KEBUDAYAAN SUNDA
A.
Makna Sunda Dan Kebudayaan Sunda
Menurut Ma’mun Atmamihardja (1958:7) kata Sunda berasal dari
pinjaman kata asing berkebudayaan Hindu seperti kata-kata Sumatra, Madura, Bali
yang menunjukan kata tempat. Selanjutnya menurut Gonda (dalam Ekadjati,2005: 3) kata suddha
dalam bahasa Sansekerta dipakai sebagai nama gunung yang menjulang di wiyaha
ini, yaitu Gunung Sunda (tinggi 1.850 meter). Gunung ini tampak dari jauh putih
bercahaya – makna kata suddha dalam
bahasa Sansekerta- karena tertutup oleh abu yang berasal dari letusan gunung
tersebut. Dalam Ensiklopedi Sunda (1999 : 618) disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan Sunda adalah nama wilayah dibagian barat pulau Jawa yang batas
sebelah timurnya Cipamali sampai pada akhir abad ke –16, kemudian dipindahkan
ke Cilosari. Sedangkan menurut Pires (1513), batas wilayah disebelah timurnya
adalah Cimanuk (Salmoen 1939 : 122).
Dalam perkembangan lain istilah Sunda digunakan pula dalam konotasi manusia atau
kelompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Orang
Sunda adalah mereka yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang-orang lain
sebagai orang Sunda. Orang-orang lain itu berupa baik orang-orang sunda sendiri
maupun orang-orang yang bukan orang Sunda (Warnaen et.al., 1987:1). Di
dalam definisi tersebut tercakup kriteria berdasarkan keturunan (hubungan
darah) dan berdasarkan sosial budaya sekaligus. Menurut kriteria pertama,
seseorang atau sekelompok orang bisa disebut orang Sunda, jika orang tuanya,
baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu ataupun keduanya, orang sunda di
manapun ia atau mereka berada dan dibesarkan. Menurut kriteria kedua, orang
Sunda adalah orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan
sosial budaya Sunda dan dalam hidupnya
mengahayati serta mempergunakan
norma-norma dan nilai-nilai budaya
Sunda. Dalam hal ini tempat tinggal, kehidupan sosial budaya, dan sikap
orangnya yang dianggap penting. Bisa saja seseorang atau sekelompok orang yang
orang tuanya atau leluhurnya orang sunda, menjadi bukan orang Sunda karena ia
atau mereka tidak mengenal, menghayati dan mempergunakan norma-norma dan
nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya. Sebaliknya, seseorang atau
sekelompok orang yang orang tuanya atau leluhurnya bukan orang Sunda, menjadi
orang Sunda karena ia atau mereka dilahirkan, dibesarkan, dan hidup dalam
lingkunag sosial budaya Sunda serta menghayati dan mempergunakan norma-norma
dan nilai-nilai sosial budaya Sunda dalam hidupnya. Perlu dikemukakan bahwa ada
orang yang mendefinisikan orang Sunda berdasarkan salah satu kriteria di atas.
Misalnya, Ajip Rosidi (1984: 13) mengemukakan
definisi orang Sunda hanya berdasarkan kriteria kedua.
Oleh orang yang tinggal di daerah pesisir, misalnya penduduk
Cirebon, orang Sunda biasa disebut urang gunung, wong gunung, dan
tiyang gunung, artinya orang gunung (ENI, IV, 1921; Rosidi, 1984;129;
Adiwilaga, 1975). Besar kemungkinan timbulnya sebutan tersebut setelah adanya
anggapan bahwa pusat Tanah Sunda di Priangan. Priangan memang merupakan daerah
pegunungan dengan puncak-puncaknya yang cukup tinggi. Dalam pada itu, peranan
orang Sunda di daerah pesisir akhir abad ke-16 Masehi dinggap berakhir, beralih
ke daerah pegunungan atau pedalaman (Ekadjati,2005: 7-8).
Sunda dipertalikan pula secara erat dengan pengertian kebudayaan.
Bahwa ada yang dinamakan kebudayaan Sunda, yaitu kebudayaan yang hidup, tumbuh,
dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah
Sunda. Kebudayaan Sunda dalam tata kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia
digolongkan ke dalam kebudayaan daerah (lihat: Undang-undang Dasar 1945,
terutama penjelasan pasal 32 dan pasal 36) dan ada yang menamai kebudayaan suku
bangsa, untuk membedakan dengan kebudayaan nasional. Disamping persamaan-persamaan
dengan kebudayaan daerah lain di Indonesia, kebudayaan Sunda memiliki ciri-ciri
khas tersendiri yang membedakannya dari kebudayaan-kebudayaan lain (Ekadjati,
2005: 8).
B.
Sumber-sumber Nilai Budaya Sunda
Budaya Sunda merupakan salah satu kebudayaan
Nusantara yang menjadi sumber nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral ini dapat
dijumpai dalam perilaku dan kepribadian sebagian masyarakat Sunda, nilai-nilai
luhur Prabu Siliwangi, ungkpan-ungkpan dan pribahasa Sunda, serta naskah-naskah
kuno yang ditulis para leluhur Sunda. Di antara naskah Sunda yang hingga
sekarang terpelihara dan menjadi bahan kajian ilmiah adalah Naskah
Shanghyang Siksa Kandang Karesian, Dongeng tokoh Kabayan, Carita
Mundinglaya di Kusumah, Carita Pantun Lutung Kasarung, Roman
Pangeran Kornel dan Roman Mantri Jero, dan Sasakala Tangkuban Parahu.
Mengikut Warnaen (1987) nilai-nilai luhur yang
terkandung dalam kebudayaan Sunda meliputi pandangan hidup manusia sebagai
pribadi, manusia, manusia dengan lingkungan masyarakatnya, manusia dengan alam,
manusia dengan Tuhan, dan manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan
batiniah. Berikut sumber-sumber nilai dalam kebudayaan Sunda;
1.
Ungkapan
Tradisional Sunda
Ungkapan tradisional Sunda mencerminkan bahwa orang
Sunda sebagai pribadi memiliki sifat-sifat sopan, sederhana, jujur, berani dan
teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, bisa dipercaya, menghormati dan
menghargai orang lain, waspada, dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran
luas, mencintai tanah air dan bangsa, serta baik hati (Warnaen, 1987: 13).
Berikut contoh ungkapan tentang kepribadin
1)
Kudu
hade gogog hade tagog (harus baik salak (anjing),
baik laku), maknanya harus baik budi bahasa dan baik tingkah laku.
2)
Teu
busik bulu salambar (tidak kusut bulu selembar),
maknanya pendirian yang kokoh, tidak goyah sedikitpun.
3)
Kudu leules jeujeur liat tali (joran harus lentur tali harus
kenyal), maknanya segala keputusan dan perbuatan harus
melalui pemikiran yang masak.
Menurut Warnaen (1987) ungkapan tradisional tentang
pandangan hidup manusia dengan lingkungan
masyarakat menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan sesamanya harus dilandasi oleh sikap saling mengasihi, saling
mengasah, saling mengasuh sehingga tercipta Susana kehidupan masyarakat yang diwarnai keakraban, kerukunan, kedamaian,
ketentraman, dan kekeluargaan (Warnaen, 1987: 19).
Selain itu hubungan
dalam masyarakat tidak hanya meliputi sesama tetapi
juga berkaitan dengan negara dan bangsanya. Warnaen (1987) menjelaskan bahwa
hubungan tersebut hendaknya didasarkan oleh sikap menjunjung tinggi hukum, membela negara, dan ikut kepada masyarakat.
berikut beberapa ungkapan yang
menjelaskan tentang hubungan manusia dengan lingkungan masyarakatnya;
1)
Taraje
nanggeuh dulang tinande (tangga bersandar dulang
pun siap menadah), maknanya siap sedia menjalankan kewajiban, khususnya seorang
istri kepada suaminya.
2)
Ulah
nyieun pucuk ti girang ( jangan membuat tunas dari
hulu), maknanya jangan mencari-cari bibit permusuhan.
3)
Ulah nyolok
mata buncelik (jangan mencolok mata yang melotot),
maknanya jangan berbuat sesuatu dihadapan orang lain dengan maksud
mempermalukan orang itu.
4)
Kudu
silih asih silih asah jeung silih asuh (harus
saling mengasihi saling mengasah dan saling mengasuh), maknanya diantara sesama
hidup harus salilng mengasihi, mengasah dan mengasuh.
5)
Kawas
gula jeung peueut (seperti gula dengan nira yang
matang), maknanya hidup rukun sayang menyanyangi , tidak pernah berselisih.
Sementara itu, ungkapan tradisional tentang hubungan
manusia dengan alam menjelaskan bahwa
manusia harus menggunakan akalnya dan menghormati
kebiasaan orang lain. Hal itu sebagaimana dalam ungkapan berikut ini:
1)
Manur
hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna (burung
terbang dengan sayapnya manusia hidup dengan akalnya), artinya setiap makhluk
masing-masing telah diberi cara atau alat untuk melangsungkan kehidupannya.
2)
Jawadah
tutung biritna sacarana-sacarana (Juadah hangus
sebelah bawah, masing-masing dengan caranya), maknanya setiap bangsa memiliki
cara dan kebiasaan masing-masing, agar orang saling menghormati cara dan
kebiasaan itu meskipun berbeda.
3)
Leutik
ringkang gede bugang (Kecil langkah besar bangkai),
maknanya manusia itu meskipun kecil badannya, kalau meninggal dalam perjalanan,
besar urusannya, berbeda dengan binatang.
Tentang pandangan manusia dengan Tuhan menjelaskan
bahwa manusia seharusnya bertakwa dan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebab
kelak pada saatnya semua akan kembali kepada Tuhan. Selain itu harus pula
mempunyai kesadaran bahwa manusia itu lemah, tidak berdaya, dan kematiannya itu
di tangan Tuhan. Harus pula percaya bahwa kesengsaraan dan kebahagiaan
merupakan kehendak Tuhan. Berikut ungkapan yang menjelaskan tentang hubungan
manusia dengan Tuhan;
1) Mulih kajati mulang ka asal (kembali kesejati pulang keasal), maknanya meninggal, berasal dari
Tuhan kembali ke Tuhan.
2) Dihin pinasti anyar pinanggih (sejak dahulu ditentukan baru sekarang dijumpai), maknanya segala hal
yang dialami sekarang sesungguhnya sudah ditentukan dahulu. Agar orang percaya
bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah kehendak Tuhan.
3) Nimu luang tina burung (Mendapat pengalaman dari perangkap), maknanya: mendapat pengalaman
atau pengetahuan pada waktu mendapat kecelakaan. Agar orang tidak berputus asa
atau kecewa jika ditimpa kemalangan atau kecelakaan, sebab dalam dalam
kemalangan atau musibah itu ada hikmah yang dapat kita petik.
4) Eling tan pangling, rinasuk jaja tumeheng
pati (ingat tidak akan kesamaran, masuk kedalam
dada sampai mati), maknanya kenyakinan yang sangat teguh yang dipegang sampai
mati.
5) Kedhongana kuncinana, wong mati mangsa wurunga
(di gedung yang dikunci pun orang yang mati mustakhil tidak jadi), maknanya
walau bagaimanapun, setiap orang tidak akan luput dari kematian.
Dan yang terakhir ungkapan yang mengandung ajaran
tentang manusia dalam mengejar kepuasan lahir dan batin. Untuk mewujudkan
kemulyaan lahir dan kepuasaan batin, setiap orang dianjurkan untuk menjauhi
pantangan dan menjalankan aturan adat istiadat. Di antara pantangan yang harus
dihindari adalah, bersaing (Warnaen, 1987: 27), rebutan kekuasaan kekuasaan dan
pengaruh, mementingkan diri sendiri dan memeras rakyat kecil (Warnaen, 1987:
28). Sedangkan tindakan yang dianjurkan
adalah bekerja keras dan tidak mudah menyerah memiliki rasa tanggung jawab
(Warnaen, 1987: 28). Untuk mewujudkan kepuasaan batiniah diantaranya dengan
menghargai dan saling menghormati, serta mensyukuri setiap rezki yang
diterimanya berapa pun jumlahnya, dan memahami dengan baik hak dan kewajiban
serta hidup dalam kesederhanaan (Warnaen, 1987: 30). Berikut ungkapan yang
mengandung ajaran tentang kepuasan lahir dan batin;
1)
Ulah
pagiri-giri calik, pagirang-girang tampian (jangan
berlomba mau duduk di tempat yang yang paling tinggi, mau bertepian mandi
paling hulu), maknanya janganlah saling mengatasi di dalam mencari keuntungan
sehingga tidak mengindahkan keselamatan bersama. Jangan berebutan kekuasaan
atau jabatan.
2)
Meber-meber
totopong heureut (membentangkan ikat kepala yang
sempit), maknanya mengatur uang (rezki) yang sedikit untuk keperluan yang
banyak, sulit sekali, tetapi sering harus dilakukan.
3)
Ngeduk
cikur kudu mihatur, nyohel jahe kudu micarek, ngagegel kudu bewara (mengeduk kencur harus minta izin, mencongkel jahe harus bicara,
menggoyang pohon yang berbuah harus memberi tahu), maknanyasegala kegiatan
harus dilandasi persetujuan bersama.
4)
Tiis
ceuli herang mata (sejuk pendengaran, bening
penglihatan), maknanya hidup dalam ketenangan dan kedamaian, tidak mendengar
atau melihat hal-hal yang jelek.
5)
Kudu
bisa miheupekeun maneh (harus dapat menitipkan
diri), maknanya harus bertingkah laku baik, agar dapat hidup bersama orang lain
dengan selamat.
2.
Carita
Pantun Lutung Kasarung
Bagi masyarakat Sunda Carita Pantun Lutung Kasarung
bukan saja sebagai cerita rakyat disampaikan secara turun temurun, tetapi juga
menagndung unsur pendidikan nilai di dalamnya. Mengikut Warnaen, dkk. (1987), dalam Carita pantun Lutung Kasarung pun mngandung lima
nilai pokok dalam kehidupan manusia.
Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi dalam
Carita Lutung Kasarung menegaskan bahwa orang Sunda dalam hubungannya dengan
pribadi adalah pelaku yang harus
memainkan peran penting dalam proses kehidupannya dan kehidupan masyarakat yang
dijalaninya dengan penuh keseimbangan. (Warnaen, dkk., 1987: 44) Orang Sunda
juga adalah kelompok etnik yang mudah memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain,
rendah hati, selalu memahami orang lain, jujur, tabah, percaya diri dan
pengabdian. Warnaen, dkk., 1987: 44). Berikut tulisan yang mengandung ajaran
tentang kepribadian;
Kuring rek diajar ngidung,
nya ngidung carita pantun,
ngahudang carita wayang,
nyilokakeun nyukcruk laku,
nyukcruk laku nu bahayu,
mapay lampah nu baheula,
Artinya:
Saya akan belajar menyangikan kidung,
yaitu kidung cerita pantun,
membangkitkan lagi cerita wayang,
menggambarkan urutan
pengalaman,
pengalaman yang telah silam,
menyesuaiakan perjalanan masa silam
bisina nerus narutus,
bisina narajang alas,
palias nerus narutus,
palias narajang alas,
da puguh galuring tutur,
ngembat papatan carita.
Artinya:
Kalau-kalau lurus menembus,
kalau-kalau menerjang hutan balantara,
semoga tidak lurus menembus,
semoga tidak menerjang hutan belantara,
sebab telah tentu jalannya tuturan,
telah panjang jalan cerita.
Orang sunda dalam hubungannya dengan masyarakat
adalah memahami orang lain diluar dirinya, merasa terikat antara satu dengan
yang lainnya, ikatan itu disebabkan oleh
aturan-aturan dan adat, norma masyarakat yang dikembangkan dalam lakon
ini adalah ketabahan, kejujuran, rendah hati dan memiliki prinsip hidup,
toleransi serta yakin pada nasib dan kekuasaan Tuhan (Warnaen, dkk, 1987 : 50).
Berikut pernyataan yang mengandung ajaran tersebut:
Mas Prabu Ageung Tapa,
miwah ka tuang si Dalem,
nu geulis Nitisauri,
Sakiwari keur puputra,
puputra reana tujuh;
teu gaduh putra lalaki,
tuang putra kabeh istri.
Artinya:
Mas Prabu Ageung Tapa,
serta kepada Si Dalem istri Tuan,
yang cantik Nitisuari,
Pada waktu itu mempunyai anak,
mempunyai anak banyaknya tujuh,
tak memiliki anak laki-laki,
anaknya semua wanita.
Heunteu majer remung salah,
bisi teu rampung jeung anak-putu,
nu salawe kuren.
Rempug ta heunteu?
Anak-putu nu salawe,
majah rempug kabeh.
Linggih ambring…geus poek
balik sowang-sowangan
sadungus-dungus
Artinya:
Jika tak berembuk disalahkan,
apabila tak bersetuju dengan anak-cucu,
yang berjumlah duapuluh lima keluarga.
“Setujuhkan atau tidak?”
Anak-cucu yang dua puluh lima itu,
katanya semua setuju.
Habis bersih…gelaplah sudah,
kembali sendiri-sendiri,
ke rumahnya masing-masing.
Orang sunda dalam hubungannya dengan alam adalah
relasional dengan penyesuaian diri
yang diperlukan, karena itu segala gejala alam ada sebabnya. Orang Sunda
menyadari bahwa alam berjalan menurut waktu yang berulang. Gejala alam identik
dengan gejala kemanusiaan (Warnaen, 1987: 51). Pada situasi tertentu gejala
alam akan mengakibatkan berbagai segi bagi kehidupan manusia (Warnaen, dkk,
1987: 56).
bisina nerus narutus,
bisina narajang alas,
palias nerus narutus,
palias narajang alas,
da puguh galuring tutur,
ngembat papatan carita.
Artinya:
Kalau-kalau lurus menembus,
kalau-kalau menerjang hutan balantara,
semoga tidak lurus menembus,
semoga tidak menerjang hutan belantara,
sebab telah tentu jalannya tuturan,
telah panjang jalan cerita.
Di Gunung Capu Mandala-Hayu,
Mandala-Kasawiatan,
di hulu-dayeuh;
dina cai teu inumeun,
dina areuy teu tilaseum,
dina jalan teu seorangeun,
sakitu kasamaramunan!
Artinya:
Di Gunung Cupu Mandala-Hayu,
Mandala Kasawitan,
di hulu kota
pada tempat yang airnya tak bisa diminum,
pada salur-saluran yang tak mungkin dipotong,
pada jalan yang tak mungkin dilalui,
sedemikian sunyi senyap!
Orang Sunda dalam hubungannya dengan Tuhan. Tuhan merupakan keyakinan yang ada sejak
masa pra Hindu. Konsep Tuhan itu adalah penguasa dunia dan alam jagat raya,
yang serba kuasa dan mengetahui segala apa pun (Warnaen dkk, 1987: 61). Berikut
pelukisan hubungan manusia dengan Tuhan dalam dalam Carita Pantun Lutung
Kasarung;
Bul ngukus mêndung ka manggung,
ka manggung nêda papayung,
ka dewata
nêda,
ka puhaci nêda suci.
Artinya:
Mengepullah asap ke atas,
ke atas minta perlindungan,
kepada dewata mohon maaf,
kepada pohaci mohon kesucian.
Nêda panjang pangapura,
rek ngusik-ngusik nu keur calik;
ngoba-ngobah nu keur tapa.
Artinya:
Mohon maaf yang terus menerus,
sebab akan mengusik yang sedang bersemayam,
menggoda yang sedang bertapa.
Meraih kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah
merupakan dua sisi yang dari kehidupan manusia Sunda yang timbul dari
kehendaknya dan yang diungkapkan oleh ide dan gagasan sehingga menyebabkan
tindakan-tindakan tertentu. Menurut
naskah, kepuasan rokhani menjadi tolak ukur terhadap kemajuan lahiriah
(Warnaen, dkk., 1987: 67). Faktor penentu yang paling dominan dalam wewujudkan
kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah adalah pengabdian (Warnaen, dkk., 1987:
68).
Purbasari ayu wangi,
kancana ayu dewata,
bulu punduk miuh-miuh,
têtêngêr jadian tahun,
putêr kurung dina irung,
têtêngêr teureuh wong agung,
tapak jalak dina letah, têtêngêr bisa marentah,
jalma lênjang ti papangna,
geulis datang ka ngalahir,
komara mancur ka manggung,
“Geugeulisan Purbasari,
bakal ngalinding ka aing”.
Artinya:
Purbasari Ayu Wangi,
Kancana Ayu Dewata,
bulu kuduk tumbuh halus,
pertanda selalu tumbuh subur apa saja tumbuhan yang
ditanamnya,
puter kurung pada hidung,
pertanda keturunan orang besar,
tapak jalak pada lidah,
pertanda dapat memerintah,
orang yang semampai di antara yang paling semampai,
cantik sampai ke perwujudannya,
wibawa bersinar ke atas,
kecantikan Purbasari,
akan menyisihkanku.”
“Adi, sia haying hirup ta hênteu?”
“Lamun sia haying awet hirup,
di ditu piênggoneum sia,
di hulu dayeuh,
dina talupuh sabebek,
dina hateup sajajalon.
Artinya:
“Adik, kau ingin hidup atau tidak?”
“Jika kau ingin panjang umur,
disanalah tempatmu,
di hulu negeri
pada lantai bambu sekeping
pada atap lalang sebuah
3.
Naskah
Shanghyang Siksa Kandang Karesian
Naskah Shanghyang Siksa Kandang Karesian tahun 1518, naskah aslinya ditulis dalam bahasa dan huruf Sunda kuno
dan dialihkan dalam tulisan latin oleh K. F. Holle dibantu oleh R. Ng.
Purbacaraka. Naskah ini berisi sejumlah ajaran yang banyak bersumberkan dari
ajaran agama Hindu dan Budha.
Pembahasannya juga meliputi beberapa pandangan hidup
orang Sunda, yaitu Pandangan tentang manusia sebagai pribadi, sipat manusia yang
dianggap baik yaitu riang gembira, tenang dan tidak suka mengeluh, rendah hati
dan tidak senang dipuji dan tidak berlebih-lebihan dalam mencari keuntungan
atau penghasilan, prilaku yang baik yakni hormat dan hati-hati dalam tutur
kata, mawas diri setelah berbuat sesuatu, menginsyafi bahwa suatu perbuatan
akan berakibat baik dan buruk. Data yang paling banyak adalah yang berhubungan
dengan gunanya berguru atau mencontoh hal-hal yang baik. Peran guru akan
menentukan kualitas seseorang. (Warnaen, dkk, 1987: 111). Berikut kutipan
ungkapan dari Naskah Shanghyang Siksa Kandang Karesian;
1)
Jaga
rang ceta ma, mullah luhya, mullah kuciwa
(berhati-hatilah bila melakukan sesuatu, jangan mengeluh jangan kecewa),
maknanya seseorang jangan mempunyai sifat suka mengeluh dan putus asa.
2)
Jaga
rang ngajadikeun gaga sawah, tihap ulah sangsara, jaga rang nyieun kebonan
tihap mullah ngundeur ka huma beet salih, ka huma lêga sakalih, hamo beunang
urang laku sadu. Cocooan ulah tihap meuli mulih tihap nukeur, pakarang mullah
tihap nginjeun, simbut cawêt mulah kasaratan, hakan inum ulah kakurangan (Bila kita berladang atau
bersawah, sekedar jangan sengsara, berkebun sekedar jangan memetik sayuran di
lading kecil atau lading luas milik orang, memilihara ternah sekedar angan
hanya membeli atau menukar dengan barang (barter), memiliki perkakas sekedar
jangan meminjam, selimut dan pakaian jangan kekurangan, makan dan minum pun
jangan kekurangan), maknanya kita berusaha memiliki sesuatu bukan untuk
kemewahan, tetapi sekedar untuk mencukupi keperluan kita sehari-hari.
3)
Guru
rare, guru kaki, guru kakang, guru tua (Berguru
kepada anak-anak, kepada kakek-kakek, kepada kakak, dan kepada pak tua),
maknanya harus berguru kepada orang-orang yang ada di dalam keluarga, dan tak
perlu melihat tingkatan usianya.
4)
Lamun
anggeus di karma ning akarma, di twah ring atwah, anggeus pahi kilikan, ni
gopel nu rapes, nu hala nu hayu (Bila kita selesai
mengerjakan tugas, melakukan perbuatan, semua harus kita periksa kembali, mana
yang buruk dan mana yang baik, mana yang mungkin mencelakakan kita dan mana
pula yang menyelamatkan), maknanya kita harus mawas diri setelah kita selesai
melakukan sesuatu.
5)
Janma
wong, janma siwong, wastu siwong (Janma wong
ialah orang dalam jasadnya saja, janma siwong ialah orang baik tetapi
belum mendapat didikan, wastu siwong ialah orang terdidik sehingga faham akan
ajaran yang luhur), maknanya Orang mesti mendapat didikan agar memahami ilmu
yang berguna bagi dirinya.
Orang Sunda secara pribadi sadar akan hubungannya
dengan masyarakat yang menimbulkan aturan-aturan yang harus disepakati oleh
semua warga masyarakat, selain itu aturan tentang baik dan buruk muncul pada
hakekatnya berdasarkan penilaian terhadap dijalankan atau tidaknya
aturan-aturan tadi. (Warnaen dkk, 1987: 112). Berikut ungkapan yang mengandung
ajaran hubungan manusia dengan lingkungannya;
1)
Mulah
hiri mullah dengki deung deungeun sakahulunan
(Jangan iri dan jangan culas kepada kawan sperhambaan), maknanya seseorang
jangan mempunyai sifat iri dan culas terhadap kawan sendiri.
2)
Ulah mo
pake na sabda atong teuang guru basa, bakti suksila di pada janma, di kula
kadang baraya (Jangan sampai tidak menggunakan
tutur kata yang hormat, hati-hatilah berbahasa, sopan-santunlah kepada setiap
orang dan kepada sanak saudara), maknanya seseorang harus berlaku sopan dalam
bertutur kata kepada setiap orang.
3)
Maka
nguni nyeueung nu meunang pudyan, meunang parekan, nyeueung nu dineneh ku
tohaan, teka dek nyetnyot tineung urang (Demikian
pula menyaksikan orang yang mendapat pujian, mendapat selir (hadiah dari raja),
melihat orang yang dikasihi raja,(jangan)lalu goyah kesetiaan kita), maknanya
seseorang jangan sampai goyah kesetiaannya kepada atasan, walaupun atasan tidak
menaruh perhatian kepada pekerjaannya, padahal yang lain diperhatikan.
4)
Jaga
urang deuuk, ulah salah hareup, maka rampes di sila ( berhati-hatilah kita duduk, jangan salah menghadap, harus baik
sikap waktu duduk bersila), maknanya kesopanan harus dijaga, bila kita
berkesempatan menghadap orang-orang terhormat.
5)
Aya ma
na janma rampes ruana, rampes tingkahna, rampes twahna, turut saageungna, kena
itu sinangguh janma utama ngaranna. Aya ma janma goreng ruanaa,ireug tingkahna,
rampes twahna, itu ma mulah diturut tingkahna dara sok jeueung rwana, turut ma
twahna. Aya janma goreng rwana, ireug tingkahna, goreng twahna,itu ma carut
ning bumi, silih dirina urang sabuwana, ngaran calang ning janma (Bila ada orang yang baik perangainya, baik tingkahnya, baik pula
perbuatannya, tirulah keseluruhannya, karena dia adalah orang yang disebut
manusia utama. Bila ada orang yang buruk perangainya, salah tingkahnya, baik
perbuatannya, dia jangan ditiru tingkahnya, tapi cepat-cepat lihat perangainya
dan tiru perbuatannya. Bila ada orang yang buruk perangainya, salah tingkahnya,
buruk perbuatannya, adalah kotoran dunia.
Masyarakat Sunda mempunyai kesadaran yang tinggi
terhadap pentingnya alam, misalnya kebersihan lingkungan amat dipentingkan.
Alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. (Warnaen,
dkk., 114). Gambaran penghormatan manusia terhadapa alam semesta berikut ini;
1)
Trena,
taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wowohan, dadi ma hukan landung
tahun, tumuwuh daek, make hurip na urang reya
(rumput, pohon, tumbuhan melatadan perdu, pada kehijauan tumbuh buah-buahan,
hujan turun sepanjang tahun, semua dapat tumbuh, itulah penunjung kehidupan
orang banyak), maknanya yang dianggap sebagai penunjang kehidupan ialah
tumbuh-tumbuhan yang menghijau, hujan yang cukup turun setiap tahun sehingga
dapat menyuburkan tanaman.
2)
Lamun
urang ka dayeuh, ulah ngising di pinggir jalan, di sisi imah di tuntung
caangna, bisi kaambeu ku menak ku gusti. Sunguni
tungku nu rongah-rongah, bisii kasumpah kapadakeun…ngising mah tujuh lengkah ti
jalan, boa mo nêmu picarekeun sakalih, ja urang nyaho di ulah pamali (bila
kita datang ke kota, jangan buang berak di pinggir jalan, di samping rumah, di
tempat yang terang, kalau-kalau tercium oleh bangsawan dan raja. Timbuni dan
tutuplah bagian yang berlubang itu, agar tidak kena serapah akhirnya…buang
berak harus tujuh langkah dari (pinggir) jalan, buang air kecil harus tiga
langkah, agar tidak mendapat marah dari semuanya, karena kita tahu pada
larangan dan pantangan), maknanya kita harus tahu dan menjalankan aturan dalam
hal memelihara kebersihan lingkungan.
Dalam kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan,
Shanghyang Siksa Kandang Karesian berisi ajaran yang harus diperhatikan
oleh semua orang. Dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa setiap orang harus
mentaati (serta menjalankan) ajaran, adapun tempat yang dianggap suci ialah
rumah adat, tempat keramat atau tempat memuja, seperti: candi, kuil, lingga dan
arca atau patung. (Warnaen, dkk, 1987: 115). Berikut ungkapan yang menyatakan
ajaran pandangan manusia tentang Tuhan;
1)
Ya ta
janma bijil ti nirmala ning lêmah,pahonan, pabutê, pamujaan, imah maneuh,
candi, prasada, lingga linggih, batu gangsa, lêmah biningba, ginawe wongwongan,
saspuan. Sakitu, saukur lêmah kaopeksa, cai kusucikeun, kapawitrakeun. Nya keh
janma rahayu, yanma rampes, ya janma krêta (Ada
yang keluar dari kesucian tanah, tempat, tempat kurban, tempat keramat, tempat
memuja, sanggar, candi, kuil, lingga suci, batu perunggu, tempat arca,
patung-patung, (lalu orang) membersihkannya dengan sapu. Demikianlah, seluruh
permukaan tanah terurus, air dapat disucikan, dikeramatkan. Itu semua manusia
yang selamat, orang baik-baik, orang sejahtera), maknanya orang harus selalu
membersihkan dan memelihara tempat-tempat suci keagamaan.
2)
Ini triwarga di lamba: Wisnu kangken prabu,
Brahma kangken rama, Isora kangken resi.
Nya mana tritangtu pineguh ning bwana, triwarga hurip ning jagat (Ini tiga
warga pada kehidupan luas; Wisnu diibaratkan prabu (raja), Brahma diibaratkan
resi, Isora diibaratkan pendeta. Bila tritangtu peneguh dunia, maka triwarga
yang menghidupkan jagat raya), maknanya Kepercayaan bahwa jagat raya dikuasai
oleh Wisnu, Brahma dan Isora (Siwa).
3)
Ka bojo
sing ngalap manah, sakadar nu matak geunah, ulah nu matak tugenah, ku hukum
moal kamanah, pameget kukuhan sara, ulah arek lalawora, kkumaha tuturan sara,
ambrih lulus nya salira, Ulah dek silih benduan, tiktikan jeung timburuan, bisi
kagok kalakuan, tangtu cacad jeung batur salembur, mun bojo kaluluputan,
wurukan bae ingitan, supaya kasalametan, ulah mawa nafsu setan (Kepada istri haruslah pandai mengambil hati, sekedar yang
mengakibatkan kesenangan, jangan mengakibatkan tak nyaman, oleh hukkumpun tak
akan disetujui, Pria hendaknya teguh pada agama jangan gegabah dan lalai,
(berbuatlah) sebagaimana ajaran agama agar selamatlah badan Janganlah saling
mamarahi curiga dalam penggunaan harta dan cemburuan jika demikian akan serba
sulitlah kelakuan tentulah terjadi cela dengansesama tetangga. Apabila istri
berbuat kehilafan nasihati saja dan ingatkan agar supaya beroleh keselamatan
janganlah membawa nafsu setan.
4)
Anak
bakti di bapa, ewe bakti di laki, hulun bakti di pacandaan, sisya bakti di
guru, wong tani tani bakti di wado, wado bakti di di mantri, mantri bakti di nu
nangganan, nu nangganan bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu
bakti di dewata, dewata bakti di hyang (anak
berbakti kepada ayah, perempuan berbakti pada suami, hamba sahaya berbakti
kepada majikan, siswa berbakti kepada guru, petani berbakti kepada wado
(nama jabatan), wado berbakti kepada mantri (nama jabatan),
mantri berbakti kepada nu nangganan (nama jabatan), nu nangganan berbakti
kepada mangkubumi (nama jabatan), mangkubumi berbakti kepada ratu atau raja,
ratu atau raja berakti kepada dewata, dewata berbakti kepada hyang), maknanya
seseorang harus berbakti kepada orang yang mempunyai jabatan yang lebih tinggi
dari dia, sedangkan ratu atau raja harus berbakti kepada zat yang ada di dunia
supernatural.
5)
Bakti
ka Batara! Sing para dewata kabeh baktika Barata Seda Niskala. Pahi manggihkeun
si tuhu lawan pretyaksa (Berbaktilah kepada Barata!
Maka para dewata pun berbakti pada Barata kekuatan yang Tunggal. Semua
menentukan ketaatan dan kejelasan), maknanya Sebagai makhluk, kita harus
menyembah Tuhan yang Maha Esa dengan penuh ketaatan, karena perintah-Nya benar
adanya.
4. Sawer Panganten
Sawér merupakan adat
kebiasaan memberi nasihat atau menyampaikan perasaan hati pada upacara
peralihan dalam hidup seseorang, biasanya orang tua kepada anaknya (Ensiklopedi
Sunda, 2000: 580). Dengan demikian istilah Sawer Panganten berarti nasehat orang tua yang disampaikan
secara penuh perasaan kepada anaknya yang
menjadi penganten. Sawer Panganten yang disusun oleh Yus Rusyana merupakan salah satu
sumber nilai dalam kebudayaan Sunda. Perkawinan menurut orang Sunda
merupakan pandangan hidup orang Sunda yang utama. Lima pandangan hidup seperti
yang terdapat dalam sumber-sumber sebelumnya juga menjadi kandungan penting
dalam Sawer Penganten.
Dalam pandangan hidup manusia sebagai pribadi, dalam
perkawinan seorang suami harus bertanggung jawab berkenaan dengan keselamatan
dan kesejahteraan istrinya; memimpin istrinya, memberi pendidikan, mempunyai
pengertian yang tinggi dan toleransi terhadap istrinya, tidak membiarkannya
liar; tidak meyakiti hati istrinya, tidak mudah menjatuhkan talak, dan tidak
pecemburu; dan menjauhkan diri dari pergaulan dengan perempuan lacur dan
orang-orang yang suka berjudi (Warnaen, dkk., 1987: 118-119).
Sementara itu kewajiban istri dihadapan suami adalah
setia dan patuh kepada suami, karena suami sebagai pengganti orang tuanya; menjaga
keserasian hubungan dengan suaminya, menyenangkan hati, saling memberi dan menerima; menjaga diri dari pergaulan
bebas, tidak meninggalkan rumah di kala suami tidak berada di rumah,
menjalankan tata krama; dan menghindari pertengkaran, tidak pencemburu, tidak
pemboros, tidak membuka rahasia; tidak selingkuh, dan tidak mudah minta
bercerai. (Warnaen, dkk., 1987: 120)
Berikut ajaran tentang hak dan kewajiban pribadi
sebagai suami istri;
Dalam pandangan hidup manusia dengan Tuhan, Sawer
Panganten menjelaskan bahwa perkawinan merupakan takdir dari Allah yang
harus dijaga dan dimulyakan. Karena sebelum prosesi pernikahan berlangsung
selalu dimulai dengan permintaan izin kepada Tuhan serta bersyukur kepada-Nya
dan meminta perlindungan agar selalu berada dalam keselamatan (Warnaen, dkk.,
1987: 122). Berikut sebagian pernyataan dalam Sawer Penganten;
Pun sapun ka luhur
ka Sang Rumuhum
ka Guruputra Yang Bayu
ka handap ka Sang Barata
ka Batara ka Nagaraja
amit ampun ka nu kagungan lêmbur
tabe kanu kagungan bale
amit ka nu kagungan bumi
bisingna numbuk kukubung
bisingna nojo kosong
bising ngarêmpak larangan
nu calik jadi canoli
nu aya di papajangan
sarawuh di papajangan
nêda ampun nya paralun
nêda panjang pangampura
jisim kuring rek ngembarkeun
pangandika kangjêng Nabi Rasulullah saw.
(Yus Rusyana, 1971: 24)
Artinya:
Mohon ampun
ke atas kepada Sang Rumuhun
ke bawah ke Sang Batara
kepada Batara kepada Batari
kepada Batara Nagaraja
minta ampun kepada yang empunya kampung
tabe kepada yang empunya balai
minta izin kepada yang empunya rumah
kalau-kalau mengena bilik
kalau-kalau mengena ruang kosong
yang duduk menjadi canoli
yang ada di ruang berhiasan
minta ampun
minta panjang permaafan
saya akan mengumumkan sabda
Kangjeng Nabi Rasulullah saw.
(Warnaen, dkk., 1987: 125)
Sementara itu tentang upaya manusia dalam meraih
kepuasan lahiriah dan batiniah dalam Sawer Penganten menjadi tujuan
utamanya. Di antara yang harus dilakukan dalam mencapai kepuasan lahiriah dan
batiniah tersebut dengan cara kerja tekun dalam menjalankan mata pencaharian,
seperti bertani, berdagang, atau beternak. Berikut bait yang menjelaskan
tentang upaya meraih kepuasan lahiriah dan batiniah;
Sing tangginas nyaring manah
ulah kajongjonan ngeunah
masing leukeun ngolah tanah
tancab-tuncêb anu ngeunah.
Montong loba nu dicêkêl
ngan kudu têmên jeung wêkêl
pingeusaneun boga bêkêl
sumawon tambah patikêl.
Naon bae bibilintik
ngarah sautak-saeutik
mibit hayam mibit itik
keur meuli poleng jeung bati.
(Yus Rusana, 1971: 63, dalam Warnaen, 1987: 125)
Artinya:
Mesti tangkas
berhati nyalang
jangan terus keenakan
harus tekun mengolah tanah
menanam apa yang enak dimakan.
Tak usah banyak yang dipegang
asal bersungguh-sungguh
sebagai jalan agar memiliki bekal
apalagi ditambah pandai berdagang.
Kerja apapun usahakanlah dengan tekun
mencari berdikit-dikit
membibitkan ayam dan itik
untuk membeli poleng dan batik.
(Warnaen, dkk., 1987: 126)
5. Roman Pangeran Kornel dan Roman Mantri Jêro
Pangeran Kornel adalah sebutan untuk bupati Sumedang
yang diangkat kolonel oleh pemerintah Belanda tatkala ditugaskan untuk
mengerahkan pasukan dan mengepalainya selama mengepung para pemberontak
pengikut Pangeran Diponegoro, karena dikhawatirkan pemberontakan itu akan
menyebar ke Jawa Barat (Ensiklopedi Sunda, 2000: 487). Selanjutnya kisah hidup
pangeran Kornel itu menginspirasi R Memed Sastra Hadiprawira menuliskannya
sebagai roman sejarah pada tahun 1930. Sedangkan Mantri Jero adalah roman sejarah karya R. Memed
Sastra Hadiprawira pada tahun 1928. Mantri Jero mengisahkan tentang keadaan
tanah Priangan pada awal abad 17, beberapa tahun sebelum dan sesudah
ditaklukkan oleh balatentara Sultan Agung dari Mataram (Ensiklopedi
Sunda, 2000: 399). Oleh Warnaen, dkk.
(1987), kedua roman mengandung nilai-nilai luhur berbasis kebudayaan Sunda.
Tentang pandangan hidup tentang manusia sebagai
pribadi, kedua roman tersebut menjelaskan seharusnya seseorang mempunyai tabiat
yang luhur keutamaan, keteguhan hati, keberanian, dan kepandaian (Warnaen, dkk., 1987: 131-141).
Berikut ungkapan Pangeran Kornel dan Mantri Jero;
1)
Nangis
seibarat hujan, nyiram binih-kaprawiran. Malah mandar eta bibit kautaman, nu
dipêlak dina lêmah anu pinuh ka eurih-jukut-kapeurih melentung jadi petetan
serta mulus hirup-hirip, jadi tangkal pangubah kadang warga. Artinya: menangis seibarat hujan yang menyiram benih keperwiraan.
Agar benih benih keutamaan, yang ditahan dalam tanah yang penuh dengan
ilalang-rumput-kesedihan, tumbuh bertunas dan hidup mulus jauh dari hama
penyakit, menjadi pohon tempat kaum keluarga berlindung. (Pangeran Kornel)
(Warnaen, dkk., 1987: 146)
2)
…ibarat
tangkal, diarah iuhna, pangauban kuring leutik, penyalindungan nu kapanasan. Artinya:…ibarat pohon, berguna karena keteduhannya, tempat
bernaung si kecil, tempat berteduh yang kepanasan. (Pangeran Kornel) (Warnaen,
dkk., 1987: 147)
3)
tabeat
linuhung, nya eta nyaah ka nu masakat, artinya
tabiat yang luhur ialah sayang kepada orang yang papa” (Pangeran Kornel)
(Warnaen, dkk., 1987: 147)
4)
…kudu
percaya kana keyakinan hate sorangan, sanajan cek batur salah, tapi lamun cek
kayakinan hate sorangan bênêr, asal cukup ihtiar, ulah rek galideur, sabab
saksi nomor hiji nu bakal nyalahkeun jeung ngabênêrkeun kalakuan maneh teh nya
eta: hate. Sanajan kalakuan goreng beunang disimbuta ku omongan bohong, tapi
hate mah moal beunang dipaling. Lamun nyieun kasalahan moal pinanggih
jeung kasugêmaan, salilana bêrêwit dina ati, tangyina jadi panyakit, anu bakal
ngaruksak kana badan jeung pikiran (Mantri Jero). Artinya:…harus percaya
pada keyakinan hati nurani sendiri, biarpun kata orang lain salah, tapi jika
menurut keyakinan sendiri benar, asal cukup ikhtiar, jangan goyah, sebab saksi
nomor satu yang akan menyalahkan dan membenarkan kelakuanmu itu ialah hati.
Biarpun kelakuan busuk dapat diselimuti dengan omongan bohong, tapi hati tak
dapat ditipu. Berbuat kesalahan tak akan pernah menemukan kebahagiaan,
selamanya makan hati, tentu jadi penyakit yang akan merusak badan dan pikiran
(Mantri Jero) (Warnaen, dkk., 1987: 148)
5)
…ulah
rek ngalalaworakeun kuno têtêkon katatakrama, sebab turunan mah teu beunang
dibunian. Lir ibarat emat, sanajan geus rimeuk oge, ari dikosok mah tangtu
herang deui, wantuning moal obah sifat kaemasanana mah. Kitu heula, digosokeun
kana batu pangujian, jadi salilana moal kabobodo. Di jelema oge nya kitu: lamun
rek niten hiji jelema turunan luhur-lainna, diuji heula, nya eta ditilik
tindak-rengkakna, tata bahasana jeung ngomongna, sebab ieu sarat-sarat nu tilu
rupa hese diturutnana, lamun dina dirina hênteu nyampak darahna.” Artinya…jangan mengabaikan aturan tatakrama, sebab darah
keturunan tak dapat disembunyikan. Ibarat emat, meskipun sudah kusam tapi kalau
digosok akan bercahaya kembali, karena tiada ‘kan pernah berubah sifat
keemasannya. Begitu pula kalau mau tahu tulen tidaknya emas, bukankah harus
diuji pula, digosokkan pada batu penguji, jadi selamanya tidak akan terperdaya.
Demikina pula ihwal manusia; kalau mau meneliti apakah seseorang berasal dari
keluarga mulia atau bukan, harus diuji lebih dulu, yaitu diamati
gerak-geriknya, tata cara berbahasa, dan tutur katanya, sebab ketiga macam
syarat ini sulit ditiru, kalau pada diri orang itu tidak ada darah
keturunannya. (Mantri Jero) (Warnaen, 1987: 149).
Pandangan hidup berikutnya tentang hubungan manusia
dengan lingkungan
masyarakatnya. Kedua roman tersebut menjelaskan bahwa hubungan manusia
dengan masyarakatnya terdiri dari dua bagian; yaitu hubungan manusia dengan
sesamanya dan hubungan manusia dengan negara (manusia sebagai insan masyarakat,
bangsa, dan negara) (Warnaen, dkk., 1987: 153). Manusia hubungannya dengan manusia harus mengutamakan: tolong menolong
dalam kesusahan, asal usul keturunan
keluarga, tatakrama, hubungan kekeluargaan, memahami perasaan orang lain
(surti), saling mengalah, tenggang rasa, mengindari meyakiti hati orang lain
(Warnaen, dkk., 1987: 153). Sedangkan, manusia dalam hubungannya dengan negara
berupa komitmen bahwa penguasa adalah abdi masyarakat dan rakyat abdi negara.
Kewajiban penguasa negara adalah menciptakan
keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran dalam masyarakat; kewajiban
rakyat adalah taat, patuh, dan setia kepada perintah penguasa negara (Warnaen,
dkk., 1987: 153).
Pandangan hidup tentang manusia dengan alam. Menurut
Roman Pangeran Kornel dan dan Mantri Jero tentang hubungan manusia
dengan alam tidak begitu jelas. Tetapi terdapat keyakinan bahwa di balik dunia
nyata ini ada pula dunia lain yang tak nyata atau gaib ((Warnaen, dkk., 1987:
154). Alam yang tidak nyata itu diyakini seoalah-olah menyimpan hokum alam
untuk alam nyata dalam bentuk wewalês, uga, dan kila-kila.
Menurut pandangan orang Sunda berdasar Roman Pangeran Kornel dan Mantri Jero,
ketiga istilah tersebut menunjukkan bahwa alam nyata dan alam tidak nyata terdapat
hubungan mistik antara kehidupan manusia di alam nyata dengan alam tidak nyata.Wewalês
(pembalasan) atau ganjaran kepada barangsiapa yang berbuat kejahatan atau
kebaikan terhadap orang lain. (Warnaen, dkk., 1987: 154). Uga merupakan
kepercayaan pada takdir dalam perjalanan waktu (Warnaen, dkk., 1987: 155). Kila-kila
ataiu totonden adalah tanda-tanda alam yang seakan-akan membawa berita
dari alam goib untuk alam nyata dan yang harus ditafsirkan oleh manusia
(Warnaen, dkk., 1987: 156).
Pandangan hidup yang terakhir adalah pandangan hidup
tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Konsep Tuhan menurut Roman Pangeran
Kornel dan Mantri Jero tampak sinkritis (Warnaen, dkk., 1987: 158). Tuhan Yang
Maha Esa itu disifasi dengan sifat-sifat dewa dalam agama Hindu dan Allah dalam
agama Islam (Warnaen, dkk., 1987: 158). Berikut pernyataan tentang Tuhan;
Sungut sambung lemek, suku sambung lempang,
kaula panghulu agung, wawakil panatagama,
nêda panaksen, angungna ka Gusti Allah nu maha
wisesa,
jêmbarna ka sakur nu hadir, batinna ka Nu Ngayuga,
lahirna ka bumi-langit, ka bayu, ka kayu jeung ka
watu,
lamun ênya
Raden Yogaswara bêrêsih dirina, sing kêbêl
teuleumna, ulah muncul sameneh Sang Batok Kohok
titêrêb”
Artinya:
Mulut sambung bicara, kaki sambung langkah,
aku penghulu agung, wakil panatagama,
minta kesaksian, agungnya kepada Gusti Allah Yang
Maha Kuasa, umumnya kepada semua yang hadir,
batinnya kepada Sang Penjaga, lahirnya kepada
bumi-langit,
kepada angin, kepada kyua, kepada batu, kalau betul
diri Raden Yogiswara bersih, semoga lama menyelam
jangan muncul sebelum Dang Tempurung Bolong tenggelam.
(Mantri Jero) (Warnaen, dkk., 1987: 158-159).
6.
Nilai-nilai
Dalam Adat Istiadat Sunda
Yang peneliti maksudkan dengan nilai-nilai dalam adat
istiadat Sunda adalah sebagaimana yang tesirat dalam karangan R.H. Hasan
Mustapa. Dalam bukunya yang berjudul Bab adat-adat Urang Priangan jeung
Urang Sunda Lian ti Eta, mengelompokkannya menjadi beberapa pasal.
Pasal-pasal tersebut menjelasakan tentang Adat Pengajaran, Adat Orang
Ngidam, Adat Menjaga Orang Hamil, Adat Menyunat/ Khitanan, Adat
Menikah, Adat Pertanian di Priangan, Sesuatu Yang Ditakuti
Manusia, Adat Kematian, Waktu Yang Dimuliakan, dan Penahanan,
Perhitungan, Tanda-tanda Uga.
Berpijak pada nilai-nilai tersebut, peneliti
mengelompokkan ke dalam enam katagore, sebagai berikut;
1)
Pandangan
hidup manusia sebagai pribadi, asak jeujeuhan; orang yang baik kelakukannya besar pertimbangannya
(bijaksana). Dengan jalan memeluk agama, bertata susila, prasangka, pertimbangan,
mengetahui baik buruk, tata kesopanan, berhati-hati sedapat mungkin. (Mustapa,
1985: 7). Sesorang itu harus mandiri (tidak manja) mempunyai pikiran
sendiri, dan mempunyai rasa malu. Penanaman nilai-nilai kemandirian itu
dilakukan ketika seorang anak telah menajalani khitanan. (Mustapa,1985: 57).
Bagi orang Sunda, terutama seorang suami ketika ditinggal wafat istrinya, tidak
boleh larut dalam kesedihan. Mereka sebagai suami maupun anak harus tetap
optimis. Hal itu sebagaimana terungkap dalam kalimat berikut ini, “Neuteuk
leukeur meulah jantung, geus lain-lainna deui, cas kayas paris jingga.”
Kalimat itu disampaikan kepada anak dan suaminya agar tetap teguh dan melupakan
kesedihan karena ditinggal mati. (Mustapa, 1985: 128).
2)
Pandangan
hidup manusia dengan sesama; mentaati orang tua, guru atau ratu (Mustapa, 1985: 4), gede daluangna kurang
luangna (Mustapa, 1985: 5). Maksud dari ajaran tersebut adalah
seseorang yang banyak pengetuahannya tetapi belum ada hasil pekerjaannya. Tidak
boleh menghina orang tua, akibatnya durhaka (Mustapa, 1985: 6); Anak merak
kukuncungan, uyah tara tees ka luhur; bila ayahnya demikian pasti anaknya
pun demikian. (Mustapa, 1985: 7); bagi perempuan yang ngidam (nyiram)
baik dirinya maupun suaminya disarankan untuk melihat dan melakukan hal-hal
atau peristiwa yang baik-baik, dan dilarang melihat dan melakukan hal-hal atau
peristiwa yang buruk dan tercela. (Mustapa, 1985: 8). Orang tua yang memiliki
anak perempuan yang tengah mengandung – dengan usia kandungan tiga bulan sampai
100 hari disarankan – untuk bersedekah kepada orang tua-tua lainnya yang
diminta doa restunya agar kandungannya selamat. (Mustapa, 1985: 8). Yang perlu
disediakan yaitu minyak kelapa atau air, untuk dipakai oleh orang yang sedang
mengandung dengan doa nurbuat, maksudnya keselamatan bagi bayi yang
sedang dikandung, karena banyak sekali pantang-pantangan atau tabu yang tidak boleh dilakukan oleh orang yang
mengandung dan suaminya. (Mustapa, 1985:
8) Kalau seandainya terjadi anaknya tidak selamat, misalnya cacat kulitnya atau
anggota badannya, biasa disebut “nurut buat”, artinya meniru kelakuan ibunya
atau ayahnya. Dalam hal ini terdapat pula kewajiban orang tua terhadap
anak-anaknya, yaitu; melahirkan, khitanan, mengawinkan, dan mengurus kematian
(Mustapa, 1985: 8). Selain itu terdapat larangan melakukan tindakan tertentu
yang jika dilakukan bisa menimbulkan dampak negatif bukan pada pelakuknya,
tetapi pada orang lain, seperti anak-anak yang suka bermain menelungkup, bisa
menyebabkan tidak mempunyai ibu; memakan makanan yand masam di waktu matahari
terbenam mengakibatkan ditinggal mati ibunya; anak lelaki yang melangkahi pakara
(perkakas alat untuk menenun) bisa menyebabkan impoten; memandikan kucing
mengakibatkan hujan angin; anak kecil yang suka bercermin bisa menyebabkab
tenggelam (Mustapa, 1985: 13). Menghadiri undangan (keduri) merupakan
bentuk kewajiban social bagi orang Sunda. Bila tidak datang hal itu akan
merusak hubungan kekeraban dan kemasyarakatan. (Mustapa,1985: 48) Penghormatan
kepada sesama manusia bukan hanya kepada mereka yang masih hidup, tetapi juga
kemana mereka yang sudah wafat, terutama leluhur. Karena orang Sunda meyakini
bahwa hubungan antara sesama manusia tidak hanya semasa hidup di dunia tetapi
juga setelah matinya. (Mustapa,1985: 49). Dalam hubungannya dengan sesama
manusia ini, orang Sunda sangat menjunjung tinggi aturan adat dan agama,
terutama soal perkawinan. Jika terlahir seorang anak dari perempuan yang tidak
jelas ayahnya, maka anak itu disebut anak haram. Anak tersebut tidak akan
dihargai, karena ayahnya tak tentu. Anak
tersebut akan dikatakan bersih hingga tujuh turunan, kecuali jika
perempuan tersebut ada yang mengawini sebelum melahirkan atau si anak itu, atau
anak itu membunuh ibunya sendiri. (Mustapa, 1985: 64). Dalam hubungannya budaya
dan tempat baru, orang Sunda yang merantau diberi nasehat orang tua-tua, kudu
pindah cai pindah tampian, maksudnya agar selamat harus pandai menyesuaikan
diri dengan adat di desa perantauan. (Mustapa, 1985: 172). Taat pada peraturan
pun menjadi bagian dari kehidupan orang Sunda yang terkandung dalam indung hukum bapa drigama. Maksud dari
pernyataan tersebut adalah ada hukum yang mengatur seperti seorang ibu yang
mengasuh dan ada drigama sebagai aturan negara yang mendidik seperti seorang
bapak. (Mustapa, 1985: 173).
3)
Pandangan
hidup manusia dengan alam; tidak boleh melangkahi padi (nyi sri),
akibatnya mendapat penyakit yang disebabkan oleh setan, dan takut mendapat
celaka yang disebabkan oleh makhluk yang tidak kelihatan. (Mustapa, 1985: 6).
Dalam kaitannya dengan kelahiran seorang bayi, orang Sunda memahami bahwa
memperlakukan tembuni (ari-ari atau plasenta) bayi yang lahir.
Pembuangan atau penguburan tembuni diperlakukan seperti mengarah seorang
penganten. (Mustapa, 1985: 31). Dalam kaitannya dengan fenomena alam terutama
hujan, orang Sunda meyakini bahwa alam bisa diajak kerjasama. Misalnya ketika
akan melaksanakan hajatan di musim hujan, empunya hajatan bisa meminta
tolong pada pawing hujan untuk mengendalikan turunnya air huja, nyarang.
(Mustapa,1985: 53). Orang Sunda dikenal sebagai masyarakat agraris.
Penghormatan mereka terhadap air, tanah, tanaman (terutama padi) sangat tinggi.
Untuk mengawali membajak tanah, menyemaikan benih, menanam padi, memanemnya,
menyimpannya di lumbung padi, mengambilnya dari lumbung untuk ditumbuk, serta
memakannya harus disertai dengan ritual dan penghormatan yang khusus. Menjaga
kelakuan, ucapan yang tidak bermanfaat harus dihindari demi untuk menjaga
keselamatan tanamannya (Mustapa, 1985: 98). Seperti peringatan kepada orang
yang menghina padi, melangkahi atau pun menginjaknya pun harus tegas, “Jangan
berbuat begitu!” bukan kalimat, “Jangan disia-siakan begitu!” (Mustapa, 1985:
98). Terhadap binatang (tertutama kerbau
untuk membanjak sawah), petani tidak akan memaksanya hingga kerbau itu
kepanasan disengat terik matahari. Mereka yang sejak subuh berangkat ke sawah
akan menggiring pulang kerbaunya ke kandang antara pukul 10.00-11.00. (Mustapa,
1985: 105) Pada hari Jumat dan tanggal 14 tahun Hijriyah mereka tidak akan
mempekerjakan kerbau-kerbaunya. Karena hari itu diyakini sebagai hari naasnya
kerbau. (Mustapa, 1985: 105)
4)
Pandangan
hidup manusia dengan Tuhan, untung becik untung ala, saking Allah;
untung maupun rugi modalnya dibawa dari
kondrat. (Mustapa, 1985: 6).
5)
Pandangan
hidup manusia tentang waktu; tidak boleh bermain pada waktu matahari terbenam,
kalau-kalau diganggu setan ((Mustapa, 1985: 6), tidak boleh makan makanan yang
masam-masam pada saat matahari sudah terbenam mengakibatkan ditinggal mati oleh
ibunya. (Mustapa, 1985: 6). Secara terperinci Hasan Mustapa menjelaskan tentang
waktu-waktu yang dimulyakan oleh masyarakat Sunda. Waktu-waktu tersebut – dalam
hal ini masyarakat Sunda menggunakan penanggalan tahun Hijriyah – adalah; bulan
Mulud (Robi’ul Awal), bulan Rajab, bulan Rewah (Sya’ban), bulan Puasa, Hari Raya Idul Fitri, bulan Syawal,
bulan Rayagung (Dzulhijah), dan bulan Sura (Muharrom). Menurut Mustapa pada
bulan Mulud lebih dihormati, lebih banyak hal-hal yang tabu dilakukan, dan
banyak bertapa. (Mustapa, 1985: 139). Di antara larangan di bulan ini adalah;
bepergian ke hutan karena dikawatirkan di makan harimau, karena tepat pada
bulan diyakini hariamu mengasah kukunya di pohon-pohon beringin (Mustapa, 1985:
144); mengerjakan pekerjaan besar, seperti mendirikan rumah, mengerjakan
sesuatu dengan golok, menggali parit, dan membuat danau. Selain itu dilarang
pula bercerita tentang cerita-cerita kuno seperti cerita wayang dan pantun.
Patangan itu jika ditelusuri alasannya tidak jelas, karena semuanya kata orang
tua. (Mustapa, 1985: 140). Manfaat bulan Mulud adalah bisa dipergunakan memuja;
menyepi diri; menggunakan untuk menguji akan kegunaan perkakas berupa senjata-senjata;
menenun kain hingga batas akhir tanggal 14 Mulud; menyepuh ilmu pengetahuan,
seperti: ilmu kekebalan agar tidak kelihatan orang lain; atau serba sempurna;
jampi-jampi untuk memikat laki-laki atau perempuan; ronggeng untuk memikat
laki-laki yang berjoget dengannya; dan yang membunyikan gamelan agar tertarik
yang mendengarkannya. Tepat tanggal 14 Mulud dipakai untuk membersihkan kabuyutan
dibuka dan diminyaki, membakar kemenyan, gong dimandikan, orang-orang pada
ngabungbung ke hutan, ke makam, mandi di sungai. Bahkan terdapat ungkapan bahwa
jampi yang bagus juga kalau belum dimandikan pada Mulud, belum dapat
diandalkan. (Mustapa, 1985: 141). Pada bulan itu pula mimpi yang dialami
oleh seseorang tidak dianggap sebagai mimpi biasa, tetapi sebagai mimpi yang
mengandung isyarat. Usai mimpi, biasanya seseorang akan melaporkannya kepada
gurunya. Mimpi di bulan Mulud disebut dengan illapat atau ilham.
(Mustapa, 1985: 141). Pada tanggal 12 Mulud termasuk salah satu dari empat
waktu walilat, yaitu; 14 Sya’ban, dan dua hari Raya Idul Fitri dan Idul
Adha. Walilat berasal dari malam lebaran Puasa dan lebaran haji, karena pada
takbiran kalimat terakhir berbunyi walilat hilhamd. Bulan Mulud
merupakan bulan baik untuk berlomba-lomba dalam bersedekah. (Mustapa, 1985: 143).
Bulan terpilih berikutnya adalah Rajab.
Pada bulan masyarakat membaca
kisah nabi Muhammad ataupun barjanji, karena memperingati kisah Isra’ Mi’raj
Nabi Muhammad SAW. (Mustapa, 1985: 146). Bulan terpilih lainnya adalah bulan
Rewah. Bulan ini dipilih untuk memperingati para leluhur. Pelaku maksiat pun
akan senantiasa ingat pada bulan Rewah (Mustapa, 1985: 147). Tepat pada tanggal
14 Rewah diperlukan untuk sedekah dengan memberi kepada tamu undangan atau
kepada lebai, orang tua, dan mertua. Konon menurut kepercayaan pada bulan itu
buku catatan orang Sunda akan diperiksa oleh Tuhan, oleh karena itu harus
dilakukan pertobatan. (Mustapa, 1985: 147). Bulan lain yang dianggap mulia
adalah bulan Puasa. Pada bulan ini diyakini tidak ada makhluk gaib yang menganggu
karena dirantai. Pantangan pada bulan ini adalah melaksanakan pernikahan
(Mustapa, 1985: 148). Pada bulan itu masyarakat diperintah untuk menjalankan
puasa, membayar zakat fitrah, pergi ke makam, dan berkeramas. (Mustapa, 1985:
150). Mudik pun menjadi agenda wajib bagi kepala keluarga yang merantau, karena
harus membayar zakat fitrah untuk anak dan istrinya (Mustapa, 1985: 152). Waktu
lain yang dimulyakan adalah hari Raya Lebaran. Pada hari itu sedapat mungkin
saling menghormati (Mustapa, 1985: 153) sesama. Waktu yang dimulyakan
berikutnya adalah bulan Rayagung atau Zulhijah. Bulan itu diperingati karena
bersamaan dengan pelaksanaan haji di Mekkah. Bagi masyarakat Sunda yang
kebetulan anggota keluarganya tengah berhaji, biasanya mereka menyiramkan air ke
batu yang kepanasan, agar orang yang kepanasan di Mekah tidak terlalu panas
(Mustapa, 1985: 155). Bulan ini pula bulan yang dibesarkan, karena bisa
dipergunakan untuk pernikahan, khitanan, dan bepergian terurama untuk
mendapatkan kesejahteraan (Mustapa, 1985: 156-157). Sementara itu pada Muharram
dipilih karena terdapat peristiwa yang menyedihkan, seperti; terbunuhnya Husein
bin Ali bin Abi Thalib; tepatnya hari Rabu terakhir bulan ini terjadi bencana
banjir yang besar yang selamat hanya kapal nabi Nuh. (Mustapa, 1985: 158)
Karena peristiwa tersebut orang Sunda dilarang menyelenggarakan acara-acara
besar. Waktu lain yang menjadi perhatian adalah bulan Sapar. Pada bulan ini
orang Sunda dilarang melangsungkan pernikahan, karena bersamaan dengan masa
dimana banyak anjing yang kawin (bersetubuh). Selain itu tepat pada hari Rabu
terakhir bulan ini diyakini muncul beribu macam malapetaka bagi umat manusia.
Untuk menghindarinya orang Sunda harus sembahyang sunat dan meminum jimat Rebo
Wekasan (Mustapa, 1985: 159). Demikianlah waktu-waktu yang diyakini oleh
masyarakat Sunda, yang di dalamnya terdapat keuntungan dan kerugian secara
peridik. Oleh karena itu, orang Sunda yang ingin melaksanakan kegiatan atau
pekerjaan mereka harus memperhatikan waktu-waktu terseut.
6)
Manusia
dalam mengejar kemajuan lahiriah dan batiniah; dengan mengikuti aturan adat
istiadat yang berlaku anak akan menjadi anak terpuji, anak itu akan baik
derajatnya. (Mustapa, 1985: 6). Dalam kaitan dengan kelahiran orang Sunda
memberi nama dipilih orang yang sudah tua yang disegani dan mempunyai
pengetahuan mengenai nasib ke depan anak yang diberi nama itu, meliputi
kenaasan, kesialan, kejayaan, perbintangan, perhitungan nilai huruf, yang
dipergunakan sebagai angka untuk mengetahui peruntungan di dalam perkawinan.
(Mustapa, 1985: 31). Pandangan hidup mengejar kebahagiaan lahir dan batin pun
ditanamkan sejak anak muli bisa berlari dan bermain. Seperti, tidak boleh
berenang terlalu lama karena di dalam air ada yang makhluk yang menunggunya;
tidak boleh memanjat pohon karena pohon dihuni hantu; anak kecil dilarang
memanjat pohon pepoya dan petai c ina, karena jika jatuh bisa menyebabkan
kegilaan. (Mustapa, 1985: 39) Selain itu
larangan lainnya adalah bermain uang itu tabu, karena bisa menyebabkan tidak
hemat; bermain api mengakibatkan luka besar; menduduki batang kayu yang
dijadikan kayu bakar dan tidak dibelah-belah dulu, menjadi pertanda diminta
kawin oleh perempuan hamil yang tidak sah; dikudung kain sarung bisa menjadikan
anak manja; bernyanyi bisa membuat sedih dan seterusnya. (Mustapa, 1985:
40)
7.
Sabda
Mutiara Kasepuhan Cinunuk
Sabda Mutiara Kasepuhan Cinunuk meliputi beberapa
prinsip berikut ini;
8.
Kesadaran
Sejarah dan Nilai Kearifan Etika
Da bongan…
hyang terang raratan asal
bibit diri kawit ngancik
mapay tampian rundayan
Nya nyukcruk galur luluhur
tibahari ka kiwari (Effendie
dan Warjita, 2006: 95)
Pun paralun
sembah sujud putu buyut
bilih teu kasebat asma
bilih teu kasabit nami
agung paralun kasuhun
punah ku rajah pamunah (Effendie
dan Warjita, 2006: 95)
9.
Kesadaran
Spiritual Religi
Lamun rek jarah ka tanah suci,
kudu geus jadi haji di didieuna keneh.
(Seandainya akan berziarah ke tanah suci,
harus sudah menjadi haji masih
sini)
Ngan anjeuna anu ngayakeun ayana aya jeung ngayakeun ayana euweuh.. Hanya Dia yang mengadakan ‘ada’ dan
yang mengadakan adanya ‘tiada.’
Cinta teh umurna leuwih kolot batan dunya. Pangeran ngadamel dunya
ku sabab cinta (Umur cinta lebih tua disbanding
dunia. Tuhan menciptakan dunia karena cinta).
Qur’an teh tuduh jalan, tatapakan tugu keur manusa, sangkan hirupna
salamet dunya aherat. Kaluar tina kalang ugeran iman, lir lauk cai luncat ka
darat. (al-Qur’an penunjuk jalan, tempat berpijak
untuk manusia, supaya hidupnya selamat di dunia dan akherat. (Effendie dan
Warjita, 2006: 95-96)
1) Kesadaran Akan Kualitas
Regenerasi
Entong nimbel mama, mending oge mais, supados aya boroeun seuweu
putu jaga. (Effendie dan Warjita, 2006: 96), Jangan
membuat nasi timbel, lebih baik membuat pepes, supaya ada yang bisa diburu oleh
anak cucu di kemudian hari. Maknanya, mempersiapkan keturunan yang kuat secara
ekonomi.
2) Kualitas Kepemimpinan
Mun jaga maraneh jadi pamingpin, kudu mibanda jiwa wibawa, komara.
Jeung lengkah, napakna panceg dina Giri (gunung), Jaladri (akomodatif dan
aspiratif), Surya (matahari), Pawaka
(angin), Sarah (bersabar), Denta (gajah). Nu kitu disebut Jiwa Agung
Adil (palamarta). Jika kalian nanti menjadi
pemimpin, harus memiliki pribadi yang berwibawa, berpengaruh. Dan langkahnya, tegap di atas
gunung, jaladri, matahari, angin, bersabar, gajah. Yang demikian itu
disebut berjiwa agung dan adil
(Effendie dan Warjita, 2006: 96)
3) Penguata Kualitas Sumber Daya Manusia dan Etos Kerja
Lauk laut mah, sanajan hirupna dina cai asin, tapi rasa dagingna teu
kabawakeun asin. Pieunteungeun! Pamadegan! Ulah kapangaruhan lingkungan! Tong
rempan katiup topan! Istiqomah ulah goyah!
Sateges na mah jelema anu
beunghar the anu miskin ku kahayang.
Ngajentul jeung pacul, diuk jeung peso raut, indit jeung arit,
leumpang jeung parang, lebak humaan, legok bakoan, pasir huian.
Daek cape ku digawe, Insya Allah bakal dahar unggal poe. (Effendie dan Warjita, 2006: 96-97)
4) Kesadaran Estetika dan Etika
Nun Gusti, ngan dina alam nu maha endah abdi nguping gentra Gusti
tanpa sora.
Kade euy! Lamun silaing jadi jagal poma pahing ulah beuki daging.
Sabda mulya batalna ku amarah. (Effendie
dan Warjita, 2006: 97)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar