Rabu, 01 Agustus 2012

Pendidikan Nilai dan Kepribadian Pertemuan 1 dan 2


MODEL PENDIDIKAN NILAI KEAGAMAAN


A.                Makna Model Pendidikan  Nilai Keagamaan
Sebelum mengemukakan definisi  model pendidikan nilai keagamaan,  terlebih dahulu penulis perlu mendefinisikan  model  pendidikan dan pendidikan nilai. Model pendidikan mengandung arti model pengajaran. Menurut Joyce dan Weil with Calhoun (2000: 6) model pengajaran pada dasarnya sama dengan model pembelajaran.
Menurut (Dewey, 1916) :
“The core of teaching process is  the arrangement of enviroments within which the students can interact and study how to learn.“

Berdasarkan inti pengajaran tersebut (Joyce dan Calhoun, 2000:13) mendefinisikan:
A model of teaching is a description of a learning enviroment. The description have many uses, ranging from planning curriculums, courses, units and lessons to designing instructional materials – books and workbooks, multimedia programs, and computer-assisted learning program”.
               
 Definisi di atas mengandung arti model pendidikan adalah deskripsi mengenai lingkungan pembelajaran. Deskripsi tersebut berfungsi untuk menyusun rencana kurikulum, mata pelajaran, dan untuk mendesain  buku materi ajar, lembar kerja,  program multi media dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa model pengajaran merupakan suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan untuk  membuat kurikulum, mendesain bahan-bahan pengajaran, dan sebagai pedoman pengajaran di kelas maupun tempat lainnya.
Adapun arti pendidikan nilai dapat dirumuskan dari dua pengertian dasar, yaitu pendidikan, dan nilai. Oleh karena rumusan pengertian pendidikan dan nilai dirumuskan berbeda, maka berbeda-beda pula rumusan pendidikan nilai.
 Dalam kaitan ini Mulyana (2004:119) mengemukakan beberapa definisi pendidikan nilai menurut para ahli antara lain menurut Sastrapratedja, Mardiatmadja dan pengertian pendidikan nilai di India.
 Menurut Satrapratedja (Kaswardi, 1993), yang dimaksud dengan Pendidikan Nilai adalah penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada seseorang. Dalam pengertian yang hampir sama Mardiatmadja (1986) mendefinisikan Pendidikan Nilai sebagai bantuan terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Sementara itu dalam laporan National Resource Center of Value Education, di Negara India Pendidikan Nilai di didefinisikan sebagai usaha untuk membimbing peserta didik dalam memahami, mengalami, dan mengamalkan nilai-nilai ilmiah, kewarganegaraan dan sosial yang tidak secara khusus dipusatkan pada pandangan agama tertentu (NRCVE, 2003).
Berdasarkan unsur-unsur yang ada dalam tiga definisi tersebut, maka pendidikan nilai dapat didefinisikan sebagai usaha untuk membimbing dan membantu peserta didik dalam memahami, menyadari, mengembangkan, mengamalkan, dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya.
Dalam pada itu Hers at.all., (1980:7) secara khusus mendefinisikan model pendidikan moral, yang berarti pula model pendidikan nilai. Menurutnya:
A model of moral education, in our conception, is a way of thinking about the processes of caring, judging, and acting in an educational setting. A model includes a theory, or a point of view, abaout how people develop morally and a set of strategies, principles, for fostering moral development. A model thus helps us both to understand and to practice moral education”.

Definisi ini menunjukan bahwa model pendidikan moral adalah cara berfikir tentang proses memperhatikan, penentuan, dan aksi dalam lingkungan pendidikan. Sebuah model mencakup teori atau pandangan tentang bagaimana pengembangan masyarakat secara moral dan menyiapkan strategi dan prinsip-prinsip untuk membantu mengembangkan moral. Dengan demikian sebuah model membantu baik dalam memahami atau memperaktekan pendidikan moral.
Berdasarkan rumusan pengertian model pendidikan, pendidikan nilai dan model pendidikan moral di atas maka dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran itu merupakan perencanaan yang dilakukan oleh pendidik dan panduan dalam pengajaran, sehingga tujuan pembelajaran itu dapat tercapai.  Inti dari model tersebut berupa perencanaan pembelajaran, yakni berisikan tentang panduan interaksi  timbal balik antara orang tua dan anak, mulai dari awal kegiatan (persiapan), pelaksanaan, umpan balik (evaluasi).

B.                 Karakteristik Model Pendidikan Nilai Keagamaan
Yang dimaksud dengan model pendidikan dalam penelitian ini adalah model pembelajaran. Dalam bukunya yang berjudul Models of Teaching, Joyce at.al., (2000) mengemukakan beberapa model pembelajaran, antara lain The Social Family of Models, The Personal Family of Models, The Behavioral System Family of Models dll. Masing-masing model tersebut mengandung enam kriteria, yaitu: (1)  tujuan (aims), (2) langkah-langkah kegiatan (syntax), (3) peranan pendidik dan peserta didik (the social system), (4) prinsip-prinsip reaksi seperti membimbing dan menggunakan berbagai metode (principles of reaction), (5). dukungan sistem (support system ), seperti alat bantu dan (6) evaluasi (evaluation). 
1.      Tujuan (aims) 
Kata tujuan semakna dengan "sasaran” atau “maksud” dalam bahasa Inggris disebut dengan “goal” atau “purpose” atau “objectives” atau “aim.” Istilah-istilah tersebut mengandung pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada tujuan tertentu, atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas (Arifin, 1991: 222), atau sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau kegiatan selesai (Darajat, 1992: 29). Tujuan, demikian tegas Arifin, bisa jadi menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. (Arifin, 1991: 223). Banyaknya pengertian tujuan yang digulirkan oleh para ahli, secara umum semuanya mengandung pengertian yang berpusat pada usaha atau perbuatan yang dilakukan untuk suatu maksud tertentu.
Sementara itu dalam kaitannya dengan pendidikan nilai keagamaan, suatu tujuan pendidikan haruslah meliputi aspeks-aspek: pertama, tujuan dan tugas hidup manusia. Pada aspek ini menjelaskan bahwa diciptakannya manusia bukan  tanpa tujuan. Diciptakannya manusia untuk menjadi wakil Tuhan  (khalifah Allah) di muka bumi; kedua memperhatikan sifat dasar manusia. Aspeks yang kedua ini mengandung pengertian bahwa  manusia menurut fitrahnya berkecenderungan pada rindu akan kebenaran Tuhan (al-Hanif). (Langgulung, 1989: 39). Dengan demikian, suatu pendidikan nilai keagamaan haruslah berupaya untuk mempertahankan kecenderungan rindu pada kebenaran ilahi; ketiga, tuntutan masyarakat. Aspeks tuntuntan masyarakat ini menjelaskan bahwa tujuan pendidikan harus melakukan usaha pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan masyarakat maupun merespon terhadap perkembangan budaya baru; keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Aspeks ini menekankan bahwa tujuan pendidikan nilai keagamaan haruslah meliputi dimensi kebutuhan jasmani dan rohani sekaligus. Keseimbangan terpenuhinya kebutuhan jasmani dan rohani diharapkan menjadi daya tangkal pengaruh negatif yang mengusik ketenteraman masyarakat baik yang bersifat spiritual, social, cultural, ekonomis, maupun ideologis dalam pribadi manusia. (Arifin, 1991: 3-4).
Selain itu, fungsi tujuan pendidikan pun menjadi perhatian penting sebagai bagian integral dalam tujuan pendidikan nilai keagamaan. Mengingat tujuan pendidikan merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan, sehingga perlu dirumuskan sebaik mungkin. Di antara fungsi dari tujuan pendidikan adalah untuk mengakhiri usaha serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Fungsi lainnya adalah tujuan pendidikan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokuskan pada apa yang dicita-citakan dan yang lebih penting lagi dapat memberi penilaian pada usaha-usahanya. (Marimba, 1989: 45-46).

2.      Langkah-langkah kegiatan (syntax)
Guna mewujudkan pendidikan nilai keagamaan yang bisa diikuti secara runtut dan rasional dibutuhkan langkah-langkah yang bisa dipahami oleh pelaku pendidikan. Langkah-langka tersebut meliputi value identification, activity, learning aids, unit interaction, dan evaluation segment. (Kniker, 1977, dalam Mulyana, 2004: 105). Langkah-langkah tersebut secara rinci sebagai berikut;
a).   Value identification atau identifikasi nilai. Pada langkah ini setiap peserta didik harus mengetahui nilai keagamaan yang menjadi target dari proses pendidikan keagamaan. Pada langkah ini, secara rinci Joyce at.al., (2000: 63) membagi ke dalam dua langkah, yaitu membangun keakraban kelompok (warm up the group) dan memilih peserta (select participants). Mengikuti pola Joyce, setidaknya hal-hal yang dilakukan dalam langkah ini adalah melakukan mengenal, mengenali dan menjadikan masalah nilai keagamaan menjadi jelas. Selanjutnya menafsirkan cerita persoalan nilai keagamaan dan menyelidiki masalah keagamaan yang berkembang, menjelaskan orang-orang yang terlibat, menganalisa peranan, dan memilih para pemain.
b).  Activity atau aktivitas. Pada langkah ini para pendidik membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk melakukan tindakan yang disandarkan pada nilai keagamaan yang menjadi target pendidikan. Dalam hal ini hal yang praktis yang bisa dilakukan adalah memainkan peranan (enact) dan melakukan diskusi dan memberi penilaian (discuss and evaluate). (Joyce, 2000: 63)
c).   Learning aids atau alat bantu belajar. Alat bantu adalah benda yang dapat memperlancar proses belajar nilai keagamaan, seperti ceritera, film, atau benda lainnya yang sesuai dengan topik nilai. Alat bantu lain yang perlu disediakan adalah menyediakan tempat belajar (set the stage) dan mempersiapkan para pengamat atau peninjau (prepare the observers) Joyce (2000: 63)
d).  Unit interaction (interaksi kesatuan). Langkah ini melanjutkan langkah kegiatan dengan semakin memperbanyak strategi atau cara yang dapat menyadarkan peserta didik terhadap nilai keagamaan. Dengan cara memainkan peran secara berulang  (reenact) dan melakukan diskusi serta memberi penilaian (discuss and evaluate) (Joyce, 2003: 63
e).   Evaluation segment atau bagian penilaian. Langkah ini diperlukan untuk memeriksa kemajuan belajar nilai keagamaan melalui penggunaan beragam teknik evaluasi nilai. Hal yang patut dilakukan adalah berbagi pengalaman dan menyamaratakan (share experience and generalize). Pada bagian ini menghubungkan situasi masalah keagamaan dengan persoalan nyata, pengalaman keagamaan dan persoalan yang tengah terjadi. Menyelidiki prinsip perilaku keagamaan secara umum. (Joyce, 2000: 63)

3.      Sistem Sosial (the social system)
Social system pada poin ini lebih menitikberatkan pada peranan orang dan anak dalam pengembangan pendidikan nilai dalam keluarga. Dalam pengembangan pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga, anggota keluarga, memegang peran penting.  Orang tua – sebagai  pendidik – menjadi penentu berlangsungnya proses pendidikan nilai keagamaan tersebut. Mereka harus berkeyakinan pada satu agama tertentu. Konskuensi dari keyakinannya itu, mereka harus menerima Kitab Suci sebagai kebenaran wahyu Tuhan yang memuat seluruh penyelesaian persoalan hidup umat manusia.  Karena seorang pendidik, menurut al-Ghazali dalam Atiyah al-Abrasyi  (1990: 136), sebagai Bapak Jiwa atau Spiritual Father atau al-Abu al-Ruh. Gelar ini sesuai dengan tugas seorang pendidik yaitu memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan, akhlak dan menegakkannya.
Selain itu, Abdurrahman al-Nahlawi (1983: 170-171) menegaskan bahwa tugas utama seorang pendidik adalah:
a.      Penyucian, yaitu pengembangan, pembersihan dan pengangkatan jiwa kepada Pencipta-Nya, menjauhkan dari kejahatan dan menjaganya agar tetap selalu berada pada fitrahnya.
b.      Pengajaran, yakni pengalihan berbagai pengetahuan dan aqidah kepada akal dan hati kaum mukmin, agar mereka merealisasikannya dalam tingkah laku dan kehidupan.
Dalam pendidikan nilai keagamaan orang tua bukan saja bertugas melakukan penyucian dan pengajaran tetapi juga menjadi teladan yang nyata dan bertanggung jawab bagi anak-anaknya.  Tanggung jawab orang tua pada anak-anaknya bukan pada satu potensi yang ada, melainkan seluruh potensi yang terdapat dalam diri si anak yang meliputi potensi kognitif, afektif dan psikomotorik.  (Tafsir, 1992: 74-75).
Lebih lanjut orang tua harus bertanggung jawab untuk mengawali fase-fase proses pendidikan nilai keagamaan dan mengarahkan anak-anak mereka melalui kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam setiap fase tersebut. (Joyce, 2000: 69) Dalam hal ini anak-anak harus terlibat secara dominan dalam menentukan muatan diskusi nilai keagamaan dan pengundangan-pengundangan  khusus tindakan praktis nilai keagamaan.
Pertanyaan-pertanyaan serta komentar orang tua kepada anak-anak mereka seharusnya mendorong ungkapan yang bebas dan jujur terhadap cita-cita dan perasaan mereka. Orang tua harus menetapkan secara seimbang mempercayai diri mereka sendiri dan para anak didik mereka. (Joyce, 2000: 69) Anak-anak mereka bisa melakukan kegiatan tersebut dengan menerima seluruh saran-saran sebagai legitimasi dan membuat keputusan-keputusan tanpa nilai  keagamaan. Melalui cara ini, mereka secara sederhana mengungkapkan perasaan dan sikap anak-anak mereka. 
Meskipun pendidik (orang tua) terutama termenung dan memberi dukungan, mereka berasumsi secara langsung. Pendidik sering memilih persoalan untuk diselidik, mengarahkan diskusi, memilihkan peran, membuat keputusan tentang peraturan yang berlaku, membantu merencanakan perundangan, dan yang terpenting, memutuskan apapun untuk memeriksa dan menyelidiki anjuran-anjuran. Dengan kata lain, pendidik membentuk eksplorasi sikap melalui tipe-tipe pertanyaan yang mereka tanyakan dan melalui tanya jawab untuk lebih mengarahkan. (Joyce, 2000: 69)  

4.      Prinsip-prinsip reaksi (Principles of Reaction)
 Joyce (2000: 69) dalam hal ini menawarkan lima tipe model prinsip-prinsip reaksi. Tipe-tipe tersebut bisa diterapkan dalam pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga adalah sebagai berikut, pertama, pendidik (orang tua) seharusnya menerima peserta didik (anak) tanggapan-tanggapan dan pesan-pesan, khususnya pendapat dan perasaan mereka, pada persoalan yang tidak berkaitan dengan nilai keagamaan. Kedua, pendidik seharusnya menanggapi dalam satu cara bahwa mereka membantu para peserta didik untuk menemukan berbagai sisi situasi persoalan, mengenali dan mempertentangkan pandangan alternatif. Ketiga, melalui pengungkapan, penafsiran, dan penyimpulan tanggapan-tanggapan, pendidik meningkatkan kesadaran peserta didik terhadap nilai keagamaan berdasarkan pada pandangan dan perasaan diri para peserta tersebut. Keempat, pendidik seharusnya menekankan bahwa terdapat perbedaan cara untuk mempraktekkan aturan yang sama dan perbedaan hasil konskuensi sebagaimana yang mereka jelajahi dalam proses pendidikan nilai keagamaan. Kelima, banyak pilihan cara-cara untuk memecahkan satu persoalan, maksudnya tidak hanya satu cara yang benar. Pendidik membantu peserta didik melihat akibat-akibat yang ada dari pendidikan nilai kegamaan untuk mengevaluasi satu penyelesaian dan membandingkannya dengan pilihan-pilihan lainnya.

5.       Dukungan Sistem (Support System)
Menurut Joyce (2000: 69) alat-alat untuk bermain peran dalam penanaman nilai paling sedikit. Meskipun sedikit tetap penting, karena hal itu terkadang sangat membantu dalam membuat lembar pengarahan pada tiap-tiap peran (Joyce, 2000: 69). Bila hal itu diterapkan dalam pendidikan nilai keagamaan, maka lembar pengarahan tersebut menggambarkan peran atau karakter perasaan-perasaan dalam melaksanakan nilai keagamaan.
Kisah-kisah para nabi, tayangan-tayangan film, serta cerita pendek yang berkaiatan pengembangan nilai keagamaan menjadi sumber yang sangat bagus dalam proses pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga. Gambaran umum situasi persoalan nilai keagamaan sangat bermanfaat. Dari kisah-kisah para cerita tersebut memungkinkan sekali evaluasi akan menjadi contoh laku bagi para peserta didik.

6.          Evaluasi (evaluation)
Secara khusus metode untuk mengevalusai pengaruh nilai keagamaan seseorang belum banyak menjadi perhatian masyarakat. Bahkan Joyce (2000) dalam bukunya Model of Teachings tidak membahas evaluasi pendidikan nilai dalam bagian tersendiri. Namun demikian, bukan berarti evaluasi pendidikan tidak bermanfaat, tetapi sangat diperlukan.
Dalam membahas langkah-langkah kegiatan (syntax) Joyce (2000) membaginya ke dalam sembilan langkah. Sembilan langkah yang dibaginya menjadi lima tahap itu menyebutkan secara khusus tahapan diskusi evaluasi terutama pada tahap ke ke-enam dan dan ke delapan. Inti dari diskusi dan evaluasi itu adalah meninjau kembali kegiatan bermain peran, meliputi peristiwa demi peristiwa, penempatan, dan penerapan; mendiskusikan fokus utama, dan; mengembangakan pengaturan ke depannnya. (Joyce, 2000: 63). Diskusi dan evaluasi bukan hanya berhenti poin tersebut, Joyce (2000: 63) menambahkannya dengan cara berbagi pengalaman dan menyamaratakan (share experiences and generalize).
Pada poin share experiences and generalize inilah yang bisa dimasukkan dalam penerapan evaluasi pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga. Dalam kesempatan tersebut – meminjam pola-pola yang dilakukan oleh Joyce (2000: 63) – evaluasi pendidikan nilai dilakukan dengan cara menghubungkan ajaran yang telah disampaikan dengan situasi dalam kehidupan nyata, pengalaman-pengalaman, serta arus persoalan, dan menggali prinsip-prinsip perlaku yang bersifat umum. Dalam proses evaluasi ini semua pihak pendidik dan peserta didik harus terlibat di dalamnya guna mendapatkan pemahaman dan penghayatan nilai kegamaan yang lebih memadai.    


Tugas !
Petunjuk :
1.       Buatlah sebuah Laporan Penelitian yang berjudul “MODEL PENDIDIKAN NILAI KEAGAMAAN DALAM KELUARGA TURUNAN MENAK (RADEN)”. Kriteria model pendidikan nilai tersebut sesuai dengan kriteria model pembelajaran nilai sebagai mana diuraikan dimuka.
2.       Laporan Penelitian tersebut ditulis 1,5 spasi, huruf yang digunakan Times New Roman dengan ukuran 12 dengan jenis kertas A4. 
3.       Sumber data berupa perkataan, tindakan, dokumen harian dari dua orang responden turunan menak (RADEN).
4.       Data tersebut dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan dan studi dokumentasi.
Adapun formatnya sebagai berikut :
Halaman muka
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I.  Pendahuluan (2 halaman)
A.    Latar Belakang Masalah
B.    Rumusan Masalah
C.    Tujuan penelitian
D.    Manfaat dan kegunaan penelitian
E.    Metodologi Penelitian (metode penelitian yang digunakan, Lokasi dan sampel penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data)
Bab II. Kajian Teori ( 4 halaman)
A.    Makna dan Kriteria Model Pendidikan Nilai Keagamaan
B.     Pendidikan dalam keluarga
C.     Keturunan menak dalam masyarakat
Bab III.Analisis dan Penafsiran Data (6 halaman)
  1. Analisis sumber Primer
1.       Tujuan (Aims)
2.       Langkah-langkah kegiatan (syntax)
3.       Sistem sosial (the social system)
4.       Prinsip-prinsip reaksi (Principles of reactions)
5.       Dukungan system ( Support System)
6.       Evaluasi (Evaluations)
  1. Analisis sumber Sekunder
1.       Tujuan (Aims)
2.       Langkah-langkah kegiatan (syntax)
3.       Sistem sosial (the social system)
4.       Prinsip-prinsip reaksi (Principles of reactions)
5.       Dukungan system ( Support System)
6.       Evaluasi (Evaluations)
Bab IV. Kesimpulan dan saran (2 halaman)
  1. .Kesimpulan
  2. Saran
Daftar Pustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar