begitu!” bukan kalimat, “Jangan disia-siakan begitu!” (Mustapa, 1985: 98).  Terhadap binatang (tertutama kerbau untuk membanjak sawah), petani tidak akan memaksanya hingga kerbau itu kepanasan disengat terik matahari. Mereka yang sejak subuh berangkat ke sawah akan menggiring pulang kerbaunya ke kandang antara pukul 10.00-11.00. (Mustapa, 1985: 105) Pada hari Jumat dan tanggal 14 tahun Hijriyah mereka tidak akan mempekerjakan kerbau-kerbaunya. Karena hari itu diyakini sebagai hari naasnya kerbau. (Mustapa, 1985: 105)
4)   Pandangan hidup manusia dengan Tuhan, untung becik untung ala, saking Allah; untung maupun rugi modalnya  dibawa dari kondrat. (Mustapa, 1985: 6).
5)   Pandangan hidup manusia tentang waktu; tidak boleh bermain pada waktu matahari terbenam, kalau-kalau diganggu setan ((Mustapa, 1985: 6), tidak boleh makan makanan yang masam-masam pada saat matahari sudah terbenam mengakibatkan ditinggal mati oleh ibunya. (Mustapa, 1985: 6). Secara terperinci Hasan Mustapa menjelaskan tentang waktu-waktu yang dimulyakan oleh masyarakat Sunda. Waktu-waktu tersebut – dalam hal ini masyarakat Sunda menggunakan penanggalan tahun Hijriyah – adalah; bulan Mulud (Robi’ul Awal), bulan Rajab, bulan Rewah (Sya’ban), bulan   Puasa, Hari Raya Idul Fitri, bulan Syawal, bulan Rayagung (Dzulhijah), dan bulan Sura (Muharrom). Menurut Mustapa pada bulan Mulud lebih dihormati, lebih banyak hal-hal yang tabu dilakukan, dan banyak bertapa. (Mustapa, 1985: 139). Di antara larangan di bulan ini adalah; bepergian ke hutan karena dikawatirkan di makan harimau, karena tepat pada bulan diyakini hariamu mengasah kukunya di pohon-pohon beringin (Mustapa, 1985: 144); mengerjakan pekerjaan besar, seperti mendirikan rumah, mengerjakan sesuatu dengan golok, menggali parit, dan membuat danau. Selain itu dilarang pula bercerita tentang cerita-cerita kuno seperti cerita wayang dan pantun. Patangan itu jika ditelusuri alasannya tidak jelas, karena semuanya kata orang tua. (Mustapa, 1985: 140). Manfaat bulan Mulud adalah bisa dipergunakan memuja; menyepi diri; menggunakan untuk menguji akan kegunaan perkakas berupa senjata-senjata; menenun kain hingga batas akhir tanggal 14 Mulud; menyepuh ilmu pengetahuan, seperti: ilmu kekebalan agar tidak kelihatan orang lain; atau serba sempurna; jampi-jampi untuk memikat laki-laki atau perempuan; ronggeng untuk memikat laki-laki yang berjoget dengannya; dan yang membunyikan gamelan agar tertarik yang mendengarkannya. Tepat tanggal 14 Mulud dipakai untuk membersihkan kabuyutan dibuka dan diminyaki, membakar kemenyan, gong dimandikan, orang-orang pada ngabungbung ke hutan, ke makam, mandi di sungai. Bahkan terdapat ungkapan bahwa jampi yang bagus juga kalau belum dimandikan pada Mulud, belum dapat diandalkan. (Mustapa, 1985: 141). Pada bulan itu pula mimpi yang dialami oleh seseorang tidak dianggap sebagai mimpi biasa, tetapi sebagai mimpi yang mengandung isyarat. Usai mimpi, biasanya seseorang akan melaporkannya kepada gurunya. Mimpi di bulan Mulud disebut dengan illapat atau ilham. (Mustapa, 1985: 141). Pada tanggal 12 Mulud termasuk salah satu dari empat waktu walilat, yaitu; 14 Sya’ban, dan dua hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Walilat berasal dari malam lebaran Puasa dan lebaran haji, karena pada takbiran kalimat terakhir berbunyi walilat hilhamd. Bulan Mulud merupakan bulan baik untuk berlomba-lomba dalam bersedekah. (Mustapa, 1985: 143). Bulan terpilih berikutnya adalah Rajab.  Pada bulan   masyarakat membaca kisah nabi Muhammad ataupun barjanji, karena memperingati kisah Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW. (Mustapa, 1985: 146). Bulan terpilih lainnya adalah bulan Rewah. Bulan ini dipilih untuk memperingati para leluhur. Pelaku maksiat pun akan senantiasa ingat pada bulan Rewah (Mustapa, 1985: 147). Tepat pada tanggal 14 Rewah diperlukan untuk sedekah dengan memberi kepada tamu undangan atau kepada lebai, orang tua, dan mertua. Konon menurut kepercayaan pada bulan itu buku catatan orang Sunda akan diperiksa oleh Tuhan, oleh karena itu harus dilakukan pertobatan. (Mustapa, 1985: 147). Bulan lain yang dianggap mulia adalah bulan Puasa. Pada bulan ini diyakini tidak ada makhluk gaib yang menganggu karena dirantai. Pantangan pada bulan ini adalah melaksanakan pernikahan (Mustapa, 1985: 148). Pada bulan itu masyarakat diperintah untuk menjalankan puasa, membayar zakat fitrah, pergi ke makam, dan berkeramas. (Mustapa, 1985: 150). Mudik pun menjadi agenda wajib bagi kepala keluarga yang merantau, karena harus membayar zakat fitrah untuk anak dan istrinya (Mustapa, 1985: 152). Waktu lain yang dimulyakan adalah hari Raya Lebaran. Pada hari itu sedapat mungkin saling menghormati (Mustapa, 1985: 153) sesama. Waktu yang dimulyakan berikutnya adalah bulan Rayagung atau Zulhijah. Bulan itu diperingati karena bersamaan dengan pelaksanaan haji di Mekkah. Bagi masyarakat Sunda yang kebetulan anggota keluarganya tengah berhaji, biasanya mereka menyiramkan air ke batu yang kepanasan, agar orang yang kepanasan di Mekah tidak terlalu panas (Mustapa, 1985: 155). Bulan ini pula bulan yang dibesarkan, karena bisa dipergunakan untuk pernikahan, khitanan, dan bepergian terurama untuk mendapatkan kesejahteraan (Mustapa, 1985: 156-157). Sementara itu pada Muharram dipilih karena terdapat peristiwa yang menyedihkan, seperti; terbunuhnya Husein bin Ali bin Abi Thalib; tepatnya hari Rabu terakhir bulan ini terjadi bencana banjir yang besar yang selamat hanya kapal nabi Nuh. (Mustapa, 1985: 158) Karena peristiwa tersebut orang Sunda dilarang menyelenggarakan acara-acara besar. Waktu lain yang menjadi perhatian adalah bulan Sapar. Pada bulan ini orang Sunda dilarang melangsungkan pernikahan, karena bersamaan dengan masa dimana banyak anjing yang kawin (bersetubuh). Selain itu tepat pada hari Rabu terakhir bulan ini diyakini muncul beribu macam malapetaka bagi umat manusia. Untuk menghindarinya orang Sunda harus sembahyang sunat dan meminum jimat Rebo Wekasan (Mustapa, 1985: 159). Demikianlah waktu-waktu yang diyakini oleh masyarakat Sunda, yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian secara peridik. Oleh karena itu, orang Sunda yang ingin melaksanakan kegiatan atau pekerjaan mereka harus memperhatikan waktu-waktu terseut.
6)   Manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah; dengan mengikuti aturan adat istiadat yang berlaku anak akan menjadi anak terpuji, anak itu akan baik derajatnya. (Mustapa, 1985: 6). Dalam kaitan dengan kelahiran orang Sunda memberi nama dipilih orang yang sudah tua yang disegani dan mempunyai pengetahuan mengenai nasib ke depan anak yang diberi nama itu, meliputi kenaasan, kesialan, kejayaan, perbintangan, perhitungan nilai huruf, yang dipergunakan sebagai angka untuk mengetahui peruntungan di dalam perkawinan. (Mustapa, 1985: 31). Pandangan hidup mengejar kebahagiaan lahir dan batin pun ditanamkan sejak anak muli bisa berlari dan bermain. Seperti, tidak boleh berenang terlalu lama karena di dalam air ada yang makhluk yang menunggunya; tidak boleh memanjat pohon karena pohon dihuni hantu; anak kecil dilarang memanjat pohon pepoya dan petai c ina, karena jika jatuh bisa menyebabkan kegilaan.  (Mustapa, 1985: 39) Selain itu larangan lainnya adalah bermain uang itu tabu, karena bisa menyebabkan tidak hemat; bermain api mengakibatkan luka besar; menduduki batang kayu yang dijadikan kayu bakar dan tidak dibelah-belah dulu, menjadi pertanda diminta kawin oleh perempuan hamil yang tidak sah; dikudung kain sarung bisa menjadikan anak manja; bernyanyi bisa membuat sedih dan seterusnya. (Mustapa, 1985: 40) 
7.       Sabda Mutiara Kasepuhan Cinunuk
Sabda Mutiara Kasepuhan Cinunuk meliputi beberapa prinsip berikut ini;
8.    Kesadaran Sejarah dan Nilai Kearifan Etika
Da bongan…
hyang terang raratan asal
bibit diri kawit ngancik
mapay tampian rundayan
Nya nyukcruk galur luluhur
tibahari ka kiwari (Effendie dan Warjita, 2006: 95)

Pun paralun
sembah sujud putu buyut
bilih teu kasebat asma
bilih teu kasabit nami
agung paralun kasuhun
punah ku rajah pamunah (Effendie dan Warjita, 2006: 95)

9.    Kesadaran Spiritual Religi
Lamun rek jarah ka tanah suci,
kudu geus jadi haji di didieuna keneh.

(Seandainya akan berziarah ke tanah suci,
harus sudah menjadi haji masih sini)

Ngan anjeuna anu ngayakeun ayana aya jeung ngayakeun ayana euweuh.. Hanya Dia yang mengadakan ‘ada’ dan yang mengadakan adanya ‘tiada.’

Cinta teh umurna leuwih kolot batan dunya. Pangeran ngadamel dunya ku sabab cinta (Umur cinta lebih tua disbanding dunia. Tuhan menciptakan dunia karena cinta).

Qur’an teh tuduh jalan, tatapakan tugu keur manusa, sangkan hirupna salamet dunya aherat. Kaluar tina kalang ugeran iman, lir lauk cai luncat ka darat. (al-Qur’an penunjuk jalan, tempat berpijak untuk manusia, supaya hidupnya selamat di dunia dan akherat. (Effendie dan Warjita, 2006: 95-96)

 1) Kesadaran Akan Kualitas Regenerasi
Entong nimbel mama, mending oge mais, supados aya boroeun seuweu putu jaga. (Effendie dan Warjita, 2006: 96), Jangan membuat nasi timbel, lebih baik membuat pepes, supaya ada yang bisa diburu oleh anak cucu di kemudian hari. Maknanya, mempersiapkan keturunan yang kuat secara ekonomi.

2) Kualitas Kepemimpinan
Mun jaga maraneh jadi pamingpin, kudu mibanda jiwa wibawa, komara. Jeung lengkah, napakna panceg dina Giri (gunung), Jaladri (akomodatif dan aspiratif), Surya (matahari), Pawaka  (angin), Sarah (bersabar), Denta (gajah). Nu kitu disebut Jiwa Agung Adil (palamarta). Jika kalian nanti menjadi pemimpin, harus memiliki pribadi yang berwibawa,  berpengaruh. Dan langkahnya, tegap di atas gunung, jaladri, matahari, angin, bersabar, gajah. Yang demikian itu disebut berjiwa agung dan adil   (Effendie dan Warjita, 2006: 96)

3) Penguata Kualitas Sumber Daya Manusia dan Etos Kerja
Lauk laut mah, sanajan hirupna dina cai asin, tapi rasa dagingna teu kabawakeun asin. Pieunteungeun! Pamadegan! Ulah kapangaruhan lingkungan! Tong rempan katiup topan! Istiqomah ulah goyah!

Sateges na  mah jelema anu beunghar the anu miskin ku kahayang.

Ngajentul jeung pacul, diuk jeung peso raut, indit jeung arit, leumpang jeung parang, lebak humaan, legok bakoan, pasir huian.

Daek cape ku digawe, Insya Allah bakal dahar unggal poe. (Effendie dan Warjita, 2006: 96-97)

             4) Kesadaran Estetika dan Etika
Nun Gusti, ngan dina alam nu maha endah abdi nguping gentra Gusti tanpa sora.
Kade euy! Lamun silaing jadi jagal poma pahing ulah beuki daging.
Sabda mulya batalna ku amarah. (Effendie dan Warjita, 2006: 97)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar