MODEL PENDIDIKAN NILAI KEAGAMAAN
A.
Makna
Model Pendidikan Nilai Keagamaan
Sebelum mengemukakan definisi model pendidikan nilai keagamaan, terlebih dahulu penulis perlu
mendefinisikan model pendidikan dan pendidikan nilai. Model pendidikan
mengandung arti model pengajaran. Menurut Joyce dan Weil with Calhoun (2000: 6)
model pengajaran pada dasarnya sama dengan model pembelajaran.
Menurut (Dewey, 1916) :
“The core of teaching process is the arrangement of enviroments within which
the students can interact and study how to learn.“
Berdasarkan inti pengajaran tersebut (Joyce dan
Calhoun, 2000:13) mendefinisikan:
“A model of teaching is a description of a learning
enviroment. The description have many uses, ranging from planning curriculums,
courses, units and lessons to designing instructional materials – books and
workbooks, multimedia programs, and computer-assisted learning program”.
Definisi di
atas mengandung arti model pendidikan adalah deskripsi mengenai lingkungan
pembelajaran. Deskripsi tersebut berfungsi untuk menyusun rencana kurikulum,
mata pelajaran, dan untuk mendesain buku
materi ajar, lembar kerja, program multi
media dan lain-lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa model
pengajaran merupakan suatu perencanaan atau pola yang dapat digunakan
untuk membuat kurikulum, mendesain
bahan-bahan pengajaran, dan sebagai pedoman pengajaran di kelas maupun tempat
lainnya.
Adapun arti pendidikan nilai dapat dirumuskan dari
dua pengertian dasar, yaitu pendidikan, dan nilai. Oleh karena rumusan
pengertian pendidikan dan nilai dirumuskan berbeda, maka berbeda-beda pula
rumusan pendidikan nilai.
Dalam kaitan
ini Mulyana (2004:119) mengemukakan beberapa definisi pendidikan nilai menurut
para ahli antara lain menurut Sastrapratedja, Mardiatmadja dan pengertian
pendidikan nilai di India.
Menurut
Satrapratedja (Kaswardi, 1993), yang dimaksud dengan Pendidikan Nilai adalah
penanaman dan pengembangan nilai-nilai pada seseorang. Dalam pengertian yang
hampir sama Mardiatmadja (1986) mendefinisikan Pendidikan Nilai sebagai bantuan
terhadap peserta didik agar menyadari dan mengalami nilai-nilai serta
menempatkannya secara integral dalam keseluruhan hidupnya. Sementara itu dalam
laporan National Resource Center of Value Education, di Negara India
Pendidikan Nilai di didefinisikan sebagai usaha untuk membimbing peserta didik
dalam memahami, mengalami, dan mengamalkan nilai-nilai ilmiah, kewarganegaraan
dan sosial yang tidak secara khusus dipusatkan pada pandangan agama tertentu
(NRCVE, 2003).
Berdasarkan unsur-unsur yang ada dalam tiga definisi
tersebut, maka pendidikan nilai dapat didefinisikan sebagai usaha untuk
membimbing dan membantu peserta didik dalam memahami, menyadari, mengembangkan,
mengamalkan, dan mengalami nilai-nilai serta menempatkannya secara integral
dalam keseluruhan hidupnya.
Dalam pada itu Hers at.all., (1980:7) secara khusus
mendefinisikan model pendidikan moral, yang berarti pula model pendidikan
nilai. Menurutnya:
“A model of moral education, in our conception, is
a way of thinking about the processes of caring, judging, and acting in an
educational setting. A model includes a theory, or a point of view, abaout how
people develop morally and a set of strategies, principles, for fostering moral
development. A model thus helps us both to understand and to practice moral
education”.
Definisi ini menunjukan bahwa model pendidikan moral
adalah cara berfikir tentang proses memperhatikan, penentuan, dan aksi dalam
lingkungan pendidikan. Sebuah model mencakup teori atau pandangan tentang
bagaimana pengembangan masyarakat secara moral dan menyiapkan strategi dan
prinsip-prinsip untuk membantu mengembangkan
moral. Dengan demikian sebuah model membantu baik dalam memahami atau
memperaktekan pendidikan moral.
Berdasarkan rumusan pengertian model pendidikan,
pendidikan nilai dan model pendidikan moral di atas maka dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran itu merupakan perencanaan yang dilakukan oleh pendidik
dan panduan dalam pengajaran, sehingga tujuan pembelajaran itu dapat
tercapai. Inti dari model tersebut
berupa perencanaan pembelajaran, yakni berisikan tentang panduan interaksi timbal balik antara orang tua dan anak, mulai
dari awal kegiatan (persiapan), pelaksanaan, umpan balik (evaluasi).
B.
Karakteristik
Model Pendidikan Nilai Keagamaan
Yang dimaksud dengan model pendidikan dalam
penelitian ini adalah model pembelajaran. Dalam bukunya yang berjudul Models
of Teaching, Joyce at.al., (2000) mengemukakan beberapa model pembelajaran,
antara lain The Social Family of Models, The Personal Family of Models, The
Behavioral System Family of
Models dll. Masing-masing model
tersebut mengandung enam kriteria,
yaitu: (1) tujuan (aims), (2)
langkah-langkah kegiatan (syntax), (3) peranan pendidik dan peserta
didik (the social system), (4) prinsip-prinsip reaksi seperti
membimbing dan menggunakan berbagai metode (principles of reaction),
(5). dukungan sistem (support system ), seperti alat bantu dan (6)
evaluasi (evaluation).
1.
Tujuan
(aims)
Kata tujuan semakna dengan "sasaran” atau
“maksud” dalam bahasa Inggris disebut dengan “goal” atau “purpose”
atau “objectives” atau “aim.” Istilah-istilah tersebut mengandung
pengertian yang sama, yaitu perbuatan yang diarahkan kepada tujuan tertentu,
atau arah, maksud yang hendak dicapai melalui upaya atau aktifitas (Arifin,
1991: 222), atau sesuatu yang diharapkan tercapai setelah suatu usaha atau
kegiatan selesai (Darajat, 1992: 29). Tujuan, demikian tegas Arifin, bisa jadi
menunjukkan kepada futuritas (masa depan) yang terletak suatu jarak tertentu
yang tidak dapat dicapai kecuali dengan usaha melalui proses tertentu. (Arifin,
1991: 223). Banyaknya pengertian tujuan yang digulirkan oleh para ahli, secara
umum semuanya mengandung pengertian yang berpusat
pada usaha atau perbuatan yang dilakukan untuk suatu maksud tertentu.
Sementara itu dalam kaitannya dengan pendidikan nilai
keagamaan, suatu tujuan pendidikan haruslah meliputi aspeks-aspek: pertama,
tujuan dan tugas hidup manusia. Pada aspek ini menjelaskan bahwa diciptakannya
manusia bukan tanpa tujuan.
Diciptakannya manusia untuk menjadi wakil Tuhan
(khalifah Allah) di muka bumi; kedua memperhatikan sifat
dasar manusia. Aspeks yang kedua ini mengandung pengertian bahwa manusia menurut fitrahnya berkecenderungan
pada rindu akan kebenaran Tuhan (al-Hanif). (Langgulung, 1989: 39).
Dengan demikian, suatu pendidikan nilai keagamaan haruslah berupaya untuk
mempertahankan kecenderungan rindu pada kebenaran ilahi; ketiga,
tuntutan masyarakat. Aspeks tuntuntan masyarakat ini menjelaskan bahwa tujuan
pendidikan harus melakukan usaha pelestarian nilai-nilai budaya yang telah
melembaga dalam kehidupan masyarakat maupun merespon terhadap perkembangan
budaya baru; keempat, dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam. Aspeks ini
menekankan bahwa tujuan pendidikan nilai keagamaan haruslah meliputi dimensi
kebutuhan jasmani dan rohani sekaligus. Keseimbangan terpenuhinya kebutuhan
jasmani dan rohani diharapkan menjadi daya tangkal pengaruh negatif yang mengusik
ketenteraman masyarakat baik yang bersifat spiritual, social, cultural,
ekonomis, maupun ideologis dalam pribadi manusia. (Arifin, 1991: 3-4).
Selain itu, fungsi tujuan pendidikan pun menjadi
perhatian penting sebagai bagian integral dalam tujuan pendidikan nilai
keagamaan. Mengingat tujuan pendidikan
merupakan faktor yang sangat menentukan jalannya pendidikan, sehingga
perlu dirumuskan sebaik mungkin. Di antara fungsi dari tujuan pendidikan adalah
untuk mengakhiri usaha serta mengarahkan usaha yang dilalui dan merupakan titik
pangkal untuk mencapai tujuan-tujuan lain. Fungsi lainnya adalah tujuan
pendidikan dapat membatasi ruang gerak usaha agar kegiatan dapat terfokuskan
pada apa yang dicita-citakan dan yang lebih penting lagi dapat memberi
penilaian pada usaha-usahanya. (Marimba, 1989: 45-46).
2.
Langkah-langkah
kegiatan (syntax)
Guna mewujudkan pendidikan nilai keagamaan yang bisa
diikuti secara runtut dan rasional dibutuhkan langkah-langkah yang bisa
dipahami oleh pelaku pendidikan.
Langkah-langka tersebut meliputi value identification, activity,
learning aids, unit interaction, dan evaluation segment.
(Kniker, 1977, dalam Mulyana, 2004: 105). Langkah-langkah tersebut secara rinci
sebagai berikut;
a). Value
identification atau identifikasi nilai. Pada
langkah ini setiap peserta didik harus mengetahui nilai keagamaan yang menjadi
target dari proses pendidikan keagamaan. Pada langkah ini, secara rinci Joyce
at.al., (2000: 63) membagi ke dalam dua langkah, yaitu membangun keakraban
kelompok (warm up the group) dan memilih peserta (select
participants). Mengikuti pola Joyce, setidaknya hal-hal yang dilakukan
dalam langkah ini adalah melakukan mengenal, mengenali dan menjadikan masalah
nilai keagamaan menjadi jelas. Selanjutnya menafsirkan cerita persoalan nilai
keagamaan dan menyelidiki masalah keagamaan yang berkembang, menjelaskan
orang-orang yang terlibat, menganalisa peranan, dan memilih para pemain.
b). Activity
atau aktivitas. Pada langkah ini para pendidik membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk melakukan tindakan
yang disandarkan pada nilai keagamaan yang menjadi target pendidikan.
Dalam hal ini hal yang praktis yang bisa
dilakukan adalah memainkan peranan (enact) dan melakukan diskusi
dan memberi penilaian (discuss and evaluate). (Joyce, 2000: 63)
c). Learning
aids atau alat bantu belajar. Alat bantu adalah benda yang dapat memperlancar proses belajar nilai keagamaan,
seperti ceritera, film, atau benda lainnya
yang sesuai dengan topik nilai. Alat bantu lain yang perlu disediakan
adalah menyediakan tempat belajar (set the stage) dan mempersiapkan para
pengamat atau peninjau (prepare the observers) Joyce (2000: 63)
d). Unit
interaction (interaksi kesatuan). Langkah ini melanjutkan langkah kegiatan
dengan semakin memperbanyak strategi atau cara yang dapat menyadarkan peserta
didik terhadap nilai keagamaan. Dengan cara memainkan peran secara
berulang (reenact) dan melakukan
diskusi serta memberi penilaian (discuss and evaluate) (Joyce, 2003: 63
e). Evaluation
segment atau bagian penilaian. Langkah ini diperlukan untuk memeriksa
kemajuan belajar nilai keagamaan melalui penggunaan beragam teknik evaluasi
nilai. Hal yang patut dilakukan adalah berbagi pengalaman dan menyamaratakan (share
experience and generalize). Pada bagian ini menghubungkan situasi masalah
keagamaan dengan persoalan nyata, pengalaman keagamaan dan persoalan yang
tengah terjadi. Menyelidiki prinsip perilaku keagamaan secara umum. (Joyce,
2000: 63)
3.
Sistem
Sosial (the social system)
Social system pada
poin ini lebih menitikberatkan pada peranan orang dan anak dalam pengembangan
pendidikan nilai dalam keluarga. Dalam pengembangan pendidikan nilai keagamaan
dalam keluarga, anggota keluarga, memegang
peran penting. Orang tua – sebagai pendidik – menjadi penentu
berlangsungnya proses pendidikan nilai keagamaan tersebut. Mereka harus berkeyakinan pada satu agama tertentu. Konskuensi
dari keyakinannya itu, mereka harus
menerima Kitab Suci sebagai kebenaran wahyu Tuhan yang memuat seluruh
penyelesaian persoalan hidup umat manusia.
Karena seorang pendidik, menurut al-Ghazali dalam Atiyah al-Abrasyi (1990: 136), sebagai Bapak Jiwa atau Spiritual
Father atau al-Abu al-Ruh. Gelar ini sesuai dengan tugas seorang
pendidik yaitu memberi santapan jiwa dengan ilmu, pendidikan, akhlak dan
menegakkannya.
Selain itu, Abdurrahman al-Nahlawi (1983: 170-171)
menegaskan bahwa tugas utama seorang pendidik adalah:
a. Penyucian, yaitu
pengembangan, pembersihan dan pengangkatan jiwa kepada Pencipta-Nya, menjauhkan
dari kejahatan dan menjaganya agar tetap selalu berada pada fitrahnya.
b. Pengajaran,
yakni pengalihan berbagai pengetahuan dan aqidah kepada akal dan hati kaum
mukmin, agar mereka merealisasikannya dalam tingkah laku dan kehidupan.
Dalam pendidikan nilai keagamaan orang tua bukan saja
bertugas melakukan penyucian dan pengajaran tetapi juga menjadi teladan yang
nyata dan bertanggung jawab bagi anak-anaknya.
Tanggung jawab orang tua pada anak-anaknya bukan pada satu potensi yang
ada, melainkan seluruh potensi yang terdapat dalam diri si anak yang meliputi
potensi kognitif, afektif dan psikomotorik.
(Tafsir, 1992: 74-75).
Lebih lanjut orang tua harus bertanggung jawab untuk
mengawali fase-fase proses pendidikan nilai keagamaan dan mengarahkan anak-anak
mereka melalui kegiatan-kegiatan yang terdapat dalam setiap fase tersebut.
(Joyce, 2000: 69) Dalam hal ini anak-anak harus terlibat secara dominan dalam
menentukan muatan diskusi nilai keagamaan dan pengundangan-pengundangan khusus tindakan praktis nilai keagamaan.
Pertanyaan-pertanyaan serta komentar orang tua kepada
anak-anak mereka seharusnya mendorong ungkapan yang bebas dan jujur terhadap
cita-cita dan perasaan mereka. Orang tua harus menetapkan secara seimbang
mempercayai diri mereka sendiri dan para anak didik mereka. (Joyce, 2000: 69)
Anak-anak mereka bisa melakukan kegiatan tersebut dengan menerima seluruh
saran-saran sebagai legitimasi dan membuat keputusan-keputusan tanpa nilai
keagamaan. Melalui cara ini, mereka secara sederhana
mengungkapkan perasaan dan sikap anak-anak mereka.
Meskipun pendidik (orang tua) terutama termenung dan
memberi dukungan, mereka berasumsi secara langsung. Pendidik sering memilih
persoalan untuk diselidik, mengarahkan diskusi, memilihkan peran, membuat
keputusan tentang peraturan yang berlaku, membantu merencanakan perundangan,
dan yang terpenting, memutuskan apapun untuk memeriksa dan menyelidiki
anjuran-anjuran. Dengan kata lain, pendidik membentuk eksplorasi sikap melalui
tipe-tipe pertanyaan yang mereka tanyakan dan melalui tanya jawab untuk lebih
mengarahkan. (Joyce, 2000: 69)
4.
Prinsip-prinsip
reaksi (Principles of Reaction)
Joyce (2000:
69) dalam hal ini menawarkan lima tipe model prinsip-prinsip reaksi. Tipe-tipe tersebut bisa diterapkan dalam pendidikan
nilai keagamaan dalam keluarga adalah sebagai berikut, pertama,
pendidik (orang tua) seharusnya menerima peserta didik (anak)
tanggapan-tanggapan dan pesan-pesan, khususnya pendapat dan perasaan mereka,
pada persoalan yang tidak berkaitan dengan nilai keagamaan. Kedua,
pendidik seharusnya menanggapi dalam satu cara bahwa mereka membantu para
peserta didik untuk menemukan berbagai sisi situasi persoalan, mengenali dan
mempertentangkan pandangan alternatif. Ketiga, melalui pengungkapan,
penafsiran, dan penyimpulan tanggapan-tanggapan, pendidik meningkatkan
kesadaran peserta didik terhadap nilai keagamaan berdasarkan pada pandangan dan
perasaan diri para peserta tersebut. Keempat, pendidik seharusnya
menekankan bahwa terdapat perbedaan cara untuk mempraktekkan aturan yang sama
dan perbedaan hasil konskuensi sebagaimana yang mereka jelajahi dalam proses
pendidikan nilai keagamaan. Kelima, banyak pilihan cara-cara untuk memecahkan satu persoalan,
maksudnya tidak hanya satu cara yang benar. Pendidik membantu peserta
didik melihat akibat-akibat yang ada dari
pendidikan nilai kegamaan untuk mengevaluasi satu penyelesaian dan
membandingkannya dengan pilihan-pilihan lainnya.
5.
Dukungan
Sistem (Support System)
Menurut Joyce (2000: 69) alat-alat untuk bermain
peran dalam penanaman nilai paling sedikit. Meskipun sedikit tetap penting,
karena hal itu terkadang sangat membantu dalam membuat lembar pengarahan pada
tiap-tiap peran (Joyce, 2000: 69). Bila hal itu diterapkan dalam pendidikan
nilai keagamaan, maka lembar pengarahan tersebut menggambarkan peran atau
karakter perasaan-perasaan dalam melaksanakan nilai keagamaan.
Kisah-kisah para nabi, tayangan-tayangan film, serta
cerita pendek yang berkaiatan pengembangan nilai keagamaan menjadi sumber yang
sangat bagus dalam proses pendidikan nilai keagamaan dalam keluarga. Gambaran
umum situasi persoalan nilai keagamaan sangat bermanfaat. Dari kisah-kisah para
cerita tersebut memungkinkan sekali evaluasi akan menjadi contoh laku bagi para
peserta didik.
6.
Evaluasi
(evaluation)
Secara khusus metode untuk mengevalusai pengaruh
nilai keagamaan seseorang belum banyak menjadi perhatian masyarakat. Bahkan
Joyce (2000) dalam bukunya Model of Teachings tidak membahas evaluasi
pendidikan nilai dalam bagian tersendiri. Namun demikian, bukan berarti
evaluasi pendidikan tidak bermanfaat, tetapi sangat diperlukan.
Dalam membahas langkah-langkah kegiatan (syntax)
Joyce (2000) membaginya ke dalam sembilan langkah. Sembilan langkah yang
dibaginya menjadi lima tahap itu menyebutkan secara khusus tahapan diskusi
evaluasi terutama pada tahap ke ke-enam dan dan ke delapan. Inti dari diskusi
dan evaluasi itu adalah meninjau kembali kegiatan bermain peran, meliputi peristiwa
demi peristiwa, penempatan, dan penerapan; mendiskusikan fokus utama, dan;
mengembangakan pengaturan ke depannnya. (Joyce, 2000: 63). Diskusi dan evaluasi
bukan hanya berhenti poin tersebut, Joyce (2000: 63) menambahkannya dengan cara
berbagi pengalaman dan menyamaratakan (share experiences and generalize).
Pada poin share experiences and generalize
inilah yang bisa dimasukkan dalam penerapan evaluasi pendidikan nilai keagamaan
dalam keluarga. Dalam kesempatan tersebut – meminjam pola-pola yang dilakukan
oleh Joyce (2000: 63) – evaluasi pendidikan nilai dilakukan dengan cara
menghubungkan ajaran yang telah disampaikan dengan situasi dalam kehidupan
nyata, pengalaman-pengalaman, serta arus persoalan, dan menggali
prinsip-prinsip perlaku yang bersifat umum. Dalam proses evaluasi ini semua
pihak pendidik dan peserta didik harus terlibat di dalamnya guna mendapatkan
pemahaman dan penghayatan nilai kegamaan yang lebih memadai.
Tugas !
Petunjuk :
1.
Buatlah
sebuah Laporan Penelitian yang berjudul “MODEL PENDIDIKAN NILAI
KEAGAMAAN DALAM KELUARGA TURUNAN MENAK (RADEN)”. Kriteria model pendidikan
nilai tersebut sesuai dengan kriteria model pembelajaran nilai sebagai mana
diuraikan dimuka.
2.
Laporan
Penelitian tersebut ditulis 1,5 spasi, huruf yang digunakan Times New Roman
dengan ukuran 12 dengan jenis kertas A4.
3.
Sumber
data berupa perkataan, tindakan, dokumen harian dari dua orang responden
turunan menak (RADEN).
4.
Data
tersebut dikumpulkan melalui wawancara, pengamatan dan studi dokumentasi.
Adapun formatnya
sebagai berikut :
Halaman muka
Kata pengantar
Daftar Isi
Bab I.
Pendahuluan (2 halaman)
A.
Latar
Belakang Masalah
B.
Rumusan
Masalah
C.
Tujuan
penelitian
D.
Manfaat
dan kegunaan penelitian
E.
Metodologi
Penelitian (metode penelitian yang digunakan, Lokasi dan sampel penelitian,
teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data)
Bab II. Kajian Teori ( 4 halaman)
A.
Makna dan
Kriteria Model Pendidikan Nilai Keagamaan
B.
Pendidikan
dalam keluarga
C.
Keturunan
menak dalam masyarakat
Bab III.Analisis dan Penafsiran Data (6
halaman)
- Analisis sumber Primer
1.
Tujuan (Aims)
2.
Langkah-langkah
kegiatan (syntax)
3.
Sistem
sosial (the social system)
4.
Prinsip-prinsip
reaksi (Principles of reactions)
5.
Dukungan
system ( Support System)
6.
Evaluasi (Evaluations)
- Analisis sumber Sekunder
1.
Tujuan (Aims)
2.
Langkah-langkah
kegiatan (syntax)
3.
Sistem
sosial (the social system)
4.
Prinsip-prinsip
reaksi (Principles of reactions)
5.
Dukungan
system ( Support System)
6.
Evaluasi (Evaluations)
Bab IV. Kesimpulan dan saran (2 halaman)
- .Kesimpulan
- Saran
Daftar Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar